Wednesday, June 23, 2010

Gemala Rabi'ah Hatta, Putri Bung Hatta

Menerapkan Didikan Sang Ayah Dalam Dunia Kesehatan yang Digelutinya

Menjadi putri dari salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia, memang merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Gemala. Tapi hal tersebut diakuinya tak membuat ia sombong terhadap rekan-rekan di lingkungannya. Sebaliknya, Gemala justru mampu mengambil banyak pelajaran hidup dari sang ayah.

Salah satu rumah di Jalan Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta Selatan nampak luas dan asri. Pepohonan nan hijau menghiasi halaman rumah tersebut. Suasana di dalam rumah juga terasa sejuk. Sebuah lukisan foto berukuran besar terpajang di dinding ruang tamu. Terlihat gambar seorang pria berkacamata yang wajahnya terlihat familiar di bumi nusantara pada lukisan itu. Dialah Bung Hatta bersama sang istri yang dijadikan lukisan foto besar yang memang menjadi penghuni tetap di dalam ruang tamu tersebut.

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya seorang wanita paruh baya keluar dari bagian dalam ruangan. Ia nampak ramah menyambut kedatangan Realita. Obrolan pada siang hari itu pun dimulai ketika Gemala Rabi'ah-nama lengkap wanita itu-menceritakan bagaimana sosok Bung Hatta dalam keluarga. Tak hanya itu saja, didikan sang proklamator diakuinya juga banyak menular kepada ketiga puterinya termasuk Gemala sendiri. “Banyak pelajaran berharga yang diajarkan ayah kepada anak-anaknya,” aku Gemala.

Pelajaran tentang hidup tersebut didapatkan Gemala selama 24 tahun hidup serumah dengan sang ayah. Gemala sendiri memang sempat tinggal di istana wakil presiden. Namun, sejak tahun 1956 ketika Bung Hatta tak lagi menjabat wakil presiden dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, ketiga putrinya justru mendapatkan keuntungan dengan banyak waktu luang yang dapat dihabiskan bersama sang ayah. Begitu pula yang dirasakan oleh Gemala Rabi'ah Hatta. Setiap pagi saat waktunya sarapan, Gemala selalu melewatinya bersama sang ayah. Hal serupa juga terjadi ketika makan siang dan makan malam. “Belajar pun selalu didampingi ayah dan ibu,” kenang wanita pengkoleksi perangko ini.

Kebebasan dan Disiplin. “Jadi kebersamaan di dalam rumah itu sangat terasa sekali,” ungkap Gemala. Pada saat makan bersama itulah, keluarga Bung Hatta selalu mengadakan dialog antar anggota keluarga. Banyak hal yang memang biasanya diperbincangkan pada saat makan bersama itu, termasuk tentang pelajaran di sekolah dari ketiga putrinya. “Biasanya ayah selalu mendengarkan pendapat anak-anaknya,” aku Gemala. Sehingga Bung Hatta selalu memberikan kebebasan bagi semua anggota keluarga. Bila salah satu putrinya sedang mengemukakan pendapatnya, pastilah ia selalu mendengarkan tanpa memotong omongan putrinya tersebut. Dari hal-hal kecil itulah, Bung Hatta mengajarkan kebebasan yang tentu saja disertai dengan tanggung jawab yang besar.

Saat akan pergi meninggalkan rumah, setiap anak diharuskan untuk pamit kepada kedua orang tua. “Jadi nggak boleh nyelonong saja,” ujar Gemala sembari tersenyum. Selain itu, kata-kata 'maaf' dan 'terimakasih' sudah dibiasakan sejak mereka masih kanak-kanak. “Setiap kali kita melakukan kesalahan, kita diwajibkan untuk meminta maaf,” ujar adik Menteri Negara Pemberdayaan Wanita, Meutia Hatta ini. “Dan kalau kita sudah diberikan apa pun oleh orang, kita juga diwajibkan untuk berterimakasih,” lanjutnya. Berbeda halnya dengan zaman sekarang, yang menurut Gemala kebiasaan tersebut sangatlah kurang. Kedisiplinan juga terlihat dari jam makan yang harus selalu ditepati oleh setiap anggota keluarga. Setelah makan nasi, anak-anak juga diharuskan makan buah di ruangan yang berbeda. Sedangkan pada malam harinya, anak-anak diwajibkan untuk tidur pukul 10 malam.

Selain didikan displin dalam rumah, didikan agama juga tak lupa untuk ditanamkan sedari kecil. Meski Gemala disekolahkan di institusi sekolah Katolik, didikan agama Islam yang kuat di dalam rumah menjadi bekal utama dalam dirinya. “Selain dari orang tua, kami memiliki guru mengaji,” ujar kakak dari Halida Nuriah ini. Latar belakang sang ayah yang memang berasal dari keluarga taat beragama juga ditularkan kepada anak-anaknya. Terbukti dengan bangunan pesantren Abdul Rahman di daerah Batu Hampar, Sumatera Barat sejak tahun 1800-an yang didirikan oleh kakek dari Bung Hatta. “Keluarga ayah saya memang ulama besar,” aku Gemala dengan bangganya. Tak heran, didikan agama di dalam rumah sangatlah kuat.

Di mata Gemala, sosok sang ayah merupakan sosok yang menjadi penutan dalam keluarga. “Ayah itu satu kata dengan perbuatan,” ujar Gemala. Menurutnya, Bung Hatta bukanlah sosok pemarah. Kendati begitu, ketiga putrinya justru mengerti hal tersebut dan lebih sadar diri untuk tidak melanggar aturan dalam rumah. Maka tak heran, saat Bung Hatta meninggal pada 14 Maret 1980, seluruh anggota keluarga merasa kehilangan. Kendati demikian, ketiga putrinya justru telah dididik mandiri, sehingga rasa kehilangan tersebut berusaha diubah menjadi ketegaran dalam melangkah ke masa depan.

Dengan dana pensiun sang ayah sebagai mantan wakil presiden, ketiga putri dan sang ibu, Rahmi Rachim berusaha untuk melanjutkan kehidupan. “Setelah ditinggal, ayah cuma meninggalkan uang Rp 2.250.000,” ungkap Gemala sembari tersenyum. “Ayah nggak punya deposito, nggak punya saham, nggak punya bisnis,” lanjutnya. Hal tersebut diakui Gemala menunjukkan bahwa sang ayah memang benar-benar bersih dari segala macam bisnis. Beruntung, pemerintah kala itu memberikan penghargaan berupa sebuah rumah di daerah Kuningan. “Rumah itu lantas disewakan untuk membiayai kehidupan keluarga kami,” kenang Gemala yang telah menginjak usia 55 tahun ini.

Terjun di Dunia Kesehatan. Sebaliknya, ayahnya itu justru merupakan pria yang berjiwa sosial. “Ayah tak segan-segan berbagi dengan orang yang membutuhkan,” ujar Gemala yang tak mau terjun ke dunia politik ini. Pernah suatu ketika, sang ayah didatangi oleh seseorang yang tidak memiliki baju untuk shalat di Masjid. Tanpa berpikir panjang, Bung Hatta pun mengambil salah satu kemeja baru yang dimilikinya di lemari untuk diberikan kepada orang tersebut. “Ayah saya memang orang yang mudah iba,” aku Gemala. “Ayah saya itu manusia langka,” ujarnya sembari tersenyum.

Kini, berkat didikan kedua orang tua termasuk sang ayah, Gemala mampu mengukir prestasi di bidang kesehatan yang disenanginya. Saat ini, ia tengah menjabat sebagai Sekretaris IFHRO (International Federation of Health Records Organizations). Organisasi tersebut beranggotakan 11 negara yang menangani segala macam tentang rekam medis di bidang kesehatan. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Sekretaris Konsul Kedokteran Indonesia. Karir Gemala terbilang cukup sukses setelah memutuskan untuk bekerja sebagai abdi negara di Departemen Kesehatan sejak tahun 1976 di bagian Dirjen P3M (Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular).

Sebelum memasuki dunia karir, Gemala menempuh pendidikan sarjana di negeri Kangguru berkat adanya beasiswa dengan mengambil program studi yang masih berkaitan dengan dunia kesehatan. Gemala juga memegang gelar sarjana dari Sekolah Tinggi Administrasi Negara tahun 1983. “Saya sebagai salah satu wisudawan terbaik,” aku Gemala. Setelah itu, ia lantas melanjutkan pendidikan S2 bidang Biostatisk di FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat) UI dan lulus tahun 1994. Gemala kemudian meraih gelar Doktor di kampus yang sama dengan predikat cumlaude. Dengan prestasi tersebut, terlihat jelas bahwa sosok cerdas sang ayah sangat menular dalam dirinya.

Selain mengabdikan hidupnya di dunia kesehatan, ia juga tak lupa mengabdikan hidupnya untuk keluarga sebagai seorang ibu dari Mohammad Atar (30). Baginya, jiwa kepahlawanan sang ayah telah menular kepada dirinya. Terbukti dengan aktivitasnya saat ini yang digunakan untuk kemajuan dunia kesehatan tanah air. “Saya bangga sebagai anak Bung Hatta, karena sosoknya yang mulia,” ujar Gemala yang enggan keluarganya dikupas lebih dalam ini. Fajar

No comments: