Tuesday, June 29, 2010

Syarifah Khalida, Pemilik Toko Kue Online www.kotakkue.com

Dengan Modal Awal Rp 200 Ribu, Raup Omset Rp 30 Juta Per Bulan

Sejak masih gadis, Syarifah Khalida bercita-cita ingin memiliki toko kue sendiri. Akhirnya, setelah menikah dan memiliki satu anak, ia memberanikan diri untuk berjualan kue meski pada awalnya tak bisa membuat kue. Dengan modal awal Rp 200 ribu, kini Syarifah Khalida mampu menangguk omset Rp 30 juta per bulan dari bisnis kue yang dijalaninya. Lalu bagaimana kisah ibu satu anak yang menyebut dirinya sebagai tukang kue ini?

Suasana sebuah rumah di kawasan Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan itu nampak sedikit berantakan. Di teras rumah, sebuah oven berukuran besar berdiri tegak seakan-akan menyambut setiap tamu yang berdatangan. Tak ada papan nama di depan rumah yang menunjukkan sang pemilik rumah tersebut berjualan kue. Kendati begitu, hampir setiap orang di daerah Tebet Timur sudah mengenal bahwa Ida-panggilan akrabnya-merupakan seorang penjual kue yang handal.

Ida bukanlah seorang pemilik toko kue besar yang terletak di tepi jalan dan siap menarik calon pembeli melalui berbagai kue lezat di display tokonya. Meski demikian, ia justru patut berbangga hati dengan usaha kuenya yang mampu mendatangkan omset lebih dari Rp 1 juta per hari. Pasalnya, Ida berjualan di dunia maya alias internet. “Dulu, modal saya cuma Rp 200 ribu,” ungkap Ida memulai pembicaraan dengan realita pada Rabu (2/12) lalu.

Pada awalnya, Ida mengaku tak bisa membuat risol atau kue sama sekali. Namun, keinginan mendirikan toko kue sebenarnya sudah terpendam sejak lama. Suatu hari pada pertengahan tahun 2007, Ida tak sengaja melihat sebuah toko kue saat hendak pergi bekerja. Kala itu, ia memang masih bekerja sebagai seorang guru Taman Kanak-kanak (TK). “Dari dulu, saya memang bermimpi punya toko kue,” aku Ida dengan bersemangat. Ida lantas memberanikan diri untuk mendatangi sebuah toko kue kecil tak jauh dari stasiun, tempat ia biasanya menggunakan kereta untuk berangkat kerja. Ia bertanya kepada pemilik toko, tentang keinginannya untuk menitipkan kue-kue buatannya di toko tersebut. “Padahal kemampuan saya membuat kue itu nol,” ujar wanita kelahiran 22 Juni 1980 ini.

Belajar Membuat Kue. Pada malam harinya, Ida pun mengutarakan keinginannya untuk berjualan kue. Sang suami, Agung Nugroho (36) kemudian menyarankan istrinya tersebut untuk berjualan di internet. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Ida kemudian berusaha keras untuk belajar membuat penganan risol. Sebagai seorang pemula, Ida berkali-kali menemui kegagalan dalam memasak risol. Namun, berkat kerja kerasnya, ia berhasil membuat risol dan mencoba menawarkan ke beberapa keluarga dekatnya. Ternyata, risol buatannya tersebut dinilai enak oleh keluarga dekat dan teman-temannya. Bermodalkan keahlian yang tak seberapa itulah, Ida pun mulai menawarkan produknya di blog pribadinya.

Beruntung bagi Ida, ada salah seorang temannya di dunia maya memesan risol sebanyak 55 buah dengan harga Rp 3 ribu per buah. Sempat dirasuki rasa tak percaya karena ada pesanan yang datang kepadanya, Ida pun bersemangat untuk memasak risol. Semalaman, dari jam 9 malam hingga jam 4 pagi, ia memasak risol. “Karena belum terbiasa, jadi terkadang kulitnya itu sering terlalu tebal atau robek saat digoreng,” kenang wanita yang menghabiskan masa remajanya di Bandung ini. Pagi harinya, pesanan 55 buah risol dengan isi telur dan smoked beef itu pun dikirim kepada pelanggan pertamanya tersebut. Tak disangka, ternyata temannya itu sangat menyukai rasa risol buatannya. Bahkan seminggu kemudian, ia kembali memesan risol sebanyak 100 buah.

Risol Kribo. Seorang diri, Ida kembali memasak risol untuk pesanan keduanya. Seiring berjalannya waktu, pesanan risol bernama 'risol kribo' ini semakin bertambah banyak. Tak puas hanya berjualan penganan risol, Ida memutuskan untuk mulai memproduksi makanan lainnya. “Saya memutuskan untuk membuat cake,” ujar Ida singkat. Lagi-lagi, keterbatasan kemampuan memasaknya, ia pun ikut dalam kursus membuat sekaligus menghias cake. Setelah merasa percaya diri karena telah dibekali pengetahuan dasar dalam membuat cake, akhirnya Ida kembali mempromosikannya di blog internet.

Pesanan cake akhirnya datang juga. Salah satu teman Ida memesan cake untuk perayaan ulang tahun anaknya. Kue yang berukuran 40 cm x 40 cm tersebut dikerjakan Ida dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi. Whip cream yang dilumuri di permukaan kue kerapkali tidak rata, sehingga Ida harus mengulangnya berkali-kali. Setelah dirasa cukup baik, pada pagi harinya kue tersebut diantarkan kepada sang pelanggan. Kabar tentang enaknya penganan dan cake buatan Ida kemudian tersebar luas di internet. Alhasil, pesanan pun semakin bertambah banyak. Dengan sedikit demi sedikit keuntungan, Ida mulai membeli segala macam peralatan memasak kue yang lengkap. Pasalnya, peralatan yang lama sudah tak mampu lagi melayani pesanan yang makin lama makin bertambah.

Ida lantas mengubah caranya berpromosi. Media promosi yang pada awalnya melalui blog pribadi, kemudian dipindahkan ke web yang dikhususkan untuk berjualan kue. Web bernama www.kotakkue.com dipilih karena menurut Ida, mudah diingat dan kue-kue yang dipesan biasanya dikirimkan dengan menggunakan kotak. Kotak Kue pun dipilih sebagai merek toko kue online miliknya. Sang suami sangat membantu dalam mendesain www.kotakkue.com. Tiga bulan sejak Januari 2008 saat web tersebut diluncurkan, pesanan semakin bertambah banyak. Akibatnya, Ida semakin disibukkan dengan membuat kue pesanan. Meski dibantu oleh dua orang karyawannya dan ditambah dua orang lagi bila dibutuhkan, Ida mengaku merasa kerepotan dengan pesanan yang semakin menggila. “Saya semakin kewalahan menerima pesanan yang bertambah banyak,” ujar ibu dari Nadiv Rafi Nugroho (3) ini.

Setelah mempertimbangkan dengan matang, Ida kemudian memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai guru TK dan memilih untuk menseriusi usaha kuenya. “Setelah setahun memulai bisnis kue ini, saya resign dari pekerjaan,” cerita anak pertama dari empat bersaudara ini. Wanita lulusan IKIP Bandung (sekarang UPI, red) ini pun secara total mengurusi bisnis kuenya. Berbagai produk makanan baru mulai ditambah dan ditawarkan di internet. Mulai dari risol kribo, lumpur keju, cupcake chocochip, fruit pie, hingga cake berukuran besar yang dapat dimodifikasi sesuai pesanan dan selera si pemesan. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp 3.500 hingga ratusan ribu rupiah untuk cake dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menarik. Semakin rumit dan menarik cake yang dibuat, maka semakin mahal harga yang dikenakan terhadap cake tersebut. Yang membedakan Kotak Kue dengan toko kue lainnya, adalah cake buatan Ida dapat dimodifikasi sesuai dengan pesanan sang pelanggan.

Meski berjualan di dunia maya, Ida mengaku tak mengalami kesulitan yang cukup besar dalam menawarkan produk makanannya. Pasalnya, bila ada calon pembeli yang ingin mencicipi rasa dari kue buatannya, ia mempersilakan calon pembeli tersebut untuk datang ke rumahnya. Tak hanya itu saja, para calon pembeli juga dapat memesan sesuai selera masing-masing melalui saluran telepon. “Biasanya sih ada orang yang tak percaya dengan toko online,” ungkap Ida. “Tapi toko online itu adalah bisnis kepercayaan,” lanjutnya tegas. Sejauh ini, ia pun mengaku tak pernah ada masalah besar dalam menjalankan toko kue online miliknya tersebut.

Omset Lebih dari Rp 30 Juta per Bulan. Kini, rata-rata pesanan cake dalam sehari sekitar 3 atau 4 buah cake berukuran besar. Selain itu, pesanan risol kribo dan penganan lainnya juga tak pernah berhenti datang. Alhasil, Ida pun menangguk keuntungan dari bisnis kuenya itu. Dalam sebulan, ia mampu mencatatkan omset minimal Rp 30 juta per bulan. Dengan dibantu dua karyawan yang digaji sekitar Rp 600 ribu ditambah bonus bulanan, Ida menjalani roda bisnis kuenya tersebut. Ida merasa dengan berbisnis kue ini, ia dapat meluangkan waktu lebih banyak di rumah sembari membuat kue pesanan. Rafi, anak semata wayangnya pun mendapatkan perhatian yang lebih banyak ketimbang sebelumnya, saat Ida masih bekerja. Terlebih lagi, apa yang dilakoni Ida ini sangat didukung oleh Agung Nugroho, suami yang menikahinya sejak tahun 2005. Bahkan, tak jarang berbagai macam ide muncul dari sang suami.

Dari perjalanan bisnis kue miliknya ini, Ida juga dapat mengambil banyak pelajaran. “Bisnis itu nggak perlu modal besar,” ujar wanita yang numpang lahir di Solo ini. Menurutnya, berbisnis dapat dimulai dengan peralatan yang sudah ada. Dengan modal minim ditambah dengan keahilan, Ida yakin semua orang dapat berbisnis dengan mudah, termasuk ibu-ibu di rumah. “Jangan pernah takut untuk memulai dan mencoba,” ujar Ida. “Kalau nggak pernah mencoba, kita nggak akan pernah tahu kita bisa atau nggak,” lanjutnya menjelaskan. Ida sendiri memiliki keinginan untuk mendirikan toko kue. Namun, keinginan tersebut dirasa masih jauh berada di depan. Pasalnya, ia mengaku dengan membuka toko kue online, justru memberikan banyak keuntungan. Ida tak perlu mengeluarkan uang untuk menyewa atau membeli bangunan dan membuat banyak contoh kue sebagai pajangan di toko.

Kalau sekarang kan, hanya sesuai dengan pesanan,” ujar Ida sembari tersenyum. Selain berbisnis kue, ternyata Ida juga sempat ditawari oleh sebuah perusahaan penerbit untuk menerbitkan sebuah buku tentang cara membuat dan menghias cake. Akan tetapi, Ida masih belum memiliki banyak waktu untuk merealisasikan seperti apa yang dilakukan sang suami, yang telah menerbitkan buku berjudul Ocehan Si Mbot, Gilanya Orang Kantoran. “Nanti dulu deh kalau untuk menerbitkan buku, saya masih kewalahan dalam menerima pesanan,” tutur mantan guru TK Discovery Centre ini. Fajar



Sri Ratnasari Mardiana Puspaningrum, Kepala Stasiun Tanjung Barat Jakarta Selatan

Stasiun Menjadi Bersih dan Teratur Sejak Dipimpinnya

Mengaku sebagai wanita tomboy dan suka tantangan, Sri Ratnasari Mardiana Puspaningrum akhirnya mampu menjadi seorang pemimpin di sebuah stasiun kereta api Jabodetabek. Berkarir di PT KAI sejak tahun 1993, ia mampu membuktikan kemampuannya dan menapaki karir hingga menjadi seorang kepala stasiun. Baginya, memimpin sebuah stasiun kereta api merupakan sebuah kebanggaan. Terlebih lagi, ia merupakan wanita satu-satunya yang menjadi kepala stasiun. Lalu, bagaimana perjalanan hidup ibu dua anak ini?

Stasiun Tanjung Barat, Jakarta Selatan, telah berubah wajah sejak beberapa bulan yang lalu. Pedagang kaki lima (PKL) yang biasa ditemui di sekitar stasiun sudah tak nampak lagi. Sampah yang berserakan di lantai stasiun pun tidak terlihat. Beberapa tong sampah telah tersedia di tiap sudut stasiun. Para calon penumpang juga tak bisa sembarangan merokok di area stasiun. Faktor keamanan penumpang mulai terjamin dengan dipasangnya beberapa kamera CCTV dan petugas keamanan yang selalu sigap di area stasiun yang termasuk dalam golongan stasiun kelas 2 ini.

Sebagai stasiun kereta api percontohan, Stasiun Tanjung Barat memang telah membuktikan perbedaannya ketimbang stasiun lain yang masih terlihat kotor dan tidak beraturan. Tak ada yang menyangka perubahan tersebut dimotori oleh seorang wanita yang menjadi kepala stasiun Tanjung Barat sejak bulan Maret lalu ini. Dialah Sri Ratnasari Mardiana Puspaningrum, wanita lulusan SMA yang telah memiliki dua anak laki-laki. “Saya merasa terharu sekaligus bangga diangkat menjadi seorang kepala stasiun,” ungkap Ninuk-panggilan akrabnya-kepada realita.

Wanita kelahiran 15 Maret 1975 ini merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Sang ayah, (Alm.) R.S. Djamaludin adalah pria asli Bandung yang bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah rumah sakit di daerah Jakarta Pusat. Sedangkan ibunya, Harsini (59), wanita asli Solo yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Ninuk tumbuh menjadi sosok gadis yang tomboy karena dikelilingi ketiga kakaknya yang kesemuanya adalah laki-laki. “Jadi saya sudah terbiasa berada di lingkungan laki-laki,” ujar Ninuk singkat.

Kondektur Kereta Parahyangan. Wanita kelahiran Jakarta ini dibesarkan di daerah Depok, Jawa Barat. Setelah menamatkan pendidikannya di SDN 8 dan SMPN 2, Depok, Ninuk melanjutkan ke SMAN 97, Jakarta. Setamatnya SMA pada tahun 1993, Ninuk sempat berkeinginan untuk melanjutkan kuliah. Sayangnya, ia tak lulus seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Kendati begitu, Ninuk tak patah arang dalam merajut impiannya di masa mendatang. Setelah mengetahui ada lowongan di PT KAI (Kereta Api Indonesia), ia pun mencoba melamar pekerjaan sebagai seorang kondektur wanita. Kala itu, profesi sebagai kondektur wanita di PT KAI masih tergolong baru dan memasuki angkatan kedua. “Saya juga baru tahu kalau ada kondektur wanita,” kenangnya sembari tertawa lebar. Pada awalnya, kedua orangtua Ninuk menentang anak bungsunya bekerja sebagai kondektur kereta api. “Awalnya mereka khawatir dan menentang, tapi karena saya bisa meyakinkan orangtua, akhirnya ya setuju,” papar Ninuk.

Dari 462 orang yang melamar, Ninuk menjadi salah satu dari 21 orang yang diterima sebagai seorang kondektur. “Karena saya suka tantangan, ya saya coba,” ungkap Ninuk. Ia lantas ditempatkan di Daop II, Bandung. Ninuk menjadi kondektur wanita untuk kereta api Parahyangan jurusan Jakarta-Bandung. Ia mengaku menikmati profesinya sebagai seorang kondektur. “Saya banyak bertemu dengan orang baru yang menjadi penumpang,” ujar Ninuk.

Tahun 1997, ia dimutasi ke stasiun Gambir, Jakarta Pusat menjadi seorang staf tata usaha hingga tahun 2007. Ninuk kemudian dipindahkan ke bagian perbendaharaan di stasiun yang sama hingga tahun 2008. “Saya menghabiskan waktu yang cukup lama di stasiun Gambir,” aku Ninuk.

Tantangan Menjadi Kepala Stasiun. Barulah pada awal tahun 2008, PT KAI Commuter Jabodetabek, anak perusahaan PT KAI yang mengelola jalur transportasi di seputar Jabodetabek, membuka kesempatan bagi karyawannya untuk menjadi kepala stasiun. Ninuk pun dipromosikan untuk mengikuti seleksi yang diadakan oleh pihak manajemen. Dari 9 orang yang mengikuti seleksi, Ninuk merupakan satu-satunya perempuan. Tak disangka, ia lolos seleksi beserta 6 orang lainnya yang kesemuanya adalah laki-laki.

Saya merasa bangga karena dapat mewakili para wanita,” tutur wanita yang masih nampak awet muda ini. Sebelumnya, belum pernah ada seorang wanita yang menjabat kepala stasiun. Ninuk menjadi wanita pertama yang diangkat sebagai seorang kepala stasiun. “Saya berharap di masa mendatang, ada junior-junior saya yang mampu meneruskan menjadi kepala stasiun,” harap wanita yang suka mendengarkan lagu-lagu band White Lion ini. Ia dilantik sebagai kepala stasiun pada 23 Mei 2008. Kali pertama, Ninuk menjadi kepala stasiun Universitas Pancasila hingga 20 Maret 2009. Ia lantas dipindahkan ke stasiun Tanjung Barat dan kemudian dijadikan sebagai stasiun percontohan.

Awalnya, ada sebagian orang yang meragukan kemampuannya menjadi seorang kepala stasiun. Namun, Ninuk berusaha membuktikan bahwa ia mampu bertanggung jawab dalam mengatur stasiun kereta api yang dipimpinnya. “Sebenarnya pekerjaan ini, wanita pun bisa,” ungkap Ninuk dengan tegas. Ia sendiri sangat berperan dalam menata pengelolaan dan kebersihan area stasiun yang dijadikan percontohan ini. Ninuk membawahi 34 karyawan, dengan komposisi 1 orang perempuan dan sisanya adalah laki-laki.

Menurut Ninuk, mengelola 34 karyawan stasiun yang sebagian besar adalah laki-laki, merupakan suatu tantangan tersendiri. “Itu adalah seni,” ujarnya tersenyum simpul. Awalnya, ia juga sempat merasa ragu dengan kemampuannya dalam memimpin bawahan yang hampir semuanya adalah laki-laki. “Di sini saya tidak merasa sebagai pemimpin,” ujar Ninuk. “Justru saya berusaha menghapus jarak antara bawahan dan atasan,” lanjutnya menjelaskan. Alhasil, ia mampu menerapkan kedisiplinan yang tinggi terhadap para bawahannya tersebut. Berkat kepemimpinannya, Ninuk berhasil mengubah para bawahannya untuk berperilaku disiplin dalam bekerja. “Bagaimana kita bisa mengubah perilaku penumpang, sebelum kita mengubah perilaku SDM di stasiun sendiri,” paparnya penuh semangat.

Kepala Stasiun yang Bawel. Ninuk sendiri mengaku bahwa dirinya adalah sosok pemimpin yang 'bawel'. “Ya bawel untuk kepentingan kita bersama sih nggak apa-apa ya,” kilah Ninuk. Ia akan sangat cerewet bila keindahan dan kebersihan stasiun tidak dijaga dengan baik, oleh penumpang dan karyawannya sendiri.

Sebagai seorang kepala stasiun, Ninuk juga sangat mengkhawatirkan perilaku para calon penumpang yang tak membeli tiket. “Saya sangat ironis ada calon penumpang yang tak membeli tiket atau menggunakan kartu abudemen yang tak berlaku lagi,” papar Ninuk. Ia sendiri mengaku seringkali menangkap basah penumpang yang tidak berperilaku disiplin. “Penumpang yang seperti itu kan sudah tidak jujur kepada dirinya sendiri,” ujar pemegang prinsip 'jadilah diri sendiri' ini. Tak hanya itu saja, perilaku penumpang yang membuang sampah sembarangan pun sangat disayangkan oleh Ninuk. “Kan sudah disediakan tong sampah,” kilah Ninuk.

Telah menjadi seorang kepala stasiun, tak membuatnya merasa sukses. Baginya, masih panjang perjalanan yang harus ditempuh sebagai seorang kepala stasiun. “Mempertahankan itu kan lebih susah,” ujar Ninuk tegas. Selain itu, dalam kehidupan pribadi, Ninuk memiliki keinginan terpendam sejak lama. “Saya ingin melanjutkan kuliah,” ujar Ninuk. Ia menyadari pendidikan dan wawasan sangatlah penting. Hal itulah yang kemudian sangat mendorong dirinya untuk segera duduk di bangku kuliah. “Tapi saya masih bingung mau kuliah di mana dan mengambil jurusan apa,” ujarnya kebingungan. Targetnya, tahun depan ia sudah bisa kuliah tanpa meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang kepala stasiun.

Ke depannya, Ninuk juga ingin berbuat yang lebih banyak untuk kepentingan perusahaan dan penumpang kereta api. Ia juga merasa senang dengan banyaknya antusias dari karyawan KAI wanita yang ingin menjadi kepala stasiun seperti dirinya. “Saya sangat senang karena saya dapat memberi motivasi bagi para junior saya,” ujar Ninuk mengakhiri pembicaraan. Fajar

Side Bar...

Sering Mengajak Kedua Anaknya ke Stasiun

Sebagai seorang kepala stasiun, waktu kerja terkadang tak dapat dipastikan dengan tepat. “Hari Sabtu dan Minggu pun kalau memang ada yang penting, ya saya harus datang,” aku Ninuk. Alhasil, ia pun terkadang harus merelakan waktu keluarganya untuk pekerjaan. Beruntung baginya, karena kedua anaknya, Muhammad Roza Nouval (11) dan Muhammad Dhia Zufar (6) mengerti terhadap pekerjaan ibunya. Bahkan, Ninuk seringkali mengajak kedua anaknya ke stasiun Tanjung Barat. “Kalau hari Sabtu atau Minggu, saya sering mengajak ke sini dan jalan-jalan naik kereta,” ujar Ninuk yang mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1997 ini. Biasanya, kedua anaknya itu menumpang kereta menuju kota tua dan balik lagi ke Tanjung Barat. “Mereka senang saja naik kereta,” aku Ninuk.

Dukungan keluarga pun diakui Ninuk sangatlah besar dalam karirnya. Sang suami yang bekerja sebagai karyawan swasta sangat bangga dengan karir istri yang mampu menjadi kepala stasiun wanita pertama di Indonesia. “Keluarga sangat mendukung,” ujar Ninuk singkat.

Kendati disibukkan dengan pekerjaannya mengurus kereta api, Ninuk juga tak melupakan perannya sebagai seorang ibu dari dua anak. “Saya ingin anak-anak saya bisa menjadi 'orang' di masa depan,” harap Ninuk. Ia menyadari bahwa dalam mendidik anak, sudah tak bisa dengan cara otoriter. Menurutnya, anak sekarang tak bisa dipaksakan seenaknya. Bila dipaksakan, maka anak justru akan membangkang. Tak heran, ia sangat membebaskan keinginan anak-anaknya. “Terserah mereka mau menjadi apa,” ujarnya singkat.

Bila Hari Ibu tiba, Ninuk mengaku pada hari itu biasanya merupakan hari bebas bagi dirinya melakukan pekerjaan rumah tangga di rumah. “Sudah ibu diam saja, biar kita yang mengerjakan,” ujar Ninuk sembari menirukan omongan anaknya. Menurutnya, hal tersebut merupakan kado yang paling indah saat merayakan Hari Ibu. Karena merupakan cerminan rasa sayang kedua anak kepada dirinya, sebagai ibu. Fajar

Monday, June 28, 2010

Kiki Fatmala, Artis

Berusaha untuk Terus Meminta Maaf Kepada Sang Ibu

Bertahun-tahun mengalami perseteruan melawan sang ibu, Fatma Farida, ternyata menimbulkan kesedihan yang teramat dalam bagi Kiki Fatmala. Hanya kesepian yang dirasakan Kiki saat bulan Ramadhan tiba. Terlebih lagi, ketika banyak orang yang berkumpul bersama keluarga besarnya pada hari Idul Fitri, Kiki justru hanya berusaha menikmati kesendiriannya. Alhasil, Kiki berencana akan mengunjungi ibu kandungnya tersebut pada hari nan fitri mendatang. Lalu bagaimana awal perseteruan artis yang kini menekuni senam aerobik ini dengan ibunya?

Bila sebagian besar orang tengah menikmati momen kebersamaan makan sahur dan berbuka puasa dengan keluarganya masing-masing, lain halnya dengan yang dialami Kiki Fatmala. Status janda tanpa anak membuatnya hidup sendiri di dalam rumah yang cukup besar di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Apalagi perseteruan antara dirinya dengan sang ibu, Fatma Farida juga masih berlangsung, sehingga jarak antara ibu dan anak tersebut masih terbentang luas. Tak ada komunikasi sama sekali antara Kiki dengan ibu kandungnya itu. “Saya sudah berusaha menghubungi ibu saya, tapi tidak pernah direspon,” ungkap Kiki saat ditemui realita pada Selasa (25/8) lalu.

Ketika pertama kali muncul di layar kaca, Fatma Farida memang sangat bersemangat saat membuka perilaku buruk putri sulungnya, Kiki Fatmala. Penampilan Kiki yang kerap berpakaian seksi dan agak terbuka, menjadi perhatian Farida saat berbicara di depan media massa. Sikap ibunya tersebut lantas menjadi pembuka perseteruan dalam kehidupan Kiki. Berkali-kali, Farida membuka aib keluarga di depan umum. Saat Kiki membintangi sebuah film layar lebar dengan berpakaian seksi, Farida dengan lantang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap akting Kiki di film layar lebar. Bahkan, terang-terangan Farida menyebut putri sulungnya tersebut sebagai anak durhaka.

Konflik dengan Ibu Kandung. Melihat sikap sang ibu yang kerap berkoar-koar di depan media, hati Kiki pun menjadi miris. “Aib keluarga sudah tidak sepantasnya dibicarakan di depan umum,” ungkap Kiki. Menurutnya, bila memang ada permasalahan keluarga seharusnya Farida berbicara langsung kepada dirinya. Asal muasal penyebab dari kekecewaan ibu kandungnya tersebut pun tidak diketahui Kiki sama sekali. “Saya sendiri tidak tahu titik awal permasalahannya itu apa,” ujar anak pertama dari dua bersaudara ini dengan tegas.

Bila Farida memprotes tentang akting Kiki yang dinilai terlalu vulgar, Kiki justru mempertanyakan kenapa baru sekarang ibunya itu protes. Sebab, Kiki sudah menggeluti karir di dunia film sejak belasan tahun lalu. Apalagi, di era tahun 1990-an, ia mendapatkan predikat sebagai ‘bom seks’ karena kegemarannya membintangi film-film berbau seks. Kendati demikian, Kiki justru menilai bahwa apa yang selama ini dilakukannya pada saat akting masih berada dalam batas kewajaran. Menurut Kiki pula, ia tak pernah melupakan begitu saja hubungannya dengan sang ibu. Untuk menyelesaikan konfliknya tersebut, Kiki mengaku telah berusaha menghubungi Farida untuk meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Ia merasa sebagai anak, sudah sepantasnya untuk meminta maaf terlebih dahulu kepada ibu kandungnya.

Namun, usaha yang dilakukan Kiki ternyata sia-sia. Pasalnya, sang ibu tak pernah mau mengangkat telepon darinya. Padahal, Kiki berusaha meminta maaf dengan sepenuh hati kepada ibunya tersebut. “Sekarang malah saya nggak tahu ibu saya itu ada di mana,” tutur wanita yang memiliki hobi travelling ini.

Kiki menyadari bahwa di bulan Ramadhan dan hari Idul Fitri merupakan hari yang tepat untuk menyambung kembali tali silaturahmi dengan ibunya. “Rencananya, hari Lebaran saya akan berusaha mencari dan mendatanginya untuk meminta maaf,” ujar Kiki yang di masa kanak-kanaknya pernah bercita-cita menjadi pramugari ini. Hubungannya dengan sang ibu yang terputus seperti sekarang ini memang kerap menimbulkan kesedihan sekaligus rasa iri bila melihat orang lain yang dapat merayakan hari Lebaran bersama dengan keluarga besar, terutama ibunya sendiri. “Terserah nanti mau dimaafkan atau tidak, yang terpenting bagi saya adalah datang dengan ikhlas untuk bertemu ibu saya,” tutur Kiki menjelaskan.

Banting Stir Menjadi Guru Aerobik. Perjalanan karir Kiki sendiri dimulai saat ia mulai menjadi model kalender pada era 1980-an. Ia kemudian mulai merambah ke dunia film layar lebar dengan membintangi sejumlah film 'panas' di bioskop. Beberapa judul film, seperti Permainan di Balik Tirai, Misteri di Malam Pengantin, Kabut Asmara, Kenikmatan Tabu, dan beberapa judul film lainnya. Seiring dengan meredupnya dunia layar lebar di tanah air, Kiki mulai membintangi sejumlah judul sinetron di televisi.

Nama Kiki juga mulai tenggelam seiring dengan bermunculannya artis-artis yang usianya jauh lebih muda. Nama Kiki masih berada di puncak saat menjadi pemeran utama dalam sinetron Si Manis Jembatan Ancol. Selepas itu, namanya kurang terdengar. Namun, Kiki masih menerima job akting di film dan televisi. Sekitar tahun 2004, Kiki memutuskan untuk menerima lamaran seorang pria berkebangsaan Austria, Christian Froeschel. Sayangnya, pernikahan tersebut hanya bertahan selama dua tahun saja. Kiki resmi bercerai pada tahun 2006, tanpa penjelasan sebab perceraian ke media. Ia kembali hidup sendiri tanpa kehadiran suami, dan ditambah lagi konflik dengan ibu kandungnya.

Kini, di tengah kesepian setelah menyandang status janda, Kiki banyak menghabiskan waktu untuk hobi sekaligus pekerjaannya, yakni senam aerobik. “Saya mengajar senam seminggu tiga kali,” aku Kiki seraya enggan menyebutkan angka penghasilannya tiap kali mengajar senam. Karir Kiki sendiri di dunia perfilman diakuinya memang telah habis. “Sekarang kan sudah waktunya bagi yang muda-muda,” kilahnya. kendati begitu, terkadang ia masih menerima job akting dari berbagai pihak. Terbukti, dengan dua judul film layar lebar yang masih dibintanginya pada tahun 2009 ini.

Bagi Kiki, hidup ini sudah seharusnya disyukuri meski ia tak lagi hidup berlebih seperti saat masih menikmati kejayaan sebagai seorang artis di masa lampau. “Di satu sisi, Allah itu sudah baik sekali sama saya, hidup saya tidak berlebih dan juga tidak kekurangan,” tutur Kiki mensyukuri hidupnya saat ini. Pekerjaannya sebagai seorang guru senam sudah cukup untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari. Sebelumnya, Kiki pernah mendirikan sanggar senam sebagai usaha sampingannya. Hampir 10 tahun, ia menjadi pemilik sekaligus guru senam di sanggar bernama Kifa tersebut.

Namun, karena persaingan dengan tempat olahraga lain seperti gym yang menawarkan paket senam beserta fitness sekaligus dengan peralatan lengkapnya, sanggar senam Kifa harus berhenti beroperasi pada tahun lalu. “Orang sekarang kan lebih memilih berolahraga ke gym yang lebih lengkap,” ujar Kiki. Kendati demikian, ia justru merasa lebih menguntungkan menjadi guru senam privat ketimbang membuka sanggar senam sendiri. “Kita nggak perlu memikirkan gaji pegawai atau biaya listrik dan kontrak,” tutur mantan istri dari Christian Froeschel ini.

Ingin Punya Anak. Bulan Ramadhan kali ini, Kiki juga kehilangan salah satu keluarga terdekatnya. “Hari kedua puasa kemarin, paman saya meninggal jadi saya ikut berkumpul dengan keluarga,” aku Kiki yang pernah terlibat masalah dengan Syaiful Jamil ini. Di bulan Ramadhan, senam masih dilakoni Kiki meski jatah waktunya yang sedikit dikurangi. “Paling enak berolahraga itu menjelang berbuka puasa,” ujar wanita kelahiran 28 Oktober 1970 ini. Bagi dirinya pribadi, bulan Ramadhan merupakan bulan yang spesial. Kendati begitu, kehadiran bulan Ramadhan tak lantas membuatnya langsung mengenakan pakaian tertutup dan banyak berbuat kebaikan. “Berbuat kebaikan itu nggak harus di bulan Ramadhan saja kan,” ungkapnya.

Untuk kehidupan pribadi, Kiki menganggap belum ada pasangan yang cocok untuk dijadikan suami. Ia tak menganggap statusnya sebagai janda sebagai sebuah beban. “Yang belum lengkap itu belum ada anak,” ujar Kiki singkat. “Saya kan sudah pernah menikah, bercerai pun sudah, yang belum itu adalah anak,” lanjutnya sembari tersenyum. Bila nanti sudah tiba saatnya menjadi seorang ibu, ia mengaku akan mendidik anaknya dengan baik. “Anak itu harus dirangkul dengan baik,” ujar Kiki sambil mengambil pelajaran dari konfliknya dengan sang ibu. Fajar

Side Bar...

Merindukan Opor Ayam Buatan Sang Ibu

Kehadiran bulan Ramadhan juga kembali mengingatkan Kiki dengan masa kanak-kanaknya saat masih berhubungan baik dengan sang ibu. Kala itu, ia merasa sangat bahagia ketika menghabiskan tiap detik berjalannya waktu di bulan yang suci. Kiki pernah mengalami kenakalan di masa kanak-kanaknya saat berpuasa. Ia kerap tak tahan godaan untuk makan dan minum di luar rumah. “Tapi saya bilangnya puasa, padahal sudah buka duluan,” kenang Kiki sembari tertawa.

Ketika hari Lebaran tiba pun, masa kanak-kanak masih dipenuhi dengan kebahagiaan dan pengalaman yang tak terlupakan bagi dirinya. “Kalau Lebaran, saya selalu dibelikan pakaian yang sama dengan adik saya,” kenang Kiki. Selain itu, Kiki beserta adik satu-satunya, Susana dibekali dompet berukuran besar untuk menyimpan uang pemberian di hari Lebaran dari sanak saudara. “Dulu itu lumayan besar dapat uangnya,” aku Kiki.

Kiki juga mengenang masakan opor yang dibuat sendiri oleh ibunya, Farida Fatma. “Pokoknya masakan bikinan ibu saya yang paling enak deh,” kenang Kiki. Baginya, Lebaran di masa kanak-kanak merupakan masa yang paling bahagia dan menyenangkan untuk dikenang. Ia sangat merindukan kebersamaan dan kebahagiaan saat berkumpul dengan keluarga, terutama bersama ibu kandungnya. Fajar

Ericka Citra Sejati, Penulis

Memiliki Tiga Bakat Sekaligus di Usia Belia

Kendati usianya masih relatif muda, Ericka Citra Sejati justru tak melulu menghabiskan waktunya di sekolah dan bersenang-senang layaknya anak-anak seusianya. Ia justru menekuni tiga bidang berbeda yang sangat disukainya. Menulis, melukis, dan fotografi, menjadikan ia sebagai anak yang berprestasi. Tak puas hanya menggelar pameran lukisan dan hasil fotonya, Ericka pun meluncurkan buku yang berisikan hasil karyanya di tiga bidang tersebut. Lalu bagaimana kisah anak kedua dari dua bersaudara ini?

Hanya yang Ada Untukmu

Jenuh itu ada

Jangan kau Tanya

Aku pernah merasakannya

Jenuh itu dirimu

Saat semuanya harus diselesaikan kali ini

Saat semua harusnya tak bisa diulang

Dan memang, hati aku akan membuatnya takkan diulang

Takkan ada dirimu, takkan ada kita

Setia itu buta

Saat cinta bagimu hanya sebatas cinta

Entah mengapa, bagimu itu hal yang indah

Tapi bagiku itu biasa

Karena semua sebatas hanya

(Ericka Citra Sejati)

Salah satu puisi di atas merupakan karya seorang anak remaja yang baru saja merasakan senangnya lulus dari bangku SMA. Puisi yang kemudian dibukukan dalam buku bertajuk Kutunggu di Pintu Langit tersebut memiliki keunikan tersendiri. Pasalnya, buku itu tak hanya berisikan kumpulan puisi dan cerpen semata, melainkan hasil lukisan dan foto karya Ericka Citra Sejati.

Tak ada yang berbeda dari sosok anak remaja yang baru lulus dari SMAN 5 Bandung ini. Tawa dan canda selalu menjadi penghias hari-harinya. Gadis yang kerap disapa Ericka ini selalu menjadi pusat perhatian dari teman-temannya. Tawanya kerap membuat suasana menjadi lebih ramai. Namun, tak disangka di balik keceriaannya sebagai anak remaja, Ericka menyimpan bakat terpendam yang kini membuatnya menjadi salah seorang anak berprestasi dari kota kembang, Bandung. Tak hanya satu bakat saja, melainkan tiga bakat sekaligus yang kemudian dibukukan dalam satu judul buku.

Saat ditemui di sebuah kafe di kota Bandung, Ericka masih menikmati masa liburnya bersama kedua sahabatnya. Pada masa liburan sekolah menjelang mengenyam bangku kuliah, Ericka lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Selain itu, ia juga masih berkarya membuat puluhan cerita pendek dan puisi, selain melukis dan memburu objek foto yang disenanginya. Sembari duduk santai dan menyeruput minuman dingin di tengah panasnya kota Bandung pada Rabu (1/6) siang lalu, Ericka berbagi kisah tentang hobi dan kesehariannya sebagai anak remaja.

Terlahir dengan nama lengkap Ericka Citra Sejati, ia tumbuh di dalam keluarga yang cukup disiplin, terutama didikan yang berasal dari sang ayah. Ayahnya, Eddy Kurnia (51) seringkali memberikan dorongan dan motivasi bagi Ericka agar mampu berprestasi di berbagai bidang. Sedangkan sang ibu, Atje Waliah (50) lebih mengandalkan kelembutan dan kasih sayang dalam mendidik kedua anaknya. “Mama lebih lembut mendidik saya,” ujar Ericka kepada realita. Sang ayah sendiri bekerja sebagai salah satu karyawan PT Telkom, Bandung. Sedangkan ibunya lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah sebagai ibu rumah tangga.

Melukis Alam. Ericka lahir dan dibesarkan di kota Bandung. Ia bersekolah di SD Taruna Bhakti, Bandung. Selepas SD, Ericka melanjutkan ke SMP yang sama. Pada saat duduk di bangku kelas 2 SMP, bakat Ericka mulai diperlihatkannya. Hobi menggambarnya ternyata diketahui sang ayah yang kemudian mendorongnya untuk ikut kursus melukis di Sanggar Lukis Barli-milik pelukis senior (Alm.) Barli di kawasan Sertasari, Bandung. Alhasil, bakatnya memegang kuas pun semakin terasah dengan baik. Kesenangan Ericka melukis sebenarnya sudah terlihat sejak masih duduk di kelas 3 SD, dan terus berkembang hingga saat ini. “Melukis tuh kadang-kadang tergantung mood sih,” aku Ericka. Layaknya seorang anak, Ericka terkadang malas datang ke tempat kursus. Sesekali, mood-nya kembali bagus dan sangat antusias untuk menggoreskan kuas di atas kanvas. Kendati demikian, Ericka tetap memperlihatkan bakatnya yang sangat luar biasa di bidang melukis.

Lukisan semasa kanak-kanaknya kerap dipajang oleh kedua orangtuanya di tiap dinding rumah. Kebanyakan dari lukisan karyanya bertemakan tentang alam. Salah satu karyanya adalah sebuah pohon besar yang di pucuknya terdapat lima burung tengah bertengger. Warna burung-burung yang lugu dan naïf, justru menawarkan kejujuran dalam setiap goresan yang membentuk gambar burung tersebut. Ada juga lukisan bebek terbang yang cukup menarik. Hampir semua karya lukisan Ericka selalu dipajang di dinding rumahnya di kawasan Lembang, Bandung.

Menulis Puisi dan Cerpen. Sejalan dengan bakatnya melukis, Ericka juga sangat suka menulis puisi. Sejak kelas 3 SD, ia sudah mulai membuat rangkaian kata nan indah untuk dijadikan puisi. Setiapkali, ayah, ibu, atau kakaknya berulang tahun, Ericka selalu menghadiahi mereka puisi. Kumpulan puisi tersebut semakin lama semakin banyak. Sang ayah pun mendorongnya untuk mengirimkan ke berbagai media cetak agar dimuat. Selain puisi, Ericka juga kerap menulis cerita-cerita pendek yang sebagian besar bertemakan tentang keluarga dan kasih sayang terhadap orang terdekat serta lingkungan.

Selepas lulus SMP, Ericka meneruskan pendidikannya ke SMAN 5, Bandung. Saat duduk di bangku SMA itulah, ia giat menghasilkan puluhan puisi dan cerpen. “Biasanya inspirasi didapat dari lingkungan, atau pengalaman sendiri,” ungkap gadis kelahiran 22 Agustus 1991 ini sembari tersenyum. Bila teman-temannya curhat, maka pikiran Ericka sudah melayang dan dengan mudahnya inspirasi menulis pun didapat. “Biasanya sih diperluas lagi ceritanya,” ujar Ericka. “Pokoknya inspirasi datang sendiri secara spontan,” lanjutnya menjelaskan.

Pengalaman pribadinya pun kerap menjadi bahan untuk tulisan puisi dan cerpennya. “Pokoknya tentang keluarga dan kasih sayang deh,” ungkap Ericka tersipu malu. “Apa lagi kalau sedang sakit hati, biasanya lancar membuat puisi atau cerpen,” lanjutnya singkat. Sekitar tahun 2007, puisi-puisi Ericka ternyata berhasil dimuat di harian umum Suara Karya. Sejak saat itu pula, kumpulan puisinya tersebut banyak dibaca oleh para pembaca dan mengundang pujian. Terlebih lagi, setelah Ericka menampilkan kumpulan puisinya tersebut di blog internet. Banyak pengguna internet penyuka puisi selalu berkunjung ke blog-nya hanya untuk meluangkan waktu membaca puisi dan cerpen karya Ericka.

Ayah Pemberi Motivasi. Tak hanya itu saja, berkat dorongan dan bantuan sang ayah pula, Ericka mampu menyelenggarakan pameran lukisan tunggal atas nama dirinya sendiri pada awal tahun 2008 lalu. “Ngapain sih kamu bikin karya tapi nggak bisa dinikmati orang lain,” ujar sang ayah kala itu yang kemudian menjadi dorongan bagi Ericka. Dari sekitar empat puluhan lukisan yang dipamerkannya, Ericka mengaku bahwa setengah dari jumlah lukisannya tersebut laku terjual. Dengan kisaran harga dari Rp 4 juta hingga Rp 10 juta, Ericka berhasil meraup untung. Kendati begitu, materi bukanlah tujuan yang hendak dicapainya. Rasa bangga dan penghargaan terhadap karyanya membuat ia merasa bahagia.

Kesuksesan pada pameran perdananya itu kembali berlanjut pada pertengahan tahun 2008, saat Ericka menyelenggarakan pameran lukisan dan fotografi hasil karyanya. “Waktu itu tidak dijual, tapi sekadar dipamerkan saja,” aku gadis berkacamata ini. Banyaknya perhatian terhadap kemampuan Ericka, membuat sang ayah termotivasi membantu anak bungsunya itu agar membukukan kumpulan puisi, cerpen, foto, dan lukisannya. Sang ayah pula yang kemudian membantu mencarikan penerbit yang ingin menerbitkan buku anak bungsunya tersebut.

Berkat usaha dan kerja keras Ericka bersama sang ayah, akhirnya sebuah penerbit bersedia untuk menerbitkan buku yang mengompilasikan puisi, cerpen, foto, dan lukisan karya Ericka. Perasaan senang bercampur haru dirasakan Ericka. Puisi-puisi dan cerpen yang sudah dibuatnya sejak kanak-kanak lantas dikumpulkan dan dipilah untuk dimuat dalam buku. Semua urusan tentang buku, diserahkan kepada sang ayah. Ericka sendiri kebanyakan disibukkan dengan persiapan menghadapi Ujian Nasional (UN) beberapa waktu lalu.

Buku dan Pameran Tunggal. Setelah memastikan dirinya lulus UN, barulah pada bulan Juni kemarin, Ericka meluncurkan buku perdananya. Buku yang terbilang unik, karena tak hanya berisikan tentang puisi dan cerpen, melainkan campuran dengan foto-foto dan lukisan karya Ericka sendiri. Dengan mengambil judul Kutunggu di Pintu Langit, ia berharap dapat memotivasi setiap orang yang membacanya agar mampu meraih prestasi seperti dirinya dengan dibarengi dukungan dari keluarga dan kasih sayang orang-orang terdekat.

Ericka mengaku bahwa bakatnya menulis ternyata diturunkan dari sang ayah yang juga memiliki hobi sama. Sang kakak, Reza Akbar (23) juga berbakat di bidang seni, khususnya musik. Kepiawaian Ericka menggambar dan melukis, membuat dirinya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di jurusan arsitektur, Universitas Parahyangan, Bandung. Meski memiliki hobi menulis, melukis, dan fotografi, Ericka bukanlah tipe anak gadis yang tertutup. Ia senang berkumpul bersama teman-temannya seperti anak-anak muda lainnya. Prestasi belajarnya di sekolah juga terbilang biasa. Selama ini, Ericka mampu membagi waktu antara sekolah dan hobinya. Di luar sekolah, ia juga kerap berkegiatan bersama teman-temannya di sebuah perkumpulan pencinta fotografi di Bandung.

Menerbitkan sebuah buku, bukanlah menjadi perjalanan akhir dari bakat Ericka. “Saya berharap ada keberlanjutan nantinya,” harap Ericka. Ia berharap nantinya akan ada pameran tunggal lukisan dan hasil fotonya. “Kalau soal menerbitkan buku lagi, ya lihat nanti deh,” ujar Ericka tersenyum. Fajar

Side Bar 1…

Beli Kamera Digital dari Hasil Pameran Lukisan

Selama menyenangi dunia fotografi, Ericka hanya menggunakan kamera pinjaman dari salah seorang sepupunya. Sama seperti lukisannya, Ericka lebih banyak memilih pemandangan alam sebagai objek fotonya. Salah satu pengalaman menarik tentang ketekunannya di bidang fotografi adalah ketika munculnya keinginan Ericka untuk mengabadikan peristiwa terbitnya matahari di danau Cileunca, Bandung yang harus dicapai dengan berkendara mobil selama 1,5 jam dari rumahnya di kawasan Lembang, Bandung. Sekitar pukul 3.30 dini hari, Ericka sudah bersiap-siap berangkat menuju danau Cileunca.

Dengan hanya ditemani oleh adik sepupu dan keponakan kecil beserta supir, Ericka menikmati perjalanan yang cukup jauh pada dini hari tersebut. Dengan berbekal kamera foto digital layaknya seorang fotografer profesional, Ericka sangat antusias untuk mengabadikan fenomena alam yang mungkin untuk sebagian orang dianggap sebagai peristiwa biasa setiap pagi menjelang. Sesampainya di pinggir danau, Ericka dengan sabarnya menunggu detik demi detik peristiwa terbitnya matahari. Sejurus kemudian, saat matahari mulai mengintip di kejauhan, Ericka langsung dengan sigap memegang kamera dan mulai mengabadikan matahari yang muai menampakkan wajahnya dari kejauhan.

Berkat keinginannya yang kuat, Ericka berhasil mendapatkan angle yang tepat. Hasil foto tersebut diberi nama “Hening Cileunca” dan ikut dipamerkan dalam pameran foto tunggal pada pertengahan 2008 lalu. Siapa sangka, perangkat kamera beserta lensa yang digunakan untuk menangkap objek foto menarik merupakan barang pinjaman dari salah seorang sepupunya. Kendati demikian, kondisi tersebut tak mengikis semangatnya untuk mendalami dunia fotografi yang dianggapnya sangat menarik.

Kalau fotografi sih memang nggak terlalu difasilitasi oleh orangtua,” ungkap Ericka. Bahkan, sebelum menggunakan kamera pinjaman tersebut, ia masih menggunakan kamera digital pocket biasa. Beruntung, setelah mengadakan pameran lukisan tunggal pada awal tahun 2008 lalu, Ericka memperoleh pundi-pundi uang hasil penjualan lukisan yang laku terjual.

Ya lumayan deh penjualannya,” ujar Ericka tanpa menyebutkan angka keuntungannya. Dari sebagian uang hasil penjualan itulah, Ericka memutuskan untuk membeli kamera berikut peralatan lensanya. “Senang lah karena benar-benar uang hasil sendiri,” tutur Ericka. Fajar

Side Bar 2…

Mayang, Teman Ericka

Cerpennya bisa bikin saya menangis”

Awalnya, ia merasa terkejut dengan bakat Ericka yang mampu meluncurkan buku karyanya sendiri. Terlebih lagi, buku tersebut berisikan tiga bidang yang digeluti oleh Ericka. Pasalnya, selama ia berteman dengan Ericka sejak kelas 2 SMA, ia sangat mengetahui karakter sifat Ericka yang periang dan kerap berteriak kegirangan layaknya anak-anak remaja. “Saya juga kaget ternyata Ericka bisa menulis puisi atau cerpen dengan serius,” ungkapnya.

Saya kenal Ericka yang biasanya norak dan ramai, ternyata setelah membuat sebuah karya, bisa bikin orang menangis,” tuturnya. Semasa sekolah, ia biasanya diperlihatkan hasil cerpen atau puisi yang telah dibuat Ericka. “Susah kalau baca hasil karyanya, soalnya tulisannya susah dibaca,” candanya. Menurutnya, Ericka merupakan sosok anak yang ramai dan kerap bercanda dengan teman-temannya. “Ramai dan suka teriak-teriak,” ujarnya singkat.

Sepengetahuannya, beberapa teman-temannya memang kerap curhat kepada Ericka. Setelah curhat, biasanya Ericka memperlihatkan cerpen yang sebagian besar alur ceritanya hampir sama dengan apa yang dicurhatkan oleh temannya tersebut. “Tapi kadang ada yang memang sesuai dengan ceritanya (Ericka, red) sendiri,” tuturnya. Diakuinya, cerpen-cerpen hasil Ericka kerap membuat dirinya menangis dan terharu setelah membacanya. Salah satunya adalah cerpen yang berjudul Dia Sudah Pergi. Berbagai karya berupa puisi dan cerpen itulah yang kini membuat ia merasa bangga menjadi teman Ericka. “Saya bangga dan senang ternyata dia bisa sukses menerbitkan buku,” ujar Mayang mengakhiri perbincangan. Fajar

Biodata

Nama lengkap : Ericka Citra Sejati

Tempat/ tanggal lahir : Bandung, 22 Agustus 1991

Nama orangtua : Eddy Kurnia dan Atje Waliah

Nama kakak : Reza Akbar

Pendidikan

SD Taruna Bakti, Bandung (1997-2003)

SMP Taruna Bakti, Bandung (2003-2006)

SMAN 5, Bandung (2006-2009)

Pengalaman Berkarya

Menulis puisi yang sudah diterbitkan di harian umum Suara Karya (2007-sekarang)

Pameran lukisan tunggal di Hotel Preanger, Bandung (29 Februari-8 Maret 2008)

Pameran bersama “Should I Hate Architecture?” Fakultas Arsitektur, Universitas Parahyangan, Bandung (21 April-23 April 2008)

Pameran lukisan dan fotografi tunggal di Chillout, Bandung (14 Juni-14 Juli 2008)

Pembicara seminar “Satu hari tentang fotografi, Improve Your Skill Photography” (19 Maret 2009)

Sunday, June 27, 2010

Poppy Dharsono, Desainer

Menjadi Ikon Fesyen Indonesia, Setelah Bangkit Dari Kenakalan Remajanya

Menjadi seorang ikon desainer terkemuka di Indonesia mungkin tak pernah terpikirkan oleh Poppy Dharsono. Sedari kecil, ia sudah bergaul dengan dunia jahit menjahit dari sang ibu. Kendati sempat bercita-cita menjadi dokter sejak kanak-kanak, namanya justru menjadi besar karena dunia fesyen yang digelutinya sejak 32 tahun lalu. Lalu bagaimana langkah mantan model ini merancang desain hidupnya hingga saat ini?

Siapa tak kenal dengan sosok Poppy Dharsono, seorang desainer yang telah malang melintang selama 32 tahun di dunia fesyen tanah air ini. Namanya sudah menjadi sebuah jaminan bagi kualitas desain busana terbaik. Wajah Poppy juga masih nampak anggun di usianya yang akan menginjak 58 tahun.

Wanita yang terlahir dengan nama lengkap Poppy Hendarni Dharsono ini merupakan anak dari pasangan (Alm.) Leander Dharsono dan Siti Sumiyartini. Sang ayah berprofesi sebagai salah satu anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kerap berpindah tugas. Sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa yang kerap menerima jasa menjahit dari para tetangganya. “Saya juga memang suka fesyen sejak kanak-kanak,” aku Poppy membuka pembicaraan. Terlebih lagi, ia kerap melihat ibunya yang menjahit pakaian untuk anak-anaknya. “Sehingga buat saya sudah terbiasa melihat ibu membuat pakaian dan dijual ke Pasar Baru,” tutur Poppy.

Poppy sendiri dibesarkan dalam keluarga multibudaya. Pasalnya, sang ayah berasal dari Solo, Jawa Tengah. Dan ibunya merupakan mojang Garut, Jawa Barat. Keduanya menyatu dan memiliki delapan anak, termasuk Poppy sebagai anak tertua. Memiliki ayah berlatarbelakang seorang anggota TNI berdampak dalam kehidupan keluarganya. Poppy mengaku bahwa figur ayah merupakan figur yang keras dan penuh dengan aturan. Berbeda halnya dengan sosok ibunya yang justru mengedepankan kelembutan.

Disiplin ala Militer. Kedisiplinan menjadi suatu hal yang kerap ditonjolkan dalam berbagai kegiatan di rumah. Bahkan, bila salah satu anggota keluarga melanggar aturan yang telah ditetapkan, maka hukuman sudah pasti akan menyambutnya. “Kami semua dididik secara militer,” ujar Poppy singkat. “Kami semua pasti disetrap,” tambahnya mengenang masa kanak-kanak. Sebaliknya, bila Poppy mampu menunjukkan prestasi yang baik di sekolah, maka ayahnya akan mengganjarnya dengan berbagai hadiah. Sesekali, setelah ayahnya kembali dari berlayar ke luar negeri, pasti ia akan membawakan banyak barang seperti, tas, sepatu, dan pakaian buatan luar negeri yang sulit didapatkan di Jakarta.

Sebagai anak tertua, wanita kelahiran 8 Juli 1951 ini diberikan tanggungjawab untuk membimbing ketujuh adik-adiknya. Tak heran, sifat Poppy sudah mulai tertanam sedari kecil. “Ayah saya selalu mendidik saya untuk menjadi pemimpin,” ujar Poppy. Segala macamnya harus sudah tertata dan terencana dengan baik. “Saya selalu ingin menjadi yang pertama dan berbeda dengan orang lain,” kata Poppy. “Keinginan untuk mempelajari sesuatu yang baru di dalam diri saya itu sangat besar,” imbuhnya.

Setelah dilahirkan di Garut, Jawa Barat, pada usia enam tahun, Poppy bersama keluarga pindah ke Jakarta seiring dengan kepindahan tugas sang ayah. Poppy mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di ibukota. Setelah lulus SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD, red) III, Kebon Manggis, Poppy melanjutkan ke SMPN 25, yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Dengan dikelilingi kondisi negara yang tengah dilanda berbagai kejadian seperti G30S dan pergantian tampuk kepresidenan, Poppy melanjutkan bangku sekolahnya ke SMAN 7, Jakarta Pusat. “Sedari kecil, saya bercita-cita menjadi dokter anak,” kenang Poppy tersenyum lebar.

Hamil di Luar Nikah. Di masa SMA inilah, Poppy mulai menikmati masa indahnya sebagai seorang remaja, berbagai kegiatan, tak terkecuali datang ke pesta kerap dilakoninya sebagai remaja hippies ibukota. Sehingga, pergaulannya semakin luas, terutama dengan anak-anak elit Jakarta. Tak hanya itu, sosok Poppy yang cantik juga seringkali difoto untuk dimuat di beberapa media. Sejak saat itu, nama Poppy yang berganti nama menjadi Poppy Susanti Dharsono ini kemudian menjadi dikenal masyarakat sebagai seorang foto model remaja. Pada masa SMA ini pula, Poppy berkenalan dengan seorang pria bernama Firman Ichsan yang usianya lebih muda dua tahun, kenakalan remaja membuat keduanya melakukan hubungan intim yang tidak seharusnya mereka lakukan.

Akibatnya, Poppy pun hamil di saat usianya masih 18 tahun. “Saat itu merupakan saat-saat tersulit dalam hidup saya,” ungkap wanita yang masih memiliki keturunan ningrat Surakarta ini. Di dalam keluarga, Poppy sudah dicap telah menorehkan aib. Sang ayah yang dikenal dengan kedisiplinan tinggi, langsung murka setelah mengetahui kehamilan Poppy. Kejadian itu pula, membuat penyakit liver yang diidap ayahnya semakin parah dan akhirnya meninggal pada tahun 1969. Meski sedang mengandung, Poppy masih melanjutkan pendidikan SMA-nya. Beruntung, ia berhasil menyelesaikan bangku SMA dan kemudian menikah dengan Firman Ichsan.

Hari-harinya sempat berada di bawah titik nadir. Bayangan aib yang telah ia lakukan seakan-akan telah menjadi noda hitam dalam perjalanan hidupnya. Nama baik keluarga besarnya pun telah tercoreng akibat perbuatannya tersebut. Rasa trauma sempat hadir dalam pikirannya. Namun, dukungan ibu dan keluarga mertuanya membuat ia bangkit kembali. Setelah melahirkan anak yang diberi nama Mohammad Fauzi Ichsan, Poppy lebih banyak tinggal bersama dengan keluarga suami.

Seiring berjalannya waktu, Poppy mulai membangkitkan rasa kepercayaan dirinya. Setelah lulus SMA, Poppy memutuskan untuk melanjutkan ke Akademi Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, sekarang IKJ, red). Semasa kuliah ini pula, Poppy mulai membenahi kehidupannya dengan mencari penghasilan sendiri. Salah satunya adalah dengan kembali menekuni dunia model yang sempat ia geluti ketika remaja. Karirnya mulai merangkak naik seiring dengan semakin seringnya ia berpose di majalah-majalah dan acara fesyen yang diadakan oleh beberapa perancang terkenal tanah air.

Terjun di Dunia Fesyen. Setelah menempuh pendidikan di Sinematografi LPKJ, Poppy memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Namun, kala itu ia masih bimbang negara mana yang akan dituju. Atas saran dari salah seorang dosennya, Poppy lantas berangkat ke Paris dengan niat awal mendalami pendidikan sinematografinya tersebut. Akan tetapi, di kota mode itu, ia bertemu dengan Ratna Cartier-Bresson yang justru menyarankan agar Poppy mengambil dunia fesyen. “Sebetulnya Poppy, fashion is your world,” ujar Poppy meniru omongan teman dekat mertuanya itu.

Alhasil, Poppy pun menempuh pendidikan Ecole Superior De La Tehnick De La Mode di kota Paris. Berkat pergaulannya yang luas dan bakatnya di dunia fesyen, kemampuan Poppy semakin terasah dengan baik. Hubungannya dengan Firman Ichsan, sang suami masih terjalin dengan baik. Poppy kerap bertemu dengan Firman yang saat itu sedang mengenyam pendidikan Antropologi di negeri Belanda. Setelah menamatkan pendidikan fesyen-nya di Paris, pada tahun 1977, Poppy kembali ke tanah air dan mulai merintis karirnya sebagai desainer di dalam negeri.

Poppy mendirikan perusahaan bernama PT. Rana Sankara dan memulai kegiatannya merancang dan menjahit pakaiannya sendiri dengan bermodalkan lima mesin jahit. “Waktu itu, pemerintah sangat mendukung adanya perusahaan garmen yang berdiri,” kenang Poppy. “Karena kita menyediakan lapangan kerja yang banyak,” tambahnya dengan bangga. Rancangan pakaian yang diproduksinya lantas mulai diterima masyarakat. Desainnya yang sederhana dan selalu bercirikan budaya Indonesia telah melanglang buana ke luar negeri. Perusahaan yang didirikannya tersebut berkembang pesat dan mampu menghasilkan puluhan juta rupiah setiap bulan. Perkembangan itu pula seiring dengan semakin seringnya Poppy mengadakan acara fesyen show di berbagai kesempatan baik dalam maupun luar negeri.

Bercerai Untuk Maju. Poppy telah menemukan dunianya. Nama Poppy Dharsono lantas menjadi besar dan mulai diperhitungkan sebagai perancang busana kelas atas. Bakatnya mendesain pakaian seolah-olah telah mengalir dalam darahnya yang ditularkan dari sang ibu. Namanya juga disebut-sebut sebagai ikon fesyen Indonesia di luar negeri. Kendati demikian, kesuksesan dalam karir dan bisnisnya tak menular ke dalam kehidupan pribadinya. Pernikahan yang dijalani bersama Firman Ichsan sejak tahun 1969 hanya mampu bertahan selama 10 tahun.

Meski, sebagian orang menyebut perceraian sebagai sebuah kegagalan, Poppy justru berkata lain. “Saya tak pernah menganggap perceraian saya merupakan kegagalan,” ujarnya tegas. “Saya memutuskan untuk bercerai agar keduanya lebih maju,” kilah Poppy. Pernikahannya tersebut telah menghadirkan dua buah hati yang selalu mengisi hari-harinya sesekali, yakni Mohammad Fauzi Ichsan, yang kini menjadi Senior Vice President di salah satu bank internasional, dan Gadis Kusuma Whardani.

Selepas bercerai, justru karir dan bisnis konveksi yang dirintisnya semakin merangkak naik. Begitu pula yang dialami Firman Ichsan yang menjadi seorang fotografer mumpuni. Kini, setelah 34 tahun Poppy bergelut dengan dunia fesyen, Poppy masih merasa belum puas dengan apa yang dicapainya. Terlebih lagi, perbuatannya bagi masyarakat dan budaya Indonesia. Salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan menonjolkan budaya Indonesia di berbagai rancangan pakaiannya, termasuk batik dan songket yang merupakan budaya asli Indonesia. Selain itu, Poppy juga membangun penangkaran buaya agar kulit dari hewan tersebut dapat digunakan untuk pembuatan tas.

Tak puas dengan rancangan pakaian yang dibuatnya, Poppy juga merambah ke dunia lain, yaitu kosmetik dan parfum seperti halnya para perancang kelas dunia lainnya. “Jadi saya memang tertarik untuk memproduksi niche product yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat banyak,” ungkap wanita yang sempat bermain film berjudul Matinya Seorang Bidadari dan Yang Muda Yang Bercinta ini.

Berbagai acara fesyen show baik dalam maupun luar negeri sudah dilakoni Poppy. Namanya pun sudah disejajarkan dengan para perancang busana kelas dunia, seperti Kenzo, Ralph Lauren, Calvin Klein, Giorgio Armani, dan beberapa perancang besar lainnya. “Saya belum merasa sukses, tapi saya merasa sudah berada di track yang benar melalui proses kehidupan saya,” ujar salah satu pengurus KADIN ini. Baginya, hidup yang tengah dijalaninya merupakan proses belajar untuk menjadi seorang desainer sekaligus sebagai pengusaha di dunia fesyen.

Sebagai seorang ibu pun, Poppy merasa sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik, karena anaknya telah membangun keluarganya sendiri. “Sekarang, saya ingin menentukan dan menjalani hidup saya sendiri ke depan, khususnya untuk masyarakat luas,” harap Poppy mengakhiri perbincangan. Fajar

Side Bar 1…

Mencari Makna Kehidupan Saat Berada di Himalaya

Poppy Dharsono semasa muda dikenal sebagai wanita tomboy yang kerap melakukan berbagai kegiatan laki-laki. Mulai dari kebut-kebutan di jalan raya dengan mobilnya, hingga menekuni pencak silat di perguruan Bangau Putih, Bogor, Jawa Barat. Sifatnya yang keras dan tak mau kalah dengan hegemoni para pria, juga mendorongnya untuk mendaki pegunungan tertinggi di dunia, Himalaya pada tahun 1973. Seorang diri, ia nekat pergi ke Nepal dan menuju ke gunung Himalaya. Cuaca dingin dengan kadar oksigen yang cukup minim, tak menghalanginya untuk menjejakkan kaki di atas gunung Himalaya.

Umur saya waktu itu baru 21 tahun dan mendaki Himalaya sendiri,” aku Poppy dengan bangga. Ternyata, saat akan melakukan pendakian, Poppy berkenalan dengan beberapa kaum bangsawan Italia yang juga akan mendaki. Kumpulan serigala yang menggonggong kencang hampir saja membuat Poppy menghentikan pendakiannya. Beruntung baginya, karena ia sempat ditolong oleh salah satu keluarga asli Nepal. Selain ke Himalaya, Poppy juga mengembara ke India, Myanmar, dan Thailand. Baginya, perjalanan tersebut membawa pencerahan yang membuatnya berpikir. Selain itu, ia juga berusaha mengerti apa yang harus dilakukan anak bangsa seperti dirinya untuk memajukan bangsa dan negara. Dari situlah, ia mulai memegang prinsip hidupnya hingga saat ini. “Prinsip hidup saya adalah selalu menjaga keseimbangan fisik dan spiritual,” ujar Poppy. Fajar

Side Bar 2…

14 Tahun ‘Bersama’ Moerdiono

Sudah tak asing lagi terdengar kabar mengenai kedekatan Poppy Dharsono dengan mantan Menteri Sekretaris Negara era Orde Baru, Moerdiono. Banyak pula yang mengatakan bahwa Poppy telah menikah siri dengan Moerdiono. Kendati demikian, Poppy justru mengelak adanya hubungan suami-istri dengan pria yang disebut-sebut sebagai mantan suami penyanyi dangdut, Machicha Mochtar itu. Baginya, hubungan khusus yang dijalin bersama dengan Moerdiono hanya sebatas persahabatan yang memang sudah berlangsung selama hampir 14 tahun.

Hubungan Poppy dengan Moerdiono bermula ketika keduanya bertemu pada sebuah pertandingan tenis di Senayan sekitar 14 tahun lalu. “Dia (Moerdiono, red) itu sahabat saya,” ujar Poppy singkat. “Itu kan persepsi orang yang melihat perempuan dan laki-laki terlalu dekat, dianggap sebagai suami-istri,” kilahnya meski mengaku bahwa satu-satunya foto lelaki di rumahnya di Pondok Indah adalah foto Moerdiono.

Selepas bercerai dengan Firman Ichsan, Poppy memang sempat dikabarkan dekat dengan beberapa orang. Namun, semuanya hanya berakhir seperti angin lalu. Poppy pun mengaku merasa betah dengan kesendiriannya tersebut. “Saya memang dari kecil tidak pernah berpikir untuk menjadi istri,” ketus Poppy. Di matanya, penilaian terhadap pernikahan siri tergantung dari para pelakunya. Tinggal bagaimana niat dari para pelakunya yang melakukan nikah siri. Menurutnya, hal itu adalah hak masing-masing warga. “Saya memang lebih cocok untuk sendiri, karena saya mampu berbuat lebih banyak untuk karir dan masyarakat tanpa hambatan dari keluarga,” tutur Poppy. Fajar

Biodata :

Nama Lengkap : Poppy Susanti Dharsono

Tempat/Tanggal lahir : Garut, Jawa Barat, 8 Juli 1951

Nama Anak : Mohammad Fauzi Ichsan dan Gadis Kusuma

Wardani


Pendidikan

SR III Kebon Manggis (1963)

SMP 25, Jakarta (1966)

SMAN 7, Jakarta (1969)

Sinematografi LPKJ (1973)

Ecole Superior De La Tehnick De La Mode, Paris (1977)


Karir

Presiden Komisaris PT. Rana Sankara (1986-sekarang)

Komisaris PT. Panin Sekuritas (1980-sekarang)

Presiden Direktur PT. Poppy Dharsono Cosmetic (1989-sekarang)

Presiden Direktur PT. Pesona Sinjang Kencana (1989-sekarang)

Komisaris PT. Spinindo Mitrajaya (1989-sekarang)

Presiden Komisaris PT. Indotex La Salle Collage International (1999-sekarang)

Presiden Direktur PT. Prima Moda Linea (1990-sekarang)

Presiden Komisaris PT. Hasta Bumi Mandiri (2003-sekarang)

Komisaris Yayasan Nusantara Stroke Center (2002-sekarang)

Ketua Yayasan Museum Anak Kolong Tangga (2006-sekarang)