Thursday, June 10, 2010

Slamet Riyadi (31), Pemilik Gerobak Ilmu

Dengan Gerobak, Berkeliling Kampung Meminjamkan Buku Secara Gratis

Meski hanya seorang pengangguran, namun kepedulian Slamet Riyadi terhadap masyarakat sekitar sangatlah tinggi. Setelah melihat kurangnya minat baca anak-anak di kampungnya, Slamet akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah gerobak. Bukan sembarang gerobak, tapi gerobak yang memuat berbagai macam buku. Slamet bertekad untuk terus membantu anak-anak putus sekolah agar tetap dapat menimba ilmu. Darimana Slamet bisa mengumpulkan buku-buku tersebut?

Hari Rabu (30/5) sore itu tampak cuaca Jakarta sedikit mendung. Pertanda hujan sudah terlihat sejak Realita berada dalam perjalanan menuju kawasan selatan Jakarta. Tepat berada di salah satu gang di jalan Kebagusan II, terdapat sebidang tanah lapang yang kerap dijadikan sebagai lahan bermain anak-anak kampung sekitar. Di tanah lapang yang cukup luas itu, ada sebuah lapangan sepak bola. Beberapa anak lelaki tengah asyik memainkan si kulit bundar. Saking asyiknya bermain bola, mereka bahkan tidak menyadari bahwa langit di atas mereka sedang mendung. Sesekali mereka tertawa riang tatkala bola yang mereka tendang, masuk ke gawang lawan.

Tepat di sisi tanah lapang tersebut, ada beberapa anak yang tengah bersantai. Mereka sedang asyik duduk di bangku kayu sederhana. Di depan mereka, sebuah meja bundar berdiri tegap di atas tanah merah yang menjadi lantainya. Anak-anak yang diperkirakan berumur 7 sampai 12 tahun itu tampak seakan-akan sedang melakukan rapat, persis seperti yang dilakukan oleh para pejuang-pejuang kemerdekaan tempo dulu ketika berunding dengan pemerintah Belanda di sebuah meja bundar (Konferensi Meja Bundar, red). Meski begitu, anak-anak itu bukanlah sedang membicarakan masalah-masalah ekonomi ataupun kenegaraan seperti halnya para perunding di zaman kemerdekaan. Mereka hanya membicarakan tentang cerita-cerita rakyat dan tokoh komik yang telah mereka baca.

Selain tiga anak yang sedang membicarakan mengenai cerita rakyat dan komik, empat anak lainnya justru lebih banyak terdiam. Mereka seperti sedang asyik berada di dunianya sendiri, dunia cerita rakyat yang sedang mereka baca. Mereka seperti tak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Yang mereka perhatikan hanyalah sebuah buku lusuh yang ada di hadapannya. Tepat berada di belakang meja bundar, sebuah gerobak tengah bersandar di sisi luar dinding salah satu rumah. Gerobak itu bukanlah milik seorang penjual makanan ataupun minuman. Gerobak itu juga bukanlah milik seorang penjual mainan anak-anak. Gerobak tersebut hanyalah berisikan berbagai macam buku bacaan yang dikhususkan untuk anak-anak. Jangan pernah menyangka buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang baru terbit. Sebagian besar buku-buku tersebut hanyalah buku-buku bekas dan lusuh. Meski begitu, anak-anak itu tetap bersemangat membuka lembar demi lembar halaman dari buku yang mereka baca.

Ternyata, di antara anak-anak yang sedang asyik membaca berbagai macam buku bacaan, ada seorang pria yang tentu bukan lagi anak kecil. Dialah Slamet Riyadi (31), seorang pria di balik Gerobak Ilmu dan memiliki kepedulian terhadap keadaan anak-anak di kampungnya. Slamet bukanlah orang yang berasal dari keadaan ekonomi yang mapan atau berlebih sehingga ia memutuskan untuk berkecimpung dalam aktivitas sosial. Sosok Slamet hanyalah pria biasa yang menghabiskan waktunya bersama anak-anak. Ia tidak mengandalkan materi untuk sekadar mengulurkan tangannya bagi anak-anak kurang mampu. Slamet justru mengandalkan jiwa sosial dan keinginan yang teguh untuk membantu anak-anak di kampungnya.

Sosok Slamet Riyadi bukanlah sosok pria yang kaya raya hingga ia mampu memberikan rasa kepedulian sosialnya terhadap anak-anak putus sekolah. Ia hanyalah pria pengangguran yang memiliki jiwa tulus untuk membantu anak-anak di sekitar lingkungan rumahnya. Meski merasakan kekurangan dana, ia tetaplah bertekad untuk menjalankan organisasi yang ia dirikan untuk dapat meningkatkan minat baca anak yang dinilainya masih kurang.

Slamet Riyadi adalah anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Saryo (57) dan Ngadiyem (50). Sang ayah, Saryo bukanlah orang tua yang berasal dari keluarga berada. Ia hanya berprofesi sebagai koki atau tukang masak di berbagai acara. Sedangkan Ngadiyem hanyalah ibu rumah tangga biasa yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah yang dikontraknya Rp 500 ribu per bulan. Kedua adiknya, yakni Hedy (27) dan Eni Apriani (23) juga tak berbeda jauh dengan nasib sang kakak. Hedy kini telah menikah dan tidak tinggal bersama dengan kedua orang tuanya lagi. Sedangkan Eni masih tinggal dengan Slamet. “Kalau Eni sudah bekerja sebagai OG (Office Girl, red) di Bank Mandiri,” ungkap Slamet.

Slamet sendiri kini sedang tidak bekerja alias ‘pengangguran’. “Saya sedang mencari kerja sih,” ujar Slamet yang pernah mendirikan rumah singgah di Bogor ini. Dalam masa pencarian kerjanya itulah, ia mengurusi Gerobak Ilmu dengan giat. Meski demikian, tahun 1995-1996 Slamet pernah merasakan bangku kuliahnya di dua universitas berbeda, IISIP dan Universitas Pakuan, Bogor. Namun keduanya tidak diselesaikannya hingga meraih gelar sarjana. “Karena keterbatasan dana, saya nggak sampai selesai,” ujar Slamet. Bahkan di Universitas Pakuan, ia harus berhenti kuliah di program studi Kesejahteraan Masyarakat tatkala ia sudah berada di semester V. Hingga saat ini, Slamet tidak mampu menyelesaikan program sarjananya tersebut. Diakuinya ada tawaran beasiswa dari salah satu rekannya di LSM asing. Namun, ia masih ingin lebih banyak mengurusi Gerobak Ilmu sehingga tawaran tersebut ia tolak untuk sementara.

Kelompok Indonesia Belajar. Walaupun Slamet tidak memiliki materi yang berlimpah, Slamet justru menjadi seorang pencetus berdirinya sebuah komunitas yang bernama Kelompok Indonesia Belajar (KIBAR). Slamet mendirikan KIBAR sekitar tahun 2001. Ia bersama dua rekannya, Budi (27) dan Adi (20) memiliki keinginan yang sama dalam membangkitkan minat baca anak-anak khususnya anak-anak yang tinggal di daerahnya, di Kebagusan, Jakarta Selatan. “Kita dulu memikirkan apa yang bisa kita kerjakan untuk anak-anak ini,” ungkap Slamet. Namun, KIBAR sempat vakum dan tidak mengadakan berbagai macam kegiatan. Kegiatan baru kembali dilaksanakan setelah Slamet membuat Gerobak Ilmu di tahun 2004.

Ketiganya sangat tersentuh hatinya ketika melihat banyak anak-anak yang putus sekolah di daerah Kebagusan. “Mereka putus sekolah bukan karena tidak mampu,” aku Slamet. “Mereka putus sekolah karena orang tuanya belum sadar bahwa pendidikan itu sangat penting,” imbuhnya. Menurut Slamet, kebanyakan orang tua sudah sangat puas jika anak-anaknya dapat membaca dan menulis. Alhasil, bila anak-anaknya sudah dapat membaca dan menulis, mereka tidak memiliki keinginan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tak pelak, sebagian besar anak-anak hanya mampu menamatkan sekolahnya hingga jenjang Sekolah Dasar saja. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi Slamet dan kedua rekannya. Mereka mengkhawatirkan anak-anak itu tidak memiliki minat baca atau belajar lagi setelah tidak melanjutkan sekolah. Oleh karena itu, Slamet memutuskan untuk membuat sebuah gerobak yang difungsikan sebagai perpustakaan gratis bagi anak-anak di daerahnya.

Modal Rp 150 Ribu dan Buku Bekas. Awalnya, banyak kendala yang dihadapi oleh Slamet. Salah satunya adalah kendala dana yang sangat terbatas. Meski demikian, Slamet memutuskan untuk menggunakan sebagian uang dari tabungannya untuk membuat gerobak tersebut. “Saya hanya menghabiskan uang Rp 150 ribu untuk membuat gerobak,” aku Slamet seraya berkata bahwa uang tersebut adalah tabungannya saat masih kuliah dan aktif di berbagai LSM. Pada tahun 2004 itu, Slamet membuat gerobak seorang diri. Uang yang dikeluarkan tersebut diakuinya, digunakan untuk membeli bahan-bahan bangunan, seperti kayu dan seng untuk atap gerobak. Hanya dalam waktu dua hari, Slamet berhasil untuk membuat sebuah gerobak sederhana. “Banyak orang-orang sini (kampung, red) yang bertanya buat apa bikin gerobak?” kenang Slamet. “Saya hanya menjawab untuk bikin rak,” tambahnya.

Setelah gerobak tersebut selesai dibuat, semakin banyak orang-orang kampung yang bertanya kepada Slamet. Kebanyakan dari mereka penasaran dengan gerobak itu dan kegunaannya. Slamet kemudian menempatkan 30 buah buku-yang merupakan koleksi buku bacaannya-di dalam gerobak tersebut. Barulah pada September 2004, Slamet mulai menghadirkan Gerobak Ilmu di tengah-tengah kampung. “Cuma sedikit kok bukunya waktu itu, karena hanya koleksi saya saja,” kenang Slamet. Tak ayal, sebagian besar bukunya sudah berubah warna menjadi cokelat yang terlihat lusuh. Meski begitu, Slamet tetap bersemangat meneruskan cita-citanya untuk meningkatkan minat baca anak-anak di daerahnya. Kendala tak hanya berasal dari kekurangan dana saja, tapi juga dari anak-anak di sekitar rumahnya. “Awalnya banyak yang meragukan kehadiran Gerobak Ilmu ini,” ujar Slamet. Anak pertama dari 3 bersaudara ini pun langsung menuliskan ‘Perpustakaan Gratis Untuk Semua’ tepat di atas gerobak tersebut. Meski begitu, anak-anak masih belum tertarik untuk membaca buku. Diakui Slamet, walaupun mereka kerap mampir untuk melihat Gerobak Ilmu, anak-anak itu hanya sekadar melihat-lihat saja dan tidak memiliki niat untuk membaca buku-buku yang terpampang jelas di dalam gerobak.

Anak-Anak Mulai Tertarik. Seiring berjalannya waktu, akhirnya lama kelamaan anak-anak di sekitar kediaman Slamet mulai tertarik dengan buku-buku yang ada di Gerobak Ilmu. Mereka mulai membaca buku-buku tersebut. “Akhirnya banyak anak-anak yang membaca,” ujar Slamet sembari tersenyum. Slamet memang tidak memungut biaya setiap kali ada anak yang meminjam bukunya. Namun demikian, setiap anak yang meminjam akan selalu dicatat di dalam sebuah buku. Dengan begitu, Slamet dapat mengawasi dan memeriksa buku-buku mana saja yang dipinjam. Tapi, tetap saja ada buku yang hilang. “Kalau ada yang hilang, pasti anaknya lapor ke saya,” ujar Slamet. Hingga saat ini, koleksi buku yang dimiliki Gerobak Ilmu sekitar 600-an buku. Selain koleksi pribadi, buku-buku tersebut berasal dari sumbangan berbagai instansi atau perusahaan, maupun komunitas Taman Bacaan lain seperti Komunitas 1001 Buku.

Selain itu, ada kendala lainnya ketika Gerobak Ilmu telah berjalan. Setiap kali hujan datang, anak-anak yang tengah membaca buku langsung berhamburan pulang. Tidak adanya tenda atau saung untuk melindungi dari panas dan hujan menjadi kendala yang selalu saja menghampirinya setiap hari.

Gerobak Ilmu sendiri buka setiap hari mulai pukul 3 sore hingga pukul 6 sore. Biasanya di waktu-waktu itulah, anak-anak kerap berkumpul dan bermain di tanah lapang dekat Gerobak Ilmu. Kini, baru hanya ada satu Gerobak Ilmu, yakni gerobak buatan Slamet sendiri. Slamet berharap dapat membuat Gerobak-Gerobak Ilmu lainnya agar tidak hanya membantu anak-anak di sekitar Kebagusan saja, tapi juga anak-anak kurang mampu lainnya di Jakarta. Gerobak Ilmu sempat berkeliling kampung di daerah Kebagusan untuk mencapai anak-anak lain yang belum mengenal Gerobak Ilmu. Namun setelah sempat berkeliling kampung, banyak anak di sekitar rumahnya justru menanyakan tempat Gerobak Ilmu. Tak ayal, ia pun kembali menempatkan Gerobak Ilmu di tempatnya semula, yakni di tanah lapang tak jauh dari rumah kontrakannya.

Pelatihan Anak Putus Sekolah. Selain memiliki Gerobak Ilmu, Kelompok Indonesia Belajar (KIBAR) juga memiliki beberapa kegiatan yang mencakup pendidikan dan pemberdayaan. “Kita memberikan pelatihan bagi anak-anak putus sekolah,” aku Slamet. Salah satu pelatihan yang kerap diadakan oleh Slamet adalah pelatihan sablon pakaian, dan kerajinan tangan sederhana. Secara rutin, ia mengadakan pelatihan tersebut tiga kali dalam sebulan. Slamet berharap dengan adanya pelatihan menyablon pakaian, anak-anak yang putus sekolah itu dapat meningkatkan kemampuannya dan berwirausaha sendiri. Tak hanya itu, setiap Hari Pendidikan Nasional tiba, bekerja sama dengan LSM atau pun komunitas lain, Slamet mengadakan perlombaan bagi anak-anak di lingkungan sekitarnya. “Kita mengadakan lomba baca puisi, baca cerita, menggambar, dan mewarnai,” tutur Slamet. Seperti pada 2 Mei yang lalu, Slamet dibantu dengan beberapa pengurus Komunitas 1001 Buku mengadakan perlombaan bagi anak-anak. “Kita hanya mampu beli trophy yang harganya Rp 50 ribu per set,” aku Slamet. Sedangkan hadiah lainnya, dibantu oleh para anggota Komunitas 1001 Buku. Perlombaan itu sendiri telah menghabiskan dana Rp 1.285.000. Dana tersebut sebagian besar berasal dari tabungan Slamet sendiri dan bantuan dari Komunitas 1001 Buku.

KIBAR juga pernah mengikuti Olimpiade Taman Bacaan yang diadakan pada 22 April lalu di Jakarta. Sebagai salah satu komunitas taman bacaan, KIBAR ikut serta mengirimkan anak-anak didiknya untuk berkompetisi di perlombaan tersebut. Dengan ongkos pas-pasan, mereka ikut dalam berbagai lomba. Akhirnya mereka mendapatkan gelar juara harapan 1 untuk lomba melanjutkan cerita dari pihak panitia. Terbukti dengan serba kekurangan yang ada, anak-anak KIBAR justru mampu menorehkan prestasi di olimpiade taman bacaan tersebut.

Dengan keterbatasan dana, Slamet berharap dapat menemukan pihak yang dapat menjadi penyumbang tetap bagi KIBAR. “Saya berharap KIBAR dapat menjadi sebuah yayasan,” harap Slamet. Namun cita-citanya tersebut tak akan terwujud tanpa adanya bantuan dana dari penyumbang. Selain itu, Slamet juga berencana untuk membangun sebuah sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) di daerah Kebagusan. Untuk membangun sebuah TK, ia bekerja sama dengan salah satu rekannya. Di lahan di sekitar Gerobak Ilmu pun akan dibangun sebuah taman kecil dan sederhana agar anak-anak yang mengunjungi Gerobak Ilmu dapat merasa nyaman ketika membaca buku. Fajar

Sidebar 1:

Sempat Bergabung Dengan Berbagai LSM

Ketika masih mengenakan almamater mahasiswa tahun 1996, Slamet memang dikenal sebagai pemuda yang getol berkegiatan di berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, red). Ia telah bergabung dengan beberapa LSM dan menyalurkan jiwa sosialnya di lembaga-lembaga tersebut. LSM seperti YKAI (Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia), MMK (Mitra Masyarakat Kota), dan YPI (Yayasan Pelita Ilmu) pernah ia masuki. Setelah kenyang dengan pengalaman bergabung di LSM, ia pun mendirikan Kelompok Indonesia Belajar (KIBAR) sebagai salah satu solusi yang ia tawarkan setelah melihat kondisi anak-anak di sekitar rumahnya. Kepedulian dan jiwa sosial yang dimilikinya ternyata tidak didapat dari rumah, melainkan dari lingkungan pergaulannya. Selain karena lingkungan LSM yang pernah ia akrabi, Slamet juga mendapatkan pendidikan sosial dan kepedulian sosial ketika ia masih menginjak bangku SMA. Ketika SMA, Slamet bersekolah di SMPS (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial-sekarang SMKN 28, red) di daerah Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Dari pendidikan yang didapat dari sekolah itulah, Slamet memperolah pelajaran mengenai berbagai macam tentang kepedulian sosial.

Kini, ia langsung menerapkan pengalamannya di dunia nyata. Salah satunya adalah dengan mengurusi Gerobak Ilmu, sebuah gerobak yang kecil dan sederhana namun sangat berarti bagi anak-anak di sekitar Kebagusan, Jakarta Selatan. “Saya hanya ingin mengembangkan KIBAR dan Gerobak Ilmu dengan mencari donatur tetap untuk membiayai kegiatan-kegiatannya,” harap pria yang masih lajang ini. Fajar

Side Bar 2:

Sempat Meminta Sumbangan Buku-Buku di Kediaman Megawati

Daerah Kebagusan, Jakarta Selatan mungkin akan mengingatkan Anda tentang kediaman mantan presiden RI terdahulu. Kebagusan memang dikenal sebagai daerah kediaman Megawati Soekarno Putri, mantan presiden wanita pertama Indonesia. Kediaman Megawati ternyata letaknya tidak jauh dari Gerobak Ilmu-nya Slamet. Hanya berjarak kurang dari 1 km. Tak ayal, Slamet pun berharap adanya sumbangan buku-buku bacaan dari anak presiden pertama Indonesia tersebut.

Niat mendatangi kediaman Megawati untuk meminta sumbangan ternyata tidak membuahkan hasil. “Saya sempat meminta sumbangan buku untuk Gerobak Ilmu ke rumah Megawati,” kenang Slamet. Sebelum Slamet mendekat ke rumah Megawati, ia dihalangi oleh seorang penjaga yang bertubuh besar. Slamet pun diberondong berbagai pertanyaan yang intinya menanyakan keperluan bertemu dengan Megawati. Singkat cerita, ia hanya bisa menitipkan surat permohonan permintaan sumbangan kepada sang penjaga tersebut. Slamet hanya diminta untuk menunggu kabar mengenai permohonan sumbangannya itu. Namun, setelah beberapa lama ditunggu, kabar tersebut tidak kunjung datang. Harapan sumbangan buku-buku dari mantan presiden hanya menjadi harapan kosong belaka. Fajar

Side Bar 3:

Rani (13), Salah Satu Pembaca Gerobak Ilmu

Karena Gerobak Ilmu, saya jadi rajin membaca”

Kehadiran Gerobak Ilmu di tengah-tengah kampung di sekitar Kebagusan memang memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Sebagian besar anak-anak yang tadinya kurang berminat untuk membaca, setelah kehadiran Gerobak Ilmu, mereka menjadi memiliki minat membaca yang cukup tinggi. Salah satu yang mengakui hal tersebut adalah Rani (13).

Siswi kelas 1 SMP 218, Jakarta Selatan ini mengaku bahwa dulunya ia kurang berminat untuk membaca buku. Buku yang ia baca pun hanya berkutat di seputar buku pelajaran saja. Hal tersebut juga dikarenakan Rani tak dapat membeli buku sesuka hatinya karena keterbatasan dana. Tak ayal, buku-buku bacaan yang diidam-idamkan untuk dibacanya hanyalah menjadi harapan kosong semata. Namun, setelah adanya Gerobak Ilmu, Rani dapat membaca buku-buku bacaan kesukaannya. “Saya jadi senang baca buku dari Gerobak Ilmu,” ungkap Rani. Sehingga ia tak jarang selalu berada di dekat Gerobak Ilmu hanya untuk membaca buku. “Orang tua sih nggak melarang, malah mereka mendukung,” ujar gadis ABG berambut panjang ini. Meski Rani bukanlah termasuk anak-anak yang putus sekolah seperti sebagian besar teman-temannya, ia tetap merasa terbantu dengan adanya kehadiran Gerobak Ilmu. Ia juga turut membantu Slamet ketika KIBAR mengadakan perlombaan dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional beberapa waktu lalu, dengan menjadi salah satu panitianya.

Hampir setiap minggu, Rani meminjam 3 sampai 5 buku. Ketika ia meminjam, ia harus mendaftar terlebih dahulu dan kemudian dicatat dalam buku sederhana sebagai tanda bukti peminjaman. “Biasanya saya baca buku sampai lima hari,” aku Rani. Setelah selesai membaca buku, barulah buku-buku tersebut dikembalikan ke Gerobak Ilmu. Hal serupa juga dilakukan oleh anak-anak lainnya. Meskipun Gerobak Ilmu mampu menyediakan koleksi buku bacaan yang cukup banyak, Rani juga menyayangkan kurangnya buku bacaan terbitan baru. “Saya penasaran sama ceritanya Harry Potter,” ujar Rani sembari tersenyum simpul. Tak heran, Rani merasa penasaran dengan kelanjutan cerita Harry Potter. Pasalnya, ia hanya baru membaca jilid pertama buku karangan JK Rowling tersebut. Selain buku Harry Potter, Rani juga menyukai buku-buku komik dan buku bacaan horror. Sehingga ia berharap koleksi buku bacaan Gerobak Ilmu dapat bertambah dengan adanya buku-buku terbitan baru. Selain itu, Rani juga berharap ada donatur yang dapat memberikan sumbangan buku-buku bacaan untuk Gerobak Ilmu. Fajar

1 comment:

buletin pustaka said...

salam kenal,
saya bambang dari perpustakaan daerah kabupaten semarang ingin meniru gerobak baca ini. ingin kami kembangkan di beberapa lokasi.... mohon ijin....