Friday, October 16, 2009

Wimar Witoelar (Presenter dan Pengusaha)



Mengabdikan Hidupnya untuk Cinta, Kebebasan dan Kritik

Masih ingat joke-joke lucu dan menggelitik yang terlontar dari sosok pria gempal yang satu ini? Atau mungkin Anda hanya mengingat Wimar lewat rambut kribonya yang sering wara-wiri di layar kaca? Sosok Wimar Witoelar memang dikenal sebagai pria yang memiliki tubuh tambun, berambut kribo serta joke-joke lucu dan menggeletik. Tapi, seperti apa sosok dan kepribadian Wimar W

itoelar sesungguhnya?

Selasa (6/2) siang itu tidak terasa panas. Gumpalan awan kelabu menghiasi langit Jakarta. Meski pertanda akan hujan, Realita harus menemui sosok pria yang sangat familiar ini. Pukul 11.00 WIB memang telah ditentukan sebagai waktu yang tepat untuk mengobrol dengan sosok pria penyuka warna-warna cerah ini. Kantor perusahaan yang dipimpinnya memang tidak sulit ditemukan. Di pojok Ruko kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, di situlah Wimar berkantor. Ruangan kantornya pun terlihat sangat sederhana. Pintu kaca yang bertuliskan Intermatrix menghiasi bagian depan kantornya.

Tak ada yang istimewa saat Realita masuk ke dalam ruangan kantor Intermatrix. Seperti ruangan kantor pada umumnya, kantor Intermatrix hanya dipenuhi beberapa meja, kursi

dan komputer. Sebuah meja bundar yang dikelilingi dengan beberapa kursi, terlihat di tengah-tengah ruangan kerja Intermatrix di lantai atas. Meski begitu, ada satu hal yang membuat perusahaan yang bergerak di bidang public relations (PR) tersebut sangat istimewa. Sang pemilik dan pendiri Intermatrix yang menjadikan perusahaan ini istimewa. Mantan juru bicara kepresidenan era Gusdur ini adalah pemilik sekaligus direktur utamanya.

Wimar terlihat ramah ketika menyambut kedatangan Realita. Dengan senyum khas, ia mempersilahkan Realita untuk menempati kursi yang telah dipersiapkan. Di tengah kesibukannya, Wimar menyempatkan diri berbincang-bincang dengan Realita. Dengan pwenuh semangat, Wimar kemudian mengisahkan perjalanan hidup dan karirnya hingga saat ini.

Entertainer Humoris. Hanya satu yang tak bisa berubah dari seorang Wimar Witoelar. Dari dulu hingga sekarang, ia tetap menjadi seorang entertainer. Entah tampil di layar kaca maupun di acara talkshow yang bersifat offair. Lontaran-lontaran joke yang menggelitik selalu menghiasi acara yang dipandunya. Berkat kepiawaiannya dalam mengolah kata-kata inilah, ia mampu menjalani berbagai profesi. Mul

ai dari aktivis mahasiswa hingga menjadi juru bicara kepresidenan, telah ia geluti. Namun, lelucon-lelucon yang menarik selalu saja terlontar ketika berbicara. Gelak tawa penonton seakan menjadi bagian tak teprisahkan dari acara yang dipandunya. Ia memang sering dijuluki sebagai entertainer sejati.

Saat ini Wimar tengah sibuk menjadi presenter di dua acara televisi dan radio. Kharismanya yang muncul ketika membawakan acara, membuat Wimar selalu dipercaya memandu talkshow. Lelucon-lelucon yang menggelitik menjadikan setiap talkshow yang ia bawakan, selalu diminati penontonnya.

Wimar tampil untuk pertama kali di depan publik melalui acara talkshow bertajuk Perspektif di SCTV sekitar tahun 1994. “Waktu itu, saya masuk Perspektif secara diam-diam,” ungkap Wimar. Ia mengaku, ketika itu ia dipanggil oleh pihak manajemen stasiun televisi swasta itu hanya untuk merombak manajemen dalam perusahaan. Akan tetapi, Wimar justru menyarankan kepada pihak stasiun TV tersebut agar tidak terlalu berpikir untuk merombak sistem manajemen perusahaan. Karena menurutnya, untuk ukuran stasiun TV, tidak perlu harus sesuai dengan perusahaan pada umumnya. “Saya katakan, mereka cukup membuat acara TV yang berbeda dengan stasiun TV lain,” tutur Wimar.

Dari situlah, pria kelahiran Padalarang, Bandung itu menyarankan agar stasiun TV tersebut mengemas acara talkshow seperti Larry King Show yang ditayangkan Stasiun TV Berita CNN. Saat itu, Wimar dengan sangat percaya diri mengajukan diri sebagai presenter dari acara yang kemudian diberi nama Perspektif tersebut.

Bebas Berekspresi. Melalui acara Perspektif, Wimar memang melawan arus. Karena kritik-kritik tajam sangat diharamkan pada era pemerintahan Orde Baru. “Orang mengira kritik di acara Perspektif adalah kritik untuk Presiden Soeharto. Padahal tidak,” elak Wimar. Akibatnya, acara tersebut dilarang pemerintah. “Padahal bagi saya, Perspektif tidak mengandung arti politis,” lanjutnya.

Sebagai pemandu acara Perspektif, fokus bahasan Wimar memang sangat bertolak belakang dengan situasi politik saat itu. Di mana kebebasan berpolitik sangat terbatas. Melalui joke-joke-nya pula, Wimar memberi inspirasi dalam cara pandang sosial dan politik. Wimar pun menjadi sorotan kala itu. Namun, buah dari penampilannya, Wimar dikenal sebagai sosok pria yang pintar berkomunikasi dan membawa penontonnya ke dalam dunia Wimar. Tempat di mana kebebasan berekspresi selalu mendapat prioritas.

Setelah menorehkan namanya di dunia talkshow tanah air, Wimar sempat menggeluti dunia yang berbeda jauh dengan apa yang telah digelutinya tersebut. Ketika rezim Orde Baru tumbang, dan pemerintahan dikendalikan Presiden Abdurrahman Wahid, Wimar Witoelar dipilih sebagai juru bicara presiden antara tahun 2000-2001. Wimar memang bukan seroang partisipan dari salah satu partai politik. Namun, ia tetap menerima jabatan tersebut sebagai sebagai kehormatan dan panggilan tugas sebagai seorang professional di bidang komunikasi.

Walau ia bukan partisipan salah satu partai politik di tanah air, keterlibatan Wimar di dunia politik belum tentu dibilang nihil. Wimar sendiri pernah menjadi salah seorang konseptor dan pendiri Golongan Karya di Bandung. Kala itu, menjelang Pemilu 1971, Wimarlah yang menyusun daftar calon legislatif Golkar Jawa Barat. Pada waktu itu, ia memasukkan rekan-rekannya, seperti Sarwono Kusumaatmadja, Rachman Tolleng, Marzuki Darusman, termasuk Rachmat Witoelar dan dirinya sendiri. “Waktu itu, saya cuma memasukkan daftar caleg. Saya hanya terlibat selama tiga bulan,” tegas Wimar yang tidak ingin terpilih lagi menjadi juru bicara kepresidenan ini.

Ternyata, dunia politik bukanlah dunia yang ia pilih. Bukan karena ia tersisih dari dunia itu, melainkan karena ia secara terang-terangan menolak kebijakan-kebijakan yang dibuat pada pemerintahan Orde Baru. Joke-joke politiknya yang terlontar pun lebih banyak memberikan sindiran terhadap kelemahan-kelemahan pemerintah. Joke-joke politiknya memang tak hanya mengundang gelak tawa, tetapi juga mengandung makna yang seharusnya dicerna dengan baik oleh para penonton. Melalui joke-joke-nya itu pula, kebebasan berdemokrasi dapat terwujud meski hanya dalam lingkup talkshow yang ia bawakan.

Menjadi pembicara di berbagai tempat sudah merupakan hal yang biasa bagi dirinya. Namun, Wimar tidak hanya menghabiskan waktu dengan terus menerus menjadi pembicara. Ia harus membagi waktu dengan tugas lain. Karena ia juga seorang pengusaha. Salah satu perusahaan yang ia dirikan adalah Intermatrix Communications. Komunikasi menjadi jurus ampuhnya untuk menaklukan pelbagai masalah. Intermatrix sendiri didirikan pada tahun 1986, hasil kerjasama dengan dua sahabat, yakni Gede Raka dan Ahmad Habir. Kemudian pada tahun 1994, Intermatrix Communications dibentuk sebagai divisi baru dari Intermatrix. Fokus di perusahaan pun berubah menjadi bidang komunikasi, yang tadinya adalah konsultans manajemen.

Wimar menjadi sosok pendiri sekaligus pembimbing bagi rekan-rekan juniornya di perusahaan. Intermatrix menjelma menjadi rumah kedua bagi Wimar. Tak heran, karena bagi Wimar, rekan-rekan kerjanya di Intermatrix bagaikan keluarganya sendiri. Terlebih lagi setelah ditinggal pergi sang istri, Suvatchara yang meninggal tahun 2003, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus perusahaan tersebut. Fajar

Side bar 1…….

Pernah Dipenjara Karena Kritik


Selain pernah menggeluti dunia presenter dan pembicara di berbagai acara talkshow, Wimar juga dikenal sebagai kolumnis di media lokal dan internasional. Selepas meninggalkan istana presiden, ia lebih sering menjadi pembicara di berbagai media asing. Itu sebabnya, jika Anda bertanya kepada media asing, seperti stasiun televisi BBC, CNBC, CNN, dan ABC, siapa sosok orang Indonesia yang patut dijadikan narasumber berkualitas, jawabannya pasti Wimar Witoelar. Media cetak asing, seperti, Today, Business Week, News Week, Australian Financial Review, juga selalu menggunakan Wimar sebagai kolumnis.

Suara nyaring dari pria yang lahir tanggal 14 Juli 1945 ini akan terdengar di stasiun TV mancanegara. Kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi ciri khas dari pria yang pernah mendekam di dalam hotel prodeo pada Februari 1978 gara-gara sering melontarkan kritik pedas kepada pemerintahan Orde Baru tersebut.

Konsep demokrasi memang tak bisa dilepaskan begitu saja dari sosok Wimar Witoelar. Kini, Wimar memang hanya bergelut dengan dunia presenter. Tetapi bukan berarti konsep demokrasi ia tinggalkan. Ia masih menerapkan konsep demkorasi dalam perusahaan yang ia pimpin, Intermatrix Communications. Wimar juga saat ini tengah mendidik rekan-rekan mudanya di Intermatrix agar berkembang menjadi insan yang bekerja secara etis. “Intermatrix adalah keluarga saya,” ujar pria penolak poligami ini.

Pengaruh Keluarga. Pribadi Wimar juga erat kaitannya dengan pengaruh zaman baheula ketika ia masih mendapat didikan orang tua. Dilahirkan dari pasangan Raden Achmad Witoelar dan Nyi Raden Toti Soeiamah, Wimar tumbuh menjadi pribadi yang kritis dalam berbagai hal. Dari didikan orangtuanya, ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga. Selimut keluarga yang hangat, selalu berada di sekitar Wimar. Kondisi yang harmonis juga mampu memberikan efek poistif terhadap sisi kepribadian bungsu dari lima bersaudara ini.

Wimar berasal dari keluarga menengah, tidak miskin dan tidak juga kaya. Kebersamaan dan kondisi keluarga yang demokratis selalu ditanamkan oleh orangtuanya. Tak heran jika seluruh anggota keluarga sedang berkumpul, perdebatan kecil selalu mewarnai percakapan mereka. Momen makan bersama pun bisa berubah menjadi sebuah seminar kecil.

Sang ayah, Raden Achmad Witoelar merupakan seorang pamongpraja, polisi dan wedana pada masa penjajahan Belanda dulu. Hal tersebut membuat keluarga besar Witoelar selalu berpindah-pindah tempat tinggal seiring dengan berpindah tugas sang kepala keluarga. Setelah Indonesia merdeka, ayah Wimar menjadi seorang diplomat. Benua Eropa disambangi keluarga Witoelar, mulai dari Belanda hingga Swedia. Wimar menjalani masa kanak-kanaknya di Eropa. Hampir setiap akhir pekan, Wimar bersama keluarga selalu menyempatkan untuk bertamasya keliling Eropa. Dengan mengendarai mobil, keluarga Witoelar yang terkenal harmonis itu berusaha mengenali setiap budaya dari daerah-daerah yang mereka kunjungi.

Cinta Terpaut di Bangkok. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1957, ia memulai kehidupan biasa. Tampilan dengan rambut kribo dan berbadan tambun mulai tampak ketika Wimar mamasuki usia 16 tahun. Berkat didikan orangtuanya pula, Wimar kecil lebih suka membaca majalah Time dan Newsweek ketimbang Si Kuncung. Berkat kegemarannya dalam membaca, dunia seakan-akan kecil di mata Wimar. Mantan pemukul bel sekolah di masa kecilnya ini mulai menampakkan sisi Wimar yang kritis dan cerdas ketika ia memasuki bangku kuliah di jurusan Teknik Elektro ITB. Selepas kuliah dan menyelesaikan studinya, Wimar lebih memilih berkelana di luar negeri.

Dalam aksi jalan-jalan inilah, ia akhirnya bertemu dengan Suvatchara Leeaphon, gadis Thailand yang kemudian dinikahinya di KBRI Bangkok, tanggal 27 Februari 1971. Dari wanita Thailand itulah, ia mendapatkan dua putera, Satya Tulaka dan Aree Widya. Kini Wimar tidak perlu pusing mengurus kedua anaknya, karena mereka sudah berkeluarga dan memiliki kehidupan sendiri. Hal ini memudahkan Wimar untuk menggeluti dunianya, dunia entertainment yang sudah ia jalani selama ini.

Dalam menjalani hidup ini, Wimar lebih memilih memposisikan diri sebagai seorang professional yang berkecimpung di dunia public relations. “Apa pun akan saya jalani, asalkan itu menyenangkan,” ujar Wimar. Ya..Wimar tetaplah seorang Wimar yang akrab dengan dunia kebebasan. Dan kebebasan itu pulalah yang selalu ia perjuangkan. Fajar


Side Bar 2…..

Konsep Cinta ala Wimar Witoelar


Wimar lebih dikenal sebagai pribadi yang humoris. Mungkin dalam pribadinya yang humoris itu pulalah muncul pribadi yang sangat disukai oleh kaum hawa, romantis. Sang istri, Suvatchara Leeaphon yang selalu menemani Wimar selama 32 tahun, adalah sosok wanita paling beruntung karena ia mendapatkan suami yang romantis. Pernikahan yang dijalani Wimar, diakuinya sebagai perwujudan cinta. “Menurut saya, perkawinan adalah perwujudan cinta,” tuturnya sembari berfilosofi.

Istrinya adalah sosok wanita yang sangat dicintai Wimar. Tak ayal, ia merasakan adanya kekosongan dalam hidup setelah sang istri meninggal karena kanker. “Saya merasakan kekosongan setelah istri saya meninggal,” kenang Wimar. Cinta mendapatkan porsi cukup penting dalam kehidup Wimar. Selain internet yang sangat disukainya, cinta merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam kehidupan Wimar. “Cinta itu tidak mengenal umur,” ujar adik kandung Rachmat Witoelar ini.

Menurut Wimar, semua orang dapat merasakan cinta, karena cinta tidak terbatas pada umur. Bahkan dengan umurnya yang akan menginjak 62 tahun, Wimar mengaku bahwa ia kerap merasakan perasaan cinta. “Saya sering jatuh cinta,” ungkap Wimar. Baginya, cinta yang tulus adalah perasaan cinta yang hanya mampu direalisasikan melalui perasaan. “Cinta yang tulus itu transendental dalam dunia yang paralel,” ujar Wimar sedikit berfilsafat.

Menurutnya, perasaan cinta tidak perlu diungkapkan dengan menyentuh pasangannya. Bisa juga diungkapkan melalui perasaan. Dengan cara ini, seseorang sudah cukup untuk mencurahkan cinta yang tulus. Sosok romantis juga tergambar jelas dari bagaimana Wimar sangat menghargai cinta di dalam hidupnya. “Satu hal yang saya hargai dalam hidup ini adalah cinta. Itu sebabnya, berbahagialah orang yang bisa mencintai,” imbuhnya.

Wimar mengaku beruntung bisa mencintai istrinya selama 32 tahun. Meski sang istri telah lebih dulu meninggalkan dirinya, Wimar mengaku bahwa istrinya akan selalu ada karena cinta. Fajar


Side Bar 3…

Kesepian Setelah Ditinggal Istri


Perjalanan seorang Wimar tidak sepenuhnya sesuai harapan. Bagi Wimar, kematian sang istri akibat kanker merupakan cobaan yang sangat berat. “Cobaan terberat yang saya alami dalam hidup ini adalah ketika istri saya meninggal dunia,” kenang Wimar. Pada saat itu, Wimar merasa kehilangan segalanya. Pernikahannya yang harmonis ternyata hanya mampu mencapai usia 32 tahun. Tuhan berkehendak lain dengan mengambil nyawa sang istri dari sisi Wimar ketika ia sangat membutuhkan cintanya.

Kesuksesan karir yang diraihnya selama belasan tahun tak mampu menutupi kesedihan yang dialaminya. Bagi Wimar, tak ada lagi kejadian yang sangat menyedihkan selain kematian sang istri. Sepeninggal sang istri, sedikit banyak mempengaruhi karir dan kehidupan pribadi Wimar. Sejak tahun 2003, tahun kematian istrinya, Wimar sempat “tenggelam” dari layar kaca. Tak ada lagi lelucon yang mampu mengoyak pikiran pemirsa. Tak ada lagi sosok lelaki berambut kribo dan berkacamata yang wara-wiri di televisi tanah air. Menghadiri acara talkshow yang bersifat offair pun tak pernah dilakukannya lagi.

Sekitar awal 2006, barulah Wimar kembali lagi menyapa penonton setianya. Ia kembali nongol di televisi dengan konsep acara yang tidak jauh berbeda dengan Perspektif yang membawanya ke dunia presenter di masa lalu. “Saya butuh waktu untuk mengurusi keluarga, khususnya anak-anak. Hanya dengan cara ini saya bisa membunuh sepi. Saya memang merasa kesepian setelah ditinggal istri,” tutur pria keturunan bangsawan Sunda ini.

Namun kini, Wimar kembali mengurusi Intermatrix, perusahaan yang sempat dilupakannya beberapa saat. Intermatrix malah sudah menjadi rumah kedua baginya. Tak ada lagi kesedihan dalam kehidupan Wimar. Ia telah kembali dengan joke-jokenya lucu dan menggelitik. Fajar


Side Bar 4….

Memperluas Jaringan Lewat Internet

Ternyata bukan hanya anak muda yang menyukai Friendster, jaringan di internet yang membuka komunikasi antaranggotanya di seluruh dunia. Wimar pun doyan berselancar di Friendster. Tak hanya itu, program jaringan serupa seperti Flickers juga ia masuki untuk memperluas jaringan. Jadi, jangan heran jika Anda tengah browsing internet dan menemukan wajah Wimar pada salah satu program jaringan tersebut. Tak heran, banyak teman Wimar yang masih muda.

Wimar memang tak pernah bosan berada di depan komputer. Berjam-jam bisa ia habiskan hanya untuk meluangkan waktu bersama komputer. “Saya suka mengumpulkan informasi,” ujarnya singkat. Ia selalu memperluas jaringan di seluruh dunia melalui jasa internet. Baginya, memperluas jaringan tak hanya melalui pertemuan biasa. Dengan adanya internet, orang yang berada di Eropa pun dengan mudahnya berkomunikasi dengan orang di Kutub Selatan sekalipun. “Saya sekarang lebih suka Flickers ketimbang Friendster,” ungkap ayah dua anak ini. Jadi, tak heran kalau ia memiliki banyak rekan di hampir seluruh belahan dunia.

Bahkan jika Anda mengetik kata-kata Wimar Witoelar di situs Google, ribuan artikel yang menyebutkan nama Wimar Witoelar akan langsung muncul. Saking banyaknya artikel yang memuat mantan aktivis mahasiswa ini, tulisan yang berisikan pendapat Wimar pada beberapa tahun lampau juga bisa segera muncul. Fajar



Biodata


Nama Lengkap : Wimar Jartika Witoelar

Lahir : Padalarang, Jawa Barat, 14 Juli 1945
Agama : Islam

Istri : Suvatchara Witoelar Leeaphon (dokter

syaraf, meninggal tahun 2003)

Anak :
1. Satya Tulaka (lahir 1975)

2. Aree Widya (1978)


Orangtua :
- Raden Achmad Witoelar Kaartaadipoetra (1910-1987)

- Nyi Raden Toti Soeiamah (1914-1977)


Saudara Kandung :

  1. Luki Djanatun Muhammad Hamim (Lahir 1932)

  2. Kiki Waskita (Lahir 1935)

  3. Toerki Joenoes Moehammad Saleh (Lahir 1938)

  4. Rachmat Nadi Witoelar (Lahir 1941)

  5. Wimar Jartika Witoelar


Pendidikan :

    • Pendidikan Dasar di sejumlah negara Eropa, SR di Yayasan Pendidikan Budi Mulia, Bogor, lulus dari SR di Jalan Cilacap, Jakarta

    • SMP Katolik Van Lith, Jalan Gunung Sahari, Senen, Jakarta Pusat, tamat tahun

    • SMA Kolese Kanisius, Jakarta

    • Teknik Elektro ITB Bandung

    • George Washington University, Washington DC.


Pengalaman Karir :


  • Dosen Pasca Sarjana, Program Transportasi ITB Bandung (1975-1982).

  • Dosen Tamu Institut Manajemen Prasetya Mulya (1982-1993).

  • Direktur Eksekutif Summa Excelence Institute (1990-1991).

  • Dosen Magister Manajemen dan Bisnis Administrasi Teknologi ITB.

  • Pimpinan PT InterMatrix Bina Indonesia (Konsultan Manajemen).

  • Pimpinan PT InterMatrix Communication (Konsultan Komunikasi).

  • Pimpinan PT Inter Properti (Pembangunana Perumahan).

  • Pimpinan PT Caksugara Nusantara Media (Television & Audiovisual Production).

  • Pimpinan PT Inter Sinclair Knight (Konsultan Engineering).

  • Pimpinan PT Nusantara International Development Corporation.

  • Pendiri dan Pimpinan Yayasan Perspektif Baru.


Karya Tulis Buku :


  • No Regrets, tahun 2000, sebuah kenangan sehari-hari bersama Gus Dur, diterbitkan Equinox Publishing Singapura, dapat ditemui di amazon.com, diluncurkan di Jakarta, Singapura, Melbourne, Sydney, New York dan Washington DC.

  • Menuju Partai Rakyat Biasa.

  • Mencuri Peluang di Tengah Kebingungan.

  • Perspektif


Pengalaman Lain :


- Ketua Dewan Mahasiswa ITB Bandung, 1969

Kegiatan Lain :

  • Pembicara dan Pemandu acara talkshow, diskusi, seminar.

  • Kolumnis dan Pewawancara di media cetak dan televisi inernaisonal (ABC, SBS, Nine Netwok, BBC, CNN, CNBC, NBC, European Channels).

  • Komentator politik dan penulis kolom di Newsweek, International Herald Tribune, The Washington Post, serta media cetak nasional.


Penghargaan :

  • Adjunt Professor in Journaism and Public Relation, Deakin University, Australia.

Sakti Wahyu Trenggono,Presiden Direktur Indonesian Tower


Sakti Wahyu Trenggono,Presiden Direktur Indonesian Tower

Tergerak Membantu Orang Susah karena Pernah Merasa Sakitnya Menjadi Miskin

Kesuksesan mungkin kini telah diraihnya sebagai Presiden Direktur Indonesian Tower. Namun hal tersebut tak membuat dirinya lupa terhadap kaum papa. Terbukti dengan beberapa aktivitas sosial yang saat ini tengah digeluti Sakti Wahyu Trenggono. Meski diakuinya masih terbilang kecil, kepeduliannya justru patut diacungi jempol. Apa saja bentuk kepedulian seorang Sakti Wahyu Trenggono terhadap orang kecil?

Hari itu Jakarta dirundung mendung. Musim hujan telah menyambut penduduk Jakarta di awal tahun 2007 ini. Kendati demikian, langit yang suram bukanlah penggambaran yang tepat terhadap kegiatan seorang eksekutif di salah satu perusahaan swasta ini. Karirnya yang melonjak setelah membangun perusahaan sendiri, memang telah diraihnya. Kini, ia tengah menikmati hasil kerja kerasnya sejak kali pertama meniti karir. Jabatan Presiden Direktur pun dijabatnya di Indonesian Tower, perusahaan yang dibangunnya dari bawah.

Waktu menunjukkan pukul 14.45 WIB. Sosok pria berkumis itu pun keluar dari salah satu ruangan kantor yang terletak di bilangan Thamrin, Jakarta. Dialah Sakti Wahyu Trenggono, orang nomor satu di perusahaan Indonesian Tower. Dengan hanya memakai kemeja putih berlengan pendek, ia menyambut kedatangan Realita yang kala itu hendak berbincang-bincang mengenai kegiatan sosialnya. Trenggono-panggilan akrabnya, memang tampak sederhana dengan pakaian yang dikenakannya. Bahkan orang tak akan mengira bahwa dirinya adalah seorang Presiden Direktur di salah satu perusahaan yang kini tengah merangkak naik.

Kendati demikian, Trenggono justru sangat dihormati oleh rekan-rekan kerjanya karena penampilannya yang sangat sederhana. Dengan senyum tersungging di wajahnya, ia mempersilahkan Realita untuk memasuki ruang kerjanya. Sembari mengepit rokok di jari tangan kanannya, ia menyapa Realita dengan ramah. Di dalam ruangan kerjanya itulah, Trenggono menceritakan beberapa kegiatan sosial yang kini ditekuninya.

Dimulai dari Keluarga. Trenggono mengaku bahwa aktivitas sosial yang kini tengah dijalaninya merupakan lanjutan dari apa yang ia berikan terhadap keluarga besarnya. “Keluarga saya berasal dari kalangan kurang mampu,” aku Trenggono merendah. Itu sebabnya, ia selalu membantu sanak keluarganya yang masih membutuhkan. “Saya selalu mulai dari keluarga sendiri,” imbuhnya.

Diakui Trenggono, keluarga itu bukanlah anggota keluarganya saja, melainkan anggota keluarga besar lainnya yang masih memiliki keturunan darah yang sama. Baik saudara dekat maupun saudara jauh. Selain itu, teman-teman Trenggono ketika di masa kanak-kanaknya dan sekarang masih bernasib kurang beruntung, juga turut dibantu oleh Trenggono. “Kita rekrut beberapa teman yang kurang beruntung untuk diberdayakan di perusahaan ini,” aku pengidola Bill Gates ini.

Meski begitu, tidak semua teman masa kecilnya direkrut dan dijadikan karyawan Indonesian Tower. Hanya orang yang menurutnya capable-lah yang akan direkrut Trenggono. Sedangkan bagi orang yang belum diterima di lingkungan perusahaan, Trenggono akan membantunya dengan cara berbeda. “Saya akan membantu mereka dari kantong pribadi,” ujar Trenggono.

Namun, jika orang-orang tersebut memiliki bakat dalam berdagang, Trenggono akan membantu dengan cara memberikan modal awal. Sehingga, mereka masih akan tetap mendapatkan pekerjaan meski bukan di dalam lingkungan Indonesian Tower. Tak hanya itu, dari sisi keagamaan, Trenggono juga kerap menyumbangkan sebagian lembaran rupiahnya untuk membantu orang-orang kurang mampu. Beberapa momen yang biasa menjadi ladang amal Trenggono, di antaranya adalah khitanan massal, pembangunan masjid, dan beberapa kegiatan yang melibatkan anak yatim piatu.

Beternak Sekaligus Beramal. Belum cukup sampai di situ, Trenggono juga getol memberikan dana sebagai modal bagi pengusaha kecil di daerah yang masih terbelakang. Salah satu daerahnya adalah desa di mana ia dibesarkan. “Di dekat desa tempat saya dibesarkan, saya juga berusaha membantu meningkatkan kesejahteraan penduduknya,” aku Trenggono yang mengaku selalu menyisihkan minimal Rp 10 juta per bulan untuk menyumbang.

Caranya adalah dengan memberikan sejumlah uang untuk para penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai peternak sapi. Cara tersebut dinilai cocok dengan kondisi desa di mana penduduk sudah terbiasa beternak. Sapi yang pada awalnya berjumlah hanya dua ekor, kini telah mencapai ratusan ekor. Semunya berkat kerja keras penduduknya. Alhasil, taraf kehidupan masyarakat desa di daerah Kedung Ombo tersebut dapat meningkat secara bertahap seiring dengan bertambahnya jumlah sapi yang dipelihara.

Trenggono tidak serta merta hanya langsung memberikan sejumlah dana untuk modal dan lepas tangan begitu saja. Ia justru menganut sistem bagi hasil atau nggadoh dalam Bahasa Jawa untuk bagi hasil. Hal ini dilakukan agar peternakan sapi itu dapat berkembang dari waktu ke waktu. “Saya memberikan sapi, nanti hasilnya dibagi dua,” ungkap Trenggono.

Seiring dengan berjalannya waktu, anak-anak sapi pun terlahir. Sehingga jumlah sapi yang dipelihara semakin banyak. “Seharusnya anak sapi yang lahir itu milik saya dan si peternak. Tapi anak sapi itu saya hargai dengan harga sapi dewasa,” tutur ayah dari dua anak ini. Jadi, Trenggono membayar kepada peternak yang merawat sapi tersebut setengah dari harga sapi dewasa. “Saya memberikan Rp 3 juta untuk setiap anak sapi kepada para peternaknya,” tambahnya.

Selain itu, pada di tahun ketiga, sapi yang telah berumur tua diberikan kepada peternak. Dari tahun ke tahun, jumlah sapi tersebut bertambah jumlahnya. Bahkan Trenggono sempat memiliki 400 ekor sapi. Menurutnya, jika bisnis sapi tersebut dapat dikelola dengan baik, maka akan lebih banyak meraup untung, yang pada akhirnya akan membangkitkan ekonomi daerah Kedung Ombo.

Trenggono sendiri menghabiskan uang sekitar Rp 250 juta sebagai modal awal untuk membeli sapi bagi para peternak. Kendati begitu, sapi-sapi yang dipelihara tidak langsung diberikan dengan jumlah yang banyak, melainkan secara bertahap kepada sejumlah peternak yang memang serius mengajukan diri dan berkeinginan untuk mengembangkan ekonominya masing-masing.

Tantangan untuk Memberi. Pembangunan Masjid di beberapa kampung di daerah Kedung Ombo, Jawa Tengah juga menjadi ladang amal bagi dirinya. Pembangunan Masjid di daerah Bekasi pun tak luput dari sasaran aliran dana dari kocek pribadi Trenggono. Aliran dana yang mengalir ke setiap ladang amal Trenggono memang diakui Trenggono masih terbilang cukup kecil. “Ya, kalau dihitung-hitung dan dijumlahkan, bisa mencapai miliaran rupiah,” ujar salah seorang peraih penghargaan Entrepreuner of The Year 2005 versi Ernst & Young ini.

Bagi Trenggono, membantu kaum yang kurang mampu merupakan suatu tantangan untuk dapat meringankan beban mereka. “Bagi saya, tantangannya adalah bagaimana saya bisa membantu seseorang yang sangat sulit dari sisi ekonomi,” ungkap pria yang memiliki hobi bermain golf ini. Kendati demikian, orang yang akan dibantunya haruslah yang memiliki keinginan untuk maju dan mengembangkan dirinya sendiri.

Trenggono sendiri akan membantu orang yang kurang mampu untuk dapat mengembangkan dirinya sendiri dan meningkatkan taraf hidupnya asalkan orang yang dibantu tersebut juga memiliki keinginan yang tinggi. Jika orang tersebut dapat keluar dari kemiskinan, maka tantangan yang dihadapi oleh Trenggono dapat tercapai dengan baik. Oleh karena itu, Trenggono berharap kepada para pengusaha muda, agar mereka tak hanya melulu mengejar materi. “Hidup itu sangat sebentar sekali,” ujarnya berfilosofi.

Didikan Sang Nenek. Jiwa sosial yang kini dimiliki oleh Trenggono tak dinyana berasal dari didikan sang Nenek. “Waktu kecil saya diasuh oleh nenek,” kenang putra pensiunan kopral TNI AD ini. Sejak kecil, Trenggono memang diasuh oleh sang nenek hingga ia menyelesaikan sekolah dasarnya. Pada saat itulah, sang nenek mengajarkan bagaimana menghadapi hidup. Dari sang nenek pulalah, Trenggono mendapatkan pelajaran berharga untuk lebih banyak berbagi terhadap sesama.

Semangat yang tinggi juga didapatkan dari sang nenek, sehingga ia dapat menyelesaikan studinya. Lulus dari Program Manajemen Informatika Universitas Bina Nusantara, ia kemudian melanjutkan sutdinya ke Institut Teknologi Bandung. Di masa-masa studinya itulah, Trenggono merasakan cobaan yang cukup besar, karena dengan latar belakang keluarga yang pas-pasan, ia ternyata mampu menyelesaikan studinya.

Selepas studinya, Trenggono kemudian meniti karir di dunia kerja yang sesungguhnya. Ia sempat berkarir di Perusahaan Astra Federal Motor, dan mencapai jabatan Manager Corporate Strategy. Ia kemudian memutuskan untuk keluar dari Astra, dan memilih bergabung dengan Inkud, sebagai Direktur Perencanaan dan Pengembangan Inkud. Selang beberapa tahun kemudian, Trenggono memulai karirnya sebagai eksekutif sekaligus seorang enterpreneur dengan mendirikan Indonesian Tower pada tahun 2000.

Di industri baru itulah, Trenggono mencapai titik kesuksesan sebagai seorang enterpreneur dengan membawa perusahaan yang mendirikan menara tersebut ke arah perusahaan mapan. Itulah yang juga menjadi suatu tantangan di dalam karirnya, tantangan yang akan berlipat ganda ketika Trenggono memutuskan untuk memberi dan berbagi terhadap sesama. Karena, memberi dan berbagi terhadap sesama adalah sebuah tantangan. Fajar

Side Bar 1

Pernah Belikan Becak untuk Tukang Becak


Jiwa sosial yang ada di dalam diri Trenggono ternyata tak hanya tergambar jelas dari setiap kegiatan yang dilakukan terhadap sanak keluarga, teman main atau pun para peternak sapi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Kepedulian sosialnya sempat terlihat dari perilaku insidentil yang ia lakukan. Salah satu contohnya adalah kejadian yang pernah ia alami di daerah Bekasi. “Saya pernah tanpa sengaja membeli rokok di warung kecil di daerah Bekasi dan bertemu dengan tukang becak,” tutur Trenggono dengan antusiasnya.

Pertemuan Trenggono dengan sang tukang becak itu ternyata bukan merupakan pertemuan tanpa makna. Tukang becak tersebut kemudian menceritakan bagaimana ia harus bekerja setiap harinya dan wajib memberikan setoran kepada si empunya becak. Sedangkan ia juga harus memberikan biaya hidup bagi istri dan beberapa anaknya yang tinggal di daerah Babelan, Bekasi Utara. Sang tukang becak harus menyetor uang hasil mengayuh becaknya sebulan sekali. “Dia paling besar bawa uangnya Rp 30 ribu setiap bulan,” aku Trenggono yang lupa mengingat nama si tukang becak tersebut.

Karena ketidakmampuan sang tukang becak untuk membeli becak, ia pun harus membawa uang pas-pasan untuk menghidupi keluarganya. Melihat kondisi tukang becak yang harus bekerja keras mengayuh pedal becaknya demi mendapatkan penghasilan yang tidak seberapa, Trenggono pun tersentuh hatinya. Tanpa berpikir panjang, Trenggono kemudian membelikan satu unit becak seharga Rp 400 ribu untuk tukang becak tersebut.

Alangkah senangnya tukang becak ketika menerima becak pembelian Trenggono. Karena dengan begitu, ia tidak harus menyetorkan sejumlah uang untuk biaya penyewaan becak. “Sekarang dia bisa menggunakan semua uang hasil tarikannya untuk istri dan anak-anaknya,” ungkap pria yang lahir 44 tahun silam ini.

Meski diakui Trenggono, kejadian tersebut masih terbilang cukup kecil, ia justru merasakan kepuasan tersendiri di saat membantu orang-orang yang membutuhkan. Fajar


Side Bar 3

Saya sedih melihat orang miskin”

Selain memiliki jiwa sosial dalam dirinya, ternyata Trenggono memiliki latar belakang tersendiri untuk melakukan aktivitas sosial. Latar belakang keluarganya yang berasal dari keluarga pas-pasan membuatnya sempat merasakan bagaimana menjadi orang kurang mampu. “Miskin itu nggak enak,” ujarnya sembari tertawa.

Karena pernah merasakan kondisi serba kekurangan itulah, kini Trenggono berusaha membantu sesama. Dengan sukses yang diraihnya saat ini, Trenggono berusaha untuk mensyukurinya dengan cara menyisihkan sebagian hartanya untuk kaum papa. “Saya sedih melihat orang miskin, karena saya terlahir dari orang miskin,” tutur pria yang pernah berkarir di Inkud (Induk Koperasi Unit Desa) ini.

Bahkan, Trenggono mengaku bahwa ia seringkali memakan nasi jagung sebagai makanan sehari-hari. “Saat masih di bangku SD, saya sering makan nasi jagung sebagai makanan sehari-hari,” ungkap Trenggono. Fajar


Side Bar 2

Berencana Membangun Yayasan Sosial


Saat ini, Indonesian Tower memang belum memiliki yayasan sosial sebagai salah satu bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan. Trenggono mengaku bahwa itu merupakan suatu kekurangan yang ada pada perusahaannya. Sehingga ia berencana untuk membangun sebuah yayasan yang berada di bawah bendera Indonesian Tower. Yayasan tersebut akan dipergunakan untuk mengakomodir kegiatan social, baik dari perusahaan maupun dari setiap karyawan Indonesian Tower.

Selain itu, yayasan tersebut rencananya juga akan membantu setiap kesulitan yang dialami oleh karyawannya, sehingga aktivitas sosial dari masing-masing karyawannya dapat ditampung dalam satu wadah, yakni yayasan. “Rencananya pada saat perusahaan berada di angka tertentu, kita akan menyisihkan sejumlah pendapatan untuk digunakan membiayai kegiatan sosial,” tutur Trenggono.

Bagi Trenggono, apa pun yang dilakukan dalam bisnisnya, terdapat suatu tanggungjawab kepada sesama supaya kaum yang kurang beruntung bisa mendapatkan peningkatan taraf hidupnya. Meski rencana untuk membangun yayasan belum terealisir saat ini, Indonesian Tower sebagai perusahaan yang berbisnis mendirikan menara pemancar, juga melakukan tanggungjawab sosial dari setiap pembangunan menara pemancar tersebut.

Kita juga membangun membangun Masjid di daerah sekitar menara yang kita dirikan,” ungkap Trenggono. Setiap sisi tempat berdirinya tower, pihak perusahaan mengeluarkan Rp 500 ribu per bulan untuk disalurkan dalam bentuk kegiatan sosial di lingkungan sekitar site.

Indonesian Tower sendiri memiliki standar kualitas dalam mendirikan tower di daerah. Tak heran, ketika gempa melanda Yogya dan sekitarnya, tower-tower milik Trenggono masih tetap kokoh berdiri. Fajar

Tri Djoko Santoso, Wakil Presiden Direktur Panin Life

Dirikan Yayasan untuk Melindungi Industri Jasa Keuangan Indonesia

Bergelut di dunia keuangan selama puluhan tahun ternyata mampu mempengaruhi jiwa sosial seseorang. Tri Djoko Santoso adalah salah satunya. Bukan berupa materi yang disumbangkan oleh Tri. Ia justru menyumbangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam yayasan yang diberi nama Financial Planning Standards Board (FPSB). Apa saja kegiatannya?

Mungkin untuk sebagian orang, hari Sabtu merupakan hari libur. Tapi tidak untuk ekskutif yang satu ini. Hari Sabtu adalah hari bagi Tri Djoko Santoso untuk mencurahkan semua pemikiran dan jiwa sosial ke dalam yayasan non profit. Terbukti ketika hari Sabtu (17/2) yang lalu, Tri-panggilan akrabnya-tengah sibuk dengan pekerjaannya di yayasan. Di dalam ruangan kantor yang tidak begitu besar itulah Tri beserta dua orang karyawannya mengelola Financial Planning Standards Board. Di dalam ruang kerjanya, Tri terlihat ramah menyambut kedatangan Realita. Sembari tersenyum, ia mempersilahkan Realita untuk masuk ke dalam ruang kerjanya tersebut. Di dalam ruangan yang hanya berukuran 2 x 3 meter itulah, ia dengan bersemangat menceritakan tentang yayasan yang diketuainya saat ini.

Fasilitator Pendidikan Luar Negeri. Dunia keuangan khususnya asuransi memang tak pernah lepas dari pria berkumis ini. Karirnya sendiri memang berawal di dunia asuransi. Puluhan tahun telah ia jalani di dunia tersebut. Alhasil, Tri telah akrab dengan dunia keuangan. Jiwa sosial yang dimilikinya pun dituangkan ke dalam dunia yang membesarkan namanya. Bermula dari rasa ketakutan terhadap datangnya para pemain-pemain asing di dunia jasa keuangan Indonesia, Tri kemudian berusaha untuk meningkatkan daya saing dari para pelaku keuangan lokal agar mereka tidak mudah disingkirkan oleh para pemain asing. Salah satu usahanya adalah dengan membangun yayasan sosial di Indonesia yang mampu memfasilitasi para pemain di dunia keuangan dalam negeri agar dapat bersaing dengan pemain-pemain asing. Menurut Tri, tak ada cara lain selain meningkatkan kompetensi dari setiap pemain jasa keuangan lokal. Atas dasar itulah, Tri bekerjasama dengan pihak luar negeri untuk mendirikan Financial Planning Standards Board (FPSB) di Indonesia.

FPSB sendiri merupakan yayasan non profit yang didirikan untuk memfasilitasi para pelaku di dunia jasa keuangan agar dapat memperoleh sertifikasi internasional serta mendapatkan gelar yang berlaku secara internasional pula. “Para pelaku jasa keuangan, seperti agen asuransi, penjual reksadana, karyawan bank, penasehat pajak, akan semakin lama terancam pekerjaannya dengan kedatangan orang asing,” tutur Tri. Melihat kondisi tersebut, Tri tergoyah hatinya untuk melindungi para pelaku jasa keuangan lokal. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kompetensi dari para pelaku jasa keuangan lokal agar sesuai dengan standar internasional. Dengan begitu, banyaknya para pelaku jasa keuangan asing yang berdatangan ke Indonesia dapat dibendung dengan kehadiran pelaku jasa keuangan lokal yang kompeten. “Di yayasan ini, kita berusaha bagaimana mengupayakan teman-teman di jasa keuangan dapat ditingkatkan kompetensinya,” ujar Tri. Seiring dengan kompetensi yang ada pada setiap pelaku jasa keuangan lokal, maka Tri beserta pengurus yayasan berharap para pelaku jasa keuangan tersebut dapat memberikan pelayanan yang bertanggungjawab kepada nasabah-nasabahnya. Sehingga pada akhirnya industri jasa keuangan Indonesia akan maju karena didorong oleh para pelaku jasa keuangan yang berkualitas dan berkompeten.

Inisiator Berdirinya Yayasan. Pelaku jasa keuangan yang berkualitas dan kompeten, seperti yang diakui Tri, merupakan pelaku jasa keuangan yang memiliki sertifikasi di dunia global. Sehingga mereka tidak hanya diakui di dalam negeri saja, tetapi juga di luar negeri. “Saya menginginkan para pelaku kita dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pelaku jasa keuangan asing,” harap Tri. Sejak tahun 2000, Tri memimpin yayasan FPSB ini. Mendirikan yayasan ini pun bukanlah hal yang mudah bagi Tri. Awalnya, keterbatasan modal menjadi faktor penghambat utama yang dihadapi oleh Tri. Beruntung bagi dirinya, ia mampu menggerakkan rekan-rekan bisnisnya untuk membantu mewujudkan yayasan tersebut. “Saya waktu itu sebagai inisiator,” ungkap Tri. Dengan keinginan dan kegigihan Tri beserta rekan-rekannya, mereka akhirnya mampu memperoleh ijin untuk mendirikan FPSB di Indonesia sejak tahun 2000.

Sejak 7 tahun yang lalu itulah, Tri mencanangkan beberapa program yang akan diterapkan di dalam yayasan. Program-program tersebut berupa program pendidikan yang diadakan oleh yayasan beserta 8 universitas di Indonesia. Program pendidikannya sendiri diadakan selama 2 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan ujian bagi para anggotanya. “Yang pasti, para pelaku jasa keuangan yang ingin mendapatkan sertifikat CFP (Ceritified Financial Planner-Red) ini harus mengikuti ujian standar internasional,” ujar Tri. Sertifikat yang mereka dapatkan, seperti yang diakui Tri, berlaku secara internasional dan diakui di banyak Negara.

FPSB sendiri dalam proses pendidikan tersebut berperan sebagai fasilitator bagi para anggotanya. “Kami hanya bertugas sebagai jembatan bagi para pelaku jasa keuangan yang ingin mendapatkan sertifikasi berstandar internasional,” tutur Tri. FPSB merupakan suatu bentuk yayasan non profit yang berasal dari Denver, Amerika Serikat yang berhasil digandeng oleh Tri Djoko. Kurikulum pendidikan di Indonesia telah disesuaikan dengan kurikulum di Negara asalnya, AS. Bila sebelum FPSB didirikan di Indonesia, para pelaku jasa keuangan yang ingin mendapatkan gelar CFP harus pergi ke luar negeri, maka dengan kehadiran FPSB Indonesia, mereka tak perlu lagi untuk pergi ke luar negeri dan menghabiskan ratusan juta untuk mendapatkan gelar CFP. Mereka cukup mendaftar pada salah satu universitas dari 8 universitas di seluruh Indonesia, untuk mengikuti program pendidikan perencanaan keuangan. Diakui Tri, para pelaku jasa keuangan tersebut memang harus membayar biaya pendidikan yang diadakan oleh pihak universitas. “Total biaya yang hanya mereka keluarkan berkisar Rp 15-17 juta selama 2 tahun pendidikan,” ungkap ayah dua anak ini. Diakuinya pula, uang tersebut hanya digunakan untuk membiayai pendidikan di universitas dan bukan untuk pihak yayasan. Setelah mengikuti pendidikan selama 2 tahun, para calon pemilik gelar CFP ini diharuskan mengikuti ujian berstandar internasional. Barulah, setelah mereka mampu lulus dari ujian yang diselenggarakan oleh pihak yayasan, mereka berhak mendapatkan glar CFP di belakang nama mereka sendiri.

Dengan adanya FPSB, para pelaku jasa keuangan di Indonesia menjadi dipermudah untuk meningkatkan kompetensi di dunia global. Tri berharap sekitar 300 hingga 350 anggota dapat mengikuti program pendidikan perencanaan keuangan pada tahun ini. Pihak yayasan pun tidak serta merta menerima semua calon anggota yang akan mendaftar. Ada kriteria yang harus dipenuhi oleh para calon anggota tersebut. “Mereka harus lulus sarjana S1, dan mereka telah berkarir di bidang jasa keuangan minimal 3 tahun,” ungkap Tri. Segala macam bentuk program pendidikan dan ujian telah disesuaikan dengan standar internasional. Dengan begitu, lulusan yang telah memiliki gelar CFP tidak akan kalah bersaing dengan lulusan dari luar negeri.

Antara Pekerjaan, Yayasan, dan Keluarga. Tri memang sangat bersemangat ketika menceritakan tentang kegiatannya di FPSB. Bagi dirinya, pemikiran-pemikiran yang dituangkan di dalam yayasan merupakan suatu bentuk jiwa sosial untuk membantu para pelaku jasa keuangan meningkatkan kinerja mereka. Tri sendiri memang kini masih menjabat sebagai wakil presiden direktur Panin Life. “Kalau Senin sampai Jumat, saya mencurahkan waktu untuk Panin,” ujar Tri. “Hari Sabtu, saya ada di kantor ini (kantor FPSB-Red),” lanjutnya. Meski banyak waktu yang ia habiskan untuk pekerjaan dan jiwa sosialnya, tak dinyana Tri juga masih punya banyak waktu untuk keluarga. Diakui Tri, hari Minggu adalah hari yang biasanya dipakai untuk menghabiskan waktu bersama dengan keluarga. Tak heran, ketika Realita mengunjungi kantor yayasan yang diketuainya tersebut, istri dan anak keduanya juga turut membantu aktivitas yayasan. “Sekalian waktu untuk yayasan dan keluarga,” ujar Tri sembari tersenyum lebar.

Karir Tri memang berawal dari dunia asuransi. “Saya dulu memulai karir sebagai agen asuransi door to door,” kenang Tri. Setelah merasakan menjadi pegawai rendahan di jasa asuransi, Tri Djoko juga sempat menjabat salah satu pimpinan di Prudential. Karirnya semakin menanjak hingga kini ia menjadi orang nomor dua di Panin Life. Salah satu cara dirinya untuk mensyukuri apa yang telah didapat adalah dengan menyumbangkan pemikiran-pemikiran di dunia jasa keuangan. Terbukti dengan cukup banyaknya buku yang ia tulis sebagai panduan bagi agen-agen asuransi. Jiwa sosialnya berupa sumbangan pemikiran-pemikiran juga ia ajarkan kepada kedua anaknya, Nada (21) dan Insan (17). Kedua anaknya tersebut kini lebih banyak tinggal di Australia untuk mengenyam pendidikan sarjananya. Nada mengambil studi multimedia di salah satu institut di negeri Kangguru tersebut. Sedangkan Insan mengambil studi Computer Engineering di Melbourne University, salah satu universitas terkemuka di Australia. “Anak lelaki saya, Insan, termasuk anak yang pintar, umurnya 17 tahun sudah masuk kuliah,” ujar Tri dengan bangganya. Ditinggal kedua anaknya untuk mengenyam bangku kuliah, membuat Tri hanya tinggal bersama dengan sang istri. “Seperti bulan madu saja,” ungkap Tri sembari tertawa. Fajar

Side Bar 1

Saya tidak menerima gaji di sini”

ketulusan hati Tri Djoko Santoso memang terlihat dari banyaknya waktu dan pikiran yang ia curahkan bagi kepentingan yayasan FPSB. Meski Tri mengaku bahwa waktu yang ia berikan kepada yayasan hanyalah waktu di luar jam kerja di perusahaan tempatnya bekerja, Tri mampu mencurahkan cukup banyak waktu dan pikiran bagi yayasan. Bagi Tri, sumbangan waktu dan pikiran lebih bermakna ketimbang materi yang disumbangkan. Menurutnya juga, sumbangan materi dapat habis begitu saja terpakai. Lain halnya dengan pemikiran-pemikiran dan waktu yang dicurahkan untuk menyalurkan jiwa sosialnya di bidang jasa keuangan.

Selain waktu dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dari otaknya, Tri Djoko pun dengan relanya tidak diberi gaji oleh pihak yayasan sebagai tanda bukti keseriusan dari diri Tri Djoko. “Saya tidak menerima gaji di sini,” ungkap Tri. Terbukti bahwa Tri Djoko tidak mengharapkan imbalan dari pihak FPSB sebagai kompensasi bagi dirinya. Karena bagi Tri, kepuasan batin yang ia rasakan pada saat mencurahkan waktu dan pikiran pada FPSB lebih penting ketimbang materi. Wajar jika Tri memang tidak mendapatkan gaji sebagai imbalannya menjabat sebagai ketua FPSB. Karena Tri send

iri bekerja sukarela atas dasar rasa kekhawatiran dari dalam dirinya terhadap berdatangannya pemain-pemain jasa keuangan asing ke Indonesia. Sehingga posisi pemain-pemain lokal cukup terancam. Atas dasar itulah Tri menggandeng pihak luar negeri untuk dapat menyelenggarakan program pendidikan berstandar internasional guna mendapatkan gelar CFP di akhir pendidikan selama 2 tahun. Sebagai seorang eksekutif di Panin Life, Tri Djoko memang layak disebut sebagai filantropis, walaupun kegiatan yang dilakukannya bukanlah membantu masyarakat kurang mampu ataupun anak-anak yatim piatu seperti kebanyakan eksekutif lainnya. Ia hanya menyumbangkan pikiran demi berdirinya FPSB di Indonesia. Dengan begitu Tri Djoko berhasil menjadi inisiator program pendidikan perencanaan keuangan berstandar internasional di Indonesia. Yang pada akhirnya akan membantu para pemain jasa keuangan lokal serta nasabah dunia jasa keuangan Indonesia. “Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada yayasan seperti ini,” papar Tri Djoko. Fajar

Side Bar 2:

Indra Orchidia, Istri Tri Djoko Santoso

Mengikuti Jejak Suami dengan Mendirikan Lestari Nasanda

Ternyata jejak jiwa sosial yang dilakukan oleh sang suami, dapat juga menular kepada istrinya. Terbukti istri dari Tri Djoko sendiri yang mengalami hal tersebut. Belajar dari sang suami yang bergelut dengan yayasan non profit di FPSB, sang istri mengikuti jejaknya dengan mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Lestari Nasanda. Yayasan yang diakuinya sebagai yayasan dalam skala kecil merupakan yayasan yang membantu masyarakat kurang beruntung dan anak-anak yatim piatu.

Sang istri tidak hanya bekerja sendirian. Ia bersama teman-temannya secara rutin menggalang dana guna membantu kesulitan yang dialami oleh kaum papa. Salah satu kegiatan yang kerap diadakan oleh Lestari Nasanda adalah khitanan massal. Khitanan ini diperuntukkan bagi anak-anak yatim piatu yang secara ekonomis tidak dapat membayar biaya khitan. Sehingga dengan adanya kegiatan khitanan massal ini, maka mereka akan sangat terbantu. Khitanan massal tanpa memungut biaya ini seringkali diadakan di daerah-daerah kumuh di sekitar Jakarta.

Dana yang digalang oleh Indra beserta rekan-rekannya berasal dari hasil patungan beberapa pengurus yayasan. Bahkan ia tak segan-segan untuk merogoh kantongnya sendiri hanya untuk membiayai kegiatan operasional yayasan. Kegiatan yang dijalani oleh sang istri ternyata didukung pula oleh Tri Djoko. Sebagai suami, Tri sangat mendukung apa yang dikerjakan oleh sang istri. Sifat pekerja keras yang ditunjukkan oleh Tri Djoko ternyata menjadi teladan bagi sang istri untuk mengikuti jejak sang suami untuk lebih banyak memberi. Yayasan Lestari Nasanda sendiri didirikan sejak tahun 2001 lalu. Yayasan ini merupakan hasil patungan dari Indra beserta rekan-rekannya di yayasan. “Kita sih membantu secara kecil-kecilan,” ujar mantan dosen ini sembari merendah. “Sifat pekerja keras dari Bapak membuat saya kagum kepada dirinya,” lanjutnya. Indra Berharap ke depannya, yayasan Lestari Nasanda dapat berkembang dan semakin maju sehingga jumlah kaum papa yang dibantu akan semakin bertambah jumlahnya. Fajar


Side Bar 3

Tanamkan Jiwa Entrepreuner Kepada Kedua Anaknya


Tak hanya jiwa sosial yang ia ajarkan kepada kedua anaknya saja. Akan tetapi jiwa wirausaha juga Tri tanamkan kepada kedua anaknya, Nada dan Insan. Ada alasan tersendiri mengapa Tri mengajarkan jiwa wirausaha kepada anak-anaknya tersebut. “Lapangan kerja akan semakin berkurang,” ujarnya tegas. Sehingga diakui Tri, di tahun-tahun mendatang jumlah pencari kerja juga akan semakin bertambah. Pada akhirnya, persaingan antara pencari kerja juga semakin ketat. Salah satu solusi untuk mencegahnya adalah dengan menanamkan jiwa wirausaha kepada Nada dan insan.

Dengan begitu, mereka dapat mengembangkan kemampuannya masing-masing dengan mendirikan usaha sendiri. Alhasil, mereka diharapkan dapat menghasilkan uang yang tidak sedikit di kemudian hari. Tak heran, kini Tri Djoko mengirim kedua anaknya untuk mengambil kuliah di luar negeri tepatnya di Australia. Diakui Tri Djoko, pendidikan di Australia diajarkan mengenai kewirausahaan pada semester awal pendidikannya. Sehingga para mahasiswanya diajarkan untuk dapat memulai usahanya sendiri. “Mereka dididik dari awal untuk tidak menjadi seorang karyawan,” tutur Tri Djoko.

Tak hanya itu, ada sesuatu yang berbeda dengan cara Tri Djoko mendidik kedua anaknya. Sedari Sekolah Dasar hingga bangku Sekolah menengah Pertama, kedua anaknya tersebut dimasukkan ke dalam sekolah Islam. “Mereka dimasukkan ke sekolah Islam yang radikal dari SD sampai SMP,” aku Tri. Sedangkan sejak SMU hingga bangku kuliah, Tri Djoko memasukkan kedua anaknya ke dalam sekolah umum. Dengan begitu, kedua anaknya mendapatkan pendidikan Islam yang paling mendasar ketika mereka beranjak dewasa. Setelah itu, mereka juga diajarkan pengetahuan umum di sekolah-sekolah biasa. “Saya kirim mereka ke luar negeri supaya mereka dapat mengenal dunia luar, sehingga mereka menjadi sosok muslim yang moderat,” tutur Tri Djoko. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pengalaman pribadi dari Tri Djoko sendiri yang memang berasal dari pasangan orang tua yang beda agama. Bahkan Tri Djoko sendiri sempat merasakan pendidikan di Sekolah katholik, padahal ia sendiri beragama islam. Oleh karena itu, ia menginginkan agar kedua anaknya menjadi muslim dan muslimah moderat yang memiliki banyak pengetahuan umum dari luar. Fajar