Monday, March 30, 2009

Rizky Rahmawati Pasaribu, Pengacara dan Mantan Aktivis

Selalu Mengikuti Apa Kata Sang Mama Setelah Tiga Kali Lolos dari Maut

Sempat tiga kali lolos dari kematian mungkin menjadi sebuah keajaiban tersendiri. Namun, itulah yang terjadi dalam perjalanan hidup Rizky Rahmawati Pasaribu. Baginya, pengalaman tersebut dianggap sebagai tanda kasih sayang dari Allah. Kasih sayang yang memberikan kesempatan bagi wanita muda ini berkarya. Lalu seperti apa perjalanan hidup mantan aktivis yang sempat memperjuangkan reformasi ini?

Seorang gadis tergeletak tak berdaya tepat di tepi jalan tak jauh dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Matanya terbelalak dan dari kepalanya mengucur darah segar. Suasana di sekeliling gadis itu pun tampak kacau. Ratusan mahasiswa berlarian menghindari kejaran para petugas polisi. Suara letusan senjata api pun seakan-akan menjadi musik pengiring tragedi yang lebih dikenal dengan sebutan tragedi Trisakti 12 Mei 1998 tersebut. Masyarakat sekitar banyak yang mengira gadis itu telah tewas akibat peluru petugas. Namun, siapa sangka gadis tersebut justru masih mampu berkarya dengan menjadi seorang pengacara muda berbakat.
Ditemui di rumahnya di daerah Kelapa Gading, gadis bernama lengkap Rizky Rahmawati Pasaribu ini terlihat ramah dengan senyumnya yang mengembang. Kiky-panggilan akrabnya-kini memang tengah menikmati profesinya sebagai seorang pengacara. Kejadian 10 tahun lalu ketika ia masih menyandang status sebagai mahasiswa Hukum Universitas Trisakti itu merupakan pengalaman berharga dalam hidupnya. Ternyata tak hanya itu saja, Kiky juga mampu lolos dari kematian saat terjadinya bom Bali dan bom kedutaan besar Australia. Ketiganya itulah yang mewarnai kehidupan Kiky. Sembari bersantai di loteng rumahnya, Kiky lantas menceritakan pengalaman hidupnya yang penuh dengan pertolongan Allah tersebut.
Anak Pengacara. Kiky terlahir dari pasangan Zul Amali Pasaribu (58) dan Elly Mutia (55). Kiky lahir di Jakarta pada 30 Maret 1980 dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Sang ayah merupakan pria asli Batak. Sehingga dalam keluarga, nuansa Batak sangat kental terasa. “Orang tua mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab,” ungkap Kiky. Kiky sendiri dibesarkan di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Sang ayah sudah berprofesi sebagai seorang pengacara sedari Kiky masih kanak-kanak. Sehingga dunia hukum sebenarnya sudah tak asing lagi di telinga Kiky.
Kiky menghabiskan waktu kanak-kanaknya di ibukota. Ia mengenyam pendidikan di SDN 04 Kelapa Gading. Kiky lantas melanjutkan pendidikannya ke SMP 123, Kelapa Gading dan SMA 36 di daerah Rawamangun. Sejak masih kanak-kanak, Kiky termasuk anak yang mudah bergaul dengan lingkungan sekitar. Selain itu, ia juga merupakan anak yang sangat kritis terhadap keadaan di sekitarnya. Tak heran, ketika memasuki bangku kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada tahun 1997, Kiky banyak menyoroti kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang tengah terpuruk. Selain berkonsentrasi pada kuliahnya, Kiky juga sangat aktif dalam bergaul dengan mahasiswa dari perguruan tinggi lainnya. Melalui komunikasi itulah, semangat untuk ikut dalam pergerakan mahasiswa semakin menggebu-gebu dalam diri Kiky. Terlebih lagi, kedua orang tuanya justru mendorong Kiky untuk ikut menyuarakan reformasi. “Masa mahasiswa cuma berdiam diri di rumah saja,” ujar Kiky sembari meniru ucapan sang ayah kala itu. Bersama dengan puluhan bahkan ratusan mahasiswa lainnya, ia terjun ke jalan untuk menyalurkan aspirasinya.
Tepat tanggal 12 Mei tahun 1998, Kiky ikut dalam aksi demo mahasiswa dari kampusnya, Trisakti untuk menuntut mundurnya Soeharto yang kala itu terpilih kembali menjadi seorang presiden. Tuntutan reformasi pun merebak di penjuru tanah air, khususnya di Jakarta. Ribuan mahasiswa bergabung dan melakukan aksi demo terhadap pemerintah dan DPR. Sebagai seorang mahasiswa, Kiky pun terdorong untuk turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi rakyat. Tak diduga sebelumnya, aksi demo yang dilakukan Kiky bersama mahasiswa lainnya ternyata berbuah bentrok. Pihak mahasiswa dan polisi ternyata bentrok satu sama lain. Kumpulan mahasiswa yang tadinya dengan lantang menyuarakan tuntutan reformasi, berlarian menghindari desingan peluru yang dilontarkan petugas polisi.
Tragedi Trisakti. Kiky yang tadinya berada di barisan terdepan aksi demo pun ikut berlarian menghindari kejaran polisi yang hendak membubarkan aksi demo. Saat berlari tak jauh dari bangunan kampusnya sembari membawa spanduk bertuliskan reformasi, ia merasa tubuhnya kesemutan dan langsung lemas tak berdaya. Sepasang kakinya tak mampu menopang berat tubuhnya sendiri. Seketika Kiky jatuh tak berdaya di tepi jalan. Sementara itu, kondisi di sekitarnya semakin kacau dengan diiringi suara desingan peluru petugas polisi. Ratusan mahasiswa lain pun berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing.
Kondisi Kiky sendiri masih tergeletak di atas aspal jalan. Dari sebelah kiri kepalanya, keluar darah segar yang menetes jatuh membasahi jalan. Tak ada bagian tubuhnya yang bergerak menandakan ia masih tersadar dan hidup. Bahkan saat masih tergeletak di tepi jalan itu, Kiky sempat mendapat kekerasan dari beberapa oknum polisi. “Teman-temanku bilang saya ditendangi makanya banyak yang biru-biru,” ujar Kiky. Tak heran, banyak rekan-rekan mahasiswa lainnya menyangka bahwa Kiky telah menemui ajalnya saat memperjuangkan reformasi. Namun, pertolongan Allah membuat kenyataan yang berbeda. Ternyata maut masih belum dapat menjemputnya. Dengan bantuan seorang pria, tubuh Kiky yang tak berdaya dibawa ke bangunan bekas kantor Walikota Jakarta Barat. Tak dinyana, tempat tersebut sudah dipenuhi dengan korban luka-luka akibat bentrok antara polisi dan mahasiswa.
Di dalam salah satu ruangan, tubuh Kiky yang belum siuman masih tergeletak. Namun, salah seorang petugas polisi masuk ke dalam ruangan. Menurut pengakuan saksi, si polisi tersebut menodongkan senjata ke arah kepala Kiky yang masih belum sadar. “Tembak saja, dia tuh yang paling terdepan pas demo tadi,” ujar polisi lainnya sembari meloyor pergi. Entah kenapa, setelah beberapa lama sang polisi tidak menarik pelatuk senjatanya yang sudah ditodongkan ke kepala Kiky. Si polisi justru mengungkapkan kemarahannya karena tak mampu menarik pelatuk senjatanya dengan memukul sebuah lemari yang berada tak jauh dari tubuh Kiky dengan menggunakan gagang senjatanya. “Sampai bolong lemarinya,” ujar Kiky bersemangat. Saat itu, maut bisa saja langsung menjemputnya bila pelatuk senjata yang digenggam sang polisi langsung ditarik. Akan tetapi, si polisi tersebut mengurungkan niatnya untuk menembak Kiky yang masih tak berdaya. Ia justru lantas meninggalkan ruangan dan mencari kembali mahasiswa lainnya yang dianggap berbuat anarkis.
Selang beberapa lama kemudian, Kiky pun siuman. Dengan kepala yang berlumuran darah, ia berusaha mengingat kembali kejadian tragis sebelumnya yang ia alami. Tepat di sampingnya, ada seorang ibu-ibu yang berusaha membantu sebagian mahasiswa lain yang terluka termasuk Kiky. Wanita tua tersebut lantas mengingatkan bahwa luka yang diderita Kiky cukup parah. Namun demikian, Kiky justru tidak menyadarinya setelah memegang kondisi kepalanya yang berlumuran darah. Ia juga baru menyadari bahwa kepalanya terserempet peluru karet polisi. “Saya baru sadar saat memegang kepala saya yang penuh darah,” kenang Kiky. Beruntung baginya, karena peluru tersebut tidak sampai menembus bagian kepalanya. Bila saja peluru itu menembus kepala Kiky, maka otomatis nyawanya pastilah sudah terenggut.
Setelah mendapatkan perawatan seadanya di bangunan bekas kantor Walikota Jakarta Barat, Kiky langsung dibawa petugas polisi ke Polda Metro Jaya untuk mendapatkan perawatan medis di klinik Polda. Barulah setelah sekaligus mengajukan Berita Acara Perkara (BAP), ia dibawa pulang oleh kedua orang tuanya yang menjemput. Baginya, pengalaman tersebut sangatlah mencekam. Namun, karena memperjuangkan aspirasi masyarakat dan reformasi, Kiky berani untuk melawan maut yang hampir saja menjemputnya secara tiba-tiba.
Bom Bali 2002. Setelah kejadian Mei 1998, Kiky pun kembali ke bangku kuliah dan melanjutkan cita-citanya sebagai seorang pengacara. Tepat tahun 2002, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan menyandang gelar SH di belakang namanya. “Setelah lulus, saya ingin beristirahat dulu makanya saya mau liburan ke Bali,” aku gadis yang masih melajang ini. Sekitar akhir bulan September, Kiky pun berangkat ke pulau dewata. Di Bali, sudah menunggu beberapa temannya yang memang bertempat tinggal di pulau yang terkenal dengan pantai Kuta tersebut. Kiky menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di Bali. Setelah dua minggu di Bali, Kiky beserta teman-temannya lantas berencana untuk menghabiskan hari Sabtu malam, 12 Oktober 2002 di sebuah klab malam bernama Paddy's Club. “Saya belum pernah ke Paddy's Club, makanya saya diajak teman-teman untuk ke sana,” ujar gadis berkulit sawo matang ini.
Namun, entah kenapa pada siang harinya, ibunda tercinta menelepon Kiky untuk langsung pulang ke Jakarta pada hari itu juga. “Waktu itu Mama saya menyuruh pulang hari itu juga tanpa alasan yang jelas,” aku Kiky. Sebagai anak, Kiky pun berusaha untuk mematuhinya. “Saya langsung mencari tiket pesawat ke Jakarta hari itu juga dan baru dapat tiket yang sore hari,” tutur Kiky. Padahal, Kiky sendiri masih ingin berlama-lama di Bali karena belum puas berlibur di pulau dewata tersebut. “Kalau nggak pulang sekarang, nggak usah pulang sekalian,” begitu ucapan sang ibu agar Kiky segera pulang hari itu juga. Akhirnya Kiky pun terpaksa mengikuti kemauan sang ibu dengan pulang ke Jakarta pada petang harinya. Rencana untuk berkunjung ke Paddy's Club bersama teman-temannya pun buyar sudah. Teman-temannya yang tinggal di Bali pun tak jadi menikmati malam minggu di Paddy's Club karena Kiky pulang ke Jakarta. Dengan perasaan sedikit kesal, Kiky tiba di rumah pada malam harinya. Barulah pada keesokan harinya, Kiky mengetahui bahwa Bali terguncang hebat akibat bom yang meledak di Paddy's Club. Seketika Kiky termenung sejenak dan tak mampu berkata-kata. Kiky tersontak kaget dengan kabar bom yang meledak di sebuah klab malam yang sebenarnya hendak dikunjungi pada malam sebelumnya.
Bom Kedubes Australia 2004. Kiky tersadar bukan sebuah keberuntungan yang berpihak kepada dirinya, namun pertolongan Sang Penciptalah yang menyelamatkan dirinya dari sebuah bom yang bisa merenggut nyawanya seketika. Tak hanya bom di Bali, Kiky pun sempat lolos dari bom yang meledak di depan Kedutaan Besar Australia. Pada hari Kamis, 9 September 2004, dimana bom meledak di kedubes Australia, Kiky sudah bekerja dengan status magang di sebuah kantor law firm yang berkantor di gedung Menara Gracia tepat di sebelah kedubes Australia. Selain ikut bekerja di sebuah law firm, Kiky juga aktif di sebuah LSM bernama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga (LBH PEKA) di jalan Cibulan daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Biasanya di pagi hari, Kiky menyelesaikan pekerjaannya di kantor law firm di Menara Gracia. Namun pada pagi hari itu, Kiky lebih memilih untuk berangkat ke kantor LSM untuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda.
Pada siang hari, ponselnya berbunyi, atasan di kantor law firm menelepon Kiky. “Saya menyangka akan dimarahi karena tidak ke kantor waktu itu,” kenang Kiky yang berencana akan melanjutkan pendidikan S2-nya ini. Ternyata sang atasan justru hendak menanyakan keberadaan Kiky, karena kantor law firm-nya rusak parah akibat bom yang meledak di Kedubes Australia. Tak diduga, sang atasan juga tengah tak berada di dalam kantor dan hendak menanyakan keadaan para karyawannya termasuk Kiky. Setelah ledakan, ruangan kantor law firm di Menara Gracia pun hancur berantakan. Beruntung, teman-teman kantornya masih dapat menyelamatkan diri dari kerusakan akibat bom. Lagi-lagi, Kiky lolos dari ledakan bom yang bisa saja berakibat buruk terhadap dirinya.
Ketiga kejadian yang cukup mencekam itulah yang mewarnai kehidupan Kiky hingga sekarang. Ia mengaku sempat trauma dengan aparat kepolisian berseragam akibat tragedi Mei 1998. Namun, kini sebagai seorang pengacara ia mampu menghilangkan rasa traumanya tersebut. “Masa saya sebagai pengacara takut sama aparat yang berseragam,” begitu kilah Kiky yang mengibaratkan hidupnya seperti apa yang terjadi pada film Final Destination. Saat ini, ia memang menikmati masa-masanya sebagai seorang pengacara. Kiky kini tengah memegang kantor hukum cabang milik sang ayah bernama Amali & Associates di Jalan Raya Enggano, Jakarta Utara. Kiky sendiri ikut mengurusi kantor hukum milik sang ayah sejak tahun 2004. Kala itu karena kondisi kesehatan sang ayah yang mengalami gangguan, akhirnya ia diajak untuk mengurusi kantor hukum ayahnya tersebut.
Kini, sudah banyak kasus yang pernah ditangani Kiky sebagai seorang pengacara. Salah satu kasus yang pernah ditanganinya adalah kasus pembunuhan Naek Gonggong Hutagalung yang dilakukan oleh artis Lidya Pratiwi. “Saat ini saya sedang menangani kasus pembunuhan mutilasi,” ujarnya singkat. Profesi sebagai seorang pengacara memang benar-benar ia nikmati. Pasalnya, Kiky memiliki suatu alasan yang menjadi motivasi terbesarnya kini. “Tuhan memberikan saya waktu untuk lebih banyak berkarya,” ujar Kiky. “Saya bersyukur sekali masih diberikan kesempatan untuk lebih banyak berkarya,” lanjutnya sembari menutup pembicaraan. Fajar

Side Bar 1...

Sejak Bom Bali, Selalu Ikuti Apa Kata Sang Mama

Kejadian bom Bali memberikan hikmah tersendiri bagi Kiky. Pasalnya, keputusan untuk langsung pulang ke Jakarta pada awalnya memang perintah dari ibunda tercintanya. Padahal kala itu, tak ada alasan yang jelas dan masuk akal dari ibunya agar Kiky segera kembali ke Jakarta. Namun, entah kenapa sang mama justru mengharuskan Kiky segara pulang. Meski kala itu Kiky merasa agak sedikit kesal karena harus kembali ke Jakarta sedangkan ia masih ingin berlama-lama berlibur di Bali, akhirnya ia mendapatkan hikmah yang tiada bernilai.
Bila saja waktu itu Kiky jadi menghabiskan waktu di Paddy's Club, tentu saja nyawanya akan melayang seiring dengan dahsyatnya bom yang meledak di bar malam itu. Bahkan teman-temannya yang sebelumnya juga akan ikut ke Paddy's Club berterimakasih kepada Kiky. Berkat kepulangannya ke Jakarta, mereka juga tak jadi menghabiskan malam di Paddy's Club. “Salah satu teman saya, orang Korea selalu menceritakan tentang kejadian bom Bali kalau saya ke sana (Bali, red),” tutur Kiky. “Kalau nggak ada Kiky, kamu nggak bakalan menikah sama saya,” begitu ujar temannya itu kepada suaminya kini saat Kiky pergi ke Bali setelah terjadinya ledakan bom. Teman-teman lainnya juga sangat bersyukur mereka tidak jadi berangkat ke Paddy's Club di malam naas itu. Akhirnya semua terselamatkan berkat keputusan Kiky yang harus pulang ke Jakarta pada hari itu juga. “Makanya sekarang saya selalu mengikuti nasihat mama,” tutur Kiky. “Memang kalau mama sudah berkata apa, kita sebagai anak harus mengikutinya,” lanjutnya. Selain karena peran ibundanya, Kiky juga menganggap bahwa semua apa yang terjadi dalam hidupnya merupakan bukti kuasa Tuhan. “Kita tahulah rezeki, jodoh, dan maut itu kan kuasa Tuhan,” ujarnya tegas. Fajar

Laksamana TNI (Purn) Sudomo, Mantan Ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung)

Sempat Berganti-ganti Keyakinan, Akhirnya Menjadi Mualaf Setelah Melihat Rumah Allah

Sempat bergonta-ganti agama, akhirnya Sudomo kembali menganut agama Islam. Keputusan tersebut ternyata berasal dari keinginannya sendiri dan pengalaman religi yang pernah menghampiri perjalanan hidup pria kelahiran kota Malang ini. Salah satunya adalah saat mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan Allah setelah melihat masjid Al-Huda di Malang. Lalu bagaimana cerita sebenarnya dan perjalanan hidup pria yang sempat menikah tiga kali ini?

Selasa (1/4) pagi, kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, nampak rindang dengan pepohonan yang menghiasi sepanjang tepi jalan. Hal serupa juga terlihat di salah satu rumah di jalan Kencana IV, yang juga dihiasi dengan pepohonan rindang. Tak pelak, udara sejuk pun menjadi salah satu penyemangat Realita untuk bertemu dengan seorang tokoh yang cukup dikenal masyarakat khususnya di zaman orde baru. Pria bernama Sudomo tersebut memang mendiami rumah yang cukup besar dan asri itu. Suasana rumahnya memang tidaklah ramai. Kendati begitu, si empunya ternyata tengah berada di dalam rumah.
Saat memasuki kediaman Sudomo, berbagai perabotan pemanis ruangan terlihat menghiasi di beberapa sudut rumah. Selang beberapa saat kemudian, pria berambut putih keluar dari salah satu pintu. Senyum mengembang ketika menyadari kehadiran Realita di rumahnya. Di usia senja, langkah kakinya memang sedikit lebih rapuh ketimbang beberapa tahun sebelumnya saat ia masih aktif di instansi pemerintahan. Meski begitu, tatapan mata seorang pemimpin masih nampak jelas dari sorotan matanya yang memandang ke segala arah. Tak hanya itu saja, jabatan tangannya masih terasa erat dan kuat, seakan-akan jiwa muda masih merasuk dalam dirinya.
Suara yang keluar dari mulutnya pun masih terdengar lantang. Tak ada keletihan yang tergambar dari fisik Sudomo meski kerutan telah menghiasi wajahnya. Sembari duduk di sebuah sofa, Sudomo lantas berbagi kisah mengenai perjalanan hidup dan pengalaman religi yang menghantarkan dirinya kembali ke jalan Allah.
Didikan Agama Kuat. Selama 53 tahun telah dijalani Sudomo untuk mengabdi di berbagai instansi pemerintahan. Sekitar 36 tahun di antaranya, Sudomo sempat bergonta-ganti agama yang diyakininya. Sebutan 'murtad' pun lantas disandangnya. Penilaian negatif dari berbagai kalangan masyarakat langsung menghampiri Sudomo. Kendati begitu, Sudomo tetap melenggang menjalani karirnya yang semakin merangsek naik. Padahal, ia justru terlahir dan dibesarkan dari sebuah keluarga dengan didikan agama yang kuat. Sudomo lahir di kota apel, Malang, Jawa Timur, pada 20 September 1926. Sudomo merupakan anak pertama dari lima bersaudara pasangan (Alm.) Martomihardjo dan (Almh.) Soleha. Sang ayah kala itu berprofesi sebagai seorang guru sekaligus kepala sekolah sebuah Sekolah Rakyat (SR) di kota Malang. Sedangkan ibundanya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang merangkap sebagai ibu RT (Rukun Tetangga) di lingkungan tempat tinggalnya. “Orang yang paling berperan dalam hidup saya adalah kedua orang tua,” ungkapnya haru. “Kalau kamu suka membantu orang lain, maka kamu juga akan selalu dibantu,” ungkap Sudomo menirukan omongan kedua orang tuanya.
Kesukaan sang ayah terhadap buku, tertular pada Sudomo. Alhasil, ia memiliki hobi membaca buku sejak masih kanak-kanak. Bahkan hingga sekarang pun, ia masih tetap membaca buku. “Sekarang koleksi buku saya sudah ribuan,” aku pria humoris ini.
Didikan agama Islam yang kuat menjadi salah satu ajaran orang tua yang paling diingat Sudomo hingga sekarang. Setiap anak selalu diwajibkan untuk menunaikan ibadah shalat, termasuk Sudomo. Tak hanya itu saja, kebebasan juga menjadi hal yang sangat dihargai dalam keluarga. Setiap anggota keluarga diperbolehkan untuk mengemukakan pendapat di dalam keluarga.
Sudomo kecil bersekolah di HIS Probolinggo dan tamat pada tahun 1939. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di MULO di kota yang sama. “Tapi waktu itu tidak tamat karena adanya perang pasifik tahun 1941,” kenang Sudomo. Selepas itu, ia kemudian melanjutkan kembali pendidikan SMP di Malang hingga tamat pada tahun 1943. Ketika remaja, Sudomo tertarik dengan dunia pelayaran. “Saya senang melihat orang-orang di pelayaran yang memakai seragam dan kelihatan gagah,” ungkap Sudomo. Tak heran, ia lantas memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di kota Cilacap.
Seiring dengan ketertarikannya di dunia pelayaran, Sudomo juga turut menekuni dunia militer. Hal tersebut terlihat saat ia mengikuti Pendidikan Perwira Special Operation. Bahkan Sudomo juga sempat mengenyam pendidikan di negeri kincir angin, tepatnya di Artilerie School, Den Helder, Belanda. Tak hanya di negeri Belanda, Sudomo juga mengikuti kursus Komandan Destroyer Gdynia, Polandia dan menamatkannya pada tahun 1958.
Prestasinya di dunia militer dan pelayaran memang memuluskannya dalam menempuh pendidikan di luar negeri. Pendidikan di Lemhanas, Sekolah Para Komando KKO, dan SESKOAL juga sempat diikutinya. Beberapa operasi militer juga pernah dilakoninya sebagai seorang pemimpin, diantaranya adalah pertempuran Laut Arafuru dan pembebasan Irian Barat yang juga menjadi kesuksesannya dalam bidang militer.
Pindah Keyakinan saat Menikah. Seiring dengan beberapa pendidikan militer yang diikutinya, jabatan dan pangkat di kemiliterannya pun merangkak naik. Tercatat Panglima Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dan Kepala Staf TNI AL pun pernah disandangnya. Selepas berkarir di dunia militer, Sudomo lantas melanjutkan kembali kesuksesan karirnya di dunia pemerintahan.
Sudomo sempat menyandang sebagai anggota MPR RI, Menteri Tenaga Kerja (1983-1988), Menko Polkam (1988-1993), dan puncaknya sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung periode 1993 hingga 1998 (tepat 14 hari sebelum Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, red). Alhasil, lebih dari separuh usianya saat ini telah dihabiskannya untuk kepentingan bangsa dan negara. Tak pelak, ia banyak dicap sebagai salah satu kroni Soeharto oleh berbagai pihak. “Bagi saya, karir yang cukup bagus termasuk 53 tahun di dunia pemerintahan merupakan mukjizat Allah,” ujar Sudomo.
Kesuksesannya dalam berkarir di dunia pemerintahan dan militer, ternyata berbanding terbalik dengan kehidupan pribadinya. Kondisi pernikahannya selalu kandas di tengah jalan. Bahkan ia termasuk orang yang dikenal sebagai pria yang kerap bergonta-ganti istri. Seiring dengan bergonta-ganti istri itulah, agama yang dianutnya juga kerap berganti-ganti. Kendati sedari kanak-kanak, Sudomo telah dididik agama Islam yang kuat, saat dewasa ia justru tergoda untuk berpindah agama. Godaan tersebut berasal dari sosok perempuan yang lantas menjadi istrinya. “Saya murtad itu bukan karena saya nggak baik, tapi karena saya tidak berpikir panjang,” tutur Sudomo menjelaskan.
Awal mula Sudomo berpindah agama pada tahun 1961, yakni ketika menikahi seorang wanita bernama Fransisca Play yang beragama Kristen. Perkenalan dengan Fransisca sendiri terjadi tiga bulan sebelumnya. Kala itu, kedua orang tua Sudomo sempat tidak menyetujui keputusannya. Namun, pada akhirnya mereka setuju karena keinginan Sudomo yang sangat kuat. Terlebih lagi, saat itu pernikahan beda agama masih memungkinkan terjadi di Indonesia. “Dulu belum ada UU No 1 tahun 1974 tentang pernikahan beda agama,” kenang Sudomo.
Alhasil, Sudomo pun melangsungkan pernikahan dengan Fransisca di sebuah Gereja di Jakarta. “Saya berpikir waktu itu kalau suami-istri agamanya sama maka akan lebih mudah menjalani kehidupan rumah tangganya,” ujar pria yang memiliki hobi diving ini. Sebelumnya, Sudomo pernah mengajak sang istri untuk berpindah keyakinan, tapi menolak. Tak ayal, Sudomo mengalah dan memutuskan dialah yang berpindah agama meski tanpa melalui pemikiran yang matang. Pernikahannya dengan Fransisca telah membuahkan empat anak, yakni Biakto Trikora Putra (46), Prihatina Dwikora Putri (42), Martini Yuanita Ampera Putri (41), dan Meidyawati Banjarina Pelita Putri (37). Kesemua anaknya menganut agama Kristen seperti halnya Sudomo kala itu.
Pernikahan pertamanya ternyata harus kandas di tengah jalan. Ia bercerai pada tahun 1980. “Saya sudah terbiasa memimpin di pemerintahan, itu saya bawa ke rumah tapi malah tidak berhasil pernikahannya,” tutur Sudomo.
Selang 10 tahun kemudian, Sudomo bertemu dengan seorang wanita kristiani yang berprofesi sebagai aktris film, bernama Fransiska Diah Widhowaty. Awal perkenalannya sendiri diakui Sudomo atas hasil perkenalan dari salah seorang temannya. Lagi-lagi, Sudomo tertarik hanya karena kecantikan dari perempuan tersebut. “Saya tidak memikirkan cocok atau tidak, yang saya lihat hanya kecantikannya saja,” aku Sudomo. Akibatnya, pernikahan kedua tersebut hanya bertahan selama 4 tahun saja. Tepat pada tahun 1994, keduanya memutuskan untuk bercerai. Berbeda halnya dengan pernikahan pertama yang menghadirkan empat buah hati, pada pernikahan keduanya Sudomo justru tidak mendapatkan anak.
Petunjuk Mesjid Al-Huda. Selepas bercerai, sebenarnya Sudomo mengalami kebimbangan dalam menjalani keyakinan yang dipilihnya. “Saya ingin kembali lagi memeluk agama Islam, tapi waktu itu saya masih menjabat sebagai menteri,” ungkap Sudomo. “Takutnya dikira mempermainkan agama,” lanjutnya singkat. Ia juga mengakui bahwa selama itu, kedua orang tuanya memang tak henti-hentinya mendoakan agar ia kembali ke jalan Allah.
Setelah tak lagi menjabat di pemerintahan, Sudomo akhirnya memantapkan diri untuk kembali ke jalan Allah. Tak hanya itu saja, ada sebuah pengalaman yang mungkin tak akan pernah dilupakannya saat memutuskan untuk kembali menjadi seorang mualaf. Kejadian itu dialaminya saat ia mengunjungi kota kelahirannya di Malang, Jawa Timur.
Ketika mengunjungi Masjid Al-Huda di kompleks Kostrad, Malang, Sudomo seakan-akan mengalami sebuah perubahan besar dalam hidupnya. Sesuatu telah mendorong dirinya untuk kembali menelusuri jalan Allah dan kembali menunaikan ibadah-ibadah yang diwajibkan Allah. “Sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, saya seakan-akan mendapatkan petunjuk. Mungkin ini berkat doa dari kedua orang tua saya,” tutur Sudomo yang nampak semakin gemuk ini. Ia sempat tertegun melihat rumah Allah. Bangunan masjid Al-Huda yang tidak begitu besar itu seolah-olah menjadi sebuah tonggak bersejarah dalam hidupnya. Tonggak yang mampu mengubah hidup seorang 'murtad' menjadi sosok bayi yang lahir kembali dan menapaki jalan menuju keridhoan Illahi. Tepat tanggal 22 Agustus 1997, Sudomo pun dengan lantang mengucapkan kalimat syahadat dan kembali menjadi seorang muslim.
Setahun setelah kembali menjadi seorang muslim, Sudomo menikah kembali dengan seorang wanita bernama Aty Kesumawati. Pada tahun yang sama pula, ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji untuk memperbaiki tingkat keimanannya kepada Allah. Pernikahannya yang ketiga tersebut kembali kandas pada tahun 2002. Berbeda halnya dengan penyebab perceraian pada dua pernikahan sebelumnya, yang disebabkan oleh kepemimpinan Sudomo dalam keluarga, pernikahan ketiganya justru disebabkan oleh hal sebaliknya. “Bukan saya yang sering mengatur, tapi malah dia yang kebanyakan mengatur,” aku Sudomo.
Setelah perceraian pada pernikahan ketiga tersebut, Sudomo memutuskan untuk tidak menikah kembali. “Saya hanya ingin mendalami agama, mengurusi yayasan, dan cucu saja,” ujarnya tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Untuk kehidupan sehari-hari, Sudomo mengaku hanya mengandalkan uang pensiunannya setiap bulan. Fajar

Side Bar 1...
Giat Dalam Aktivitas Sosial Setelah Menjadi Mualaf

Tak hanya perubahan dalam dirinya, Sudomo juga mengalami perubahan dalam segala macam tindakan di kesehariannya. Salah satu yang paling menonjol adalah kegiatan sosial yang kini lebih banyak ditekuninya setelah menjadi mualaf. Kegiatan tersebut adalah dengan mendirikan Yayasan Husnul Khatimah pada tahun 1999. Yayasan ini berawal dari pembentukan Majelis Dzikir Nasional di masjid Al-Ihsan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. “Awalnya karena prihatin atas krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998,” ujar Sudomo. Kegiatannya antara lain adalah menggelar Silaturahmi Shubuh setiap hari Jumat di masjid Al-Ihsan.
Dalam Silaturahmi Shubuh itu, Sudomo beserta ustadz yang terlibat di dalamnya mengadakan shalat Shubuh berjamaah, dzikir bersama, dan ceramah agama dalam rangka peningkatan keimanan dari masing-masing jamaah. Selain itu, diadakan pula acara sarapan pagi dan minum kopi bersama sebagai sebuah bentuk forum komunikasi guna membahas segala macam permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat. Acara silaturahmi Shubuh kemudian berkembang menjadi wasilah Shubuh yang mencakup 750 masjid dan 4000 musholah di 10 kecamatan di daerah Jakarta Timur.
Pelaksanaan silaturahmi pun dilaksanakan secara bergilir setiap hari Minggu oleh masjid di bawah koordinasinya. Kegiatan yang cukup berhasil diadakan oleh yayasan yang dipimpin oleh Sudomo ini adalah 'Proyek Pembangunan Masyarakat Desa' di desa Cijayanti, Kabupaten Bogor. Berbagai usaha digalakkan oleh pihak yayasan dengan cara memberikan kredit usaha tanpa agunan. Besaran jumlah uang yang sudah disalurkan sebesar Rp 345 juta ke berbagai macam usaha di desa tersebut. Dananya sendiri berasal dari berbagai pihak donatur, baik perusahaan maupun pibadi.
Selain mengurusi Yayasan Husnul Khatimah, Sudomo juga aktif di Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki). Organisasi ini bergerak dalam bidang penanggulangan penyakit stroke, yang mencakup sosialisasi dan pencegahan penyakit stroke, pengobatan penyakit, pemulihan kesehatan dan peningkatan derajat kesehatan. Kegiatannya berupa berbagai penyuluhan dan penyuluhan kesehatan di berbagai daerah. Salah satu tindakan nyatanya adalah dengan mendirikan Klinik Nusantara Stroke & Medical Center yang kemudian berganti nama menjadi Nusantara Medical Center. Klinik yang berlokasi di Gedung Granadi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan ini didirikan untuk membantu melayani masyarakat dalam pengobatan dan penanggulangan stroke serta penyakit lainnya. Selain itu, Sudomo juga sempat aktif di Perhimpunan Manajemen Mutu Indonesia (PMMI) sebagai ketua hingga tahun 2006 kemarin. “Saya mengundurkan diri karena sudah sejak tahun 1989 dan sudah tua juga,” ujar Sudomo sembari tertawa lebar. Fajar

Side Bar 2...
Mampu Mendekati Ka'bah Setelah Mengucapkan Asmaul Husna Saat Berhaji


Saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1998, ada sebuah kejadian religi yang dialami Sudomo ketika tengah melakukan tawaf. Dengan dibarengi rasa ikhlas dan niat tulus untuk mendekati bangunan Ka'bah, Sudomo berusaha untuk mendekati Ka'bah. Namun usahanya tersebut kerap gagal karena banyaknya jamaah haji lain yang berjejalan di depan Ka'bah. Apalagi, jamaah haji yang berasal dari negara-negara Afrika yang berpostur tinggi besar. Ia mengalami kesulitan dikala harus 'melawan' tubuh besar para jamaah lainnya.
Akhirnya, seperti ada yang membimbing, Sudomo mengucapkan asmaul husna sembari berusaha untuk mendekati Ka'bah. Secara mengejutkan, barisan orang di depan Sudomo langsung terbuka dan seolah-olah memberikan jalan baginya untuk mendekati bangunan Ka'bah. Di tengah kerumunan orang, ia berlenggang menuju Ka'bah tanpa harus berdesak-desakan dengan jamaah haji lainnya. “Bahkan ustadz yang menjadi pembimbing saya sampai-sampai mengikuti dari belakang,” kenang Sudomo yang telah menunaikan ibadah Umrah sebanyak lima kali ini.
Rasa bahagia bercampur haru menyelimuti dirinya ketika ia berhadapan langsung dengan kemegahan Ka'bah. Ia pun sempat termenung sejenak ketika pandangan matanya tertuju pada rumah yang menjadi kiblat bagi seluruh umat Islam seluruh dunia tersebut. Dengan melihat bangunan Ka'bah itu, Sudomo merasa bahwa sebuah doa bila dipanjatkan dengan tulus dan ikhlas akan segera dikabulkan Allah. Sejak saat itulah, Sudomo semakin memantapkan hatinya untuk kembali memungut puing-puing keimanannya yang sempat hancur berkeping-keping akibat emosi sementara saja.
Sudomo sendiri telah menunaikan ibadah haji sebanyak dua kali, yakni pada tahun 1998 dan 2002. Naik haji pertama dilakukannya tepat setahun setelah ia menjadi mualaf. Sedangkan tahun 2002, merupakan tahun di saat perceraian pada pernikahan ketiganya terjadi. Fajar

Prita Kemal Gani, Pemilik The London School of Public Relations Jakarta

Mengabdikan Hidupnya di Dunia Pendidikan dan Public Relations Sepeninggal Sang Ayah

Berawal dari kesederhanaan di masa kecilnya, akhirnya Prita Kemal mampu mengubahnya menjadi sebuah kesuksesan dalam hidupnya. Sebuah institusi pendidikan mampu dibangunnya dan menjadi salah satu kampus idaman bagi para calon mahasiswa. Tak diduga, tekad Prita untuk meraih kesuksesan berawal dari kesedihan setelah kematian sang ayah. Lalu bagaimana perjalanan hidup ibu tiga anak ini?

Sebuah rumah di salah satu perumahan di daerah Pamulang yang cukup besar dan asri, nampak sepi. Tak terlihat ada penghuni di dalam rumah tersebut. Kendati demikian, seorang ibu rumah tangga yang merangkap sebagai seorang pengusaha terlihat berada di dalam rumah. Ia tampak sibuk dengan pekerjaannya dalam mengurusi sebuah sekolah tinggi swasta meski hanya dilakukan di dalam rumah saja. Saat menerima kedatangan Realita, wanita anggun ini pun lantas melempar senyum. Sembari duduk di sofa yang berada di dalam ruang kerjanya, wanita bernama lengkap Prita Kemal tersebut pun lantas berbagi cerita mengenai perjalanan hidup dan karirnya hingga mampu mendirikan sebuah sekolah tinggi di bidang public relations.
Prita Kemal adalah sosok yang sukses membangun imej dan integritas dari sebuah sekolah tinggi yang diberi nama The London School of Public Relations di Jakarta. Berkat tangan dinginnya, ia mampu menarik minat para calon mahasiswa untuk menimba ilmu di sekolah yang didirikannya tersebut. Perempuan tegar ini terlahir pada 23 November 1961 di Jakarta. Prita Kemal merupakan anak kedua dari lima bersaudara pasangan (Alm.) Sudaryono dan Titi Sudaryana (73). Adik bungsu Prita meninggal ketika berusia 3 bulan karena sakit. “Jadi saya tinggal empat bersaudara,” aku Prita. Sang ayah berprofesi sebagai seorang wartawan di salah satu media cetak di Jakarta. Sedangkan sang ibu awalnya hanya berperan sebagai seorang ibu rumah tangga saja.
Ditinggal Sang Ayah. Prita kecil tidaklah hidup dalam keluarga yang sangat berkecukupan. Pasalnya, ayahnya, Sudaryono justru meninggalkan Prita di saat ia masih berumur 5 tahun karena menderita penyakit hepatitis B, penyakit yang sama yang diderita adik bungsu Prita. Tak pelak, hal tersebut sangat mengguncang kehidupan keluarganya, terutama dalam hal kehidupan ekonomi. “Cukup memprihatinkanlah,” ujar Prita singkat sembari mengenang masa kecilnya tersebut. “Perjalanan hidup saya nggak hebat cuma memang tidak semulus yang dibayangkan,” tutur Prita.
Untuk menghidupi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah Prita dan saudara kandung lainnya, sang ibu harus bekerja keras dengan cara membuka usaha kecil-kecilan. Mulai dari membuka usaha katering hingga mampu mendirikan sebuah hotel di daerah Bengkulu. Beruntung bagi ibunya, usaha tersebut membuahkan hasil. Buktinya terlihat ketika sang ibu mampu menyekolahkan semua anak-anaknya. Bahkan Prita juga mampu melanjutkan pendidikannya ke negeri seberang.
Sepeninggal sang ayah, Prita memang dididik dengan penuh rasa kasih sayang dari ibunda tercinta. Tak hanya itu saja, rasa kedisiplinan pun ditanamkan ke dalam diri Prita sejak masih kanak-kanak. Meski begitu, ia terpaksa dititipkan ke rumah kakak kandung dari almarhum ayahnya yakni Sudarsono sejak masih duduk di bangku TK hingga kelas 3 SD. “Saya dan kakak saya dititipkan, tapi kedua adik saya ikut dengan ibu karena masih kecil,” aku Prita. Sedangkan sang ibu memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Padang, Sumatera Barat.
Sejak kelas 3 SD hingga kelas 3 SMP, sang ibu kembali ke Jakarta untuk tinggal bersama. Namun, usaha di Jakarta kurang berhasil. Sehingga sang ibu kembali meninggalkan Prita dan saudara kandung lainnya serta memutuskan untuk menerima tawaran menjadi seorang manajer di salah satu hotel di Bengkulu. Setelah itulah, Prita dititipkan di rumah adik dari ibundanya yang bernama Almibur di Jakarta. Hal tersebut dikarenakan kondisi ekonomi keluarga yang masih belum stabil dan kesibukan ibunya yang akan bekerja sebagai seorang manajer di sebuah hotel di Bengkulu.
Seringnya Prita dititipkan di tempat saudara, membuahkan pelajaran sendiri bagi diri Prita. “Membuat saya mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan,” imbuhnya. Meski dititipkan ke sanak saudara, biaya sekolah Prita masih ditanggung oleh sang ibu atas hasil kerja keras ibundanya tersebut. Prita kemudian tinggal kembali bersama dengan sang ibu di Jakarta setelah ia lulus kuliah dan memiliki pekerjaan tepatnya pada tahun 1992.
Selama dititipkan, Prita mengaku harus memiliki sifat tepo sliro. Pasalnya, ia sadar harus ikut membantu segala macam pekerjaan rumah di tempat saudaranya tersebut. Hal itulah yang membuat dirinya tahan mental dalam menjalani hidup dengan sifat kesederhanaan yang dimilikinya. “Saya sudah terbiasa prihatin,” ujar Prita singkat. “Hal itulah yang menjadi keuntungan saya dalam membangun usaha karena tahan dalam segala macam kegagalan dalam mendirikan usaha,” lanjutnya.
Kagum pada Ibunya. Menghabiskan masa kanak-kanaknya tidak bersama dengan sang ibu, tak menggerus rasa sayangnya kepada ibunda tercintanya. Sebaliknya, Prita justru mengagumi ketegaran sang ibu yang bekerja keras untuk dapat membiayai keempat anaknya yang masih kecil. “Dia adalah perempuan yang luar biasa,” ujar Prita. Hasil kerja keras sang ibu membuahkan hasil dengan berdirinya sebuah hotel yang diberi nama Hotel Mala di Bengkulu, meski hotel tersebut tidak semewah hotel berbintang.
Awal mula usaha sang ibu sendiri adalah usaha katering yang berasal dari hobinya memasak. “Ibu saya tuh suka memasak,” ungkap Prita soal sang ibu, Tity. Dari hasil kerja keras sang ibu itulah, keempat anaknya termasuk Prita mampu menyelesaikan pendidikannya tanpa ada kesulitan yang berarti. Kini hotel milik sang ibu telah dijual, karena beberapa pertimbangan bidang pariwisata yang kurang menjanjikan saat itu.
Prita yang tinggal di Jakarta mengenyam pendidikan di SD Santa Ursula yang kemudian dilanjutkannya ke SMP Van Lith, Jakarta. Ia lantas menempuh pendidikan SMA di SMA PSKD 1, Jakarta. Selepas menamatkan pendidikan SMA, Prita sempat melanjutkan ke Akademi Perhotelan Trisakti dan lulus pada tahun 1984. “Lalu saya mendapatkan job training di Hotel Hilton dan kebetulan saya ditempatkan di bidang public relations,” kenang Prita. Sejak saat itulah, Prita menyukai bidang kehumasan tersebut. “Saya melihat tugas PR itu ternyata enak,” begitu ia menilai kala itu. Alhasil, Prita pun mengutarakan niatnya untuk kembali melanjutkan pendidikannya di bidang kehumasan kepada ibundanya. Sang ibu kala itu sempat terkejut dengan niat anak perempuan satu-satunya itu. Namun demikian, karena tekad Prita yang sangat kuat, Prita pun lantas menempuh pendidikan public relations di negeri Ratu Elizabeth, tepatnya di London City College of Management Studies, London. Ia lulus pada tahun 1987. Setahun kemudian ia kembali meneruskan pendidikannya di Manila, tepatnya di International Academy of Management and Economic, Manila.
Mendirikan LSPR. Setelah kenyang dengan ilmu yang didapat di luar negeri, Prita kemudian kembali ke tanah air dan mulai berkarir di sebuah perusahaan swasta bernama Clarck Hatch International, tentu saja masih bergelut di bidang public relations. Saat itulah, ia melihat peluang usaha untuk membangun sekolah yang mengajarkan khusus mengenai public relations. Menurutnya, kala itu tak ada sekolah khusus yang mengajarkan mengenai dunia PR kepada masyarakat yang ingin mempelajarinya. Kepiawaiannya dalam membaca peluang itulah yang akhirnya mendorong Prita mendirikan sebuah institusi pendidikan sederhana pada tahun 1992.
Dengan bermodalkan uang seadanya yang berasal dari sisihan gaji dan tabungan pribadinya serta bantuan dari sekolahnya di London, ia mendirikan sekolah khusus yang mengajarkan tentang bidang kehumasan. Dengan hanya menyewa sebuah ruangan seluas 12 meter persegi di gedung WTC, Jalan Sudirman, Jakarta, Prita memberanikan diri untuk menyelenggarakan kegiatan perkuliahan. Ia semakin yakin tatkala sang suami, Kemal Efendi Gani (49) mendukung rencana Prita. Kala itu, Prita hanya mampu menggaet 12 orang ekspatriat untuk mengajar di sekolahnya. “Saat itu untuk menggaji ekspatriat itu cukup mahal ya,” aku Prita. Tak diduga sebelumnya, ternyata para calon mahasiswa yang mendaftar cukup banyak. Namun, karena keterbatasan ruangan dan jumlah pengajar, Prita hanya membatasi 30 mahasiswa untuk diterima. Karena semakin banyak calon mahasiswa yang mendaftar, ia pun lantas memutuskan untuk memindahkan lokasi perkuliahan ke ruangan yang lebih besar di Gedung Wisma Dharmala, Jakarta.
Seiring dengan berjalannya waktu, daya tarik sekolah yang didirikannya tersebut semakin merangkak naik. Jumlah calon mahasiswa yang mendaftar semakin bertambah. Terlebih lagi ketika tahun 1998, saat krisis moneter mendera tanah air, sekolah milik Prita justru kebanjiran para pendaftar. “Saat krisis kan banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya ke luar negeri, akhirnya mereka memutuskan untuk mendaftarkan anaknya di sekolah kami,” tutur Prita. Apalagi, ijazah yang diberikan berasal dari London, Inggris. Sehingga, banyak calon mahasiswa yang memilih untuk bersekolah di LSPR (London School Public Relations). “Sejak saat itulah kita memiliki banyak murid,” kenang Prita. Ia kemudian memutuskan untuk meningkatkan sekolahnya menjadi sekolah tinggi pada tahun 1999. Dengan begitu, LSPR praktis menjadi sekolah setingkat universitas pada umumnya.
Mendapat Hambatan. Perjalanan membangun sebuah sekolah tinggi bagi Prita memiliki banyak halangan. Meski pada tahun 1998, banyak calon siswa yang mendaftar, namun di sisi lain sebagian besar pengajar yang berasal dari luar negeri justru harus meninggalkan sekolah milik Prita. “Banyak ekspatriat yang kembali ke negeri asalnya pada saat terjadi kerusuhan di Jakarta,” kenang Prita yang berencana pergi ke Tanah Suci ini. Meski begitu, halangan tersebut mampu dilewatinya, karena ia telah banyak menimba ilmu dari para ekspatriat yang sempat mengajar di sekolah miliknya itu. “Dengan banyak ikhtiar, segala macam halangan pasti dapat terlewati,” ungkapnya tegas.
Kini, kesuksesan telah diraihnya. Sekitar 250-an karyawan menjadi tanggung jawab Prita. Ribuan mahasiswa pun menjadi tolak ukur kesuksesan pengajaran di kampus miliknya tersebut. “Tanggung jawab saya sangat besar dalam menjalani usaha ini, saya harus selalu berusaha mempertahankannya,” tutur Prita.
Di tengah kesibukannya mengurusi LSPR, Prita juga menikmati perannya sebagai istri dari Kemal Effendi Gani (49), pemimpin redaksi majalah SWA dan ibu dari Ghina Amani Kemal Gani (13), Fauzan Kanz Kemal Gani (7) serta Rasyha Dinar Kemal Gani (4). Dorongan dari keluarga terutama sang suami dalam membangun bisnisnya, sangatlah besar. Bahkan sang suami turut memberikan dorongan kepada Prita saat awal mendirikan LSPR. Di dalam keluarga, ia juga memiliki harapan dan rencana ke depan. “Saya ingin anak-anak saya dapat meneruskan apa yang saya bangun sekarang,” harap Prita.
Tak heran, Prita kerap mengajak serta anak-anaknya berkunjung ke kampus miliknya. Terbukti, anak sulungnya nampak sangat menyukai dunia kampus LSPR yang telah dibangun Prita. Soal membagi waktu dengan keluarga, Prita dengan mudah dapat melakukannya. Pasalnya, Prita dapat melakukan pekerjaan di rumah. “Saya bisa melakukan pekerjaan saya di dalam rumah,” aku wanita yang menyenangi kebersihan ini. “Saya ingin selalu dekat dengan anak saya,” kilahnya sembari menutup pembicaraan. Fajar

Side Bar 1…

Memberi Masakan Sang Ibu Kepada Ratusan Karyawannya Selama 15 Tahun

Kiprah Prita dalam menjalankan bisnisnya ternyata tak terlepas dari campur tangan sang ibu. Hal tersebut tergambar jelas dari penyediaan makanan yang secara rutin diberikan kepada para karyawannya. “Makanan yang dimakan karyawan saya itu masakan ibu saya,” ujar Prita dengan bangganya. “Mungkin sampai karyawan saya bosan dengan makanannya,” lanjutnya sambil berkelakar dan tertawa lebar. Menu makanan yang dihidangkan bagi para karyawannya memang merupakan hasil racikan dari ibundanya. Bahkan tak jarang pula dimasak sendiri oleh tangan sang ibu.
Meski kini sudah berusia lanjut, ibundanya tak patah semangat untuk terus memantau dan memasak menu makanan bagi para karyawan LSPR. Ada keuntungan tersendiri bagi Prita menyerahkan urusan makanan kepada ibunya. “Melakukan kegiatan di masa tua itu mencegah kepikunan dari ibu saya,” tutur wanita yang memiliki hobi membaca buku ini. Sehari-hari, sang ibu, Tity, selalu memantau persiapan penyediaan makanan bagi seluruh karyawan LSPR. Meski usianya sudah tidak muda lagi, semangatnya justru semakin menjadi-jadi. “Dia (Ibunya, red) masih sehat dan kuat,” ujar Prita.
Pola kekerabatan dalam rumah tangga juga diterapkannya untuk memimpin bisnis, karena Prita menganggap seluruh staf dan mahasiswa di LSPR sebagai bagian dari keluarga besarnya. Sehingga hampir tak ada batasan antara dirinya dengan karyawan bawahan sekalipun. Dengan begitu kondisi dalam sekolahnya akan terasa nyaman untuk menuntut ilmu. Fajar
Side Bar 2…
“Selingkuh soal keuangan sama beratnya dengan berzina”
Dalam meraih kesuksesan dalam bisnisnya, Prita memiliki prinsip yang selalu dipegangnya. Salah satunya adalah selalu membayar gaji para karyawannya tepat waktu dan menjaga kesejahteraan dari setiap karyawan yang bekerja di perusahaannya. “Membayar gaji karyawan sebelum keringatnya mengucur dan mengering,” ungkap Prita sembari berfilosofi. Pelajaran hidup tersebut didapatnya dari sang ibunda tercinta. Selain itu, dalam kehidupan keluarga, Prita juga berusaha selalu jujur kepada suami. “Selingkuh soal keuangan kepada suami bagi saya sama saja dengan berbuat zina,” ujar Prita soal prinsip yang dipegangnya dalam berkeluarga. Tak heran, ia selalu menjaga betul mengenai segala macam tindakannya terutama dalam hal keuangan. Perhatian Prita bukan semata-mata untuk menjaga relasi yang baik dengan suami, tetapi mereka berdua juga merasa takut jika tidak diinginkan oleh anak-anak.
Semua pelajaran hidup itulah yang kini selalu dijalaninya dengan sepenuh hati. Prita mendapatkannya dari ibunda tercinta. Sang ibu memang diakuinya selalu memberikan contoh kepada anak-anaknya melalui pelajaran-pelajaran hidup yang walaupun terlihat sederhana namun sangat bermakna dan mengandung arti yang mendalam. Mengutip omongan sang ibu, Prita juga mengibaratkan hidup sebagai sebuah rel. “Jadi kita tidak boleh melenceng dari rel yang benar,” ujarnya bersemangat. Baginya, bila telah melenceng maka ia meyakini bahwa tujuan awalnya pastilah tak akan tercapai. Fajar

Side Bar 2…

Bertemu dengan Jodoh Saat Bergelut di Dunia Public Relations

Tak hanya kesuksesan dalam karir saat Prita bergelut dengan dunia kehumasan, namun suami pun ditemuinya saat menjalankan tugas sebagai seorang staf PR. Kala bekerja sebagai seorang direktur PR di sebuah perusahaan bernama Clark Hatch International di Jakarta, Prita menyelenggarakan sebuah acara press conference dan mengundang wartawan dari berbagai media. Acara tersebut dihadiri oleh sang pemilik yang berasal dari Amerika Serikat. Namun, karena sesuatu dan lain hal, wartawan dari majalah SWA datang terlambat. Alhasil, si reporter tidak sempat bertemu dengan pemilik tersebut. Karena rasa tanggung jawab yang diemban Prita dalam memberikan pelayanan kepada wartawan, ia pun meminta sang pemilik yang merupakan atasannya tersebut agar dapat meluangkan waktu wawancara dengan si reporter.
Waktu pun telah ditentukan pada malam hari di hotel tempat atasannya menginap di Jakarta. Prita menemani si wartawan saat menjalankan proses wawancara. Setelah selesai menuntaskan pekerjaannya, ternyata si wartawan sedikit iseng bertanya soal status Prita kala itu yang memang masih sendiri. Diakui Prita, si reporter merasa heran karena di malam hari, Prita sebagai seorang perempuan masih saja bekerja. Singkat cerita, si wartawan lantas memiliki niat untuk memperkenalkan Prita dengan redaktur di majalah SWA yang tidak lain adalah suaminya sekarang. “Saat saya mengantarkan foto ke kantor majalahnya, barulah saya berkenalan dengan redakturnya dan menikah sampai saat ini,” kenang Prita. Selang setahun setelah berkenalan tepatnya pada tahun 1992, Prita memutuskan untuk menikah dengan Kemal Effendi Gani dan telah berbahagia dengan kehadiran tiga buah hatinya.
“Waktu menikah usia saya sudah tidak muda lagi,” canda Prita sembari tersenyum. Sehingga, dunia public relations dapat dikatakan telah memberikan dua hal yang sangat membahagiakan dirinya, yakni kesuksesan berkarir dan kesuksesan dalam membangun mahligai rumah tangga. Fajar

Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, Menteri Negara Pemberdayaan Wanita

Anak Sang Proklamator yang Ingin Memperjuangkan Hak Kaum Perempuan

Menjadi seorang anak dari salah satu proklamator kemerdekaan memang sempat menjadi beban bagi dirinya. Namun, Meutia mampu mengubahnya menjadi motivasi hingga mendorongnya berprestasi dalam kehidupan keluarga dan karirnya. Tak terkecuali bagi karirnya saat ini sebagai seorang menteri. Lalu bagaimana perjalanan hidup dan karirnya hingga saat ini?

Sejak SBY menjadi orang nomor satu di negeri ini, wanita setengah baya ini pun muncul menjadi pemimpin di salah satu kementerian di pemerintahan. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dipercayakan kepada dirinya. Dialah Meutia Hatta, putri sulung dari Mohammad Hatta, salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia. Di salah satu gedung perkantoran di jalan Merdeka Barat, Jakarta itulah Meutia berkantor. Jam menunjukkan hampir pukul 12 siang pada Selasa (25/9) itu. Terik panas matahari nampak menyengat kota Jakarta yang kala itu masih dalam suasana bulan Ramadhan. Tepat di lantai dua, ruangan kerja Meutia berada. Ruangannya memang cukup besar dan nyaman. Tak hanya itu saja, kelembutan si empunya ruangan juga terlihat dari dekorasi di dalam ruangan tersebut. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Realita mendapatkan kesempatan untuk berbincang-bincang dengan wanita yang masih nampak anggun di masa senjanya ini. Ia tampak ramah meski pertemuan itu untuk pertama kalinya. Sembari duduk santai di sofa yang berada di dalam ruang kerjanya, Meutia kemudian berbagi cerita mengenai perjalanan hidup dan karirnya kepada Realita.
Terbebani Menjadi Anak Proklamator. Meutia sendiri merupakan anak sulung dari pasangan (alm.) Mohammad Hatta dan (almh.) Rahmi Rachim. Meutia terlahir dengan nama Meutia Farida pada 21 Maret 1947 di kota Yogyakarta. Ia memiliki dua adik perempuan, yakni Gemala Rabi’ah (54) dan Halida Nuriah (51). Sebagai seorang anak sulung, Meutia memang diberikan tanggung jawab lebih untuk dapat menjaga kedua adiknya tersebut. Tak heran, sifat kepemimpinan sudah tertanam di dalam dirinya sedari kecil.
Seiring dengan diangkatnya sang ayah menjadi seorang wakil presiden selepas memproklamatorkan kemerdekaan Indonesia, Meutia kemudian pindah ke Jakarta dan mulai akrab dengan kehidupan istana. Sejak bayi hingga ia berusia 10 tahun, Meutia menghabiskan waktunya di dalam istana bersama keluarganya. Protokoler istana pun sudah menjadi kebiasaan yang selalu dijalaninya. Meski menyandang anak seorang wakil presiden, Meutia tak lantas tumbuh menjadi seorang wanita yang selalu membangga-banggakan latar belakang keluarganya. Sebaliknya, menyandang seorang anak dari proklamator, justru menjadikan beban sosial tersendiri bagi dirinya. “Menjadi anak Bung Hatta sempat menjadi beban buat saya,” aku Meutia. Meski begitu, rasa terbebani sebagai anak seorang proklamator dihilangkannya dengan cara mengukir prestasi di bidang yang digelutinya. “Saya harus meningkatkan prestasi yang saya miliki,” ujar wanita yang memiliki hobi membaca ini. Prestasi tersebut terlihat dari semakin menanjaknya karir Meutia di bidang akademik.
Didikan Nasionalisme. Meutia kecil mulai mengenyam pendidikan di SD PERWARI, Jakarta. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP dan SMA Santa Ursula. “Dulu, saya bersekolah di sekolah yang bukan sekolah favorit bagi para anak pejabat,” kenang penggemar makanan gado-gado ini. Meski demikian, ia tetap bersekolah di sekolah yang telah dipilih oleh kedua orang tuanya tersebut. Pasalnya, sang ibu sangat percaya bahwa sekolah yang dimasuki Meutia merupakan sekolah dengan kualitasnya yang cukup baik. Meutia tumbuh seperti halnya anak-anak kecil pada umumnya. Yang membedakan hanyalah statusnya yang merupakan anak seorang wakil presiden sekaligus proklamator kemerdekaan Indonesia.
Didikan kedua orang tuanya sangat berperan terhadap perkembangan sifat Meutia di waktu kecil. “Ayah dan Ibu saya selalu memotivasi saya untuk selalu belajar dan memperdalam ilmu,” tutur wanita berkacamata ini. Selain itu, rasa nasionalisme yang tinggi serta didikan disiplin juga tak luput ditanamkan pada Meutia kecil. Rasa tanggung jawab terhadap apapun yang dilakukan oleh tiap anaknya juga sudah tertanam sedari kanak-kanak. Bung Hatta tidak selalu mengajarkan dengan teori-teori saja, melainkan melalui contoh-contoh yang dilakukannya di depan anak-anak. Termasuk salah satunya adalah jiwa kepemimpinannya terhadap bangsa dan negara. Meski Meutia hanya seorang perempuan, jiwa kepemimpinan itulah yang menular ke dalam dirinya. Berkat didikannya tersebut Meutia tidak mengalami kesulitan dalam memimpin sebuah organisasi, tak terkecuali sebuah kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.
Mencintai Antropologi. Selepas menamatkan pendidikan SMA-nya, Meutia sempat mengalami kebimbangan dalam memilih jalur pendidikan yang akan dipilihnya di jenjang universitas. “Cita-cita saya dari kecil adalah menjadi seorang guru,” aku Meutia sembari tersenyum. Pada saat kebimbangan itulah, Meutia berkonsultasi dengan sang ayah. “Karena ingin mengabdi kepada negara tercinta, akhirnya saya memilih bidang studi Antropologi,” tutur wanita yang baru bisa menggoreng telur pada usia 21 tahun, saat ikut sang ayah ke luar negeri ini. Ia semakin yakin mengambil keputusan tersebut setelah mendaftar di program studi antropologi di Universitas Indonesia (UI). Menurutnya, melalui antropologi, ia dapat belajar mengenai asal-usul manusia dan akar kebudayaan dari negeri sendiri. Yang tentu saja pada akhirnya, akan menimbulkan kecintaan terhadap bangsa dan negara sendiri.
Merasa tak cukup hanya dengan meraih gelar sarjana, Meutia kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 dan S3 dengan masih berfokus di bidang antropologi medik. Bahkan ia mampu meraih gelar profesor di bidang yang sama. Cita-citanya menjadi guru sejak kecil akhirnya tercapai karena Meutia memutuskan untuk menjadi staf pengajar di UI dan Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatera Barat. Sejak 25 Maret 2006, Meutia juga dikukuhkan sebagai guru besar tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI.
Selain menjadi seorang pengajar, karirnya di birokrasi juga merangkak naik seiring diangkatnya Meutia sebagai Deputi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan untuk masa jabatan Desember 2003 hingga Oktober 2004. Puncaknya, setelah Susilo Bambang Yudhoyono meraih kemenangan pilpres 2004 silam, nama Meutia Hatta juga menjadi sorotan. Terlebih lagi, setelah ia mendapatkan panggilan untuk menghadap SBY sebelum pengumuman nama-nama menteri dilakukan. Kepastian menjadi seorang menteri akhirnya terjadi seiring dengan disebutnya nama Meutia Hatta sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk masa bhakti lima tahun sejak 2004.
Memperjuangkan Hak Perempuan. Kebahagiaan dan rasa bangga tentu dirasakan oleh Meutia setelah namanya dipastikan mengisi pos menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Meski demikian, Meutia hanya menganggap kepercayaan yang dilimpahkan kepada dirinya hanyalah buah dari hasil kerja kerasnya selama ini. “Saya menganggap jabatan menteri sebagai bonus,” ujarnya singkat. Yang paling utama bagi dirinya tentu saja prestasi terutama di bidang pendidikan yang mampu meraih gelar profesor di bidang antropologi.
Kini, setelah menjadi menteri tentu saja tanggung jawab dan beban yang harus dipikul cukup berat ketimbang menjadi seorang staf pengajar di sebuah institusi pendidikan. Meski begitu, Meutia tetap menjalankan peran menteri sebagaimana yang telah diberikan kepadanya. “Saya banyak belajar, membaca buku tentang pemberdayaan perempuan,” ungkap Meutia. Dengan begitu, ia dapat menguasai setiap permasalahan yang tengah dihadapi oleh kementerian yang dipimpinnya saat ini. Selama masa kepemimpinannya, Meutia telah menelurkan satu undang-undang, yakni UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Tak hanya itu saja, ia juga tengah melanjutkan penerapan undang-undang yang telah ditetapkan pendahulunya, seperti UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Menurutnya, permasalahan terbesar yang dihadapi kaum perempuan adalah kekerasan yang kerap menimpa kaum hawa, baik di dalam rumah tangga maupun di lingkungan kerja. “Diskriminasi terhadap kaum perempuan juga masih saja terjadi,” ujarnya singkat. Selain itu, Meutia menilai bahwa kualitas hidup kaum perempuan di Indonesia masih dirasa kurang. Ditambah lagi dengan berbagai permasalahan-permasalahan lainnya yang menghampiri kaum perempuan tanah air. Tak heran, Meutia sangatlah giat dan bertekad untuk segera meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan di tanah air. “Seharusnya kaum perempuan harus mampu mencapai posisi yang bisa menerima hak-haknya sebagai warga negara dan sebagai manusia untuk beribadah dan mendidik anak,” tutur Meutia sembari menjelaskan. Di sisa waktu masa jabatannya sekarang, ia hanya berusaha untuk meneruskan program-program yang telah ditentukan pada awal pengangkatannya sebagai menteri.
Anak Sulung Meninggal. Menjadi seorang menteri memang sangatlah menyita waktunya sebagai seorang istri dan ibu di rumah. Meski demikian, hal tersebut sudah diantisipasinya sejak lama. Bahkan sebelum menjadi menteri pun, Meutia sudah terbiasa dengan aktivitas di luar rumah. Karena pada mulanya Meutia memang telah menjadi seorang dosen di beberapa universitas, sehingga melakoni kegiatan di luar rumah sudah menjadi hal biasa.
Kehidupan pribadi Meutia Hatta, ternyata tak semulus perjalanan karirnya yang lambat laun merangkak naik. Pasalnya, ada satu cobaan yang sempat menghampirinya dan dirasa cukup berat bagi Meutia. Anak sulungnya, Sri Juwita Hanum, hasil pernikahannya dengan Sri Edi Swasono (62), meninggal pada usia 8 tahun. “Hanum meninggal karena kecelakaan di kolam renang,” kenang Meutia. Kejadian yang terjadi pada tahun 1983 tersebut diakuinya menjadi sebuah cobaan teramat berat dalam hidupnya, ia harus kehilangan anak perempuannya itu. Tak hanya itu saja, Meutia juga sempat beberapa kali mengalami pendarahan pada saat hamil. Tak pelak, keguguran pun menjadi akibatnya. Meski begitu, Meutia selalu berusaha untuk tabah menghadapi berbagai cobaan tersebut. “Kami mencoba menghadapi cobaan itu dengan saling mendekatkan diri antar keluarga, selalu bertawakal, dan sabar,” ujarnya sembari menjelaskan. Namun, sisa kebahagiaan masih tersisa karena Meutia masih memiliki anak laki-laki yang selalu menghiburnya, Tansri Yusuf Zulfikar (25).
Saat ini tak ada target khusus yang hendak dicapai oleh ibu satu anak ini. Di kehidupan karirnya pun, Meutia hanya berusaha menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepada dirinya. “Kalau saya sudah tidak menjadi menteri lagi, saya akan kembali menjadi seorang pengajar,” ujarnya tegas. Sedangkan untuk kehidupan keluarga, Meutia mengaku hanya akan menjalani sesuai dengan yang dituntun oleh Allah SWT. Ia juga berharap, anak satu-satunya, Tansri Yusuf Zulfikar dapat hidup bahagia dan sukses baik dalam kehidupan pribadinya maupun dalam karirnya. Tansri sendiri kini tengah mengenyam pendidikan S2 di program studi komunikasi pembangunan di UI. Baginya, dengan membagi waktu antara pekerjaan sebagai menteri sekaligus dosen, dan keluarga melalui sistem yang ia namakan ‘manajemen waktu’ dapat mempermudah pembagian waktu itu sendiri. Dengan berkarya di keluarga dan karir mengangkat hak perempuan, Meutia merasakan jiwa Kartini yang mengalir dalam darahnya. “Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan,” ungkapnya sembari menutup pembicaraan. Fajar

Side Bar 1…

Kerap Bermain dengan Anak Pegawai Istana di Waktu Kecil

Tinggal di dalam lingkungan istana tak dinyana tak membuat Meutia memiliki sifat angkuh dan memilih-milih teman. Sebaliknya, ia justru lebih banyak bergaul dengan anak-anak dari para pegawai istana wakil presiden kala itu. Sulitnya bermain di luar lingkungan istana memang membuat Meutia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam lingkungan istana yang berukuran sangat luas. Untuk melayani keperluan sang ayah beserta keluarga, di dalam istana tersebut terdapat beberapa pegawai yang mengurusi segala macam keperluan keluarga Bung Hatta. Tempat tinggal para pegawainya pun masih berada di dalam lingkungan istana. “Mereka tinggal di pavilliun di samping istana,” kenang Meutia.
Sebagian para pegawainya juga telah memiliki anak-anak seumuran Meutia. Tak pelak, ia kerap bermain dengan mereka. Meutia juga tak pernah sekalipun merasa canggung meski anak-anak tersebut merupakan anak dari para pegawai sang ayah. “Dulu tidak ada barrier dalam keluarga kami,” aku mantan ketua Yayasan Bung Hatta ini. Sikap yang dimilikinya itu tidak terlepas dari didikan kedua orang tuanya yang tak pernah membeda-bedakan hanya berdasarkan latar belakang semata.
Ketika masih kanak-kanak, Meutia juga merasakan banyak pengalaman unik dan menarik selama ikut dengan sang ayah. “Saya sering bertemu dengan banyak orang baru yang datang ke rumah,” kenang Meutia. Selain itu, Meutia juga kerap dibawa ke setiap acara yang bersifat formal. Alhasil, salon pun menjadi tempat yang sering dikunjunginya. “Waktu masih anak-anak, saya sering ke salon,” aku wanita yang anti poligami ini sembari tersenyum. Pengalaman lainnya juga sempat ia rasakan di sekolah. Dengan menyandang sebagai anak wakil presiden, terkadang Meutia merasa dikucilkan dari pergaulan teman-temannya di sekolah. Sikap bullying dari teman-temannya tersebut membuat Meutia merasa sedih karena tidak memiliki teman dekat ketika masih kelas 5 SD. “Ada anak yang mengajak teman-teman saya untuk memusuhi saya,” kenang Meutia. Akhirnya, Meutia berusaha untuk menunjukkan sikap baik kepada teman-temannya supaya mereka mau menerima tanpa harus melihat status sebagai anak wakil presiden. Dari berbagai pengalaman itu pula, Meutia berharap agar para orang tua lebih memperhatikan sifat dan perilaku anak sehari-hari untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Fajar

Side Bar 2…

Hobi Travelling sebagai Ungkapan Rasa Cinta Terhadap Tanah Air

Meski disibukkan dengan berbagai aktivitas kementerian yang menyita waktu, Meutia ternyata mampu meluangkan sedikit waktu luangnya untuk menyalurkan salah satu hobinya, yakni travelling atau bepergian ke daerah-daerah. Awal mula Meutia menyukai travelling tentu saja berasal dari sang ayah. Kala sang ayah masih menjadi wakil presiden, sesekali Meutia ikut serta dalam rombongan ketika bepergian ke luar kota. Rutinitas tersebut sudah dimulainya sejak ia masih berumur 6 tahun. Karena terbiasa itulah, kini Meutia justru mendapatkan hal-hal menarik dari perjalanan yang dilakukannya. “Dulu saya sering pergi ke Bali, Sangirtalaut, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia bersama ayah dan ibu,” kenang Meutia.
Kini, kebiasaan itu menjadi hobi yang sangat disukai Meutia. Walaupun tidak tentu waktu bepergiannya, dalam kurun waktu setahun, Meutia pasti akan meluangkan waktu hanya untuk sekadar bepergian ke luar kota melihat beraneka ragam pemandangan yang menakjubkan. Hobi itu kemudian tersalurkan kembali setelah menjadi seorang menteri. Pasalnya, setiap kali Meutia bepergian tugas ke luar kota, ia menikmati setiap detik perjalanan yang dilakoninya. Selain hobi travelling, Meutia juga memiliki hobi mengkoleksi perangko. Hobi ini sudah dilakoninya sejak berumur 12 tahun. Awal ketertarikannya pun tak terlepas dari peran sang ayah yang kerap bepergian ke luar negeri, sehingga buah tangan yang dibawanya adalah perangko. “Saat ini sudah ada 62 album perangko,” aku Meutia.
Selama melakukan travelling, Meutia mampu melihat keindahan alam tanah air yang merupakan anugerah sang pencipta. Tak hanya alam saja, ragam budaya di masing-masing daerah juga mendorong rasa nasionalisme yang tinggi dari dalam dirinya. Perasaan cinta tanah air pun muncul dalam dirinya. Ungkapan rasa cinta itu juga dituangkan dalam sebuah buku yang ditulisnya sendiri. Buku tersebut lebih banyak menggambarkan tentang berbagai perjalanan yang kerap dilakukan Meutia di berbagai pelosok daerah di Indonesia beserta foto-foto yang cukup menarik. Buku yang bertajuk ‘Jejak Langkah Di Negeriku’ tersebut sudah diluncurkan sejak bulan Maret lalu. Melalui buku itu pula, Meutia hendak memperlihatkan betapa indahnya alam dan budaya Indonesia. Sudah sepatutnyalah, masyarakat berbangga diri dengan keindahan alam dan budaya yang dimiliki. Fajar