Thursday, March 25, 2010

Grace Paramita Wiroreno, Head of Corporate Relation and Communications PT Medco Power Indonesia

Sukses Menjadi Wanita Pemimpin di Dunia Lelaki

Pada usianya yang relatif muda, Grace telah menduduki posisi puncak di sebuah grup perusahaan besar. Ia membawahi karyawan yang sebagian besar adalah lelaki. Sifat dasarnya yang agak tomboy membuat Grace mampu mengendalikan laju perusahaan. Kebahagiaan dalam merengkuh sukses pun bertambah setelah ia mampu menerbitkan novel perdananya. Lalu bagaimana kisah ibu dua anak ini?

Ketika hari Minggu dinikmati oleh sebagian besar warga Jakarta untuk beristirahat di tengah kesibukan bekerja, justru Grace masih harus menghadiri meeting di kantornya, di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jabatannya sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan memang mengharuskan ia untuk selalu hadir setiap saat ketika dibutuhkan. Kendati, harus sedikit merelakan waktunya untuk pekerjaan, Grace mengaku selalu ada waktu bersama keluarga. “Yang penting itu adalah kualitas waktu bersama keluarga,” ujar Grace membuka perbincangan di tengah teriknya siang hari kota Jakarta.

Wanita yang masih terlihat cantik dan enerjik di usianya yang baru menginjak 35 tahun ini memang mengaku semua yang diraihnya saat ini tak lain karena bentuk campur tangan Tuhan. “Tuhan itu Maha Baik,” ujar Grace singkat. Sekilas memutar waktu ke masa lalu, ia mungkin tak pernah membayangkan akan menjadi seorang wanita karir yang mampu menjadi pucuk pimpinan di usianya yang relatif muda.

Berbalut penampilannya yang anggun, banyak orang yang tak menyangka bahwa Grace merupakan seorang eksekutif di sebuah perusahaan energi listrik terkemuka. Sebagian orang pasti akan menilai Grace lebih cocok menjadi seorang foto model ketimbang seorang direktur ataupun general manager di sebuah perusahaan besar. Namun, pada kenyataannya, Grace adalah seorang pimpinan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang energi, yang notabene lebih banyak digeluti oleh kaum Adam. Sembari duduk santai di ruang kerjanya, Grace yang siang itu terlihat sangat cantik, memulai perbincangan dengan realita.

Disiplin Tentara. Dilahirkan di kota Surabaya pada 6 Maret 1974, Grace tumbuh dan besar di sebuah keluarga yang mengedepankan kedisiplinan tinggi. Tak heran memang, karena sang ayah merupakan seorang perwira TNI AL berpangkat Kolonel. Ayahnya, Kolonel (Purn) TNI AL M. A. Sediono, diakui Grace sebagai figur ayah yang keras dan disiplin terhadap keempat anaknya. Sedangkan ibundanya, Cecilia Vijayanti lebih mengandalkan kelembutan sebagai ibu dalam mendidik anak-anaknya. “Setiap hari, kita diharuskan untuk bangun pagi tepat waktu,” kenang pemegang prinsip hidup ‘just do it’ ini.

Tak hanya disiplin, didikan agama juga sangat kental terasa di dalam rumah. Sedari kecil, Grace sudah terbiasa untuk datang ke Gereja setiap hari Minggu. Bahkan, ia pernah menjadi gadis altar di Gereja yang letaknya tak jauh dari rumah. Meski menyandang anak bungsu dari empat bersaudara, tak membuat Grace mendapatkan perlakuan khusus dari kedua orangtuanya. Didikan disiplin dan keras khas tentara tetap dialami Grace seperti ketiga kakaknya. “Walaupun disiplin dan keras, saya justru lebih dekat dengan ayah saya,” aku wanita yang memiliki hobi membaca dan touring ini.

Di masa kanak-kanak, Grace dikenal sebagai anak yang tomboy. Ia kerap bermain bersama anak laki-laki. “Bermain galasin adalah hobi saya waktu masih kecil,” kenang Grace yang pernah tinggal di perumahan TNI, di daerah Kelapa Dua, Depok. Siapa sangka, saat usianya beranjak remaja, Grace justru sempat membungkus sifat tomboy-nya tersebut menjadi sebuah kecantikan seorang model. Saat masih duduk di bangku kelas 1 SMAN 39, Jakarta, Grace mulai berkenalan dengan dunia model. Dengan bermodalkan tinggi 168 cm, Grace berusaha bersaing dengan model-model lainnya yang berperawakan lebih tinggi ketimbang dirinya.

Model Remaja. Anak bungsu dari empat bersaudara ini bahkan sempat menghiasi beberapa majalah remaja terkemuka ibukota. Tak hanya itu saja, ia juga sempat menjadi model sebuah merek pakaian buatan dalam negeri. Tiga tahun di masa SMA sembari menjalani pekerjaan sampingan menjadi seorang model, ternyata tak lantas membuat Grace mematok cita-cita di dunia modeling. “Justru cita-cita saya sejak kecil itu hanya menjadi ibu rumah tangga yang merawat anak-anak di rumah,” tutur wanita yang memulai karirnya sebagai seorang sales engineer ini.

Dengan tinggi badan yang dirasa Grace sulit bersaing dengan model lainnya, ia pun lantas meninggalkan dunia modeling. “Saya juga tidak merasa cocok dengan dunia modeling yang harus selalu dandan agar tampil cantik,” ungkap Grace yang mengaku masih memiliki sifat tomboy ini. Selepas menamatkan SMA, Grace sempat melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadharma. Kuliah sambil bekerja sebagai seorang staf marketing di sebuah perusahaan energi listrik, ternyata harus berujung dengan pilihan yang cukup berat baginya. Akhirnya, ia meninggalkan kuliah yang baru dilakoni selama 4 semester dan lebih memilih untuk berkarir. Kendati demikian, Grace mengambil pendidikan diploma Public Relations di Interstudi, Jakarta, dan menyelesaikan pendidikan Business Administration di IBMEC, Singapura pada tahun 1999.

Beberapa waktu kemudian, Grace mengakhiri masa lajangnya dengan menerima lamaran seorang pria bernama Didi Wiroreno, yang telah menjadi kekasihnya selama setahun. Dunia bisnis energi listrik yang digelutinya sejak tahun 1993, menjadi ajang bertemu dengan pria yang kini telah memberikannya dua anak. Setelah memiliki anak, Grace meninggalkan karir dan lebih berkonsentrasi menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga. Ia sempat tinggal di Amerika dan Singapura selama beberapa tahun sebelum kembali ke tanah air. “Ternyata sekuat apa pun kita berusaha untuk menjadi seperti yang kita inginkan, kalau Tuhan tidak berkata demikian, ya nggak bakalan terjadi,” tutur mantan ketua OSIS di SMP Katholik Slamet Riyadi, Jakarta ini. Meski Grace hanya ingin menjadi seorang ibu rumah tangga, ternyata takdir berkata lain. Sehingga ia kembali menekuni karir di bidang energi kelistrikan.

Wanita Galak. Sekembalinya ke Indonesia, Grace mulai meniti karir yang pernah ditinggalkannya. Dalam kurun waktu tiga tahun, kerja keras dan usahanya membuahkan hasil. Dimulai pada tahun 2007, saat Grace menjadi seorang konsultan pengembangan bisnis PT Indomedco Power. Karirnya merangkak naik setelah ia menjadi Business Development Leader PT Medco Gajendra Power Services setahun kemudian. Akhirnya, Grace mampu menduduki posisi General Manager PT Medco Gajendra Power Services sejak tahun 2008 hingga akhir bulan lalu. Karena kemampuannya pula, Grace dipercaya untuk memegang jabatan sebagai Head of Corporate Relation and Communications PT Medco Power Indonesia. “Ini karena campur tangan Tuhan juga,” ujar Grace sembari mensyukuri. Kendati Grace dikelilingi oleh karyawan yang sebagian besar adalah laki-laki, ia justru tak pernah merasa rendah diri. Sebaliknya, Grace merasa tertantang untuk menjadi yang terbaik ketimbang rekan-rekannya.

Dalam hal memimpin sebuah perusahaan, Grace memegang logika sebagai dasarnya mengambil berbagai keputusan. Selain itu, ia juga dikenal sebagai pimpinan yang disiplin dan keras terhadap bawahannya. “Makanya saya sering diperkenalkan sebagai wanita galak ke bawahan,” canda Grace sembari tertawa lebar. Selama bertahun-tahun menggeluti bisnis energi kelistrikan, menjadi nilai tambah bagi sosok Grace. Pasalnya, ia memiliki jaringan yang cukup luas dengan beberapa pihak, seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN), perusahaan swasta, dan beberapa BUMN lainnya.

Tak hanya sukses dengan karir yang melesat tajam, Grace juga merasa bersyukur dengan keluarganya. Pernikahan yang dijalaninya bersama dengan Didi Wiroreno sejak 10 tahun lalu telah menghadirkan dua buah hati yang sangat disayanginya, yakni Dandy Syailendra Wiroreno (9) dan Anggita Ayodya Wiroreno (6). Hari Sabtu dan Minggu, selalu dijadikan waktu bersama dengan keluarga. “Biasanya setiap hari Sabtu dan Minggu, handphone saya matikan kecuali ada hal yang mendadak,” aku wanita yang pernah ikut touring Sumatera bersama sang suami dengan mengendarai motor sport ini.

Bagi Grace, segala tahapan hidup yang sudah dilewatinya patut untuk disyukuri. “Bersyukur itu dengan berbagai cara, salah satunya dengan melakukan yang terbaik,” ujar Grace. Selain bersyukur, melalui pengalaman hidupnya pula, ia berusaha untuk selalu ikhlas dalam melakukan setiap pekerjaan. “Kalau sudah ikhlas, pasti akan terasa ringan dalam melangkah,” ujar Grace sembari berfilosofi. Belajar bagaimana cara untuk ikhlas juga didapatnya dari pengalaman hidup yang dijalani. “Saya pernah merasakan saat semua yang telah saya dapatkan, terampas begitu saja,” kenang Grace. Ternyata saat itu, tidaklah begitu buruk setelah berusaha untuk mengikhlaskan segala sesuatunya.

Meski telah memperoleh karir mapan dan keluarga yang bahagia, Grace menganggap masih banyak yang ingin dicapainya di masa mendatang, baik dalam keluarga maupun karir di perusahaan. “Saya ingin memiliki perusahaan sendiri,” ujar Grace sembari tersenyum lebar. Sedangkan di dalam keluarga, Grace akan sangat bersyukur jika mampu melihat kedua anaknya tumbuh dan menjadi orang yang berguna di masa depan. “Saya ingin melihat anak-anak saya lulus sekolah dengan baik dan menjadi yang terbaik,” harap Grace sambil mengakhiri perbincangan. Fajar

Side Bar 1…

Menjalani Keharmonisan di Tengah Perbedaan dengan Suami

Ternyata perbedaan tak selamanya menimbulkan konflik. Hal tersebut sangat tergambar jelas pada keluarga yang dibina Grace bersama dengan sang suami. Grace yang merupakan penganut agama Katholik yang taat mengaku tak mengalami kesulitan hidup berdampingan dengan sang suami, Didi Wiroreno yang beragama Islam. “Bagi saya, agama itu adalah urusan masing-masing pribadi dengan Tuhannya,” ujar pengagum Sidharta Gautama ini dengan tegas.

Selama menjalani pernikahannya, Grace selalu menjaga komitmennya masing-masing dalam hal hubungan dengan Tuhan. “Kita nggak pernah membahas agama di dalam keluarga, karena pasti akhirnya akan terjadi debat kusir,” tutur Grace menjelaskan. Menurutnya pula, semua agama pasti akan mengajarkan kebaikan. Dengan bermodalkan pemikiran itulah, Grace menjalani keharmonisan dengan sang suami.

Saat bulan Ramadhan, Grace tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri yang baik. Ia selalu menemani sang suami, saat makan sahur dan berbuka puasa di rumah. Sedangkan, Grace sendiri tetap menjalankan rutinitasnya ke Gereja setiap hari Minggu pagi. “Waktu kemarin, saat pindah rumah, saya juga mengadakan pengajian di rumah,” aku Grace. Sebaliknya, bila Grace mengadakan kegiatan keagamaan di rumah, maka sang suami selalu mendukung dengan baik. Bahkan, Grace sendiri kerap menjalani puasa Senin-Kamis. Ia percaya bahwa dengan berpuasa setiap hari Senin dan Kamis, segala sesuatunya akan dipermudah baik dalam keluarga maupun karir. “Saya diberi saran untuk berpuasa Senin-Kamis oleh teman saya,” ungkap Grace.

Selama menjalani perbedaan ini, Grace mengaku tak mengalami masalah sedikit pun, karena sikap dan komitmen yang terbentuk sambil menjalani waktu demi waktu usia pernikahannya. Soal anak-anak, Grace dan suami akan membebaskan untuk memilih sesuai keinginannya masing-masing setelah mereka berusia 17 tahun. Fajar

Side Bar 2…

Temukan Bakat Menulis Berkat Orang Tak Dikenal

Menerbitkan sebuah novel tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Grace. Meskipun sangat suka membaca, ia mengaku tak memiliki kemampuan untuk menulis puisi atau cerita panjang sebelum menyadari bahwa ada bakat menulis yang terpendam sejak lama. Sekitar tahun 2006, Grace tengah duduk menunggu giliran untuk berobat di sebuah tempat praktik dokter. Saat itulah, seorang pria paruh baya tak dikenal menyapa dan mengajaknya mengobrol. “Kalau sedang sedih, ada dua cara menghilangkannya, yaitu menutup telinga dengan bantal sembari berteriak atau menulis semua perasaan sedih tersebut dalam bentuk kata-kata,” tutur Grace menirukan omongan pria tak dikenal tersebut.

Padahal, kala itu Grace mengaku tidak sedang dirundung kesedihan sama sekali. Namun, omongan pria itu berlalu-lalang di pikirannya. Ia merasakan adanya petunjuk dari omongan pria tersebut. Sekembalinya ke rumah, Grace berusaha mengikuti nasihat sang pria dengan menyalakan komputer. “Saya itu sebenarnya bukan maniak komputer, yang biasa saya kerjakan di depan komputer itu biasanya kirim email,” ungkap Grace.

Dengan rasa penasaran yang cukup tinggi, Grace mulai mengenal blog di internet. Awalnya pun, ia sama sekali tak tahu bagaimana cara menggunakan blog. Seiring berjalannya waktu, Grace menulis berbagai perasaannya di blog miliknya. Mulai dari multiply, hingga wordpress dijajalnya. Tak terasa tulisan-tulisan yang dimasukkan ke dalam blognya semakin bertambah banyak. Tulisan-tulisannya berbentuk puisi yang diambil dari pengalaman hidupnya, ternyata cukup menarik banyak orang untuk membacanya. Tercatat puluhan ribu orang pernah mampir di blog-nya tersebut.

Dengan didorong banyak pihak, Grace mencoba untuk membukukan kumpulan puisinya tersebut. “Tapi karena buku tentang puisi, kurang banyak yang suka, maka saya rangkaikan menjadi sebuah novel,” ungkap Grace. “Akhirnya saya tulis, nggak terasa sudah sampai 150 halaman,” lanjutnya dengan bersemangat. Alhasil, sekitar bulan Mei lalu, Grace meluncurkan novel perdananya di pasaran yang berjudul Sebuah Cerita Cinta. Fajar

Biodata

Nama lengkap : Grace Paramita Wiroreno

Tempat, tanggal lahir : Surabaya, 6 Maret 1974

Nama suami : Didi Wiroreno

Nama anak : Dandy Syailendra Wiroreno (9) dan Anggita

Ayodya Wiroreno (6)

Nama orangtua : Kolonel (Purn) TNI AL M. A. Sediono dan M.

Cecilia Vijajanti

Pendidikan

SD Katholik (Ign) Slamet Riyadi, Jakarta

SMP Katholik (Ign) Slamet Riyadi, Jakarta

SMAN 39, Jakarta

Business Administration IBMEC, Singapura (1999)

Diploma Public Relations Interstudi, Jakarta

Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadharma (tidak selesai)

Business English, San Diego State University, Amerika Serikat

Marketing Research, University of San Diego, Amerika Serikat

Finance for Non Finance Manager, OTI Jakarta

Karir

2009- sekarang, Head of Corporate Communications PT Medco Power Indonesia

2008-2009, General Manager PT Medco Gajendra Power Services

2007-2008, Business Development Leader PT Medco Gajendra Power Services

2007, Project Commercial Specialist PT Medco Power Indonesia

2007, Konsultan Pengembangan Bisnis PT Indomedco Power

2003-2004, Direktur Pengembangan Bisnis PT Dinamika Daya Persada

1998, Corporate Communications PT Energyworks

1998, Konsultan Pengembangan Bisnis PT Kwartadaya Dirganusa

1994-1995, Sales Engineer PT Kwartadaya Dirganusa

Lia Aminuddin, Pemimpin Komunitas Eden

Penjara Tidak Mengubah Keyakinannya Sebagai Imam Mahdi

Sang pemimpin Komunitas Eden memang telah bebas dari bui, namun kegiatannya masih saja berjalan seperti biasa. Para pengikutnya tetap menganggap Lia Aminuddin sebagai penyampai wahyu dari Malaikat Jibril Ruhul Qudus. Mereka pun masih mempercayai keyakinannya bahwa Lia merupakan titisan Maryam, ibu Nabi Isa yang membawa wahyu dari Tuhan melalui Malaikat Jibril. Lalu, ajaran seperti apa yang dijalani oleh Komunitas Eden yang telah ditetapkan MUI sebagai aliran sesat ini? Bagaimana pula kegiatannya setelah Lia bebas dari hukuman 20 bulan penjara?

Rumah itu nampak asri dan terawat. Beberapa tanaman tumbuh di halaman depannya. Warna-warni bunga di halaman rumah membuat suasana rumah tersebut terlihat menjadi lebih indah. Tepat di teras halaman, terdapat sebuah ruangan yang bersih dan rapi. Sebuah kursi sofa yang dihiasi dengan kelambu berwarna putih berada di teras tersebut. Kursi-kursi juga tertata rapi seakan-akan siap menyambut siapa saja tamu yang datang. Bangunan rumah di Jalan Mahoni nomor 30, Bungur, Jakarta Pusat itu juga terlihat sangat dominan dengan warna putih, warna yang identik dengan pakaian sekumpulan orang yang tinggal di rumah berlantai tiga itu.

Beberapa orang nampak tengah sibuk membersihkan beberapa bagian rumah yang masih kotor penuh dengan debu. Sebagian lainnya sibuk mengurusi tanaman yang tumbuh di pekarangan. Saat Realita menyambangi rumah tersebut, sosok wanita berbaju putih menerima dengan senyum dan salam ramah. Sehelai kain panjang membalut tubuh wanita berkulit putih itu. Di balik balutan helai kain putih yang dikenakan wanita tersebut, masih ada kaos oblong berwarna serupa. Ia pun mempersilahkan Realita masuk ke dalam sebuah ruangan yang terletak tepat di depan pintu gerbang rumah. Saat Realita mengutarakan niat untuk berbincang-bincang dengan Bunda (panggilan akrab Lia, red), wanita tersebut pun lantas merespon, “Bunda tak bisa wawancara karena tidak diperbolehkan oleh Malaikat Jibril dan Tuhan.” Alhasil, informasi pun didapat dari dua orang pengikutnya yang termasuk dalam orang terdekat Lia Eden.

Tak berbeda jauh dengan tampilan di luar rumah, di dalam ruangan pun, perabotannya didominasi dengan warna putih sehingga terlihat lebih bersih dan terawat. Di sisi lain ruangan itu, terdapat ruangan yang lebih besar. Di dalamnya terdapat beberapa buah komputer dan sebuah mesin fotokopi. Beberapa orang yang mengenakan balutan kain putih juga nampak sibuk mengerjakan sesuatu di depan komputer. Tak jauh dari situ, sebuah kursi yang hampir mirip dengan kursi singgasana bagi seorang raja nampak berdiri kokoh.

Mantan Perangkai Bunga Kering. Di beberapa bagian dinding ruangan juga dihiasi dengan berbagai pajangan berupa lukisan yang di dalamnya terdapat kata-kata indah dan bermakna. Kata-kata itulah yang disebutnya sebagai wahyu yang diturunkan kepada Lia Aminuddin, sosok wanita yang merupakan pemimpin dari kumpulan orang yang tinggal di dalam rumah tersebut. Rumah itu memang merupakan kediaman Lia yang kini dijadikan sebagai tempat tinggal bagi para pengikut Komunitas Eden, begitu mereka menamakan perkumpulan yang didirikan sejak 12 tahun silam ini. Sosok sentral komunitas Eden tak lain adalah Lia Aminuddin yang diakui sebagai pembawa wahyu dari Malaikat Jibril.

Lia Aminuddin atau yang lebih dikenal sebagai Lia Eden merupakan wanita asli Bugis yang dulunya dikenal sebagai seorang perangkai bunga kering yang kerap disiarkan di TVRI. Lia terlahir di Makassar pada tanggal 21 Agustus 1947. Terlahir dengan nama asli Syamsuriati, Lia merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasangan (Alm.) Abdul Ghaffar Gustaman dan (Almh.) Zainab. Sang ayah dikenal sebagai pedagang sekaligus penceramah. Ia juga berlatarbelakang Muhammadiyah yang sangat kuat. Keluarganya merupakan keluarga Islami. Namun demikian, Lia bukanlah termasuk orang yang pintar mengaji atau pun memiliki banyak pengetahuan agama Islam. Berbeda halnya dengan sang ayah yang justru memiliki pengetahuan agama yang kuat.

Meski lahir di Makassar, Lia dibesarkan di kota Surabaya dan mengenyam pendidikan di kota pahlawan tersebut. Secara formal, Lia hanya memiliki ijazah SMP. Meski begitu, pendidikan SMA ditempuhnya hingga selesai. Namun, Lia tidak mengambil ijazah SMA tersebut. Singkat cerita, pada Juni 1966, Lia disunting oleh seorang dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia bernama Ir Aminuddin Day, MSc. (Pria kelahiran Pare-pare, 17 Agustus 1941). Kala itu, Lia masih berusia 19 tahun, tepat setelah menyelesaikan pendidikan SMA. Pasangan berbeda usia 6 tahun ini kemudian dikaruniai empat anak, 3 anak lelaki dan 1 anak perempuan. Mereka adalah Fahrun (40), Mila (37), serta anak kembar Ahmad Mukti (yang kemudian diakui Lia, sebagai Nabi Isa atau Yesus Kristus) dan Muti (35). Kini, 9 cucu sudah hadir dan kerap mengunjunginya bila hari libur tiba. Di antara anak-anaknya, hanya Fahrun dan Ahmad Mukti yang ikut dalam Komunitas Eden. Sang suami juga ikut serta menjadi makmum Malaikat Jibril.

Sebelum menjadi sorotan karena mengklaim sebagai Imam Mahdi sekaligus menerima wahyu dari Malaikat Jibril, Lia Aminuddin memang kerap wara-wiri di televisi. Bukan mengumumkan dirinya sebagai seorang Imam Mahdi, melainkan membawakan sebuah acara merangkai bunga di TVRI pada era 1980-an. Bahkan Lia sempat menyabet beberapa penghargaan baik nasional maupun internasional. Salah satunya yang paling bermakna adalah penghargaan Upakarti dari pemerintah. Lia juga pernah dipilih sebagai salah seorang tokoh Wanita Indonesia oleh KOWANI dan Menteri Urusan Peranan Wanita. Ia memang dikenal sebagai ahli perangkai bunga kering. Selain dikenal sebagai ahli perangkai bunga kering, Lia juga kerap melakukan aktivitas sosial. Sifatnya yang mudah bergaul dan supel kepada setiap orang, membuat dirinya dikenal oleh berbagai kalangan. Bahkan para pejabat dan pengusaha pun mengenal sosok Lia sebagai sosok wanita aktif dan peduli terhadap sesama. Salah satu kegiatannya yang dikenal masyarakat adalah dengan menyantuni narapidana yang masih mendekam dalam bui. Ia kerap mengunjungi Lapas Wanita Tangerang dan LP Cipinang melalui Yayasan Fajar Harapan yang dimilikinya. Tak hanya menyantuni saja, Lia juga seringkali memberikan berbagai keterampilan kepada para narapidana tersebut.

Didatangi Malaikat Jibril. Nama Lia Aminuddin kemudian mendapat sorotan luar biasa setelah pada tahun 1997, ia mengaku mendapatkan wahyu dari Malaikat Jibril. Awal mulanya ternyata ketika di suatu malam pada 27 Oktober 1995, sekujur tubuh Lia menggigil kencang setelah melakukan shalat Tahajud. Ia mengira ada makhluk sejenis jin yang mendampinginya saat itu. Diakui Lia, jin yang bernama Habib al-Huda tersebut memberikan banyak nasihat baik kepada dirinya. Dua tahun setelahnya, jin itu mengaku sebagai Malaikat Jibril. Beberapa tahun sebelumnya sekitar tahun 1974, Lia juga mengaku sempat didatangi sejenis benda bercahaya yang menghampirinya ketika ia tengah duduk di halaman rumahnya. Benda bercahaya yang mirip dengan sebuah bola kecil berwarna kuning keemasan itu kemudian dianggapnya sebagai sosok Malaikat Jibril.

Anehnya, setelah pertemuan misterius dengan sosok jin itulah banyak kejadian-kejadian yang dialami Lia dan tidak masuk akal. Salah satunya adalah kemampuan Lia dalam mengobati penyakit yang diderita oleh orang-orang yang datang kepada dirinya. Obat yang digunakan hanyalah air yang keluar dari mata air, tempat ia melihat bola bercahaya beberapa tahun sebelumnya. Sumber mata air yang menyembuhkan berbagai penyakit itu tak dalam, cuma 5-6 meter. Tempat bertuah itu kemudian diberi nama Salamullah. Nama yang sama dengan nama jamaah yang dimilikinya. Puncaknya, pada 18 Agustus 1998, Lia memproklamirkan diri sebagai Imam Mahdi yang dibaiat Jibril menyusul setahun sebelumnya ketika Lia mengaku mendapat wahyu dari Malaikat jibril. Salah seorang pasien yang kemudian sembuh setelah diobati Lia adalah seniman, WS Rendra.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 22 Desember 1997 lantas mengeluarkan fatwa sesat terhadap pengakuan Lia yang menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Hal tersebut, karena pernyataannya bertentangan dengan isi Al-Qur’an yang menyatakan tak akan ada lagi Rasul setelah Nabi Muhammad SAW. Akhirnya pada tahun 2005, Lia diseret ke meja pengadilan yang menghukumnya dengan hukuman penjara 2 tahun. Meski sang pemimpin berada di dalam hotel prodeo, tak dinyana kegiatan Komunitas Eden tetaplah berjalan seperti biasa. Bahkan menurut salah satu pengikutnya, para jamaah justru tertuju ke penjara yang menjadi tempat Lia Eden dihukum dan tetap menganggapnya sebagai penyampai wahyu dari Malaikat Jibril.

Selama berada di dalam bui, Lia ternyata memiliki beberapa sahabat dekat. Bahkan, diakui pengikutnya, mereka sudah dianggap sebagai anak-anak Lia. Pada 30 Oktober silam, Lia akhirnya mampu menghirup udara kebebasan setelah selesai menjalani masa hukumannya di Rutan Pondok Bambu. Menurut pengikutnya, rekan-rekan Bunda (panggilan akrab Lia, red), merasa sedih saat Lia meninggalkan penjara. Namun, kebahagiaan justru menghinggapi hampir seluruh anggota jamaahnya di Jalan Mahoni Nomor 30. Mereka menyambut kepulangan Lia yang dapat berkumpul kembali bersama.

Menghapus Agama-agama. Keyakinan yang diamini oleh 50 anggotanya ini, memang tak berbeda jauh dengan kelompok lain yang dinilai MUI sebagai aliran sesat. Tak ada kegiatan ibadah khusus seperti shalat sebagaimana umat Muslim lakukan. Mereka hanya berdoa dan selalu memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan setiap waktu. Bila Lia mendapatkan wahyu dari Malaikat Jibril, maka semua jamaah diharuskan berkumpul dan mendengarkan wahyu yang mereka sebut sebagai risalah. Lia lantas duduk di kursi kebesarannya dan membimbing para pengikutnya dalam menerima wahyu yang telah didapatkannya. Mereka juga menentang pengkotakkan umat melalui agama-agama. Bagi mereka, Tuhan hanya satu. Sedangkan untuk kitab suci, Komunitas Eden mempelajari hampir setiap kitab suci dari berbagai agama. Selain itu, mereka juga mempunyai wahyu-wahyu yang diyakini diturunkan melalui Lia Eden dan kini mulai dibukukan seperti halnya Al-Qur’an tempo dulu. Melalui Komunitas Eden, para jamaah ini juga akan bertekad untuk menghapuskan semua agama yang ada di dunia. Sehingga tidak ada lagi konflik antar agama atau bahkan pertikaian antar agama yang satu dengan agama lainnya.

Adapun balutan kain putih yang melekat di tubuh para jamaahnya, dinamakan sebagai mori. Diakui para pengikutnya, pakaian tersebut digunakan sebagai peringatan agar tidak berbuat dosa dan selalu putih bersih tanpa dosa. Para jamaahnya sendiri memang tidak diperbolehkan melakukan dosa sekecil apa pun. Bila salah satu dari mereka telah melakukan dosa, maka ganjaran yang harus diterima adalah dikeluarkan dari komunitas, tak peduli lamanya waktu mereka bergabung. Bahkan ada salah satu anak Lia yang harus dikeluarkan dari Komunitas Eden karena telah melakukan dosa pada perbuatannya.

Para jamaah Eden dikenal dengan sifat kemandirian yang mereka miliki. Mereka mengaku tidak memiliki pegawai satu pun di rumah. Apapun pekerjaan di dalam rumah, harus mereka kerjakan sendiri tanpa bantuan dari pihak luar. Seseorang yang akan masuk ke dalam komunitas haruslah menjalani beberapa prosesi. Salah satunya yang disebutkan kepada Realita adalah dengan proses penyucian melalui api. Setiap calon anggota jamaah diharuskan melewati api dan dibakar. Sebelumnya, mereka juga harus mengakui seluruh dosa yang pernah dilakukan di masa lampau, baik dosa besar maupun dosa kecil. Barulah mereka melakukan proses penyucian dengan cara dibakar. Bila tubuh terasa sakit dan terbakar, maka ada dosa yang belum diakui oleh si calon anggota. Sebaliknya, bila mereka tidak merasa kesakitan, maka mereka telah suci dan bersih layaknya bayi yang baru lahir. Setelah melewati prosesi tersebut, mereka akan secara resmi menjadi anggota jamaah Komunitas Eden. Meskipun sudah resmi menjadi seorang anggota jamaah, tidak menutup kemungkinan si anggota itu dikeluarkan karena telah melakukan dosa. Tak heran, ketika beberapa tahun silam, anggota jamaah Eden mampu mencapai angka ratusan. Tapi, saat ini hanya sekitar 50 jamaah karena banyaknya yang keluar ataupun dikeluarkan oleh Malaikat Jibril yang telah mereka yakini sebelumnya.

Sekitar 14 orang diantara 50 anggota, tinggal dalam satu rumah di Jalan Mahoni Nomor 30. Sisanya tinggal di rumah masing-masing. Untuk masalah pembiayaan sendiri, dananya sebagian besar berasal dari anggota-anggotanya yang telah bekerja. Ada semacam kas yang menampung penghasilan para anggotanya tersebut. Dana itulah yang digunakan untuk membiayai setiap kegiatan Komunitas Eden termasuk kebutuhan sehari-hari anggota lainnya yang tidak bekerja. Entah sampai kapan Komunitas Eden akan tetap bertahan. Namun, yang pasti setiap pengikut Komunitas Eden percaya bahwa apa yang mereka yakini selama ini merupakan sesuatu yang menunjukkan kebenaran dan akan membawa mereka ke surga bernama Eden, surga yang dijanjikan oleh Tuhan sebelumnya. Fajar, Agus

Side Bar 1…

Meski Dicap Sesat, Para Pengikutnya Tetap Meyakini Lia Eden Sebagai Pembawa ‘Wahyu’

Entah apa yang berada di pikiran Abdul Rahman (37), salah satu pengikut Komunitas Eden yang sekaligus merangkap sebagai imam besar Komunitas Eden. Meski telah divonis sesat oleh MUI, Rahman tetap saja meyakini jalan yang dipilihnya merupakan sebuah kebenaran. Rahman sendiri pertama kali bergabung sejak tahun 1997. Ia mengetahui keberadaan Lia Eden dari seorang teman yang sebelumnya mengetahui alamat rumah Lia. Rahman yang merupakan mantan aktivis di beberapa LSM ini pun penasaran dengan cerita yang didengarnya bahwa Lia telah mendapatkan wahyu dari Malaikat Jibril. Alhasil, ia lantas menyambangi kediaman Lia di Jalan Mahoni. Setelah berbincang-bincang dan saling bertukar pendapat mengenai kebenaran wahyu yang disampaikan melalui Lia, akhirnya Rahman mempercayai apa yang diucapkan sang ‘Imam Mahdi’ tersebut.

Kini, Rahman tinggal bersama dengan Lia di Jalan Mahoni. Selama mengikuti Komunitas Eden, Rahman bertemu dengan wanita yang juga jamaah Eden bernama Zaitun (30). Pernikahannya sendiri pada awalnya berlangsung secara Islami, sesuai dengan agama sebelumnya. Namun setelah Komunitas Eden memiliki tata cara pernikahan sendiri, maka Rahman pun mengulangi prosesi pernikahan dengan cara Eden. Saat ini, pernikahannya telah menghadirkan dua buah hati kembar yang ikut serta tinggal bersama dengan dirinya di Jalan Mahoni. Kedua anaknya, memang tidak mengenyam pendidikan di sekolah umum. Mereka hanya belajar pelajaran yang diberikan oleh jamaah lainnya. Menurut para jamaah, pendidikan formal tidaklah menjadi hal yang penting. Pelajaran dan pengalaman hiduplah yang diyakini mereka lebih penting ketimbang pendidikan di sekolah. Lulusan Akidah Filsafat IAIN ini mengaku bahwa ia merasa lebih damai dan nyaman setelah bergabung dengan Komunitas Eden. Apa yang selama ini dicari telah ditemukannya di dalam Komunitas Eden.

Hal serupa juga dialami oleh Dunuk (32), salah seorang jamaah Komunitas Eden lainnya yang bergabung sejak awal pendirian Komunitas Eden. Ia juga merasakan perubahan positif setelah bergabung dengan Komunitas Eden. Seperti halnya Rahman, ia juga tinggal bersama di rumah Lia, bersama sang suami. Meski demikian, awalnya pihak keluarga menentang keikutsertaan dirinya dalam Komunitas Eden. Tetapi, seiring berjalannya waktu pihak keluarga lantas merelakan pilihan yang telah diambil Dunuk. Kini, Dunuk hanya melakukan kegiatan yang disyaratkan oleh Bunda dan Malaikat Jibril. Kebanyakan, kegiatan yang dilakukan oleh para jamaahnya adalah menyebarkan ‘risalah’ ke berbagai pihak, termasuk SBY, orang nomor satu di negeri ini. Setiap jamaah diharuskan untuk mendahulukan kegiatan penyebaran risalah ketimbang kepentingan pribadi. Risalah-risalahnya sendiri disebarkan melalui selebaran-selebaran, CD (Compact Disc), dan VCD (Video Compact Disc). Risalah tersebut berisikan tentang wahyu-wahyu dari ‘Tuhan” yang disampaikan melalui Malaikat Jibril dan kemudian dilanjutkan kembali kepada Lia Eden. Fajar


H. Puspo Wardoyo, Pemilik Restoran Wong Solo (penyelanggara Poligami Award)

Berasal dari Keluarga Penganut Poligami

Dalam keluarga besarnya, ternyata tidak hanya Puspo Wardoyo saja yang melakukan poligami. Selain sang ayah, kakak, dan adik Puspo juga ada yang melakukan poligami. Mengapa mereka memilih untuk hidup berpoligami?

Sebuah papan nama berwarna putih dan kuning terpampang di pinggir jalan Panjang, Kedoya, Jakarta Barat. Tidak jauh dari posisi papan nama tersebut, tampak sebuah lahan cukup luas yang dijadikan sebagai lahan parkir dari sebuah restoran. Tempat makan itulah yang merupakan usaha Puspo Wardoyo. Restoran ayam bakar Wong Solo telah berdiri di daerah Kedoya sejak setahun silam.

Sukses membawa restoran Wong Solo memang mengangkat nama Puspo Wardoyo sebagai seorang pengusaha yang tangguh. Puluhan cabang telah ia dirikan di berbagai daerah. Tidak hanya cabang Wong Solo yang jumlahnya lebih dari satu, isteri Puspo pun lebih dari satu orang. Status suami yang beristri lebih dari satu itulah yang kini membuat Puspo dikenal sebagai Bapak Poligami Indonesia.

Sebagai seorang pengusaha yang sukses, Puspo Wardoyo memang telah menjadi seorang public figur. Terlebih lagi, ia merupakan sosok orang yang paling disorot media beberapa waktu terakhir ini karena isu poligami yang ia kedepankan setiap kali tampil di depan publik. Isu poligami sendiri memang menjadi bahan omongan di masyarakat, setelah tokoh agama sekaligus penceramah kenamaan, Aa Gym yang memutuskan menikah untuk kedua kalinya. Meski tidak memiliki hubungan keluarga dengan Aa Gym, isu poligami tentu saja tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan sosok Puspo Wardoyo.

Pemilik lebih dari 30 outlet Wong Solo ini juga dikenal sebagai penganut poligami yang memiliki empat istri. Reaksi pro dan kontra pun bermunculan di masyarakat pasca dipublikasikannya Puspo beserta keempat istrinya tersebut. Poligami pun semakin menjadi isu terhangat setelah pemilik Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Aa Gym juga melakukan hal yang sama dengan Puspo. Tak pelak, Puspo pun menjadi sosok orang yang menjadi sorotan masyarakat beberapa waktu terakhir ini.

Ingin Meniru Arjuna. “Ayah saya ingin anak-anaknya menjadi pegawai negeri,” ujar Puspo. Meskipun begitu, cita-cita dari Puspo sendiri bukanlah menjadi seorang pegawai negeri. Ia justru ingin menjadi seorang Arjuna, salah satu tokoh pewayangan. “Ketika masih kecil saya ingin menjadi pria seperti Arjuna, tokoh pewayangan yang menang dalam setiap pertempuran dan beristri lebih dari satu,” tutur anak ketiga dari 8 bersaudara itu. Nyatanya berkata lain, Puspo justru sempat menjadi guru kesenian sebuah Sekolah Menengah Umum (SMU) Perguruan Wahidin Bagan Siapiapi.

Setelah sempat diberikan wejangan dari sang ayah, Puspo meninggalkan karirnya sebagai pegawai negeri dan memutuskan untuk mendirikan warung lesehan kaki lima yang menyajikan menu ayam goreng sejak tahun 1986 di kota kelahirannya Surakarta. Dengan modal Rp 700.000 dari 3 ekor sehari bisa meningkat, kemudian setelah dua tahun menjadi 7 ekor, dan 3 tahun kemudian bertambah menjadi 2 menu, begitu seterusnya. Bahkan Puspo pun mampu melebarkan sayapnya ke seberang pulau, tepatnya di kota Medan.

Akan tetapi, sebelum ia mampu menancapkan Wong Solo di kota Medan tersebut, terlebih dahulu, Puspo mengumpulkan modal dengan kembali menekuni profesi sebagai guru di Perguruan Wahidin Bagan Siapiapi, Riau. “Kembali menjadi guru, saya terpaksa lakukan untuk mengumpulkan modal,” tutur pengusaha yang memiliki 1.200 karyawan ini. Di tanah Riau ini, Puspo menyunting Rini Purwani, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, rekan seprofesinya mengajar. Dengan modal yang telah ia kumpulkan tersebut, dan keinginan yang tinggi, ia bersama istrinya dan seorang anaknya yang masih kecil hijrah ke Medan.

Dibantu Istri Mencari Calon Istri. Sejak merintis Wong Solo di daerah penghasil Bika Ambon tersebut, Puspo meraih kesuksesan dengan menu ayam bakar. Selang beberapa waktu kemudian, Puspo meraih sukses di tanah rantau itu. Ayam bakarnya laris manis dan banyak digemari masyarakat Medan. Pada 1993, ia membuka cabang pertama di Medan dan kemudian membuka restoran ketiga di Medan. Sejak 1997, Wong Solo mulai ekspansi ke luar Medan dan terus berkembang dan membuka cabangnya di berbagai kota di pelosok tanah air.

Saat sukses mampu diraihnya bersama label Wong Solo, Puspo pun merasa tidak cukup dengan hanya memiliki istri satu orang saja. “Poligami itu adalah hak dan kebutuhan perempuan,” ujar Bapak dari 11 anak ini. Tak heran, ia pun memutuskan untuk menikah kembali dengan perempuan yang tak lain adalah salah satu karyawan Wong Solo. Tahun 1996, Puspo pun memutuskan untuk menikah dengan istri keduanya, Supiyanti. “Isteri kedua saya adalah mantan karyawan saya sendiri,” aku Puspo.

Tak hanya sampai di situ saja, setahun kemudian Puspo kemudian menikah kembali dengan seorang perempuan bernama Anissa Nasution yang juga merupakan mantan karyawan Wong Solo. “Istri ketiga saya seorang sarjana, juga mantan karyawan Wong Solo,” ujar franchisor Wong Solo ini. “Menikahinya merupakan penghargaan kepadanya sebagai karyawan yang baik,” lanjutnya.

Iklankan Istri Keempat. Uniknya, dalam mencari calon isteri keempat, Puspo mengaku sempat memasang iklan di sebuah surat kabar yang terbit di Semarang. “Untuk mendapatkan istri keempat, saya pasang iklan di sebuah surat kabar yang terbit di Semarang untuk mencari seorang sekretaris pribadi buat saya,” aku Puspo. Alhasil, sekitar 400 pelamar berdatangan ke rumah makan Wong Solo di Semarang.

Bukan tanpa syarat, Puspo justru memiliki kriteria sendiri dalam memilih calon istri-istrinya. Baginya, perempuan yang cocok untuk menjadi pendamping pria yang akan menginjak usia 50 ini haruslah memiliki akhlak yang baik. “Harus sarjana, berjilbab, akhlaknya baik,” tutur Puspo menyebutkan satu persatu kriteria untuk menjadi pendamping hidupnya tersebut. Bahkan untuk memilih istri keempat, Intan Ratih, ia bersama istri keduanyalah yang memilih calon istri keempat yang nantinya akan menjadi salah satu bagian dari keluarga Puspo Wardoyo.

Awalnya calon istri keempat tersebut dijadikan sebagai sekretaris pribadi Puspo. Puspo beralasan dengan menjadikan calon istri keempat tersebut sebagai sekretaris pribadi terlebih dahulu, Puspo akan bisa lebih dekat mengenal perempuan tersebut. Akhirnya pada tahun 1999, Puspo menikahi Intan Ratih dan menjadikannya sebagai istri keempat.

Keluarga Penganut Poligami. Di dalam keluarga besarnya, ternyata tidak hanya Puspo saja yang memiliki istri lebih dari satu. “Adik dan kakak saya juga poligami,” aku Puspo. Selain adik dan kakaknya, sang ayah, Wardoyo juga ternyata memiliki istri lebih dari satu. “Ayah saya punya istri dua,” ujar Puspo. “Kalau adik dan kakak saya ada yang 2, 3 dan 4 istri,” lanjutnya. Meski sebagian besar anggota keluarganya juga menerapkan poligami, Puspo tidak mau disebut sebagai penganut poligami yang diturunkan dari sang ayah. “Sebenarnya semua laki-laki itu memiliki bakat untuk berpoligami,” kilah pria yang berniat untuk menambah jumlah anaknya ini.

Keempat istri Puspo memang tidak tinggal di dalam satu rumah sekaligus. Masing-masing istrinya tinggal terpisah. Istri pertama dan kedua menetap di Medan. Sedangkan istri ketiganya tinggal di Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten. Istri ‘bontot’nya juga tinggal di daerah tangerang, tepatnya di Puri Bintaro. Para istri ini mendapat limpahan materi dari sang suami yang sangat berkecukupan. Sebagai seorang pengusaha yang cukup sukses, pendapatan Puspo memang terbilang cukup besar untuk menghidupi keempat isteri dan kesebelas anaknya. Keempat istrinya seperti yang diakui Puspo, tidak terlibat dalam bisnis restoran. Mereka hanya sekadar mengawasi standar bumbu masakan. Fajar

Side bar 1

Supiyanti, Istri Kedua Puspo Wardoyo-Penerima Poligami Award

Sejak Awal Menerima Dipersunting Sebagai Istri Kedua

Sebagai salah seorang istri Puspo, Supiyanti memang cukup tegar dalam menghadapi kenyataan bahwa sang suami memiliki istri lebih dari satu. “Awalnya, saya tidak menerima poligami,” kenang Supiyanti. Diakuinya pula, ia sempat menangis selama beberapa lama sebelum akhirnya bisa menerima keputusan sang suami untuk berpoligami. Supiyanti beralasan bahwa ia memang sejak awal menerima disunting sebagai istri kedua dan sudah seharusnya menerima keadaan sang suami.

Supiyanti sendiri dinikahi oleh Puspo tahun 1996. ketika itu Supiyanti baru berusia 26 tahun. Awalnya, pasangan tersebut menikah tanpa sepengetahuan istri pertama. Rini, istri pertama Puspo baru mengetahui bahwa suaminya tersebut telah menikah lagi setelah enam bulan kemudian. Puspo mengaku bahwa istri pertamanya itu sempat menangis tatkala mengetahui bahwa Puspo telah menikah lagi dengan perempuan lain. Meski begitu, Rini akhirnya berlapang dada dan menerima keputusan suami yang sangat dicintainya tersebut. Bahkan, Rini menemani suami dan madunya itu mencatatkan perkawinannya ke kantor urusan agama (KUA).

Ketika Puspo menjalankan poligami dengan keempat istrinya, memang bukanlah tanpa halangan. Saat Puspo mencoba melamar calon istri ketiganya, Anissa Nasution, ia malah sempat ditolak mentah-mentah oleh calon mertua. Kala itu, orang tua Anissa tidak rela anak perempuannya tersebut dijadikan istri ketiga. Puspo pun melapor ke Rini mengenai hal tersebut. Tak dinyana, Rini justru mendampinginya untuk melamar Anissa kembali. Walhasil, lamaran itu diterima. Berkat kegigihan dan kesungguhan Puspo, orang tua Anissa akhirnya luluh dengan lamaran Puspo. Meski memiliki empat istri, Puspo mengaku bahwa ia telah berusaha untuk selalu berbuat adil. “Mas Puspo sudah berbuat adil,” ujar Supiyanti. Ia mengaku bahwa dari segi materi dan perhatian, Puspo memang telah berbuat adil. “Masing-masing istri dan keluarganya dikasih satu rumah dan satu mobil,” aku wanita berjilbab ini.

Tidak hanya adil dalam hal materi, Supiyanti juga mengaku bahwa Puspo adil dalam pembagian waktu atau jadwal kunjungan. Adapun menurut Supiyanti jadwal kunjungan untuk keempat istri Puspo telah diatur sedemikian rupa sehingga masing-masing istri dan anak-anaknya mendapatkan perhatian dan waktu yang sama. Untuk pembagian waktu terhadap keempat istrinya, Puspo memiliki jadwal yang diatur dengan adil. Setiap orang istri memiliki jatah seminggu. Tak pelak, rutinitas Jakarta-Medan sudah menjadi menunya tiap bulan. Fajar

Sidebar 2…

Salah Seorang Istri Puspo Mengundurkan Diri

Meski Puspo Wardoyo dan keempat istrinya mengaku kalau mereka bisa hidup secara tentram dan damai, namun tak jarang ada saja rintangan yang harus mereka hadapi. Sebut saja sorotan negatif dari berbagai pihak yang tidak setuju dengan prinsip poligami yang dijalankan Puspo. Dr. Siti Musdah Mulia, Sekjen ICRP (Indonesia Conference on Religion and Peace) misalnya, mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW selama 28 tahun melakukan monogami. Tiga tahun setelah istri pertamanya, Khadijah meninggal, ia baru menikahi Saudah-seorang janda tua yang berumur 65 tahun. Satu-satunya istri Nabi yang dinikahi masih muda dan perawan adalah istri ketiganya yaitu Siti Aisyah. Sedangkan istri keempatnya yang bernama Hafsah juga seorang janda tua. “Bandingkan dengan Puspo yang menikahi empat orang istri yang masih perawan, muda, dan cantik,” ujar Musdah.

Selain sorotan miring, Puspo juga harus menghadapi rintangan manakala salah satu istrinya ada yang menggugat cerai. Salah satu istri Puspo yang menggugat cerai itu mengaku kalau dirinya tidak tahan dengan poligami yang dijalani oleh Puspo. Namun Puspo menghadapi semua itu dengan tenang. “Dia cuma mengundurkan diri saja,” ujar Puspo tanpa mau menyebutkan nama sang istri yang menggugat cerai dirinya.

Puspo pun bercerita salah satu pengalamannya dalam menjalani kehidupan poligami. Kala itu, Puspo tengah berada di kediaman istri kedua, Supiyanti. Hari itu memang menjadi jadwal bagi Puspo untuk berada di kediaman Supiyanti. Awalnya Puspo ingin memadu kasih dengan sang istri, namun Puspo harus gigit jari tatkala keadaan Supiyanti sedang berada dalam kondisi berhalangan (menstruasi, red). Hal tersebut memang cukup mengecewakan Puspo. Terlebih lagi, rasa cinta dan rindu terhadap Supiyanti sudah dipendamnya cukup lama. “Dia (Supiyanti, red) malah menyuruh saya untuk pergi ke rumah istri pertama saya,” kenang Puspo. “Itu sempat membuat saya terharu,” tambahnya.

Diusir Sang Anak. Uniknya, ketika Puspo mendatangi kediaman Rini, istri pertamanya, sang anak justru mempertanyakan alasan Puspo datang ke rumahnya tersebut. “Anak saya marah dan mengusir saya karena waktu itu kan seharusnya jadwal untuk istri kedua saya,” kenang Puspo. Kala itu, memang sudah menjadi jadwal Puspo mengunjungi istri kedua, sehingga sang anak pun protes dengan berubahnya jadwal Puspo secara tiba-tiba. Meskipun begitu, akhirnya sang anak dapat mengerti dengan keadaan sang ayah dan mampu menerima kembali kedatangan sang ayah. Fajar

Side Bar 3:

Puspo Rela Jika Anak Perempuannya Dipoligami

Dalam beberapa kesempatan acara ataupun diskusi, Puspo Wardoyo memang sangat getol menyebarluaskan poligami kepada masyarakat. “Saya ingin menyebarluaskan poligami dan mengubah poligami yang sekarang imagenya jelek,” harap Puspo ke depannya. Tak heran, Puspo seringkali tampil di depan public dengan memberikan pengalaman-pengalaman postif pada saat ia menjalani poligami.

sebagai seorang laki-laki, Puspo memang sangat setuju dengan poligami yang diusungnya. Bahkan ia merelakan jika nantinya salah satu anak perempuannya memiliki suami yang berpoligami sebagaimana Puspo sendiri. “Insya Allah, saya relakan apabila anak saya dipoligamikan,” ujar Puspo. “Laki-laki itu haruslah teruji keberhasilannya dan mampu mengajak ke jalan Allah, saya akan lebih memilih laki-laki seperti itu dibandingkan jejaka yang belum teruji,” tuturnya.

Bagi Puspo, poligami memang menjadi sebuah jalan hidup yang sempurna. “Kita kan meneladani perbuatan Rasulullah,” ujar pria yang memiliki hobi masak ini. Ia pun sangat senang menyambut kabar bahwa Aa Gym memiliki istri kedua. “Da’i kondang saja berani melakukannya, yang artinya penting dan urgent sekaligus dapat menjadi contoh teladan di Indonesia yang mayoritas orang Islam yang selama ini poligami selalu ditentang dan dinilai jelek,” tutur Puspo. Baginya melakukan poligami lebih mulia ketimbang pelacuran yang dilakukan oleh kaum perempuan. Ia juga berpendapat bahwa dengan melakukan poligami, kejenuhan yang biasanya terjadi di antara pasangan suami istri dapat terhindarkan. Fajar


Kartini Fahmi Idris, Istri Menteri Perindustrian Fahmi Idris

Istri Pejabat yang Menghabiskan Waktunya untuk Menolong Sesama

Terjun langsung mengemasi barang-barang sumbangan sudah menjadi kegiatan rutin Kartini Fahmi Idris saat ini. Meski istri seorang menteri, tidak lantas membuat Kartini canggung untuk berbaur dengan masyarakat miskin. Di usianya yang memasuki kepala enam, Kartini justru lebih memperbanyak aktivitas sosialnya. Kini, beberapa yayasan tengah dipimpinnya. Lalu apa sebenarnya motivasi Kartini Fahmi Idris untuk aktif di berbagai kegiatan sosial?

.Kerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang…

.bekerjalah untuk kepentingan yang abadi….

Dua penggal kalimat yang diambil dari surat Raden Ajeng Kartini kepada Ny Van Kol di Belanda pada 21 Juli 1902 rupanya menjadi pendorong bagi Kartini-Kartini masa kini untuk lebih berkarya lagi. Tak terkecuali bagi Kartini Fahmi Idris, istri dari Menteri Perindustrian, Fahmi Idris. Memiliki nama yang sama dengan pejuang emansipasi wanita tempo dulu ternyata juga dapat memberikan dorongan atau motivasi tersendiri bagi wanita berkerudung ini. Penggalan kalimat dari surat RA Kartini tersebut sepertinya mampu menggambarkan apa yang kini tengah dilakukan oleh Kartini Fahmi Idris.

Kartini tak akan pernah mati. Ungkapan tersebut ada betulnya juga. Pasalnya, selain karena banyaknya wanita yang mampu mencapai pucuk pimpinan di berbagai organisasi bahkan Indonesia pun pernah memiliki presiden wanita, ada juga sosok wanita yang memiliki jiwa Kartini. Adalah Kartini Fahmi Idris yang juga memiliki jiwa yang sama dengan RA Kartini, yakni jiwa peduli terhadap sesama. Jika dahulu Kartini memperjuangkan hak wanita agar sama posisinya dengan kaum pria, maka berbeda halnya dengan Kartini Fahmi Idris. Ia tidak hanya memperjuangkan hak wanita saja, tapi juga membantu masyarakat kurang mampu melalui beberapa yayasan sosial yang ia pimpin.

Berawal dari Pengajian. Selasa (17/4) sore itu menjadi kesempatan Realita untuk bertemu dengan Kartini Fahmi Idris. Di sela-sela kesibukannya mengurusi yayasan, Kartini Fahmi Idris ternyata dapat meluangkan waktu untuk bertemu dengan Realita. Pada petang hari beberapa waktu lalu, langit Jakarta semakin gelap. Penatnya sinar matahari pun digantikan dengan lembutnya sinar rembulan. Kelembutan sinar rembulan yang memancar di langit Jakarta juga dimiliki oleh wanita yang satu ini. Kelembutannya dalam menggalang kegiatan sosial kini mampu membantu ratusan orang yang kurang mampu. Aura keibuan juga terpancar ketika Realita berhasil bertemu dengan Kartini Fahmi Idris di kediamannya di bilangan Mampang, Jakarta Selatan. Dengan kerudung putih yang dikenakannya, Kartini tampak seperti ibu rumah tangga biasa pada umumnya. Namun di balik penampilannya tersebut, Kartini menyimpan banyak pengalaman dalam bergelut di bidang sosial. Mulai dari korban bencana tsunami Aceh dan Pangandaran hingga bencana banjir yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu, telah ia datangi hanya untuk menunjukkan kepedulian sosial yang ia miliki. Di kediamannya yang asri, Kartini pun memulai ceritanya kepada Realita tentang awal mula ia bergelut di bidang sosial.

Kartini Fahmi Idris mengaku ia tidak mendadak bergelut dalam melakukan kegiatan sosial, hanya setelah ia menjadi istri pejabat. Dan ini bisa dimengerti, karena Ibu dua anak ini dibesarkan dari keluarga yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Sehingga, semenjak kecil, ia diajarkan untuk selalu saling berbagi dengan masyarakat kurang mampu. “Saya memang sangat senang untuk bersama-sama melakukan kegiatan yang sifatnya sosial,” aku Kartini. Tak pelak, kebiasaan tersebut berlanjut hingga saat ini. Bahkan kepedulian sosialnya terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Meski begitu, Kartini mulai fokus untuk giat dalam kegiatan sosial sejak tahun 1989, yakni ketika ia mendirikan kelompok pengajian Istiqomah. Pengajian tersebut beranggotakan sekitar 30 orang yang merupakan rekan-rekan Kartini. Diakui Kartini, selain memang sebagai kelompok ibadah, kelompok pengajian Istiqomah yang rutin mengadakan pengajian seminggu sekali ini juga dijadikan sebagai sarana untuk bersosialisasi antar anggotanya. Kemudian timbullah pemikiran dari Kartini yang menginginkan Istiqomah tidak hanya sekadar sarana untuk beribadah saja, tapi sekaligus sebagai ladang amal bagi para anggotanya. Berawal dari pemikiran itulah, akhirnya Kartini bersama anggota-anggota Istiqomah lainnya giat melakukan aksi sosial di berbagai bidang.

Miliki Dua Desa Binaan. Selain rutin memberikan bantuan sembako pada saat bulan Ramadhan dan hewan kurban pada Idul Adha, kelompok pengajian Istiqomah juga memiliki dua desa binaan yang menjadi sasaran berbagai macam kegiatan dari Istiqomah. “Kami memiliki dua desa binaan, yakni Desa Sempora dan Desa Curug di Cimanggis,” ujar Kartini. Kedua desa yang diakui Kartini sebagai desa minus tersebut menjadi desa binaan sejak tujuh tahun yang lalu. Dengan serba ketertinggalan yang dimilikinya, Kartini beserta anggota Istiqomah lainnya merasa harus berbuat sesuatu terhadap kedua desa tersebut. Secara rutin, Kartini melalui kelompok pengajian Istiqomah memberikan bantuan sembako dan bantuan lainnya setiap bulan Ramadhan tiba. Selain itu, Pengajian Istiqomah juga membeli sebidang tanah di dua desa tersebut untuk dibangun menjadi gedung serbaguna. “Di gedung itu kita mengadakan pengajian bagi warga desa,” ungkap Kartini yang juga menjabat sebagai ketua Kelompok pengajian Istiqomah ini. Untuk biaya pembangunan dua gedung serbaguna di kedua desa tersebut, Kartini harus merogoh kocek sekitar Rp 100 juta. Dana itu berasal dari kocek pribadi dan patungan dari para anggotanya.

Aksi sosial Kartini kemudian berlanjut. Masih berada di dua desa di wilayah Cimanggis, Istiqomah lalu mengadakan kursus Bahasa Inggris dan Matematika bagi anak-anak SD dan SMP. Dua mata pelajaran tersebut sengaja diberikan pengajaran ekstra karena di dua desa itu, Bahasa Inggris dan Matematikalah yang sulit untuk dimengerti bagi anak-anak SD dan SMP. Tak hanya itu, anak-anak sekolah di dua desa itu juga rencananya akan diperkenalkan dengan komputer sebagai salah satu kegiatan di luar pelajaran sekolah selain kegiatan pencak silat yang sudah ada. Di samping pengajaran tiga bidang yang bersifat gratis, anak-anak SD sampai SMU dari dua desa tersebut diberikan bantuan pendidikan setiap bulannya. Setiap anak mendapatkan bantuan pendidikan sebesar Rp 100 ribu per bulan. Hingga saat ini, 180 anak telah merasakan bantuan pendidikan tersebut. Total dana yang harus dikeluarkan oleh Istiqomah setiap bulan, seperti yang diakui Kartini berkisar Rp 5 juta. Biaya tersebut dipergunakan untuk membiayai kursus, bantuan pendidikan serta kegiatan pengajian. “Bapak (Fahmi Idris-Red) juga ikut menjadi donator utama menyumbang Rp 3 juta, tinggal kita yang mencari sisanya Rp 2 juta,” tutur nenek dari 5 cucu ini. Dalam hal pengumpulan dana dari para anggota kelompok pengajian Istiqomah, Kartini mengaku mereka hanya menyumbang dana secara sukarela. “Tidak ada semacam iuran tiap bulannya,” kilah Kartini yang menganggap beramal itu adalah sebuah pilihan.

Forum Keluarga Visi 21. Dalam perjalanan waktu, Istiqomah kemudian berkembang baik dari segi komunitasnya maupun ragam kegiatannya. Salah satu kegiatan yang merupakan hasil pemikiran dari para anggotanya adalah dengan terbentuknya Forum Keluarga Visi 21 pada tahun 2000. Angka 21 yang dipakai pada nama tersebut memiliki arti abad 21. “Latar belakang kita mendirikan forum itu adalah, adanya permasalahan yang dialami oleh anak muda sekarang,” jelas Kartini. Kekhawatiran wanita lulusan Psikologi Universitas Indonesia ini timbul ketika ia melihat adanya gaya hidup pergaulan bebas di antara anak-anak muda khususnya pada jenjang universitas. Kegiatan dari forum tersebut adalah dengan memberikan penyuluhan kepada para mahasiswa tentang pergaulan yang baik dan benar. “Kita sering berkunjung ke kampus-kampus,” kenang Kartini.

Kegiatan penyuluhan itu ternyata harus dilakukan dengan susah payah. “Banyak yang nggak mau ikut, padahal kita tidak memungut biaya,” Ungkap Kartini. Namun demikian, Kartini tetaplah berusaha untuk mengadakan penyuluhan agar permasalahan sosial yang kini banyak terjadi di masyarakat dapat berkurang. “Saya tidak memikirkan efektif atau tidak, yang penting kami berusaha untuk memberikan arah positif bagi mereka,” ujar wanita berkacamata ini. Tidak hanya penyuluhan bagi kaum muda yang belum menikah, Kartini juga seringkali mengadakan penyuluhan bagi pasangan yang sudah menikah. Hal tersebut dilakukannya untuk memberikan solusi kepada pasangan-pasangan tersebut terhadap masalah yang biasa dihadapi oleh keluarga Indonesia. Di dalam penyuluhan itu, Kartini mengajak serta pemuka agama dan psikolog untuk memberikan materi kepada para anggotanya. Setelah kegiatan mampu menyelesaikan pelatihan dan penyuluhan pada Forum Keluarga Visi 21, para pesertanya akan diberikan sertifikat. Kemudian para alumnus tersebut kerap mengadakan kajian tentang keluarga dan permasalahannya sebulan sekali. Kegiatan Forum Keluarga Visi 21 ini diilhami dari Negara tetangga, Malaysia. “Kalau di negara Malaysia, bagi pasangan yang berencana menikah akan diberikan pelatihan selama enam bulan,” tutur Kartini. Dengan meniru apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia, Kartini mencoba untuk memberikan pendidikan dan pelatihan terhadap pasangan belum menikah agar mendapatkan pengetahuan yang cukup dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Bedanya, bila di Malaysia calon peserta harus membayar biaya 500 dolar Singapura, Kartini justru tidak memungut biaya sama sekali.

Yayasan Hasan Basri. Selain menjadi ketua kelompok pengajian Istiqomah, Kartini juga tengah memimpin sebuah yayasan yang merupakan sebuah penghargaan bagi sang ayah tercinta dan diberi nama sesuai dengan nama sang ayah, yakni Yayasan Hasan Basri. Yayasan tersebut didirikan pada tahun 2003 oleh Kartini Fahmi Idris beserta anggota keluarga Hasan Basri lainnya. Berbagai fasilitas dan kegiatan sosial diadakan oleh yayasan yang berkantor di daerah Muaratewa, Kalimantan Tengah ini. Kecamatan Muaratewa dipilih karena (alm.) Hasan Basri sendiri terlahir di daerah tersebut. Kartini menyediakan poliklinik Siti Fatimah (nama ibu kandung Hasan Basri-Red) yang memberikan segala macam pengobatan gratis. Selain itu, Yayasan Hasan Basri juga memberikan bantuan kesejahteraan bagi masyarakat kurang mampu dan anak-anaknya. Untuk anak-anak yang masih bersekolah, mereka diberikan bantuan setiap orangnya sebesar Rp 100.000 per bulan. Dana yang dipergunakan berasal dari Kartini dan anggota keluarga lainnya. Mereka secara kolektif mengumpulkan uang hanya untuk diberikan kepada yang berhak. Kartini juga memberikan makan siang gratis bagi anak-anak panti asuhan rutin setiap hari jumat. Melalui yayasan Hasan Basri pula, Kartini kerap memberikan beasiswa bagi anak-anak terpilih untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Saat ini, ada 40 anak yang diberikan kesempatan untuk dapat merasakan pendidikan perkuliahan. Salah satu universitas tempat mereka mengikuti kuliah adalah Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah (UIN).

Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Selain dua organisasi yang dipimpin oleh Kartini tersebut, ia juga ikut aktif di dalam organisasi SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu). Awalnya didirikan oleh Ibu Negara, Ani Yudhoyono. Kartini sendiri menjabat sebagai koordinator bidang sosial. Tak heran, ia lebih banyak bergelut dengan aksi-aksi sosial yang dilakukan oleh SIKIB. Perkumpulan istri-istri menteri Kabinet Indonesia Bersatu ini didirikan tepat dua hari setelah bencana tsunami melanda Aceh. Setelah terjadinya bencana yang meluluhlantakkan kota serambi Mekkah tersebut, Ani Yudhoyono memutuskan untuk mendirikan SIKIB agar dapat memberikan berbagai macam bantuan ke Aceh. Sejak saat itulah, SIKIB berjalan dan banyak memberikan bantuan ke beberapa lokasi bencana hingga sekarang. Selain Aceh, daerah Pangandaran juga telah merasakan bantuan yang diberikan oleh SIKIB. “Kita memberikan bantuan sembako dan pakaian ke Pangandaran,” kenang anak ketiga dari 4 bersaudara ini. Selain Pangandaran dan Aceh, beberapa waktu lalu SIKIB juga memberikan banyak bantuan bagi korban banjir di wilayah ibukota. Dana yang dipergunakan berasal dari hasil kumpulan para istri menteri dan sumbangan dari pihak luar. “Waktu bencana banjir itu, kami menerima Rp 500 juta dari Singapura dan Rp 250 juta hasil dari patungan istri-istri menteri,” tutur Kartini yang mengaku selalu menyisihkan 10% dari pendapatannya untuk beramal ini. Dana tersebut digunakan untuk membeli berbagai paket bantuan yang isinya adalah buku-buku, seragam sekolah bagi anak-anak korban banjir. Kartini tidak segan-segan untuk terjun langsung membuat paket-paket bantuan tersebut. “Saya ikutan bikin juga,” ungkap Kartini. Kegiatan terakhir yang dilakukan adalah kunjungan ke daerah Bekasi bersama istri dari MS Kaban. Waktu itu Kartini mengunjungi sekolah-sekolah di Bekasi yang terkena banjir. Kartini juga mengajak serta artis-artis ibukota dalam kunjungan tersebut. Fajar

Side bar 1

Diberi Nama Kartini Agar Meniru Sikap Kartini.

Kartini Fahmi Idris terlahir dari pasangan Hasan Basri dan Nurhani. Kartini merupakan anak perempuan satu-satunya, ketiga saudara kandung lainnya adalah laki-laki. Ia lahir pada 20 April 1947, sehari sebelum hari Kartini biasanya dirayakan. Meski tidak lahir bertepatan dengan Hari kartini, orang tuanya tetap memberi nama Kartini dengan harapan ia dapat meniru sikap Kartini di masa lampau. Tak percuma kedua orang tuanya memberi nama Kartini. Pasalnya, kini Kartini mampu meneruskan cita-cita dan jiwa Kartini sesungguhnya melalui beberapa yayasan yang dipimpinnya. Sebenarnya, Kartini merupakan seorang psikolog. Ia mengambil studi psikologi di Universitas Indonesia. Tidak lama setelah menamatkan studinya, Kartini menikah dengan Fahmi Idris dan dianugerahi dua anak perempuan, Fahira (lahir 20 Maret 1968) dan Fahriva (lahir 11 Oktober 1972). Dari dua anaknya tersebut, Kartini juga mendapatkan 5 cucu yang kerap mengunjunginya setiap akhir pekan.

Kartini kecil dididik dengan ajaran agama yang cukup kuat, terutama dari sang ayah, Hasan Basri. Mantan ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) itu juga mengajarkan kepada Kartini tentang bagaimana berbagi terhadap sesama. Ibundanya, Nurhani merupakan seorang aktivis pergerakan. Tak heran, kini Kartini getol melakukan aksi sosial sebagai hasil didikan kedua orang tuanya. Beruntung Kartini mendapatkan suami seperti Fahmi Idris. Pasalnya, sang suami ikut mendukung segala bentuk kegiatan yang dilakukan Kartini. “Bapak (Fahmi Idris-Red) juga punya banyak anak asuh,” aku psikolog yang sempat bertugas di RSCM ini. Ternyata tak hanya Kartini saja yang melakukan aksi sosial. Fahmi Idris pun memiliki jiwa yang tak berbeda jauh dengan sang istri.

Pasangan Kartini dan Fahmi Idris juga ikut mendidik kedua anaknya dengan jiwa dan didikan sosial. Sehingga kedua putrinya juga tak berbeda jauh dengan apa yang dilakukan oleh Kartini. “Fahira itu juga aksi sosialnya banyak,” tutur Kartini. “Saya mendidik anak dengan memberikan contoh-contoh,” lanjut pemilik nama lengkap Kartini Merdeka ini. Meski disibukkan dengan berbagai acara sosial, Kartini tetap saja dapat meluangkan waktu bersama keluarga. Hampir setiap akhir pekan, Kartini selalu saja dikunjungi oleh kedua puteri dan kelima cucunya. Tak pelak, suasana rumah pun menjadi ramai dengan anak-anak. Itulah yang kini membuat hati Kartini selalu berbahagia menatap sisa hidupnya. Selain berkumpul dengan keluarga, Kartini pun dapat meluangkan waktunya untuk menyalurkan hobi. Hobi yang paling disukainya adalah berkebun. Saat ini, kartini memiliki lahan kebun di taman Cibodas seluas satu hektar. Lahan tersebut ditanami oleh berbagai macam tanaman. Sebulan sekali, ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi kebunnya tersebut. Berbagai kegiatan itulah yang menggambarkan Kartini sebagai sosok ‘Kartini’ yang berjiwa sosial.

Side Bar 2

Sakit Punggungnya Sembuh Gara-gara Sering Melakukan Kunjungan Sosial

Banyaknya kegiatan sosial yang dilakukan Kartini memang cukup menguras tenaga dan waktunya. Namun, ternyata ada pengalaman unik yang pernah dialami oleh wanita setengah baya ini. Seharusnya, dengan usianya yang sudah menginjak 60 tahun, Kartini sudah tidak mampu lagi untuk mengikuti banyak kegiatan. Terlebih lagi kegiatan kunjungan ke luar kota yang membutuhkan stamina dan kesehatan yang kuat. Tetapi, Kartini mampu melakukannya dengan baik. Bahkan untuk mengunjungi daerah-daerah bencana, Kartini masih memiliki sisa kekuatan di usia senjanya, kekuatan untuk membantu orang lain yang membutuhkan.

Dengan melakukan aksi sosial dan berbagai kegiatan sosial lainnya, Kartini bukanlah merasa kehabisan tenaga. Namun, justru sebaliknya, penyakit sakit punggung yang dideritanya selama beberapa tahun dapat sembuh total tanpa harus berobat ke dokter. “Saya merasa punggung saya tidak sakit lagi,” ungkap Kartini. Sakit punggungnya tersebut diderita sejak awal tahun 2000. Akan tetapi, lambat laun ia tidak pernah lagi merasakan sakit pada punggungnya seiring dengan banyaknya kegiatan yang ia lakukan. “Dulu saya tidak bisa duduk atau berdiri lama-lama,” kenang Kartini. Setiap kali duduk atau berdiri lama, Kartini merasakan sakit yang sangat luar biasa pada punggungnya. Alhasil, jika sakit sudah terasa Kartini hanya dapat tidur dan beristirahat untuk menghilangkan rasa sakitnya tersebut. Sebab musabab sakit pada punggungnya itu karena Kartini pernah terkilir di bagian punggungnya. “Dulu seperti terpelintir gitu,” ujar Kartini yang menyisihkan sebagian uang pada ulang tahunnya untuk yayasan.

Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya kegiatan yang digeluti Kartini, sakit di punggungnya semakin lama semakin berkurang. Hingga kini, sakitnya itu sudah tidak kambuh lagi. Padahal Kartini kerap duduk atau berdiri lama bila tengah melakukan kunjungan ataupun memberikan bantuan kepada pihak yang membutuhkan. “Mungkin karena banyak bergerak dan hati pun ikut senang pada saat memberikan bantuan,” tutur Kartini. Sembuhnya penyakit tersebut dianggapnya sebagai berkah, berkah atas segala bentuk pengorbanan dan jiwa sosial yang telah ia lakukan. Fajar

Side Bar 2

Sempat Memberikan Penyuluhan Bagi Tenaga Kerja di Hongkong

Ketika Fahmi Idris masih menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kartini juga getol melakukan aksi sosial. Bedanya, ia lebih fokus terhadap kondisi tenaga kerja Indonesia khususnya tenaga kerja wanita yang berada di perantauan. Untuk itu, Kartini mendirikan Forum Peningkatan Martabat Tenaga Kerja. “Waktu itu pemikirannya, tenaga kerja harus dibekali dengan pengetahuan dan penyuluhan yang bermanfaat,” ujar Kartini. Kala itu, Kartini melihat kondisi yang dialami oleh Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang kurang baik. TKW di Hongkong diakui Kartini memiliki penghasilan yang cukup besar. Akibatnya gaya hidup mereka pun semakin berlebihan. Tak hanya itu, dia juga melihat bahwa ada banyak penyimpangan yang dilakukan oleh TKW di negeri seberang khususnya Hongkong. Salah satunya adalah terjadinya hubungan sesama jenis. “Kita buat penyuluhan bagaimana menggunakan uang penghasilan mereka dengan benar,” ujar kartini.

Melalui penyuluhan itu pula, Kartini ingin menyadarkan para TKW tersebut tentang tujuan awal mereka bekerja di luar negeri. Kartini juga mengajari para TKW itu bagaimana mengatur uang hasil mereka bekerja. Selain itu, untuk menjaga keamanan para TKW tersebut bekerja, Kartini beserta anggota forum mengajarkan pelatihan bela diri. “Kita mendatangkan perguruan Bangau Putih dari Bogor,” ujar Kartini. Seperti diakui Kartini, para TKW ini diberikan pelatihan bela diri 4 jurus dasar untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan selama bekerja di luar negeri. Segala macam bentuk pelatihan dan penyuluhan tersebut dilakukan di salah satu taman di Hongkong. Taman itu biasanya memang digunakan oleh para TKW untuk sekadar berkumpul dan bercengkerama dengan TKW lainnya. Tak ketinggalan, Kartini juga mengirimkan psikolog dan pemuka agama ke Hongkong untuk mengajarkan bagaimana melakukan ibadah di sela-sela pekerjaan mereka.

Setelah sang suami tak lagi menjabat sebagai menakertrans, Kartini tidak mengurusi Forum tersebut. Meski begitu, Kartini tetap memantau kegiatan Forum itu. Kini, setelah Fahmi Idris menjabat sebagai Menteri Perindustrian, Kartini menjabat sebagai ketua Yayasan Perempuan Peduli Bangsa. “Kita mengajarkan tentang bagaimana menjadi seorang perempuan dan ibu yang baik,” tutur wanita yang memiliki hobi membaca buku ini. Kartini sendiri baru diangkat pada tahun ini. Ia akan menjabat sebagai ketua selama kurun waktu lima tahun ke depan. Sedangkan Yayasan Perempuan Peduli Bangsa sudah berdiri sejak 5 tahun yang lalu. Fajar