Wednesday, June 9, 2010

Yuanita Rohali, Direktur Keuangan PT Bakrie & Brothers

Menjadi Duta Kanker Setelah Nyawa Kedua Orangtuanya Nyaris Terenggut Akibat Kanker

Merasa dirinya mendapatkan ketegaran tatkala kedua orangtua menderita kanker ganas, saat itu pulalah Yuanita mendapatkan pertolongan Allah. Alhasil, ia menjadi lebih kuat dan tegar saat harus menemani kedua orangtuanya. Rasa takut akan kehilangan kedua orangtuanya akibat kanker, lantas membuat Yuanita memutuskan untuk menjadi duta kanker untuk sebuah perusahaan swasta. Lalu bagaimana kisah ibu tiga anak ini?

Suasana cukup lengang terasa di gedung Wisma Bakrie 2 yang terletak di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Tepat di lantai 16, sosok wanita kartini tangguh berkantor. Dialah Yuanita Rohali, wanita yang tak hanya sukses di dunia karir saja tapi juga sukses menjadi istri sekaligus ibu dari tiga anaknya yang masih kanak-kanak. Setelah menunggu beberapa lama, seorang wanita berparas ayu keluar dari ruangan dan mempersilakan Realita untuk masuk ke dalam ruangan yang tak begitu besar. Ternyata ruangan itu merupakan ruang kerjanya sehari-hari.

Wanita bernama lengkap Yuanita Rohali tersebut lantas memulai perbincangan dengan santai pada Jumat (30/1) siang lalu. Meski menjabat sebagai salah satu direksi di sebuah grup perusahaan besar, Nita (panggilan akrabnya, red) justru memakai celana jeans yang dipadu dengan blazer. “Sekarang hari Jumat, makanya saya sedikit lebih santai dengan memakai celana jeans ini,” aku Nita memulai pembicaraan.

Mandiri dan Disiplin. Terlahir sebagai anak sulung dari lima bersaudara, membuat Nita memiliki tingkat kedewasaan yang lebih tinggi ketimbang adik-adiknya. Selain itu, rasa tanggungjawab sudah mulai tumbuh dalam dirinya karena didikan orangtua yang sudah menanamkan kemandirian sedari kecil. Terlebih lagi, Nita lahir dan dibesarkan di dalam keluarga yang cukup disiplin dalam hal agama dan pendidikan. “Ayah saya orang Betawi asli, jadi agama tetap menjadi nomor satu,” ungkap Nita sembari tersenyum manis.

Nita terlahir dari pasangan Ir. H. Rohali Sani (70) dan Hj. Atit Tresnawati (62). Sang ayah merupakan pria asli Betawi, sedangkan ibunya berasal dari Bandung, Jawa Barat. Nita sendiri lahir di Bandung, kota asal sang ibu. Menghabiskan tiga tahun setelah dilahirkan, wanita kelahiran 28 Juni 1967 ini kemudian tinggal dan dibesarkan di Jakarta.

Nita kecil mengenyam pendidikan di Jakarta. Setelah lulus SD, ia lantas melanjutkan ke SMP 111 dan kemudian menempuh pendidikan SMA di SMA 78, Kemanggisan, Jakarta. Sedari kecil, Nita sudah memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Selain bercita-cita menjadi dokter, sejak kecil, Nita juga mengaku sangat menyukai dunia yang berhubungan dengan angka-angka. “Saya tuh dari kecil sangat suka dengan angka,” ungkapnya sembari tertawa lebar. Kesukaannya terhadap angka tersebut terlihat dari perilaku Nita yang senang berhitung. “Apapun yang saya lihat, pasti dihitung,” ujar Nita. “Bahkan sampai sekarang,” lanjutnya singkat.

Setelah mengubur cita-citanya menjadi dokter dan tak berhasil meraih PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) di ITB, Nita kemudian lebih memilih untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Indonesia (UI). Kala itu, ia mengambil jurusan Ilmu Komputer sebagai bidang studi yang dipilihnya. Otaknya yang cemerlang membuat Nita berhasil menjadi lulusan terbaik kedua pada tahun 1991. Selepas lulus, ia diterima bekerja di PT Gajah Tunggal sebagai salah satu karyawan di bagian IT.

Saat bekerja itulah, timbul keinginannya untuk kembali ke bangku kuliah. Setelah 9 bulan bekerja, Nita pun melanjutkan S2 Manajemen Internasional, Universitas Indonesia. “Sebenarnya saya ingin sekali melanjutkan kuliah S2 ke luar negeri,” ujar Nita. Namun, sang ayah menyarankan agar mencari beasiswa kuliah ke luar negeri, karena biayanya yang tinggi bila harus membayar sendiri. Keinginan itu pun dipendam untuk sementara selama menempuh kuliah S2 di UI. Pada September 1992, Nita merampungkan kuliah S2-nya. Selepas lulus, ternyata ia berhasil meraih beasiswa di Australia dari sebuah institusi. Tak ayal, Nita pun bahagia bukan kepalang. Cita-citanya untuk berkelana di negeri orang sambil menimba ilmu dapat tercapai.

Sejak tahun 1993, Nita pun berusaha untuk hidup mandiri di Australia. Selang beberapa bulan tinggal di Australia, ia sempat kembali ke tanah air untuk menikah dengan sang kekasih yang telah dipacarinya sejak masih duduk di kelas 1 SMA. Sesaat setelah menikah dengan Pramono Dewo (41), Nita langsung kembali ke Australia untuk melanjutkan kuliahnya di University of South Wales, Sidney, Australia. Sedangkan suami masih tetap tinggal di Jakarta untuk bekerja. Sesekali, sang suami berkunjung ke Australia untuk menyambangi kediaman Nita. Beruntung baginya, pernikahan yang baru mereka jalani ternyata langsung berbuah kebahagiaan dengan hadirnya janin di perut Nita.

Melahirkan di Negeri Seberang. Berhubung kuliahnya yang masih belum rampung, Nita pun melahirkan anak pertamanya di Australia pada Juni 1994. “Suami datang dari Jakarta tapi cuma sebentar,” kenang Nita. Barulah pada bulan Desember 1994, ia telah merampungkan kuliah di bidang Master of Commerce in Advance Finance tersebut. Setelah itu, Nita kembali ke tanah air dan mulai belajar menjadi ibu rumah tangga. Setibanya di Jakarta, ia mengaku tidak langsung mencari pekerjaan. “Saya menikmati menjadi seorang ibu terlebih dahulu,” ujar wanita yang selalu ingin belajar dalam hidupnya ini.

Setelah merasa anaknya sudah cukup umur untuk ditinggal bekerja, barulah Nita mulai mencari pekerjaan berbekal pendidikannya di negeri seberang. “Mencari pekerjaan itu layaknya mencari jodoh,” ujar Nita sambil berfilosofi. Ia mulai mengenal kembali dunia kerja dengan bekerja di Bank Credit Lyonnais Indonesia sebagai corporate banking officer. “Saya benar-benar mulai dari bawah,” aku Nita. Seiring berjalannya waktu, karir Nita merangkak naik hingga menjabat sebagai Head of Corporate Banking and Correspondent Banking pada tahun 2000. Sayangnya, karir cemerlang Nita harus terhenti sejenak setelah bank tersebut terpaksa harus ditutup oleh kantor pusat di luar negeri. Alhasil, pasca Maret 2002, Nita tak lagi bekerja.

Selang beberapa bulan kemudian, Nita mendapatkan tawaran dari salah seorang teman semasa sekolahnya untuk bergabung di grup Bakrie. Tertarik dengan tawaran tersebut, Nita pun langsung menerimanya dan mulai kembali merintis karir. Ternyata karirnya justru semakin cemerlang dengan dipercayakannya Nita menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Bakrie and Brothers sejak Juni 2004 hingga sekarang. Selain berkarir di dunia profesional, kecintaannya terhadap dunia pendidikan membawa dirinya menjadi seorang dosen di UI. “Saya ingin membagi ilmu dengan mengajar dua mata kuliah setiap minggunya,” ujar penyuka travelling dan menyanyi ini.

Kendati karirnya terbilang cukup lancar dan sukses, kehidupan Nita juga tak selamanya mulus. Ada saja cobaan mendera hidupnya yang diakui Nita cukuplah berat. Salah satunya terjadi pada tahun 1999, saat ibunda tercintanya divonis memiliki kanker ovarium. “Itu salah satu cobaan terberat saya,” ungkap kakak dari artis, Alya Rohali ini. Melihat ibu kandungnya harus berjuang melawan kanker ovarium yang diidap, telah membuat Nita tak kuasa menahan tetesan air matanya. Akan tetapi, ketegaran yang diperlihatkan oleh ibunyalah yang justru membuat Nita bertahan. Setelah menjalani operasi, akhirnya sang ibu mampu lolos dari cengkeraman kanker ganas yang bisa saja merenggut nyawanya tersebut. Nita sendiri merasa lega dengan berakhirnya cobaan yang dirasanya berat itu.

Tak hanya sang ibu yang terkena kanker, ternyata penyakit kanker juga bersarang di tubuh ayahnya, Rohali. Belum terhapus dalam ingatan bagaimana perjuangan ibundanya melawan kanker ovarium, Nita sudah harus menghadapi kenyataan bahwa sang ayah juga menderita kanker. “Ayah saya menderita kanker kelenjar ludah,” kenang Nita sambil mengingat betapa beratnya saat kali pertama mengetahui ayahnya terkena kanker pada tahun 2005. Hingga saat ini pun, kanker itu masih bersarang di tubuhnya. Bahkan telinganya sudah diamputasi, akibat dari pengaruh kanker ganas tersebut. Namun demikian, lagi-lagi ketegaran yang sempat dimiliki sang ibu tatkala mengidap kanker ovarium juga menular kepada ayahnya.

Duta Kanker. Dari dua pengalaman penyakit kanker yang hinggap di dalam tubuh kedua orangtuanya itulah, Nita mendapatkan pengalaman berharga sebagai bekal bagi dirinya untuk menjejakkan langkah dalam hidupnya. “Saya banyak belajar tentang ikhtiar dan ketabahan dari bapak dan ibu saya,” akunya. Selain itu, ketakutan akan kanker yang bisa saja hinggap di tubuh Nita dan keluarga semakin membuatnya lebih menghargai hidup. Perasaan itu pulalah yang menjadi pertimbangan Nita untuk menerima tawaran dari sebuah perusahaan farmasi sebagai seorang duta kanker serfiks (kanker leher rahim, red). Tak hanya seorang diri, anak sulungnya yakni Karis Alika Islamadina (14) juga menemaninya sebagai duta kanker serfiks. “Bagi saya ini adalah sebuah tawaran menarik agar masyarakat lebih tahu bahwa kanker serfiks merupakan pembunuh nomor satu bagi wanita di dunia,” tuturnya dengan bersemangat. “Setiap jam, ada satu orang wanita yang meninggal akibat dari kanker leher rahim ini,” lanjut Nita.

Tak hanya menghabiskan waktu untuk karir sebagai salah satu direksi di Grup Bakrie dan duta kanker, Nita juga tak melupakan perannya sebagai ibu dari ketiga anaknya, Alika (14), Mahesa M Abhiprama (9), dan Kalya Sabina Islamadina (6), serta perannya sebagai istri dari seorang pengusaha di bidang migas. Meski disibukkan dengan kepadatan waktu di kantor, Nita selalu meluangkan waktu bersama anak-anak dan suaminya. Tak heran, Nita selalu menyekolahkan anak-anaknya tak jauh dari rumah atau kantornya. Dengan begitu, ia dapat mengontrol dan mudah bertemu anak-anaknya tersebut. “Saya selalu mengharapkan kehidupan yang balance antara keluarga dan karir, spiritual dan duniawi, hubungan dengan Allah dan manusia,” tutur Nita menutup pembicaraan. Fajar

Side Bar 1…

Menjadi Duta Kanker Sebagai Ungkapan Rasa Syukur

Bagi Nita dan putri sulungnya, Alika, menjadi duta kanker serfiks merupakan kegiatan yang mulia karena memberikan manfaat bagi banyak orang. Selain juga merupakan ungkapan rasa syukur. Sama halnya pula dengan kebiasaan Nita bersama keluarga untuk menunaikan Umrah rutin setahun sekali selama tiga tahun terakhir ini.

Awalnya, Nita bersama anak-anak aktif mengadakan kegiatan sosial sejak krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Bersama dengan anak-anaknya, Nita menggelar acara Garage Gift Away, yakni menyumbangkan barang-barang berupa pakaian layak pakai dan barang-barang lainnya kepada masyarakat kurang mampu. Rasa kepedulian yang tinggi tersebut tak lepas dari didikan kedua orangtua semasa Nita masih kanak-kanak. “Bawalah kemanfaatan bagi banyak orang,” ujar Nita menirukan omongan kedua orangtuanya. Fajar


2 comments:

Anonymous said...

Nita. sukses selalu tuk kamu.. alumni 85-86 Heri Suwandi..

Unknown said...

Kagum baca kisahnya... InsyaAllah menjadi teladan dan manfaat utk sesama