Dikejar-kejar Petugas Keamanan Demi Membela Sang Ibu
Merasa kurang sempurna pada kali pertama menunaikan haji, Fahmi Idris lantas memutuskan untuk kembali mendatangi Tanah Suci untuk yang kedua kali bahkan hingga ketiga kalinya. Ia pun sempat mengalami suatu kejadian yang cukup mengejutkan. Kejadian yang juga mengajarkannya untuk lebih bersabar dalam menjalani hidup. Lalu, seperti apa pengalaman Fahmi dalam melakukan napak tilas di Tanah Suci?
Sebuah gedung menjulang tinggi berdiri kokoh tepat di tepi jalan MT Haryono, Jakarta. Suasana di sekitar gedung nampak ramai. Beberapa orang berpakaian batik terlihat sibuk berkerumun di sudut halaman gedung yang berukuran cukup luas. Beberapa orang lainnya tengah sibuk mengamati barang-barang yang tengah dipamerkan di lantai dasar gedung tersebut. Pameran barang-barang buatan dalam negeri sendiri memang sedang diadakan di gedung Departemen Perindustrian itu. Seorang perempuan berkerudung juga nampak sibuk melayani calon pembeli yang menghampiri stand miliknya. Pameran tersebut memang merupakan salah satu acara yang tengah diadakan oleh Departemen Perindustrian. Sosok pria bernama Fahmi Idris-lah yang menjadi orang nomor satu di kementerian itu. Ia juga menjadi salah satu kunci dalam setiap kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh Departeman Perindustrian.
Hari Kamis (30/11) petang, Realita berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Fahmi Idris. Bukan untuk memperbincangkan kondisi industri dalam negeri ataupun internasional, namun untuk menggali lebih dalam tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji. Fahmi Idris memang telah mampu menyelesaikan rukun Islam kelima tersebut. Tak hanya sekali, tapi sudah tiga kali ia pergi ke Tanah Suci. Tepat di lantai dua gedung Departemen Perindustrian, ruangan Fahmi Idris berada. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Fahmi bisa meluangkan sedikit waktu untuk sekadar berbincang-bincang mengenai pengalamannya melakukan ibadah haji.
Berkelahi di Tanah Suci. Fahmi Idris menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya pada tahun 1980. Kala itu, ia meyakini niatnya untuk segera menunaikan rukun Islam kelima tersebut. Tak hanya seorang diri, ia mengajak serta ibu kandung dan istrinya. Sedangkan sang ayah, Idris, meninggal beberapa bulan sebelum keberangkatan hajinya. Tak ayal, Fahmi pun hanya berangkat bersama ibu dan istrinya. “Tapi saya menaikkan haji juga untuk ayah saya,” aku Fahmi yang masa kecilnya dikenal anak bengal ini. Kala itu, umur sang ibunda sudah senja. Tak pelak, Fahmi sudah membulatkan tekad untuk beribadah haji dan menjaga ibu kandungnya, Mariam, selama berada di Tanah Suci. “Ketika itu saya ingin berkonsentrasi menjaga dan merawat ibu saya, jadi saya harus benar-benar menjaganya,” tutur Fahmi Idris. Keinginannya tersebut ternyata diuji ketika berada di Tanah Suci, tepatnya di Masjidil Haram. Kala itu, Fahmi beserta ibu dan istrinya akan melakukan shalat maghrib.
Suasana di dalam Masjidil Haram sangatlah penuh sesak. Para jamaah haji dari seluruh dunia saling berlomba-lomba untuk mendapatkan tempat shalat. “Waktu itu kan haji akbar,” aku mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini. Pada saat itu pula, petugas haji dikerahkan untuk memisahkan jamaah pria dan perempuan. Fahmi tentu harus berpisah sementara dengan ibu dan istrinya. Namun, karena sesuatu hal, sang ibu justru melakukan shalat di tempat pria. Beberapa petugas haji bertubuh tegap ternyata tidak menerima kehadiran jamaah perempuan di barisan pria. Salah satu jamaah perempuan yang salah tempat itu tak lain adalah ibunda Fahmi. Tak pelak, mereka pun berbuat kasar terhadap jamaah-jamaah perempuan yang salah tempat. Mereka memukul sembari mengusir satu persatu jamaah perempuan itu dan berteriak “Haram…” berkali-kali.
Beruntung, Fahmi melihat semua kejadian pemukulan itu sebelum sang ibu terkena pukulan. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menghalangi petugas dan berusaha mencegah ibundanya terkena pukulan. “Untung saya pernah belajar bela diri Jujitsu,” ungkap Fahmi sembari tersenyum lebar. “Saya tidak rela ibu saya dipukul,” imbuh Fahmi yang pernah bercita-cita menjadi tentara di waktu kecilnya ini. Sehingga ia mampu mencegah aksi pemukulan itu dengan mengeluarkan salah satu jurus bela dirinya. Alhasil, ibunya terlindungi dari aksi pemukulan. Namun begitu, para petugas haji tersebut tidak terima dengan perbuatan Fahmi yang menghalangi pemukulan itu. “Saya dikejar-kejar oleh mereka,” kenang ayah dua anak perempuan ini. “Akhirnya saya bisa menjelaskan dan berdamai dengan mereka,” lanjutnya. Saat itu, yang terpenting bagi Fahmi adalah keselamatan sang ibu dan istrinya. Terlebih lagi, usia sang ibu yang sudah berkepala lima. Ia mengaku tidak memperdulikan dirinya sendiri. Sehingga Fahmi berani untuk melawan petugas haji hanya untuk melindungi ibu dan istrinya.
Kembali ke Tanah Suci. Tak hanya itu saja, keesokan harinya ketika ia melakukan tawaf bersama ibu dan istrinya, kejadian pahit lain pun dialami Fahmi. Berniat untuk melindungi sang ibu tercinta, ia tetap menjaga tubuh rapuh sang ibu dari desakan ribuan jamaah haji yang juga sedang melakukan tawaf. Fahmi kerap membalas jamaah haji lain yang telah berbuat kasar terhadap ibu kandungnya. “Saya injak kaki orang yang sudah menyakiti tubuh ibu saya,” aku Fahmi. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang bila ada orang lain yang juga menyakiti ibunya.
Dua kejadian itu ternyata masih tersimpan di benak Fahmi sekembalinya ke tanah air. “Saya merasa belum afdhol menunaikan haji waktu itu,” ungkap Fahmi singkat. Menurutnya, pada saat itu ia tidak mampu untuk menjaga kesabarannya di tanah suci. Padahal kesabaranlah yang terpenting dalam menjalankan ibadah haji. Setelah melakukan pertimbangan, akhirnya Fahmi memutuskan untuk menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. “Waktu itu, saya berjanji untuk tidak mengulangi perkelahian lagi di Tanah Suci,” aku pria yang lahir di Jakarta pada 20 September 1943 ini. Tepatnya pada bulan September 1983, Fahmi membulatkan tekad untuk kembali ke Tanah Suci dan menebus kesalahannya di musim haji dua tahun sebelumnya. Ia juga berjanji untuk melatih kesabarannya dalam menunaikan ibadah haji. “Akhirnya tidak ada hambatan ketika saya menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya,” tutur pria berkumis ini. Tak puas menunaikan haji dua kali, Fahmi lantas memutuskan untuk kembali mengunjungi rumah Allah pada tahun 2006. “Ketiga kalinya, saya sudah sangat sabar dan mantap,” ujarnya. Bila pada dua kali naik haji pertama ia merasakan musim panas di Tanah Suci, maka pada ketiga kalinya, Fahmi justru merasakan musim dingin, musim yang diinginkannya ketika naik haji.
Dari berbagai pengalaman berharga saat menunaikan ibadah haji itulah, Fahmi mampu mengambil hikmah yang dapat ia terapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah peringatan Allah kepada dirinya agar selalu melatih kesabaran dalam menjalani kehidupan. “Sekarang saya menjadi lebih sabar dalam menjalani kehidupan nyata,” tutur Fahmi sembari tersenyum.
Tekat menjalani hidup yang sabar itu kemudian ia terapkan dalam kariernya. Dalam memimpin Departemen Perindutrian, Fahmi kini berubah menjadi lebih sabar dan mengubah sifat-sifat buruknya ketika sebelum naik haji. Selain itu, dalam kehidupan pribadi pun, ia kini berusaha untuk menjadi suami terbaik bagi Kartini Hasan Basri (60) dan ayah yang bertanggungjawab bagi Fahira (39) dan Fahrina (35) serta kakek dari beberapa cucu yang seringkali menemaninya di waktu libur. Fajar
No comments:
Post a Comment