Monday, May 17, 2010

Amal Alghozali, Pemilik PT SMS Indopura

Pernah Menjadi Kuli, dan Loper Koran, Kini Sukses Sebagai Pengusaha Pupuk Beromset Milyaran

Meski sempat tinggal kelas ketika bersekolah dan termasuk anak kurang pintar di kelasnya, Amal Alghozali ternyata mampu mengubahnya sebagai sebuah kesuksesan. Kesuksesan yang belum tentu dapat dicapai oleh semua orang. Kini, ia mampu memimpin sebuah perusahaan yang memproduksi pupuk organik cair yang diminati oleh investor asing. Lalu, bagaimana awal kesuksesan yang diraihnya tersebut?

Kamis (7/2) pagi, sebuah kantor yang menyatu dengan sebuah ruko di daerah Serpong tampak sepi. Tak heran memang, pada hari itu merupakan hari libur nasional memperingati hari raya Imlek. Hanya ada satu orang karyawan yang terlihat di dalam kantor tersebut. Sang pemilik, yakni sosok pria bernama lengkap Alam Alghozali ternyata belum hadir di kantor miliknya itu. Setelah menunggu beberapa lama, seorang pria yang tampak sederhana keluar dari sebuah mobil Toyota Kijang LGX yang berada tepat di depan kantor PT SMS Indopura. Tak hanya tungganya yang sederhana, pakain yang dikena pun juga sederhana. Padahal ia adalah seorang pemilik perusahaan yang memproduksi pupuk organik cair dan kini perusahaannya tersebut tengah diminati oleh investor asing dengan harga yang konon mencapai trilyunan rupiah. Amal tersenyum ketika ia menyadari bahwa Realita telah hadir di hadapannya. Sembari duduk santai, ia lantas berbagi kisah sukses dalam merintis binisnya hingga saat ini.

Dikisahkan Amal, ia bukanlah seorang anak yang lahir dari keluarga yang berkecukupan. Namun justru kondisi yang sederhana itulah yang memotivasi dirinya untuk berkembang dan terus maju menggapai cita-citanya. Amal terlahir dari pasangan (Alm.) Ahmad Dimyati dan Siti Afarah (70) pada tanggal 14 Juli 1966. Ia merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Amal lahir di sebuah desa kecil bernama Rejosari, Kecamatan Kebonsari, Madiun. Di kampung saya baru ada listrik itu dua tahun setelah saya lulus SMA,” kenang Amal. Sang ayah hanya berprofesi sebagai seorang guru Aliyah dengan gaji tak seberapa. Ayahnya harus menempuh perjalanan 12 KM dengan sepeda dari rumah ke tempatnya mengajar. Sepulang mengajar, ketika sore menjelang, sang ayah selalu beranjak pergi ke sawah untuk bertani. Lalu ketika malam tiba, Ahmad Dimyati juga mengajar anak-anak mengaji. Salah satu muridnya adalah Dahlan Iskan, pemimpin Grup Jawa Pos. Meski berpenghasilan pas-pasan, ayahnya selalu memprioritaskan sekolah bagi anak-anaknya. “Apapun dilakukannya agar anak-anaknya sekolah,” ungkap Amal tentang sang ayah.

Kuli Angkut Sayuran. Dan berkat tekat ayahnya yang kuat agar anak-ananya bisa sekolah, tak heran bila Amal dapat bersekolah hingga ke jenjang SMA. Meski ia sempat tinggal kelas karena nilai raportnya buruk. “Saya itu lengkap, sudah bodoh, miskin pula,” ujarnya sambil tertawa lebar.

Dalam hal pendidikan, menurut Amal ia pernah bersekolah di sekolah Al-Islam di kota Solo. Pada saat kenaikan kelas dari kelas 2 ke kelas 3, ternyata Amal harus tinggal kelas. Merasa malu karena tidak naik kelas, ia pun pindah ke SMA Muhammadiyah 2 di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Setiap hari, Amal menempuh perjalanan naik sepeda sejauh 8 KM lalu dilanjutkan dengan menumpang angkutan umum. Di sekolah tersebut, hampir sebagian besar siswanya adalah siswa ‘buangan’. “Di situ berkumpul semua anak-anak bodoh,” kelakar Amal.

Setamatnya SMA pada tahun 1985, Amal kemudian memutuskan untuk pindah ke Jakarta karena ajakan salah satu tetangga di kampungnya. “Saya ke Jakarta bercampur dengan sayur-sayuran yang mau dikirim ke pasar di Jakarta,” kenang Amal. Pekerjaan pertama yang digelutinya adalah sebagai kuli angkut sayur-sayuran. Keinginannya untuk berkembang membuat ia memutuskan untuk belajar mengetik. Karena ketiadaan biaya, Amal lantas menjadi penjaga di sebuah kursus mengetik. Sehingga di malam hari, ia belajar mengetik dengan sendirinya. Di tempat itu pula, Amal melakukan ‘kenakalan’ dengan menerima order pembuatan ijazah kursus mengetik tanpa harus mengikuti kursusnya. “Waktu itu, setiap order saya dibayar Rp 300 ribu,” aku Amal sembari tersenyum. Berkat pekerjaan tersebut, ia akhirnya mampu melanjutkan ke bangku kuliah di Universitas Muhammadiyah, Jakarta dan mengambil jurusan ilmu politik. Bila pagi hari ia berangkat kuliah, maka pada sore harinya Amal menjajakan koran sebagai seorang loper koran.

Lagi-lagi karena ketiadaan biaya, bangku kuliah kemudian ia tinggalkan. Terlebih lagi ditambah dengan biaya hidup dan kontrakan kamar yang harus ia tanggung, maka ia tak sanggup lagi untuk membayar kuliah. Hingga suatu ketika ia melihat ada lowongan menjadi seorang reporter di surat kabar Kedaulatan Rakyat. Ia pun melamar untuk mengisi lowongan pekerjaan tersebut, dan untungnya meski ia tidak sampi lulus sarjana ia diterima. Sejak tahun 1989 hingga tahun 1992, ia melakoni profesi sebagai seorang wartawan Kedaulatan Rakyat perwakilan Jakarta.

Sebagai wartawan politik yang ulet, Amal pun bisa dekat dengan bebagai kalangan , termasuk dengan Mabk Tutut, Putri Pak Harto. Dan kedekatannya dengan Mabk Tutut tersebut, membuat Amal kemudian berpindah ke stasiun televisi TPI hingga tahun 1997. Dalam karir sebagai seorang jurnalis, ia merasakan masa-masa keemasan ketika bekerja di TPI, ia bukan saja menjadi orang kepercayaan Mbak Tutut, tetapi ia juga cukup dekat dengan Pak Harto yang kala itu menjadi presiden.

Tahun 1997, Amal kemudian berhenti dari pekerjaan sebagai wartawan. Setelah itu, ia memang sempat mengerjakan beberapa bisnis, di antaranya adalah mengurusi surat kabar dan majalah yang dimodali oleh keluarga Cendana. Salah satu majalah yang sempat dipimpinnya adalah majalah Sufi, dan tabloid Syiar bahkan sampai mendirikan perusahaan production house. Namun, entah kenapa setiap bisnis yang dipegangnya selalu berujung dengan kebangkrutan. Bisnis-bisnis media tersebut selalu saja merugi bila diurus oleh Amal. Lantas, ia kemudian diminta oleh keluarga untuk mengurusi sebuah perusahaan yang didirikan oleh saudara-saudara kandungnya. “Awalnya perusahaan ini bergerak di bidang kargo dan kontraktor,” aku Amal yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1996 ini. Namun dikarenakan persaingan yang sangat ketat antara perusahaan kontraktor, ia kemudian berhenti terjun di kedua bidang tersebut.

Merintis Usaha. Tak berhenti sampai di situ saja, Amal pun banting stir mengubah bisnisnya menjadi sebuah perusahaan yang memproduksi pupuk organik cair pada tahun 2003. “Pupuk ini kan banyak memberikan dampak positif tidak hanya bagi produsen saja, tapi juga memberikan banyak keuntungan bagi petani kecil,” tutur Amal bersemangat. Pupuk sendiri dipilih karena ada salah satu kerabatnya yang berprofesi sebagai seorang peneliti. Apalagi melihat kebutuhan pupuk dalam negeri yang cukup besar. Kerabat yang bernama Dr. Lukman tersebut ternyata mampu menghasilkan jenis pupuk yang mampu meningkatkan produktivitas hasil panen para petani.

Dikatakan Amal, kerabatnya Dr Lukman, telah mengadakan riset sejak tahun 1985, dan mulai dipasarkan sejak tahun 1998. Sejak saat itulah, Amal memberanikan diri untuk terjun di bisnis pupuk. Dengan bermodalkan uang Rp 40 juta, ia lantas terjun di dunia bisnis pupuk. Modal tersebut selain dari kantongnya, juga dari anggota keluarga lainnya. “Apapun kita gadaikan, mulai dari mobil, truk, mobil bak, untuk perjuangan ini,” aku Amal. Alhasil, dalam menjalankan bisnisnya tersebut ia hanya menggunakan sepeda motor dan angkutan umum. Naik turun angkutan umum sudah biasa ia jalani bila akan berkunjung ke para petani untuk mempromosikan pupuknya dan menjaring distributor di berbagai daerah. Padahal sebelumnya, ia masih menggunakan mobil dan wara-wiri di layar kaca sebagai presenter dan reporter sekaligus.

Petani Kurang Kesempatan. Berbicara mengenai pupuk, selain karena menguntungkan, Amal juga bercita-cita ingin memajukan kondisi para petani di tanah air dengan memproduksi pupuk cair organik. Menurutnya, selama ini petani kurang mendapatkan kesempatan untuk mengubah nasib mereka sendiri karena keterbatasan yang dimilikinya. Terlebih lagi, ia pernah melihat sendiri kondisi sang ayah yang juga berprofesi sebagai seorang petani. “Ya lihat sendiri berapa banyak kita mengimpor beras dan beberapa hasil pertanian dari luar negeri saat ini,” ujar Amal khawatir.

Kini, kesuksesan telah mampu diraih oleh ayah empat anak ini. Kesibukannya mengurusi bisnis pupuknya yang terus berkembang tak lantas membuatnya melupakan keluarga. Pernikahan yang dibinanya sejak tahun 1992 dengan Dr. Hj. Ida Sofiati (40) telah membuahkan empat anak. Mereka adalah Fachrul Iman Alghozali (14), Faqih Akbar Alghozali (12), Fitra Malida Alghozali (11) dan Firdausi Nuzala Alghozali (10). Sang istri juga terlibat di dalam perusahaan mengurusi bidang SDM dan keuangan perusahaan. Waktu bersama keluarga selalu dapat diluangkan meski terkadang Amal harus bepergian ke luar kota untuk mengunjungi para petani pengguna Agrobost.

Sementara itu, pupuk Agrobost buatannya saat ini telah digunakan oleh para petani di berbagai daerah dari Aceh hingga pulau Sulawesi. Luas lahan yang telah dilayani telah mencapai 200 ribu hektar lahan pertanian. Kehebatan pupuknya juga telah menarik minat pihak luar negeri, seperti Cina dan Vietnam. Mereka tertarik untuk membawa teknologi pupuk Agrobost ke negaranya masing-masing untuk diterapkan. “Kalau berhasil, nilai transaksi dengan Vietnam sekitar 57 juta Dolar,” aku Amal.

Dengan keberhasilannya membangun bisnis, ia mengaku bersyukur dengan apa yang didapatnya saat ini. Bahkan ia memiliki target pada tahun 2009, lahan pertanian yang dilayaninya mencapai 1 juta hektar. “Saya optimis akan tercapai dan dipastikan Indonesia tidak akan impor beras, itu ada kontribusi kita,” tutur Amal dengan bersemangat. Fajar

Side Bar 1…

Memasang Gambar Mbak Tutut sebagai Model Iklan Pupuk Cair Organik Miliknya

Ada hal menarik saat Amal mencoba merangkul para petani di berbagai daerah. Ia menggunakan salah satu anggota keluarga Cendana, yakni Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut sebagai sosok panutan bagi petani. Sebelum hal itu terjadi, Amal melakukan presentasi di depan (Alm.) Pak Harto dan Mbak Tutut mengenai produk pupuk organik cair Agrobost yang diproduksinya pada tahun 2003. Bak gayung bersambut, mereka langsung menyambut baik kehadiran pupuk yang mampu membantu petani untuk meningkatkan produktivitas lahan pertanian yang mereka miliki. “Saya baru menyadari bahwa petani itu butuh tokoh panutan yang bisa ditiru,” ujar Amal. Kendati begitu, tetap saja keampuhan pupuk harus juga dapat diuji di lapangan. Menurut Amal, dengan menggabungkan dua aspek itulah para petani dapat menggunakan pupuk Agrobost. “Jadi, bintang iklannya itu Mbak Tutut,” ungkap Amal sembari tertawa lebar.

Ternyata pengaruh Mbak Tutut di para petani itu luar biasa,” ujar Amal. “Ini bukan masalah politik atau apa,” kilahnya. Respon dari petani menyambut pupuk dengan kemasan gambar Mbak Tutut ternyata sangatlah positif. Penjualan pun semakin meningkat, terlebih lagi para petani dapat membuktikan sendiri bagaimana hasil kinerja dari pupuk tersebut. “Walaupun petani disuguhi dengan keunggulan pupuk ini, tetap saja mereka membutuhkan tokoh panutan yang memulainya,” tutur Amal.

Hubungan perkenalan antara Amal dengan keluarga Cendana memang telah berlangsung cukup lama. “Saya kenal dengan Mbak Tutut dan keluarga Cendana sejak saya bekerja di stasiun televisi TPI,” kenang Amal yang sempat menjadi kepala pemberitaan di TPI ini. Fajar

Side Bar 2…

Sempat ‘Mengaku-ngaku’ Pabrik Orang Sebagai Pabrik Miliknya

Tahun 2004, bisnis pupuk Amal mulai merangkak naik. Nilai penjualan pun menampakkan peningkatan yang signifikan. Amal juga telah memiliki pabrik pupuk seluas 1,8 hektar di daerah Serpong sejak empat tahun yang lalu.

Dalam membangun bisnisnya, ada kisah menarik yang sempat dialami Amal ketika ia masih belum memiliki lahan pabrik besar. Kala itu, ia masih belum memiliki dana yang cukup untuk membangun pabrik. Padahal ia juga harus mendapatkan pembeli dengan transaksi besar. Untuk mendapatkan kepercayaan para calon pembeli dari daerah, Amal sengaja ‘menyewa’ sebuah lahan pabrik agar dapat diakui sebagai pabrik miliknya. “Saya bayar Rp 3 juta kepada penjaganya agar mengaku bahwa pabrik itu adalah milik saya,” tuturnya sembari tertawa lebar. Padahal sejumlah uang tersebut adalah uang yang seharusnya untuk membayar iuran sekolah anak-anaknya. “Akhirnya anak-anak saya tidak bayar iuran selama 3 bulan,” ujar Amal sambil tersenyum.

Kepada calon pembelinya itu, Amal meyakinkan para calon pembelinya bahwa pupuk buatannya diproduksi dengan teknologi dan proses yang baik di sebuah pabrik yang besar (padahal yang ditunjukan tersebut bukan pabriknya, red). Sehingga para calon pembeli tersebut pun akhirnya merasa yakin untuk membeli pupuk Agrobost. Setelah aksi nekatnya itu, nilai penjualan makin meningkat dan memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan Amal. Alhasil, selang beberapa lama kemudian lahan pabrik yang sebelumnya hanya ‘diaku-aku’ saja, menjadi kenyataan bisa dimiliki Amal.

Dari berbagai perjuangannya mendapatkan kesuksesan dalam berbisnis, Amal bisa mengambil inti kiat sukses yang sampai saat ini dipegangnya. “Kunci sukses itu ada tiga, yakin, syukur, dan ikhlas,” ujarnya sembari berfilosofi. Ia juga tak pernah takut akan kehabisan uang. “Sifat uang itu seperti kumis dan jenggot, kalau dicukur akan tumbuh makin lebat,” ungkapnya sambil tertawa. Dari pengalamannya mengalami kebangkrutan memberikan ia sebuah pelajaran. Ia justru lebih giat meraih kesuksesan dan berusaha terus menerus hingga berhasil. “Yang penting kita terus berusaha, soal hasil itu tergantung Tuhan,” ujarnya singkat.

Jauh sebelum meraih kesuksesan, Amal selalu berdoa kepada Allah. “Apa yang nggak cocok untuk saya, ambillah,” begitu doa yang selalu dipanjatkan. Maka tak heran bila banyak kebangkrutan yang dialaminya. Bagi Amal, ia menganggap kebangkrutan tersebut merupakan kehendak Allah yang menganggap semua yang diambil merupakan sesuatu yang tidak cocok dengan dirinya.

Kini amal menikmati suksesnya, ia bukan saja menjadi pengusaha yang sukses di bidang pupuk, namun sebagai mantan wartawan ia juga sukses merangkul politikus dan para pejabat untuk mempromosikan pupuknya. Tak hanya itu, pabrik pupuknya kini juga dilirik perusahaan China dengan incaran harga mencapai trilyunan rupiah.

Dalam hal lobi, jangan ditanya pejabat mana atau politikus mana yang tidak dikenal atau tidak mengenal Amal. Pembawaanya yang sederhana, ramah, dan pandai membujuk membuat ia bisa diterima di berbagai kalangan. Fajar

Feisal Tamin, Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Sukses Meniti Karir dari Bawah Setelah Meminum Air yang Diberi Doa Sang Ibu

Sosoknya memang tak lagi menjadi salah satu pembantu Presiden. Namun, perjalanan karirnya cukup mengesankan. Pasalnya, hanya mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan II/A, ia mampu meraih puncak dengan menjabat sebagai seorang menteri. Kesuksesannya ternyata tak lepas dari doa sang ibu melalui air yang diminumnya seusai shalat tahajud. Lalu bagaimana sebenarnya mukjizat air minum dalam perjalanan karir dan hidup pria asli Dompu, Nusa Tenggara Barat ini?

Sebuah rumah yang terletak di sebuah sudut perumahan di daerah Tomang nampak asri dengan banyaknya tanaman dan pepohonan di pekarangannya. Hampir tak ada yang istimewa dari rumah yang berukuran cukup besar tersebut. Keistimewaannya justru tergambar dari sosok pemilik rumah bernomor 1 itu. Pasalnya, seorang mantan menteri mendiami bangunan tersebut. Dialah Feisal Tamin, mantan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara. Pria asli Nusa Tenggara Barat ini memang dikenal sebagai sosok mantan pejabat yang memiliki perjalanan hidup dan karir menarik. Pasalnya, ia benar-benar meniti karir dari bawah. Feisal memulai karirnya hanya dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan II/A. Berkat kemampuan dan keinginannya yang kuat, ia lantas berhasil meraih puncak karirnya dengan menjabat menteri.

Feisal memang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di sebuah ruang kerjanya yang tidak begitu besar di rumahnya. Ruangan tersebut mungkin lebih mirip dengan ruang perpustakaan. Tak heran memang, jika melihat sebuah rak tinggi dan besar yang dipenuhi dengan beraneka macam judul buku koleksi Feisal. Selain dipenuhi dengan buku-buku, di rak tersebut juga dihiasi dengan berbagai penghargaan yang sempat diterimanya di masa lampau. Foto-foto sebagai bentuk kenangan dari setiap aktivitas yang pernah diikutinya pun membuat ruang kerjanya kian berwarna.

Sembari duduk di sebuah kursi sofa, lelaki itu nampak masih bugar di usia senjanya. Meski kerutan telah menghiasi sebagian besar kulit wajahnya, pemikiran-pemikiran Feisal masih tetap seperti tempo dulu. Ia tetap kritis terhadap segala macam hal, tak terkecuali tentang kondisi PNS dan birokrasi saat ini yang merupakan spesialisasinya. Senyumnya mengembang saat Realita menemuinya pada Selasa (8/1) pagi. Ia pun lantas berbagi cerita tentang perjalanan karir dan hidupnya yang dipenuhi dengan cinta kasih dari sang ibu.

Anak Seorang Ulama. Feisal Tamin merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan (Alm.) H. Tamin dan (Almh.) Hj. Siti Adnen. Ia lahir di daerah Dompu, Nusa Tenggara Barat pada 15 Juni 1941. Meski lahir di daerah yang hanya memiliki satu buah SMP Negeri, Feisal dikenal sebagai anak dengan kemampuan intelegensi yang mumpuni. Tak heran, ia mampu meraih juara umum bagian B di SMP pada tahun 1954. Feisal pun bertekad untuk melanjutkan ke jenjang SMA Negeri Mataram bagian B yang merupakan sekolah favorit di daerah NTB. Namun, sayangnya ia hanya bisa gigit jari setelah keinginannya tersebut tidak dapat terwujud hanya karena permasalahan sepele. Kala itu, hasil ujian akhir SMP di Sumbawa ternyata pemeriksaannya harus dilakukan di daerah Singaraja, Bali yang letaknya cukup jauh. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh daerah yang ditinggali Feisal.

Alhasil, pemeriksaan hasil ujian yang seharusnya selesai dalam jangka waktu sebulan ternyata membutuhkan waktu selama 90 hari. Tak pelak, hasil ujiannya terlambat sebagai syarat mendaftar di SMA Negeri tersebut. Akhirnya, Feisal pun terpaksa melanjutkan sekolahnya di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri di Mataram. Saat itu, meski ia telat mendaftar, masih dapat diterima oleh pihak sekolah. Pasalnya, Feisal merupakan satu-satunya calon siswa yang berasal dari Pulau Sumbawa. Karena kemampuannya dalam setiap pelajaran yang diikutinya, Feisal akhirnya mampu menjadi salah satu siswa yang meraih nilai cukup baik, termasuk mata pelajaran Hukum Agraria dan Ilmu Kimia. Ia lulus dari SPMA pada tahun 1960 dengan predikat siswa dengan nilai-nilai yang sangat baik.

Berkat nilai-nilai tingginya di hampir semua mata pelajaran, Feisal langsung mendapat tawaran menjadi kepala dinas pertanian di Dompu dan juga tawaran menjadi petugas teknis sentra pengembangan perkapasan (cotton station) Nusa Tenggara. Tawaran terakhir yang disebutkan lantas diterimanya dan belum genap setahun, ia kemudian dipromosikan menjadi Kepala Sentra Proyek Kapas dengan fasilitas yang mencukupi dan gaji tinggi. Meski sudah meraih jabatan dalam sebuah institusi, Feisal tak lantas bersantai begitu saja. Sebaliknya, ketekadan dan keinginannya yang bulat untuk dapat memajukan diri sendiri dan institusi menghantarkannya menjadi seorang pegawai yang dikenal dengan kinerja cukup baik.

Merintis dari Bawah. Akhir tahun 1961, Feisal memutuskan untuk pindah ke Jakarta dengan harapan mencari kesempatan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Langkah pertama yang ditempuhnya adalah dengan melamar pekerjaan di Departemen Agraria melalui bekal nilai-nilai tinggi di sekolahnya. “Saya ingin mencurahkan tenaga dan pemikiran saya untuk negara,” alasannya waktu itu. Bak gayung bersambut, Feisal ternyata diterima di instansi pemerintahan tersebut. Bahkan ia sempat diiming-imingi gaji 2 kali lipat dan fasilitas tambahan bila ia bertahan di cotton station dan mengurungkan niatnya untuk pindah ke Departemen Agraria yang kala itu dipimpin oleh Sadjarwo, SH.

Di Departemen Agraria, Feisal ditempatkan di bagian Direktorat Land Use. Keinginannya untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke bangku kuliah akhirnya tercapai dengan diterimanya Feisal di Fakultas Sosial Ekonomi dan Politik Universitas Nasional pada tahun 1962. ia mampu menyelesaikan studinya dalam waktu 4 tahun 2 bulan. Ia pun diangkat menjadi Kepala Sekretariat Direktorat Land Use. Seiring dengan gelar kesarjanaan yang diraihnya, kepangkatannya pun disesuaikan dan naik menjadi golongan IIIF dan menjabat sebagai Kepala Bagian. Berkat ketekunan dan kegigihannya dalam membangun karir, karirnya perlahan-lahan merangkak naik. Tercatat jabatan kepala bagian hubungan dan penerangan masyarakat Departemen Dalam Negeri pada tahun 1975, dan menjabat Kepala Biro Humas dan Bakohumas Pusat periode 1978 hingga 1989. Pada jabatan itulah, prestasinya mencuat naik sebagai seorang juru bicara (jubir). Feisal mampu meniti karir dari golongan IIA hingga mencapai golongan tertinggi IVE, dan Eselon menduduki jabatan structural dirjen hingga Sekretaris Jenderal Depdagri. Setiap jenjang ia ikuti dengan giat dan tekun tanpa adanya kecurangan. Feisal mengaku memiliki kepuasan tersendiri dapat menjalani semua jenjang dan pangkat itu dengan baik. Alhasil, ia benar-benar menempuh jalur yang memang benar-benar harus dilalui untuk mencapai jenjang lebih tinggi.

Tak hanya itu saja, Feisal juga aktif di berbagai organisasi agama masyarakat. Puncaknya, pada tahun 1998 ia dipercaya menjadi ketua KORPRI Umum Pusat. Setahun kemudian, ia menjadi pelopor bagi kemajuan KORPRI dengan meluncurkan paradigma baru KORPRI, diantaranya adalah, profesionalisme, netral, demokratis, dan sejahtera. Melalui paradigma tersebut, Feisal ingin menekankan bahwa organisasi KORPRI akan selalu menjadi abdi bangsa dan negara serta netral dari pengaruh politik apapun tanpa memihak kepada satu partai politik saja. Feisal mencapai puncak dalam karir dan kehidupan pribadinya saat presiden Megawati kala itu mengangkatnya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Selama menjabat sebagai seorang menteri, ia telah melakukan reformasi birokrasi dalam setiap institusi pemerintahan. Salah satu caranya adalah dengan mengubah kultur setiap PNS yang bekerja sebagai abdi negara. Selama menjadi menteri, Feisal memang terbilang berhasil dalam mengubah kebiasaan buruk PNS dan membenahi kekurangan yang ada pada para abdi negara tersebut.

Ternyata kesuksesannya dalam meniti karir dari seorang PNS golongan rendah hingga mencapai puncak menjadi seorang menteri, memang tak terlepas dari dukungan keluarganya sejak masih kanak-kanak. Feisal kecil memang dididik dalam ruang lingkup keluarga dengan patokan agama yang kuat. “Ayah saya seorang ulama,” aku Feisal. “Orang tua saya itu tidak mengajarkan melalui omongan tapi melalui praktek,” lanjutnya.

Minum Air Doa Ibu. Tak heran, Feisal banyak belajar soal agama dari kedua orang tua khususnya dari sang ayah. Sebagai seorang ulama, sang ayah memang kerap mengadakan acara agama. Tiapkali menghadirinya, sang ayah selalu mengajak serta Feisal. “Lama-lama saya mengerti dan tertanam dalam diri saya,” ungkap Feisal. Bahkan ada suatu kebiasaan aneh yang dilakukan oleh ibundanya selepas melakukan shalat tahajud di tengah malam. “Saya selalu dikasih air minum yang telah diberi doa setelah shalat tahajud,” kenang Feisal. Kala itu, ia pun tidak tahu menahu bacaan doa apa yang telah dilafadzkan oleh ibundanya tersebut. Namun, yang pasti, ia selalu menuruti perintah ibunya hampir setiap tengah malam. “Saya selalu dibangunkan tengah malam untuk meminum air itu,” ungkap Feisal. Sembari mata terkantuk-kantuk, Feisal yang waktu itu masih berumur belasan tahun mengiyakan untuk meminum air yang telah diberi doa tersebut. Begitu pula dengan kedua kakak dan kedua adiknya.

Dengan mata kepalanya sendiri, Feisal melihat ibunya, Siti Adnen membacakan doa sembari mendekatkan mulutnya ke gelas yang telah berisi air. Feisal tidak tahu bacaan doa apa yang telah diucapkan oleh ibundanya itu. Kebiasaannya itu dilakukan Feisal tiapkali ibunya melakukan shalat tahajud. Selain itu, sang ibu juga meletakkan Al-Qur’an di atas kepala Feisal ketika akan tidur kembali. Kebiasaan tersebut dilakukannya ketika Feisal masih tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. “Maksud Ibu saya melakukan itu mungkin agar anaknya bisa menguasai isi Al-Qur’an dan menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Feisal. Namun menjelang usia 12 tahun, ia tak lagi meminum air yang telah diberi doa sang ibu karena ia telah merantau untuk bersekolah yang letaknya cukup jauh dari rumah. Oleh karena itu, ia pun tinggal di rumah sanak saudaranya yang letaknya dekat dengan sekolah.

Entah ada pengaruhnya atau tidak, namun Feisal percaya bahwa doa dan restu sang ibu memanglah sangat manjur. “Kebiasaan Ibu saya mendoakan saya ya mujarab juga dengan dibarengi tekad untuk mencari ilmu yang baik bagi kehidupan,” tuturnya. Tak heran, ia percaya bahwa karirnya yang merangsek naik berkat adanya restu dan doa sang ibu disertai dengan kerja keras. Begitu pula dengan keempat saudaranya yang kini rata-rata berprofesi sebagai eksekutif dan pengusaha.

Kini, hal yang sama berupa didikan agama juga ia ajarkan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Pernikahannya sendiri dengan Hj. Zaenab Aryani (58) telah menghadirkan empat anak, adalah Muhammad Erwin (38), Feni Dwiyana Pratiwi (36), Muhammad Triyanda Ihram (32) dan Zafitri Rosmeina Adisti (26). Keempat anaknya kini tengah mengurusi perusahaan yang membangun sebuah townhouse di daerah Jakarta Selatan. Keempat anaknya juga telah memberinya tujuh cucu. Selepas menjabat menteri, Feisal memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Terkadang anak-anak dan cucu-cucu mengunjungi rumahnya. “Tak ada rencana di masa mendatang, saya hanya ingin menikmati masa tua saya sambil menambah bekal akherat,” ujarnya sembari tersenyum. Fajar

Side Bar 1…

Takjub Saat Keinginannya Masuk ke Dalam Ka’bah Menjadi Kenyataan

Tak ada yang mampu memastikan sebuah keinginan atau cita-cita dapat berubah menjadi kenyataan kecuali Sang Pencipta. Hanya Allah-lah yang mampu mewujudkan keinginan seorang umat-Nya. Salah satunya terjadi dalam perjalanan hidup Feisal terutama dalam hal religi. Keinginannya untuk masuk ke dalam Ka’bah memang harus terpendam sejak lama hingga saat ia menjadi seorang pejabat pemerintahan. “Orang-orang kita tahu sendiri berebutan hanya untuk dapat menyentuh bangunan Ka’bah,” ujar Feisal.

Saya sangat bersyukur bisa masuk ke dalam Ka’bah yang merupakan kiblat semua umat Islam,” ujarnya. Kala itu, Feisal menjadi tamu Kerajaan Arab Saudi bersama dengan delegasi MTQ Indonesia yang diadakan di Makkah, Arab Saudi pada tahun 1977. Ia diberikan kesempatan langka oleh pemerintahan Arab Saudi untuk dapat masuk dan melihat isi di dalam Ka’bah. Feisal juga ternyata berbarengan dengan Ali Bhuto, mantan pemimpin Pakistan sebelum ia dihukum gantung beberapa waktu kemudian. Di dalam Ka’bah, Feisal lantas menunaikan shalat sunnah ke berbagai arah. Ia bahkan sempat tak percaya dapat masuk ke dalam Ka’bah. “Itu suatu rahmat dan karunia,” ujarnya singkat. Selain merasakan sebagai karunia, Feisal juga menyadari bahwa kesempatan langka tersebut merupakan sebuah tujuan perjalanan dari didikan agama dan air minum doa dari sang ibu. “Itu merupakan sebuah perjalanan religi yang berawal dari doa orangtua,” ungkap Feisal.

Selain pengalaman di Tanah Suci, Feisal juga ternyata sempat mendapatkan godaan dalam pekerjaan sekembalinya ke tanah air. Kala itu, Feisal ikut menjadi pengurus dalam penyelenggaraan MTQ pada tahun 1990-an di Yogyakarta. Ada pihak lain berniat untuk mencari keuntungan dari penyelenggaraan MTQ tersebut. Namun demikian, Feisal tak tergoda bahkan ia melawan keras godaan tersebut. “Saya mencoba untuk bertahan tidak mencari keuntungan, karena itu menyangkut kitab suci,” tuturnya. Karena keteguhannya itulah, ia sempat tidak disukai oleh oknum-oknum itu. Penyelenggaraan MTQ itu sendiri memang sangat kekurangan dana, namun ada pihak yang ingin mendapatkan uang dengan cara yang diakui Feisal tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Saat itu, ia menyadari bahwa berkat doa orangtua dan keluarga, ia dapat terjaga dari segala bentuk godaan yang dapat menjerumuskannya ke dalam kubangan dosa. Fajar

Side Bar 2…

Mantan ‘Calo’ Tanah yang Pernah Menjadi Menteri

Awal mula menjadi seorang PNS di masa lampau, diakui Feisal memang hanya berpenghasilan relatif kecil sekitar Rp 700 pada tahun 1960-an. Alhasil, ia pun mencari tambahan penghasilan lainnya dengan menjadi seorang perantara jual beli tanah. Jam kerja seorang PNS kala itu memang cukup longgar bagi Feisal untuk mencari tambahan penghasilan. “Saya bekerja dari jam 7 pagi hingga jam 1 siang,” kenang Feisal mengingat aktivitasnya di tahun 1960-an itu. Selepas jam 1 siang itulah, ia berkeliling Jakarta untuk mencari tanah yang dapat dijual dan dicarikan pembeli yang berminat. Feisal bahkan kerap berkeliling kota Jakarta untuk mencari tanah yang dapat dijual. “Saya sempat berkeliling ke daerah Ceger dan daerah lainnya,” kenangnya. Diakuinya, dari hasil menjadi perantara tanah itulah, ia mampu mendapatkan keuntungan yang dirasanya lumayan. “Nanti ada siapa yang mencari pembeli, saya yang cari penjual, begitu juga sebaliknya,” kenang Feisal. “Jadi saya dapat komisi,” lanjutnya singkat.

Bahkan dari keuntungan komisi yang didapatnya sebagai seorang perantara jual beli tanah, Feisal juga mampu membeli tanah sendiri sebagai investasi di masa mendatang. Kebiasaan tersebut tersebut berlanjut ketika ia menikahi Zaneab Aryani pada tahun 1968. “Saya dan istri mengumpulkan sedikit demi sedikit juga untuk membeli tanah,” aku pria yang gemar membaca ini. Salah satu bukti nyatanya adalah tanah seluas 1 hektar di daerah Pondok Labu yang dibelinya sekitar tahun 1970-an dan kini dijadikan sebagai lahan townhouse yang dikelola oleh anak-anaknya. “Sehingga setelah menjabat, saya sudah punya tabungan sendiri,” imbuhnya. Lahan rumah yang dimilikinya saat ini pun berkat kerja kerasnya di masa lampau. Feisal dan keluarga juga menyewakan kamar kost-kostan di dekat rumahnya. Saat ini, sudah ada 30 kamar kostan yang disewakan. “Anda mau ngekost di sini, Rp 1,5 juta per bulan,” ujar Feisal sambil bercanda dan tersenyum.

Pekerjaan sampingan sebagai seorang perantara jual beli tanah ternyata diakui Feisal sebagai salah satu insting ketika memikirkan masa depannya. Sehingga diakui Feisal rumah besar yang didiaminya saat ini bukanlah rumah yang didapat setelah menjadi pejabat. “Jadi jangan tercengang, rumah ini bukan saya dapat waktu saya menjadi pejabat,” ujarnya sembari tertawa lebar. Namun, apa yang dilakukannya di luar pekerjaan sebagai PNS, ia mengaku tidak mengganggu rutinitasnya di dalam instansi pemerintahan. Pekerjaannya sebagai perantara jual beli tanah ia lakukan sejak ia menjadi PNS hingga naik jenjang F (golongan IV). “Kalau sudah golongan F golongan IV, kan tidak boleh berbisnis di luar,” ujar Feisal sembari tersenyum. Fajar

Muhammad Nurdin, Karyawan Swasta

Tiga Kali Lolos Dari Ledakan Bom di Jakarta

Beberapa kali menghampiri maut dan melihat dengan mata kepala sendiri akibat dari bom yang meledak di Jakarta, merupakan suatu pengalaman menakutkan bagi Nurdin. Baginya, lolos dari ledakan bom yang bisa saja merenggut nyawanya seketika merupakan sebuah pertolongan Allah.

Pria paruh baya itu masih terlihat bugar di usianya yang sudah menginjak angka 53. Sepanjang perjalanan hidupnya, pria yang bernama lengkap Muhammad Nurdin tersebut sempat tiga kali lolos dari ledakan bom yang mengguncang kota Jakarta beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, ia menjadi lebih dekat kepada Allah dan lebih menghargai hidupnya. Tak heran, kini Nurdin nampak sumringah dan ramah kepada setiap orang, tak terkecuali kepada Realita yang menyambangi kediamannya pada Sabtu (8/11) lalu.

Selain terlihat ramah, pembicaraan Nurdin juga kerap diisi dengan nada keyakinan terhadap Sang Pencipta yang masih memberikan waktu bagi dirinya untuk mengisi sisa hidup lebih lama. “Ini merupakan rahasia Allah,” ungkap Nurdin memulai pembicaraan. Di rumahnya yang cukup sederhana, Nurdin pun bersedia untuk berbagi cerita tentang kisah lolosnya dari tiga ledakan bom yang memakan puluhan korban jiwa.

Didikan Agama Kuat. Nurdin bukanlah orang yang hidup dengan harta berlimpah. Namun, ia patut bersyukur karena pekerjaannya sebagai seorang messenger atau pengantar surat di sebuah perusahaan asing telah mampu memberikan dirinya kesempatan untuk menafkahi keluarga. Rasa bersyukurnya tersebut diakui Nurdin, dilakukan dengan cara bekerja dengan jujur dan sebaik-baiknya. “Yang penting kita harus bekerja dengan jujur,” ujar Nurdin singkat. Prinsip itulah yang kemudian dipegangnya selama bekerja. Tak ayal, hampir 20 tahun ia habiskan untuk menekuni pekerjaannya sebagai seorang messenger. Menurutnya, waktu selama itu membuktikan komitmen kejujurannya dalam bekerja sehingga ia dipertahankan oleh pihak perusahaan kendati usianya sudah memasuki masa pensiun.

Semasa kecilnya, Nurdin memang telah ditanamkan didikan agama yang kuat dari kedua orang tuanya, (Alm.) Sukro dan (Almh.) Icih. “Saya lahir dan dibesarkan di daerah Curug Cilember, Bogor, yang didikan agamanya kuat,” aku Nurdin. Baik sang ayah maupun ibunya, selalu mengingatkan Nurdin agar tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Disiplin agama itulah yang lantas tertanam dalam kepribadian Nurdin hingga kini. Nurdin yang terlahir pada 14 Maret 1955 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di kota hujan, Bogor.

Selepas menamatkan sekolahnya, Nurdin bersama kedua orang tuanya pindah ke Jakarta untuk memulai kehidupan baru. Saat itu, atas ajakan salah satu saudaranya, pihak keluarga pun pindah ke Jakarta. Sebenarnya sang ayah bekerja di sebuah kantor PLN di Jakarta. Namun, setelah pensiun dari pekerjaannya, ia lantas kembali ke Bogor dan berkumpul dengan istri dan ketiga anaknya. Setelah Nurdin menamatkan sekolahnya, barulah seluruh anggota keluarga pindah ke Jakarta sekitar tahun 1969.

Di Jakarta, Nurdin berusaha untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, ia baru tersadar bahwa mencari pekerjaan di ibukota tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak pelak, Nurdin pun bertekad untuk melakoni pekerjaan apapun asalkan pekerjaan tersebut halal. Bahkan, ia sempat menjadi seorang pegawai rendahan yakni office boy di beberapa perusahaan. Berpindah-pindah tempat bekerja memang tak membuat dirinya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kendati begitu, Nurdin selalu bersyukur dengan apa yang telah didapatnya. Dengan gaji kecil, ia pun berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

Meski dengan gaji yang tergolong kecil, Nurdin memberanikan diri untuk menikah pada tahun 1978 dengan seorang gadis bernama Julaeha. Setelah bekerja di berbagai perusahaan dengan status pegawai rendahan, salah satu temannya mengajak Nurdin bekerja di PT Corelab Indonesia sebagai seorang messenger atau pengantar surat. Atas ajakan temannya tersebut, Nurdin pun melamar. Beruntung baginya, ia diterima di perusahaan asing itu sejak tahun 1989. Mulailah Nurdin bekerja di lapangan untuk bertugas mengantarkan surat-surat kepada perusahaan lain yang menjadi klien perusahaan tempatnya bekerja.

Bom BEJ. Sebagian waktunya memang dihabiskan di perjalanan. Pasalnya, Nurdin selalu mengantarkan surat-surat setiap hari di seputar Jakarta, khususnya wilayah perkantoran di Jakarta. “Ya seputar Thamrin, Sudirman, Kuningan sampai Pulogadung, saya mengantarkan surat-surat,” tutur Nurdin. Dengan menggunakan motor inventaris kantor, ia berkeliling Jakarta dan mampir ke kantor-kantor untuk mengantarkan surat. Cuaca panas dan hujan dialaminya selama perjalanan. Ia menekuni pekerjaan itu hingga saat ini. Terhitung hampir 20 tahun, Nurdin bekerja di lapangan. Manis pahitnya bekerja di lapangan sudah ia rasakan. Meski usianya sudah memasuki masa senja, Nurdin masih menguatkan dirinya untuk bekerja.

Selama kurun waktu 20 tahun itulah, Nurdin pernah merasakan adanya pertolongan Allah di saat maut hampir saja merenggut nyawanya seketika. Saat teror bom melanda kota Jakarta, saat itu pulalah maut membayangi Nurdin. Kejadian bom pertama terjadi ketika Nurdin mengantarkan surat sekaligus mengambil sejumlah uang di Bank of America yang berkantor di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), pada 13 September 2000. Pada hari itu, ia berangkat pada pagi hari dari kantornya di daerah Cilandak. Sekitar pukul 11 siang, ia sampai di gedung BEJ dan lantas mengambil sejumlah uang yang ditugaskan oleh kantor sebelumnya.

Tiba-tiba, suara sirine terdengar di dalam gedung. Banyak orang yang bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi, termasuk Nurdin sendiri. Ia berusaha untuk tenang menghadapi kekacauan di sekitarnya tersebut sembari menyelesaikan urusannya di bank. Beberapa lama kemudian, Nurdin selesai mengambil uang di Bank of America. Meski kondisi dalam gedung masih belum pasti, ia memutuskan untuk keluar dari gedung dan kembali melanjutkan pekerjaannya mengantarkan surat ke kantor lainnya. Sebelum jam 2 siang, Nurdin sudah keluar dari gedung BEJ dan melanjutkan perjalanan ke gedung di sekitar Sudirman.

Bom Marriott. Ternyata setelah Nurdin sampai di gedung perkantoran tujuan selanjutnya, ia mendengar kabar bahwa gedung BEJ telah terkena ledakan bom. Bom tersebut diletakkan di dekat tempat ia memarkirkan sepeda motornya. Padahal sebelumnya, saat Nurdin datang ke gedung BEJ, ia sempat melihat ada beberapa supir yang dikenalnya tengah duduk-duduk di sekitar tempat parkir tersebut. Saat Nurdin keluar dari gedung BEJ dengan terjadinya bom pun hanya berselang beberapa jam saja. “Itu merupakan kuasa Allah,” ujar Nurdin.

Kejadian bom kedua yang hampir saja dikunjunginya adalah bom yang meledak di hotel JW Marriot pada 5 Agustus 2003. Seperti biasa, Nurdin masih bergelut di lapangan untuk mengantarkan surat ke berbagai perkantoran, termasuk di JW Marriot. Sehari sebelumnya, yakni pada 4 Agustus, Nurdin diberi tugas untuk mengantarkan surat di sebuah perusahaan di kawasan Mega Kuningan tepatnya di JW Marriot. “Saya harus mengantarkan surat itu,” tekad Nurdin. Biasanya, bila surat-surat tak mampu diantarkan pada satu hari, maka ia dapat mengantarkannya pada keesokan hari. Namun, hal tersebut tak selalu terjadi pada pekerjaan Nurdin. Baginya, bila ia memang ditugaskan untuk mengantarkan pada hari itu maka lebih baik ia mengantarkannya pada hari itu juga. Termasuk kejadian pada 4 Agustus, dimana ia ditugaskan untuk mengantarkan surat ke JW Marriot.

Bom Kuningan. Pilihan untuk mengantarkan surat itu pada keesokan hari, tak diambilnya. Pada siang hari, Nurdin menyempatkan diri untuk mengantarkan surat-surat tersebut. Ternyata pada keesokan harinya di jam yang sama ketika ia datang ke JW Marriot, terjadi bom yang meluluhlantakkan sebagian bangunan hotel dan menghancurleburkan restoran yang berada di hotel tersebut. Perasaan terkejut dan setengah tak percaya melanda Nurdin. Kata-kata pasrah kepada Allah pun keluar dari mulutnya. “Kalau saja saya mengantarkan pada keesokan hari, saya pasti mati,” ungkapnya ketika mengetahui adanya bom di JW Marriot.

Tak hanya dua bom saja, Nurdin juga sempat lolos dari bom yang meledak di kedutaan besar Australia, Kuningan, Jakarta. Seperti sebelumnya, Nurdin bertugas untuk mengantarkan surat. Pada pagi harinya, Nurdin sudah bersiap-siap untuk berangkat ke gedung Setiabudi yang menjadi tujuan dan letaknya berdekatan dengan kedutaan besar Australia. “Saya sudah siap berangkat itu pagi-pagi,” akunya. Tapi, ketika Nurdin akan melangkahkan kaki dan menaiki motornya, ia ternyata harus kembali ke kantor karena ada beberapa dokumen yang belum lengkap. Alhasil, ia pun tertahan di kantor dan menunggu kelengkapan dokumen sebelum diantarkan ke gedung Setiabudi. “Saya tertahan di kantor selama hampir satu jam,” kenang Nurdin. Padahal sebelumnya, ia berkeinginan dapat sampai di Kuningan sekitar pukul 10 pagi.

Sesaat setelah selesai mengurusi dokumen yang belum lengkap dan akan berangkat mengantarkan surat ke gedung Setiabudi, Nurdin mendengar kabar bahwa kedutaan besar Australia ternyata telah dibom. Padahal, rute perjalanannya melewati jalan HR Rasuna Said dan letak gedungnya pun tak jauh dari kedubes Australia. Jantungnya pun berdebar kencang dan mulutnya tak mampu berkata apa-apa selain pujian kepada Allah. Entah apa jadinya bila ia tak tertahan di kantor dan berangkat ke daerah Kuningan saat itu juga. Pasalnya, ledakan bom di kedubes Australia tersebut sangatlah besar, bahkan suaranya terdengar hingga radius 15 KM. Gedung-gedung perkantoran di sekitarnya pun hancur akibat ledakan yang amat dahsyat. Bom Kedubes Australia sendiri meledak sekitar pukul 10.30, waktu yang hampir bersamaan dengan tujuan Nurdin sebelumnya. Sekali lagi, Nurdin merasa diselamatkan Allah atas maut yang mengancam nyawanya. Ledakan bom kedubes Australia yang terjadi pada 9 September 2004 itu kembali menyadarkan Nurdin bahwa Allah secara tak langsung menyelamatkan dirinya. Fajar



Ary Subagyo Wibowo, Penanggung Jawab Program Radio Suara Warga Jakarta

Menyuarakan Aspirasi Warga Miskin Melalui Radio

Kepedulian sosial seseorang tak selalu digambarkan melalui nominal lembaran uang Rupiah saja. Tapi hiburan musik dan suara yang hanya keluar dari kotak penangkap gelombang radio ternyata mampu memberikan perubahan positif terhadap komunitas warga menengah ke bawah. Lalu seperti apa perjalanan Ary dan rekan-rekannya di LSM Fakta membangun radio yang memiliki penyiar para pedagang kaki lima tersebut?

Di radio aku dengar lagu kesayanganmu

Kutelepon di rumahmu sedang apa sayangku

Kuharap engkau mendengar

Dan kukatakan rindu….

Petikan lagu yang dibawakan oleh Gombloh tersebut mungkin akan mengingatkan kita pada masa-masa tempo dulu, masa di mana radio masih menjadi jawara sebagai alat komunikasi antar pendengarnya yang terpisahkan jarak dan waktu. Kirim-kiriman lagu pun tak pelak menjadi salah satu cara untuk mengungkapkan perasaan dari salah satu pendengar ke pendengar lainnya, seperti halnya yang diungkapkan pada lagu ‘kugadaikan cintaku’ ciptaan Gombloh. Kini, radio memang mendapatkan saingan yang sangat berat setelah hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menjamur di tanah air. Terlebih lagi, setelah banyaknya stasiun televisi lokal yang ikut bermunculan dihampir setiap daerah di pelosok nusantara. Meski begitu, stasiun radio masih memiliki tempat di hati sebagian masyarakat. Setidaknya, hal tersebut dapat terlihat dari beberapa stasiun radio swasta yang masih bertahan hingga kini.

Tak hanya radio komersil yang memiliki jangkauan besar saja yang menancapkan tiang-tiang pemancarnya di tanah air. Ternyata radio yang berukuran kecil, yang biasa disebut dengan radio komunitas juga cukup merebak di daerah. Salah satunya adalah radio komunitas yang didirikan oleh masyarakat secara gotong royong di daerah Cipinang Muara, Jakarta Timur. Radio yang diberi nama radio Suara Warga Jakarta alias SWJ ini didirikan atas gagasan dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, red), yakni LSM Fakta (Forum Warga Kota Jakarta) bersama warga di sekitar Cipinang Muara. Sosok pria ini pun tak bisa dilepaskan begitu saja dengan radio SWJ. Berkat ayah dua anak ini dan pengurus LSM Fakta lainnya, Radio SWJ akhirnya dapat berdiri. Adalah Ary Subagyo Wibowo, yang turut berperan besar terhadap pendirian Radio SWJ hingga mampu mengudara sampai saat ini. Radio SWJ sendiri awalnya bernama Radio Suara Warga Bujana (berasal dari nama daerah Bujana Tirta, tempat awal berdirinya).

Studio radio SWJ memang hanyalah berupa rumah penduduk biasa yang terletak di salah satu gang di Jalan Pancawarga IV daerah Kalimalang, Jakarta Timur. Tak akan ada orang yang menyangka bahwa sebuah studio radio akan berkantor di rumah yang berukuran tidak begitu besar tersebut. Rumah tersebut tak hanya menjadi sebuah tempat berlindung bagi para penyiar radio SWJ saja, tapi juga bagi para pekerja sosial di LSM Fakta. “Lantai bawah untuk kantor Fakta, tapi kalau lantai atas buat radio,” tutur Ary saat menyambut kedatangan Realita pada Senin (25/6) siang. Sembari berjalan, ia kemudian mempersilahkan Realita untuk masuk ke salah satu ruangan di rumah tersebut. Ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 meter itu merupakan ruangan para pengurus Fakta berkumpul. Diruangan itulah, Ary kemudian menceritakan perjalanan awal sejak tahun 2004, ketika Radio SWJ mulai mengudara dan menyapa para pendengarnya pada frekuensi 96,9 FM. Radio SWJ hanya mampu menjangkau masyarakat dalam radius 2,5 km dari tiang antena di markas tersebut.

Bermodalkan Barang Bekas. Awalnya, LSM Fakta berencana untuk membuat sebuah media yang mampu mengakomodir suara aspirasi dari masyarakat kurang mampu. Namun, para pengurus dan aktivis Fakta kemudian merasa bingung media apa yang akan dibuat. “Kita semua berkumpul bersama masyarakat membicarakan rencana apa yang akan dijalankan,” kenang Ary. Lalu muncullah satu ide dari masyarakat dan para aktivis Fakta untuk mendirikan sebuah radio komunitas yang mampu menyuarakan segala macam keluh kesah warga kurang mampu. Ary bersama dengan kedua rekannya di Fakta, yakni Azas Tigor Nainggolan (sekarang ketua Fakta, red) dan Tubagus Haryo Karbiyanto (salah satu pengurus Fakta, red), kemudian memutuskan mendirikan stasiun radio SWJ yang turut dibantu oleh masyarakat sekitar.

Banyak sekali halangan yang dihadapi oleh para pengurus Fakta dalam merealisasikan rencana pendirian sebuah radio komunitas. “Kita dulu hanya memiliki modal yang sangat minim,” ungkap Ary. Namun demikian, berkat keinginan yang sangat kuat dan dibarengi dengan banyaknya bantuan dari segala macam lapisan masyarakat, akhirnya radio tersebut dapat mengudara. “Dulu modal awalnya sekitar Rp 25 juta,” aku Ary. Jumlah uang tersebut berasal dari sumbangan para donatur yang sebagian besar berasal dari para pengacara. Modal uang tersebut memang diakui Ary masih terbilang kurang cukup untuk membiayai pendirian sebuah stasiun radio. Meski begitu, mereka tetap berusaha untuk membeli segala macam peralatan penyiaran dengan menggunakan uang tersebut.

Tak hanya berupa uang saja, Ary dan rekan-rekan juga kerap mendapatkan sumbangan berupa barang-barang bekas yang tentu saja masih layak pakai. “AC dan radio ini juga sumbangan,” ungkap Ary sembari menunjuk ke arah pendingin ruangan dan radio kaset yang ada di dalam studio. Sebagian besar sumbangan tersebut berasal dari para pendengar yang mengetahui kebutuhan radio SWJ yang masih kurang. Awalnya, besi yang dipakai untuk tiang antena setinggi 15 meter dikumpulkan dari para pemulung di sekitar Cipinang yang menjadi anggota pendengar radio ini. Sedangkan kabel dan kawat yang digunakan, merupakan sumbangan dari warga setempat.

Penyiarnya Pedagang dan Tuna Netra. Radio SWJ sendiri mengudara setiap hari mulai pukul 7 pagi hingga pukul 8 malam. Acaranya cukup beragam, mulai dari acara dialog yang kerap mengundang berbagai narasumber, seperti kader posyandu, jumantik maupun pejabat sekelas RW dan lurah, hingga acara musik yang lebih banyak didominasi dengan musik dangdut. Uniknya, penyiar yang sering berkoar-koar di depan mikropon bukanlah penyiar profesional yang dibayar secara rutin setiap bulan. “Penyiarnya ada yang tukang sate, nasi goreng, dan yang tuna netra juga ada,” ungkap Ary. Radio SWJ memang memilih beberapa penyiarnya dari profesi pedagang kaki lima. Ary tidak merekrut penyiar profesional karena menurutnya radio SWJ merupakan radio yang menyuarakan warga menengah ke bawah. Tak heran, ia merekrut penyiar juga dari kalangan menengah ke bawah. Dengan begitu, sebagai penyiar, mereka diharapkan mampu menyuarakan tentang keluh kesah mereka sendiri sebagai pedagang kaki lima. Selain pedagang, Ary juga merekrut beberapa orang yang merupakan tuna netra. “Ini pembuktian juga bagi mereka yang tuna netra bahwa mereka juga mampu berkarya dan menjadi seorang penyiar meski mereka memiliki kekurangan,” tutur Ary.

Para penyiar tersebut tidak dibayar dengan sejumlah nominal uang yang dibayarkan setiap bulan. Mereka hanya mendapatkan penghasilan dari setiap atensi atau permintaan lagu yang dikirimkan oleh para pendengar. “Mereka mendapatkan 70 % dari setiap atensi yang dikirimkan oleh pendengar,” aku Ary. Sedangkan sisanya, yakni sebanyak 30 % masuk ke dalam kas radio. Setiap atensinya sendiri, pendengar radio hanya diharuskan untuk membayar Rp 500 perak saja. Dari koin-koin 500 perak itulah, para penyiar mendapatkan jatah 70 %. Tak besar memang bila dibandingkan dengan bayaran penyiar profesional di stasiun-stasiun radio yang berukuran besar. Meski begitu, mereka tetap senang dapat menjadi seorang penyiar. Bagi mereka, menjadi penyiar merupakan suatu pengalaman yang cukup menarik.

Mengakrabkan Masyarakat. Setelah tiga tahun berjalan sejak tahun 2004, Radio SWJ semakin banyak didengar oleh masyarakat di sekitar Cipinang, Jakarta Timur. Salah satunya adalah para pedagang pasar Ciplak, Jakarta Timur. Mereka mengaku dengan kehadiran Radio SWJ, ada semacam hiburan untuk warga khususnya warga miskin. Hebatnya, berkat kehadiran radio SWJ, masyarakat pendengar menjadi semakin akrab. “Kelompok masyarakat yang dulunya sering tawuran, sekarang malah sering kirim-kirim salam melalui radio,” aku Ary. Menariknya, para pendengar tersebut membentuk kelompok-kelompok pendengar yang kerap memberikan atensi kepada para penyiar. Kelompok-kelompok seperti Antik (Anak Tikungan), Japul (Jarang Pulang), Cukong (Cucunya Engkong), Elit (Ekonomi Sulit) dan beberapa lainnya seringkali mengirimkan atensi sesama kelompok.

Dengan tetap bertahannya Radio SWJ hingga saat ini, seorang pria yang merasakan bangga dan senang adalah tentu saja Ary Subagyo Wiyogo. Sosok Ary sendiri merupakan sosok yang sangat disegani di dalam lingkungan Radio SWJ dan LSM Fakta. Ia tercatat sebagai salah satu pendiri Radio SWJ bersama-sama dengan aktivis LSM lainnya. Ary juga kini menjabat sebagai manajemen sekaligus penanggung jawab program di Radio SWJ.

Menggeluti LSM. Ary merupakan anak pertama dari 4 bersaudara pasangan Syamsu Hadi (69) dan (alm.) Sri Suryati. Ia berasal dari keluarga yang cukup sederhana. Sang ayah merupakan seorang wiraswasta di daerah asalnya, Sragen. Ary sendiri lahir di Grobogan pada 25 Januari 41 tahun yang lalu. Sepanjang hidupnya, Ary memang lebih banyak terjun di dunia sosial melalui LSM-LSM yang dimasukinya. Namun, setelah lulus dari Fakultas Hukum, Universitas Jakarta, Ary sempat merasakan karir di perusahaan swasta. Meski begitu, ia mengaku tidak merasa cocok dengan dunia kerja. Ia lebih cenderung untuk berkecimpung di dunia LSM, dan mengabdi bagi kepentingan masyarakat.

Awal mula berkecimpung di dunia LSM adalah ketika ia masuk ke Institut Sosial Jakarta (ISJ) pada tahun 1986. “Saya dulu sebagai salah satu stafnya,” aku Ary yang juga sempat terlibat di LBH Pers ini. Sejak itulah, Ary seakan-akan menemukan dunia yang cocok bagi dirinya, dunia yang membuat ia lebih bermakna bagi masyarakat sekitar. Ary aktif di ISJ hingga tahun 1997. Kemudian, pemilik gelar sarjana hukum ini sempat merasakan bekerja di salah satu perusahaan swasta di Surabaya selama kurun waktu 1997-1998. Namun, Ary tidak merasakan adanya kecocokan menjadi seorang pegawai. “Saya lebih menyukai dunia sosial,” aku Ary. Ia kemudian kembali bergelut di dunia sosial dengan mendirikan LSM Mitra Masyarakat Kota Jakarta pada tahun 1998. Sayangnya, LSM tersebut hanya mampu bertahan selama sekitar 2 tahun. Sekitar tahun 2000, Mitra Masyrakat Kota kemudian bubar. Barulah Ary bersama beberapa rekannya kemudian mendirikan LSM Fakta (Forum Warga Kota Jakarta) hingga saat ini. Di Fakta, Ary menjabat sebagai Wakil Ketua. Sedangkan di radio SWJ, Ary bertanggung jawab penuh dalam program-program acara yang disiarkan oleh radio.

Kepuasan Batin. Keterlibatan Ary di dunia LSM memang diakuinya tidak akan membuatnya memiliki penghasilan yang cukup besar. Namun, dengan adanya kepuasan batin yang diterimanya ketika membantu warga kurang mampu, Ary memutuskan untuk tetap bergelut di dunia LSM. “Dari dulu, saya masih saja mengontrak rumah,” ungkap Ary. Dengan penghasilan yang hanya cukup untuk sehari-hari, ia mampu menghidupi istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Pernikahannya dengan sang istri, Katarina Tri Widarti (36) membuahkan dua anak, yakni Oktavianus (7), dan Maria (1). Meski dari dunia yang ia geluti, tak mampu memberikan materi yang berlimpah, Ary tetap saja bertahan menggeluti dunia sosial melalui LSM Fakta dan Radio SWJ yang dipimpinnya.

Melalui Radio SWJ pula, Ary berharap dapat membantu warga kota Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mampu menyuarakan aspirasi mereka. Terbukti, kehadiran SWJ ibarat ungkapan jiwa. Ungkapan yang datang dari hati nurani setiap individu-individu yang kurang beruntung. Meskipun hadir dengan segala macam bentuk keterbatasannya, Radio SWJ ternyata cukup efektif dalam menyuarakan aspirasi komunitasnya, komunitas yang didominasi oleh warga miskin yang justru selama ini aspirasinya kurang terdengar oleh pejabat-pejabat berdasi dipemerintahan. Fajar

Side Bar 1:

Ingin Mendirikan Televisi Komunitas

Tak puas dengan radio komunitas yang telah didirikan, Ary bersama pengurus Fakta lainnya memiliki rencana lain yang cukup menarik. “Kita ingin mendirikan televisi komunitas juga,” harap Ary. Keinginan tersebut memang sudah cukup lama dipendam oleh para pengurus Fakta dan para penyiar SWJ. Ary berharap dengan mendirikan sebuah televisi komunitas, maka penyampaian informasi kepada masyarakat akan lebih jelas dengan adanya gambar dan suara. Berbeda halnya dengan radio yang hanya mengandalkan suara saja.

Dilihat dari biayanya pun, diakui Ary tidak berbeda jauh dengan mendirikan sebuah stasiun radio komunitas. Tak heran, Ary bersama pengurus Fakta lainnya menginginkan adanya sebuah televisi komunitas. “Sama halnya dengan radio komunitas, TV juga jangkauannya tidak terlalu luas,” ungkap Ary. Dengan begitu, diakui Ary melalui televisi penyampaian aspirasi akan lebih efektif dengan disertai gambar yang mewakili aspirasi tersebut.

Sayangnya, jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh pengurus Fakta dan warga sekitar belum dapat dipenuhi dengan baik. “Radio saja masih untung dapat bertahan hingga sekarang,” ungkap Ary. Untuk sehari-harinya sendiri, pengeluaran SWJ ditanggung dari pendapatan yang diperoleh dari atensi yang datang dari para pendengar. Sedangkan markas atau rumah yang digunakan sebagai kantor, merupakan rumah salah satu donatur yang direlakan untuk dipakai sepuasnya oleh LSM Fakta. Pengeluaran setiap bulan seperti biaya listrik ataupun telepon diakui Ary sudah disatukan dengan pengeluaran Fakta yang sebagian besar disokong oleh donatur. “Kalau pendapatan sih kebanyakan dari donatur,” ungkap Ary tanpa menyebutkan asal para donatur tersebut. Fajar

Side Bar 2:

M. Abdul Majid (36), Pedagang Nasi Goreng

Nasi Gorengnya Semakin Laku Setelah Menjadi Penyiar

Menjadi seorang penyiar mungkin tak akan pernah terbayangkan oleh Abdul. Tapi berkat hadirnya Radio SWJ, ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang penyiar radio. Setiap hari, Abdul selalu berada di depan mikropon untuk menyambut para pendengar setianya. Setiap pukul 10.00-13.00 setiap harinya, Abdul bersama Daryono membawakan acara musik yang sebagian besar lagunya adalah lagu dangdut. “Kebanyakan lagu dangdut sih yang diminta para pendengar,” aku penyiar yang memiliki nama udara Ca’ Kabul ini.

Sejak Radio SWJ berdiri, Abdul memang menjadi salah satu penyiar dari 9 penyiar yang dimiliki oleh SWJ. Kala itu, Abdul juga turut membantu mendirikan Radio SWJ bersama dengan pengurus Fakta dan masyarakat lainnya. Ajakan dari para pengurus Fakta pun datang kepada dirinya. Ia diajak untuk menjadi penyiar SWJ. Abdul sendiri membutuhkan banyak penyesuaian terhadap pekerjaan penyiar yang baru dilakoninya. Untuk itu, para pengurus Fakta kemudian mendatangkan beberapa ahli dibidang penyiaran untuk melatih dan mendidik beberapa penyiar amatir agar mampu menyapa para pendengarnya dengan baik. Alhasil, kemampuan Abdul dalam mengeluarkan suara dari mulutnya dan kemudian menyebar ke radio-radio milik pendengarnya kian hari kian membaik.

Bila siang harinya Abdul menjadi seorang penyiar, maka di malam harinya ia kembali menekuni profesi semula sebagai seorang pedagang nasi goreng. Mulai pukul 6 sore, Abdul sudah bersiap-siap untuk menjual nasi goreng buatannya di daerah Pancoran. Hingga tengah malam, Abdul tak berhenti menunggu para pembelinya berdatangan. Rutinitas seperti itu dilakukannya setiap hari sejak 3 tahun lalu. Abdul mengaku, setiap hari ia dapat meraup pendapatan kotor sekitar Rp 200 ribu. Kehidupannya pun kini telah berubah. Abdul tak hanya pedagang nasi goreng biasa saja. Setelah ia menjadi seorang penyiar, Abdul ternyata dapat dikenal oleh masyarakat luas terutama para pendengar setia SWJ. “Banyak sih yang menegur saya dijalanan,” kenang Abdul sembari tersenyum.

Tak hanya itu saja, Abdul juga dapat memperbanyak penghasilan yang didapatnya dengan cara menjadi penyiar. Bahkan berkat menjadi penyiar pula, ia tak jarang mendapatkan tawaran untuk menjadi pembawa acara dalam acara pernikahan. “Honornya lumayan lah,” ungkap Abdul tanpa menyebutkan nominalnya. Selain itu, dagangan nasi gorengnya juga menjadi semakin laku setelah ia menjadi seorang penyiar. “Banyak pendengar yang penasaran sama nasi goreng buatan saya,” aku Abdul. Tak pelak, para pendengar tersebut kerap berdatangan ke tenda sederhana miliknya untuk mencicipi rasa nasi goreng buatan Abdul.

Ketika ditanya apakah ingin meneruskan pekerjaan penyiarnya, ia tampak sumringah dan menjawab, “Wah, saya mau banget kalau jadi penyiar di radio besar,” ungkap ayah dua anak ini. Abdul hanyalah satu dari beberapa pedagang yang berasal dari warga menengah ke bawah yang mampu menebarkan sayapnya menjadi seorang penyiar. Fajar

Side Bar 3:

Mengadakan Pertemuan Antar Pendengar Setiap Minggu

Kedekatan Radio SWJ tak hanya ditunjukkan melalui suara-suara para penyiarnya yang selalu menyapa para pendengar setiap hari. Namun juga dengan kegiatan yang kerap diadakan oleh radio SWJ setiap minggu. “Setiap hari Minggu, kami selalu didatangi oleh para pendengar,” ungkap Ary. Berbagai kelompok pendengar secara rutin berkumpul dan mengobrol dirumah yang dijadikan sebagai kantor SWJ tersebut. Uniknya, mereka datang dengan membawa makanan sendiri-sendiri. “Biasanya mereka membawakan makanan untuk para penyiarnya,” ujar Ary.

Para pendengar itu juga tak hanya berkumpul-kumpul saja tanpa tujuan. Mereka justru melakukan komunikasi antar kelompok pendengar. “Mereka juga sekalian memberikan atensi lagu,” aku Ary. Dengan dilakukannya pertemuan antar pendengar tersebut, maka kedekatan hubungan antar pendengar dapat terjalin dengan baik.

Markas Radio SWJ tak hanya digunakan sebagai tempat berkumpul para pendengar saja, rumah yang cukup sederhana itu juga sempat digunakan sebagai salah satu tempat pengungsian bagi warga sekitar yang beberapa bulan lalu terkena musibah banjir. “Waktu banjir kemarin tempat ini juga dijadikan sebagai posko bagi para korban banjir,” kenang Ary. Bahkan rumah yang dijadikan sebagai markas Radio SWJ dan Fakta tersebut sempat memberikan berbagai macam bantuan kepada para korban banjir tersebut. Sehingga Radio SWJ tak melulu berfungsi sebagai hiburan semata namun tetap memberikan uluran tangan bagi mereka yang kurang beruntung. Fajar