Wednesday, June 23, 2010

Akbar Tandjung, Mantan Ketua Umum Partai Golkar

Terbebas dari Jeratan Hukum Setelah Setiap Malam Memohon dan Menangis di Hadapan Allah

Terjerat kasus korupsi memang sempat menjadi cobaan dalam perjalanan hidup dan karir mantan Menteri Perumahan, dan mantan Ketua Umum Golkar, Ir Akbar Tandjung. Namun bagi Akbar, kejadian tersebut hanya dianggap sebagai cobaan dan teguran saat ia jauh dari Tuhan. Melakukan shalat wajib berjamaah bersama keluarga menjadi salah satu solusinya, selain melakukan shalat sunnah dhuha. Alhasil, berbagai kasus yang sempat menyeretnya ke meja hijau mampu dilewatinya. Lantas, bagaimana kisah pertaubatan mantan menteri pemuda dan olahraga di era orde baru ini?

Suasana di rumah berlantai dua itu tampak asri dan teduh. Semilir angin menambah sejuk udara di sekitar rumah yang berukuran besar tersebut. Ditambah lagi dengan merdunya burung yang berkicau di atas pepohonan di sekitar rumah. Sungguh merupakan tempat tinggal yang ideal bagi sebuah keluarga, terlebih lagi di ibukota Jakarta yang penuh dengan polusi dan kebisingan lalu lintas kendaraan. Di hari minggu (23/3) siang yang sedikit mendung itu, seorang mantan pejabat pemerintahan tengah menghabiskan hari liburnya di dalam rumah. Semenjak pensiun dari lingkungan instansi pemerintahan ataupun organisasi partai politik, nama Akbar Tandjung memang sudah tak sering lagi tampil di depan publik. Meski namanya tak semencorong saat menjai Ketua Umum Golkar, pria berdarah Tapanuli ini ternyata memiliki segudang aktivitas.

Dalam hal kariernya di politk, pasang surut sudah sering dialami Akbar. Demikian dalm perjalanan hidupnya juga dipenuhi dengan pasang surut, seperti halnya sebuah perahu yang terombang-ambing oleh derasnya ombak lautan. Saat berada di bawah keterpurukan itulah, seorang manusia diuji ketabahannya. Begitu juga dengan yang terjadi pada sosok Akbar Tandjung. Beberapa pengalaman pahit sempat ia alami di era masa reformasi tahun 1998-1999. pada saat itulah, kecaman dan hujatan menjadi makanan sehari-hari Akbar dan keluarga. Namun, hal tersebut ditanggapinya dengan cara mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Anak Desa. Akbar Tandjung merupakan pria asli tanah Batak yang mampu meraih impiannya dengan berkarir di dunia politik. Akbar lahir di sebuah desa kecil bernama desa Sorkam, pada 14 Agustus 1945. Desa Sorkam sendiri merupakan desa yang masih menampakkan hijaunya dedaunan dan rindangnya pepohonan. Letaknya dekat dengan kota Sibolga, Sumatera Utara. Di antara pemandangan itu, mengalirlah sebuah sungai bernama sungai Sibundong yang kerap dijadikan tempat mandi Akbar bersama teman-teman sebayanya. “Saya suka berenang di sungai di desa kami,” kenang Akbar. Hari-hari membahagiakan semasa kanak-kanak itulah yang sangat membekas dalam awal perjalanan hidup mengarungi laut dan hijrah ke ibukota Jakarta. Ayahnya bernama (Alm.) Zahiruddin Tandjung, sedangkan sang ibu bernama (Almh.) Siti Kasmijah. Sang ayah meninggal pada tahun 1952, saat Akbar berusia 7 tahun. Tak pelak, Akbar lebih dekat ke ibunda tercintanya. Ibundanya sendiri berpulang ke Rahmatullah pada tahun 1986 di usia 80 tahun.

Akbar merupakan anak yang berasal dari keluarga besar. Ia adalah anak ke-13 dari 16 bersaudara. Empat orang di antaranya meninggal sebelum mencapai usia dewasa. Masa kecil Akbar memang dipenuhi dengan banyak kenangan manis. “Kalau musim durian tiba, kita menunggu durian jatuh lalu kita kejar buah yang jatuh,” kenang Akbar. “Pengalaman menarik ya itu mengejar durian jatuh,” ujarnya sembari tertawa. Hingga kelas tiga SR (Sekolah Rakyat) Muhammadiyah, pria bernama lengkap Djandji Akbar Zahiruddin Tandjung ini tinggal bersama tantenya. Sedangkan kedua orang tuanya tinggal di Sibolga dan membuka toko bernama ‘Morison’ di daerah tersebut. “Keluarga saya memiliki latar belakang agama yang cukup kuat,” aku Akbar.

Aktif di Organisasi. Untuk memperbaiki perkonomian keluarga, Akbar beserta saudara kandung lain akhirnya ikut pindah ke daerah Sibolga. Ia lantas melanjutkan pendidikan dasarnya di SR Nasrani. Meski bersekolah di sekolah yang berbeda dengan agama yang dianutnya, Akbar masih tetap mengenyam pendidikan Islam melalui didikan kedua orang tua dan sekolah madrasah yang dijalaninya tiap sore sepulangnya dari sekolah. “Saya belajar membaca dan menulis Al-Qur’an dari madrasah itu,” aku Akbar. Selain itu, dari ibundanya pula Akbar mendapatkan pelajaran membaca dan menulis bahasa Al-Qur’an. “Ibulah yang menjadi model saya,” ujar Akbar singkat. Setelah menamatkan pendidikan SR, kedua orang tuanya kemudian memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan memulai usaha di ibukota. Sebenarnya Akbar sempat mengenyam bangku kelas 1 SMP di Medan, tapi setelah ia pindah ke Jakarta, Akbar lantas melanjutkan ke SMP Perguruan Cikini, Jakarta Pusat. Semasa SMP, prestasi Akbar terbilang menonjol dengan nilai yang sangat memuaskan. Setamatnya dari SMP Perguruan Cikini, Akbar kemudian melanjutkan ke SMA Kanisius dan lulus pada tahun 1964. Selama menempuh pendidikan, Akbar dikenal sebagai anak cerdas dan sangat disiplin dalam waktu. Setiap hari, ia selalu meluangkan waktu untuk bersentuhan dengan buku-buku pelajaran di rumah. Membaca memang sudah menjadi hobinya sejak kanak-kanak.

Karena kecerdasan dan nilai-nilai pelajarannya yang mumpuni, Akbar kemudian memutuskan untuk melanjutkan ke Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI). Ia mengambil jurusan Teknik Elektro. Pergulatan Akbar di pendidikan sarjana, dihiasi dengan keterlibatannya dalam berbagai organisasi kemahasiswaan. Dari kegiatan itulah yang semakin mendekatkan dirinya ke dunia politik dan sangat berpengaruh besar terhadap langkahnya yang terjun di dunia politik. Organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merupakan pembuka bagi dirinya dalam memasuki gerbang dunia politik. Dari sini pula, ia kemudian aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) hingga KAMI dibubarkan dan kemudian dibentuk Laskar Ampera Arief Rachman Hakim. Jabatan ketua umum PB HMI pun sempat diraihnya pada periode 1972-1974. Berawal dari HMI itulah, Akbar menjadi salah satu pemrakarsa terbentuknya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Bahkan ia juga sempat memegang jabatan puncak di organisasi tersebut.

Dari KNPI-lah, Akbar kemudian terlibat dalam organisai Golkar. Sejak tahun 1974, Akbar terlibat aktif dalam keorganisasian Golkar. Sejak aktif di Golkar itulah, karir Akbar semakin lama semakin merangsek naik hingga mampu meraih jabatan di pemerintahan dan DPR. Akbar sempat menjabat Menteri Negara Pemuda dan Olahraga periode 1988-1993, Menteri Negera Perumahan Rakyat (1993-1998), Menteri Sekretaris Negara (1998-1999) dan Ketua DPR RI (1999-2004). Selain di pemerintahan, Akbar juga sempat menjadi Ketua Umum Partai Golkar sejak tahun 1998 hingga Desember 2004. Karirnya yang terbilang sukses ternyata tak bisa lepas dari berbagai teguran Allah yang menyertainya. Teguran sangat dirasakannya saat masa reformasi terjadi di tanah air.

Terjerat Kasus Korupsi. “Kalau saya melihat perjalanan hidup saya, ya ada waktu-waktu tertentu dimana saya dicoba dan ditegur oleh Tuhan,” tutur pria yang sudah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali ini. Baginya, saat ditegur atau diberikan cobaan itulah, merupakan waktu yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kesibukannya dalam meniti karir dan mengejar hal-hal berbau duniawi memang sedikit membuat Akbar melupakan ibadah dan hubungannya dengan Tuhan. Salah satunya adalah kasus penyelewengan dana non bujeter Bulog yang dituduhkan kepada dirinya. Aliran dana sebesar Rp 90 miliar dari Bulog ke kocek para petinggi Golkar ditengarai ada kaitannya dengan kiprah Akbar Tandjung sebagai pimpinan Golkar. Tak hanya itu saja, aliran dana sebesar Rp 20 miliar yang berasal dari Bulog ke Golkar untuk membiayai acara deklarasi Partai Golkar juga menyeret Akbar ke meja hijau. Ia sempat diancam hukuman empat tahun penjara.

Setelah melewati proses yang panjang, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis tiga tahun penjara bagi Akbar (tuntutan jaksa penuntut umum empat tahun) pada bulan September 2002. Vonis tersebut cukup membuat Akbar merasa terpuruk. Ia seakan-akan berada dalam titik terendah dalam hidupnya. Tak kuat menahan beban seorang diri, Akbar lantas lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah dan keluarga besarnya. “Saya bercerita kepada keluarga tentang semuanya dan mengatakan bahwa ini adalah cobaan dan teguran,” kenang Akbar. Lebih banyak berkumpul dengan keluarga dan berbagi cerita dengan setiap anggota keluarga, membuat dirinya semakin tenang dalam menghadapi ancaman hukuman penjara.

Tak hanya itu saja, Akbar selalu meluangkan waktu shalat wajib berjamaah bersama keluarga di rumah. “Saya sebagai imam, sedangkan istri dan anak-anak saya jadi makmumnya,” aku Akbar. Dengan melakukan shalat berjamaah bersama keluarga, ia mengaku bahwa perasaannya menjadi lebih tenang dan nyaman dalam menghadapi permasalahan sepelik apapun. Selain itu, Akbar berubah menjadi rajin melakukan shalat sunnah dhuha. “Saya memanjatkan doa melalui shalat dhuha sebelum berangkat ke kantor,” ungkap Akbar. Dalam doanya tersebut, Akbar ingin segala permasalahan hukum yang menjeratnya dapat diselesaikan dengan baik. Tak henti-hentinya doa ia panjatkan saat menunaikan shalat. Tak jarang pula, Akbar terbangun pada tengah malam. Di tengah kesunyian malam, ia berusaha melakukan komunikasi dengan Sang Khalik. Tangisan air mata pun kerap mengiringi doa yang ia panjatkan. Akbar menyadari bahwa masalah yang dialaminya merupakan cobaan sekaligus teguran agar selalu berada di jalur yang diperintahkan Allah.

Sholat Dhuha. Dengan bimbingan Sang Pencipta, Akbar pun mengajukan banding. Tapi sayangnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan banding tanggal 17 Januari 2003 menolak permohonan bandingnya. Akbar kemudian melanjutkan usahanya untuk membuktikan bahwa dirinya tak bersalah melalui jalur kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Selama menunggu putusan kasasi dari MA, Akbar lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ibadah shalat, baik wajib maupun sunnah. Akhirnya, doa Akbar didengar Sang Khalik. Putusan bebas murni bagi Akbar dikeluarkan secara resmi dari MA pada bulan Februari 2004. Suasana bahagia bercampur haru terasa dalam keluarga Akbar Tandjung. Sang istri, Krisnina Maharani (48) yang dinikahinya sejak tahun 1981 telah menghadirkan empat anak perempuan, yakni Fitri Krisnawati (26), Karmia Krissanti (22), Triana Krisandini (19), dan Sekar Krisnauli (12). Semua anggota keluarganya menyambut gembira putusan bebas murni dari MA.

Kini, dengan berbekal teguran tersebut, Akbar lebih banyak mengambil hikmah. Ia semakin mendekatkan diri kepada Allah. Selain itu, Akbar juga lebih banyak berbuat ikhlas dan tawakal terhadap segala macam yang terjadi dalam hidupnya. Salah satu caranya adalah dengan mensyukuri apa yang diperolehnya melalui berbagai bantuan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan. “Sesuatu yang sangat membuat saya sedih adalah ketika melihat orang lain terkena bencana,” ucap kakek satu cucu ini. “Saya tak tega bila ada orang yang meminta bantuan, pasti saya berusaha untuk berbuat semampu saya,” tuturnya.

Akbar memang tak lagi menjabat di instansi pemerintahan. Di partai pun, ia sudah tak memegang jabatan penting. “Saya masih tercatat sebagai anggota aktif Partai Golkar,” aku Akbar. Ke depannya, Akbar memiliki rencana untuk mengikuti konvensi Golkar bila memang partai berlambang pohon beringin tersebut mengadakan konvensi dalam memilih calon presiden yang diusungnya. “Saya akan ikut mencalonkan sebagai calon presiden dalam konvensi Partai Golkar,” ujar Akbar tegas. Melalui pemilihan itulah, ia berharap dapat memberikan pengabdian terhadap bangsa dan negara. Sedangkan untuk kehidupan pribadinya, Akbar hanya berharap keluarganya selalu dilindungi Allah dalam setiap jejak langkah hidup masing-masing anggota keluarga. Fajar

No comments: