Tuesday, June 29, 2010

Sri Ratnasari Mardiana Puspaningrum, Kepala Stasiun Tanjung Barat Jakarta Selatan

Stasiun Menjadi Bersih dan Teratur Sejak Dipimpinnya

Mengaku sebagai wanita tomboy dan suka tantangan, Sri Ratnasari Mardiana Puspaningrum akhirnya mampu menjadi seorang pemimpin di sebuah stasiun kereta api Jabodetabek. Berkarir di PT KAI sejak tahun 1993, ia mampu membuktikan kemampuannya dan menapaki karir hingga menjadi seorang kepala stasiun. Baginya, memimpin sebuah stasiun kereta api merupakan sebuah kebanggaan. Terlebih lagi, ia merupakan wanita satu-satunya yang menjadi kepala stasiun. Lalu, bagaimana perjalanan hidup ibu dua anak ini?

Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, telah berubah wajah sejak beberapa bulan yang lalu. Pedagang kaki lima (PKL) yang biasa ditemui di sekitar stasiun sudah tak nampak lagi. Sampah yang berserakan di lantai stasiun pun tidak terlihat. Beberapa tong sampah telah tersedia di tiap sudut stasiun. Para calon penumpang juga tak bisa sembarangan merokok di area stasiun. Faktor keamanan penumpang mulai terjamin dengan dipasangnya beberapa kamera CCTV dan petugas keamanan yang selalu sigap di area stasiun yang termasuk dalam golongan stasiun kelas 2 ini.

Sebagai stasiun kereta api percontohan, Stasiun Tanjung Barat memang telah membuktikan perbedaannya ketimbang stasiun lain yang masih terlihat kotor dan tidak beraturan. Tak ada yang menyangka perubahan tersebut dimotori oleh seorang wanita yang menjadi kepala stasiun Tanjung Barat sejak bulan Maret lalu ini. Dialah Sri Ratnasari Mardiana Puspaningrum, wanita lulusan SMA yang telah memiliki dua anak laki-laki. “Saya merasa terharu sekaligus bangga diangkat menjadi seorang kepala stasiun,” ungkap Ninuk-panggilan akrabnya-kepada realita.

Wanita kelahiran 15 Maret 1975 ini merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Sang ayah, (Alm.) R.S. Djamaludin adalah pria asli Bandung yang bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah rumah sakit di daerah Jakarta Pusat. Sedangkan ibunya, Harsini (59), wanita asli Solo yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Ninuk tumbuh menjadi sosok gadis yang tomboy karena dikelilingi ketiga kakaknya yang kesemuanya adalah laki-laki. “Jadi saya sudah terbiasa berada di lingkungan laki-laki,” ujar Ninuk singkat.

Kondektur Kereta Parahyangan. Wanita kelahiran Jakarta ini dibesarkan di daerah Depok, Jawa Barat. Setelah menamatkan pendidikannya di SDN 8 dan SMPN 2, Depok, Ninuk melanjutkan ke SMAN 97, Jakarta. Setamatnya SMA pada tahun 1993, Ninuk sempat berkeinginan untuk melanjutkan kuliah. Sayangnya, ia tak lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Kendati begitu, Ninuk tak patah arang dalam merajut impiannya di masa mendatang. Setelah mengetahui ada lowongan di PT KAI (Kereta Api Indonesia), ia pun mencoba melamar pekerjaan sebagai seorang kondektur wanita. Kala itu, profesi sebagai kondektur wanita di PT KAI masih tergolong baru dan memasuki angkatan kedua. “Saya juga baru tahu kalau ada kondektur wanita,” kenangnya sembari tertawa lebar. Pada awalnya, kedua orangtua Ninuk menentang anak bungsunya bekerja sebagai kondektur kereta api. “Awalnya mereka khawatir dan menentang, tapi karena saya bisa meyakinkan orangtua, akhirnya ya setuju,” papar Ninuk.

Dari 462 orang yang melamar, Ninuk menjadi salah satu dari 21 orang yang diterima sebagai seorang kondektur. “Karena saya suka tantangan, ya saya coba,” ungkap Ninuk. Ia lantas ditempatkan di Daop II, Bandung. Ninuk menjadi kondektur wanita untuk kereta api Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung. Ia mengaku menikmati profesinya sebagai seorang kondektur. “Saya banyak bertemu dengan orang baru yang menjadi penumpang,” ujar Ninuk.

Tahun 1997, ia dimutasi ke stasiun Gambir, Jakarta Pusat menjadi seorang staf tata usaha hingga tahun 2007. Ninuk kemudian dipindahkan ke bagian perbendaharaan di stasiun yang sama hingga tahun 2008. “Saya menghabiskan waktu yang cukup lama di stasiun Gambir,” aku Ninuk.

Tantangan Menjadi Kepala Stasiun. Barulah pada awal tahun 2008, PT KAI Commuter Jabodetabek, anak perusahaan PT KAI yang mengelola jalur transportasi di seputar Jabodetabek, membuka kesempatan bagi karyawannya untuk menjadi kepala stasiun. Ninuk pun dipromosikan untuk mengikuti seleksi yang diadakan oleh pihak manajemen. Dari 9 orang yang mengikuti seleksi, Ninuk merupakan satu-satunya perempuan. Tak disangka, ia lolos seleksi beserta 6 orang lainnya yang kesemuanya adalah laki-laki.

Saya merasa bangga karena dapat mewakili para wanita,” tutur wanita yang masih nampak awet muda ini. Sebelumnya, belum pernah ada seorang wanita yang menjabat kepala stasiun. Ninuk menjadi wanita pertama yang diangkat sebagai seorang kepala stasiun. “Saya berharap di masa mendatang, ada junior-junior saya yang mampu meneruskan menjadi kepala stasiun,” harap wanita yang suka mendengarkan lagu-lagu band White Lion ini. Ia dilantik sebagai kepala stasiun pada 23 Mei 2008. Kali pertama, Ninuk menjadi kepala stasiun Universitas Pancasila hingga 20 Maret 2009. Ia lantas dipindahkan ke stasiun Tanjung Barat dan kemudian dijadikan sebagai stasiun percontohan.

Awalnya, ada sebagian orang yang meragukan kemampuannya menjadi seorang kepala stasiun. Namun, Ninuk berusaha membuktikan bahwa ia mampu bertanggung jawab dalam mengatur stasiun kereta api yang dipimpinnya. “Sebenarnya pekerjaan ini, wanita pun bisa,” ungkap Ninuk dengan tegas. Ia sendiri sangat berperan dalam menata pengelolaan dan kebersihan area stasiun yang dijadikan percontohan ini. Ninuk membawahi 34 karyawan, dengan komposisi 1 orang perempuan dan sisanya adalah laki-laki.

Menurut Ninuk, mengelola 34 karyawan stasiun yang sebagian besar adalah laki-laki, merupakan suatu tantangan tersendiri. “Itu adalah seni,” ujarnya tersenyum simpul. Awalnya, ia juga sempat merasa ragu dengan kemampuannya dalam memimpin bawahan yang hampir semuanya adalah laki-laki. “Di sini saya tidak merasa sebagai pemimpin,” ujar Ninuk. “Justru saya berusaha menghapus jarak antara bawahan dan atasan,” lanjutnya menjelaskan. Alhasil, ia mampu menerapkan kedisiplinan yang tinggi terhadap para bawahannya tersebut. Berkat kepemimpinannya, Ninuk berhasil mengubah para bawahannya untuk berperilaku disiplin dalam bekerja. “Bagaimana kita bisa mengubah perilaku penumpang, sebelum kita mengubah perilaku SDM di stasiun sendiri,” paparnya penuh semangat.

Kepala Stasiun yang Bawel. Ninuk sendiri mengaku bahwa dirinya adalah sosok pemimpin yang 'bawel'. “Ya bawel untuk kepentingan kita bersama sih nggak apa-apa ya,” kilah Ninuk. Ia akan sangat cerewet bila keindahan dan kebersihan stasiun tidak dijaga dengan baik, oleh penumpang dan karyawannya sendiri.

Sebagai seorang kepala stasiun, Ninuk juga sangat mengkhawatirkan perilaku para calon penumpang yang tak membeli tiket. “Saya sangat ironis ada calon penumpang yang tak membeli tiket atau menggunakan kartu abudemen yang tak berlaku lagi,” papar Ninuk. Ia sendiri mengaku seringkali menangkap basah penumpang yang tidak berperilaku disiplin. “Penumpang yang seperti itu kan sudah tidak jujur kepada dirinya sendiri,” ujar pemegang prinsip 'jadilah diri sendiri' ini. Tak hanya itu saja, perilaku penumpang yang membuang sampah sembarangan pun sangat disayangkan oleh Ninuk. “Kan sudah disediakan tong sampah,” kilah Ninuk.

Telah menjadi seorang kepala stasiun, tak membuatnya merasa sukses. Baginya, masih panjang perjalanan yang harus ditempuh sebagai seorang kepala stasiun. “Mempertahankan itu kan lebih susah,” ujar Ninuk tegas. Selain itu, dalam kehidupan pribadi, Ninuk memiliki keinginan terpendam sejak lama. “Saya ingin melanjutkan kuliah,” ujar Ninuk. Ia menyadari pendidikan dan wawasan sangatlah penting. Hal itulah yang kemudian sangat mendorong dirinya untuk segera duduk di bangku kuliah. “Tapi saya masih bingung mau kuliah di mana dan mengambil jurusan apa,” ujarnya kebingungan. Targetnya, tahun depan ia sudah bisa kuliah tanpa meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang kepala stasiun.

Ke depannya, Ninuk juga ingin berbuat yang lebih banyak untuk kepentingan perusahaan dan penumpang kereta api. Ia juga merasa senang dengan banyaknya antusias dari karyawan KAI wanita yang ingin menjadi kepala stasiun seperti dirinya. “Saya sangat senang karena saya dapat memberi motivasi bagi para junior saya,” ujar Ninuk mengakhiri pembicaraan. Fajar

Side Bar...

Sering Mengajak Kedua Anaknya ke Stasiun

Sebagai seorang kepala stasiun, waktu kerja terkadang tak dapat dipastikan dengan tepat. “Hari Sabtu dan Minggu pun kalau memang ada yang penting, ya saya harus datang,” aku Ninuk. Alhasil, ia pun terkadang harus merelakan waktu keluarganya untuk pekerjaan. Beruntung baginya, karena kedua anaknya, Muhammad Roza Nouval (11) dan Muhammad Dhia Zufar (6) mengerti terhadap pekerjaan ibunya. Bahkan, Ninuk seringkali mengajak kedua anaknya ke stasiun Tanjung Barat. “Kalau hari Sabtu atau Minggu, saya sering mengajak ke sini dan jalan-jalan naik kereta,” ujar Ninuk yang mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1997 ini. Biasanya, kedua anaknya itu menumpang kereta menuju kota tua dan balik lagi ke Tanjung Barat. “Mereka senang saja naik kereta,” aku Ninuk.

Dukungan keluarga pun diakui Ninuk sangatlah besar dalam karirnya. Sang suami yang bekerja sebagai karyawan swasta sangat bangga dengan karir istri yang mampu menjadi kepala stasiun wanita pertama di Indonesia. “Keluarga sangat mendukung,” ujar Ninuk singkat.

Kendati disibukkan dengan pekerjaannya mengurus kereta api, Ninuk juga tak melupakan perannya sebagai seorang ibu dari dua anak. “Saya ingin anak-anak saya bisa menjadi 'orang' di masa depan,” harap Ninuk. Ia menyadari bahwa dalam mendidik anak, sudah tak bisa dengan cara otoriter. Menurutnya, anak sekarang tak bisa dipaksakan seenaknya. Bila dipaksakan, maka anak justru akan membangkang. Tak heran, ia sangat membebaskan keinginan anak-anaknya. “Terserah mereka mau menjadi apa,” ujarnya singkat.

Bila Hari Ibu tiba, Ninuk mengaku pada hari itu biasanya merupakan hari bebas bagi dirinya melakukan pekerjaan rumah tangga di rumah. “Sudah ibu diam saja, biar kita yang mengerjakan,” ujar Ninuk sembari menirukan omongan anaknya. Menurutnya, hal tersebut merupakan kado yang paling indah saat merayakan Hari Ibu. Karena merupakan cerminan rasa sayang kedua anak kepada dirinya, sebagai ibu. Fajar

3 comments:

Anonymous said...

saluutttt !!!!!!!

Anonymous said...

wah.. kisahe m0ga ntar mirip dgq z yah walau saya cowok. q juga gagal snmptn (dulu umptn), sekarang lagi nunggu pengumuman di pt. kai..... saya nglamar jadi ppka... bisa gak jadi kondektur?

Anonymous said...

wanita di dunia lelaki..
jd terinspirasi.....kan q ikuti jejakmu...

mohon do'a nya bu..!!!untuk kelulusan selaksi Rekrutmen Tingkat SLTA Untuk Pegawai Operasional dan Administrasi Tahun 2012, meski sya blum bsa kuliah!!!!!
thx's....slam untuk keluarga..

saya di sidoarjo(daop 8/surabaya)
ubaid_ubaidillah@hotmail.com