Wednesday, June 9, 2010

Dina Lazuardi, Asisten Kontributor Financial Times

Ketegaran dan Keyakinan Membuatnya Sembuh dari Penyakit Sejenis Tumor

Pernah terserang sebuah penyakit yang belum sempat dikenali, akhirnya Dina Lazuardi mampu sembuh total dalam waktu yang cukup singkat. Berkat ketegarannya, ia juga mampu memulihkan kesehatan tubuhnya yang sempat susut 10 kg. Sejak saat itulah ia dapat memperoleh banyak hikmah sebagai bekal dalam menjalani putaran waktu berikutnya. Lalu bagaimana kisah ibu satu anak ini selengkapnya?

Penampilannya nampak sederhana. Senyum mengembang di wajahnya saat Realita menyambangi kantornya di salah satu gedung di bilangan Sudirman, Jakarta Pusat. Tak akan pernah ada yang mengira perawakannya yang ramah dan selalu melempar senyum ke setiap orang, sempat berada di bawah titik nadir tatkala sebuah penyakit menggerogoti tubuh wanita yang biasa disapa Ika ini. Namun ia berhasil bangkit dari keterpurukan itu. Bahkan Ika mampu merangkai kembali pendidikannya yang sempat terbengkalai karena penyakit yang dideritanya tersebut.

Meski wajah Ika memperlihatkan kelelahan karena mencurahkan waktunya untuk pekerjaan dan keluarga, Ika masih saja dapat berbagi kisah dengan Realita tentang kehidupannya yang pernah dihampiri penyakit yang bisa saja merenggut nyawanya seketika. Sembari duduk santai di ruang kerjanya, Ika pun lantas mulai bercerita.

Terlahir dari pasangan Lazuardi Ilyas (64) dan Nani Mardiati (61) pada 11 September 1971, Ika menjalani masa kecilnya seperti anak-anak pada umumnya. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Sebagai anak pertama, Ika memang mendapatkan tanggung jawab yang cukup besar untuk membimbing adik-adiknya. Ika lahir di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Saat ia lahir, sang ayah masih berdinas di TNI Angkatan Udara (AU). Sedangkan ibundanya lebih banyak mencurahkan waktunya untuk merawat dan mendidik Ika dan adik-adiknya. “Saya lahir di Kalijati karena ayah saya dinas di sana,” kenang Ika.

Setelah 'numpang' lahir di Kalijati, Ika lantas pindah tempat tinggal ke Jakarta seiring dengan kepindahan dinas sang ayah. Ika menghabiskan masa pendidikannya di ibukota. Ia bersekolah di SD Bintaro 01, dan kemudian melanjutkan ke SMP 19, Mayestik. Ika lantas menempuh pendidikan di SMA 6, Mahakam, Jakarta Selatan. Kesukaannya di bidang sastra khususnya sastra Perancis, membuat Ika memutuskan untuk melanjutkan ke jurusan Sastra Perancis, Universitas Padjadjaran (Unpad). Ika pun pindah ke kota kembang, Bandung untuk mengenyam pendidikan di kampus Unpad.

Sering Sakit di Kepalanya. Ketika di Bandung itulah sekitar tahun 1996, Ika tersadar ada sebuah penyakit yang bersarang di tubuhnya. Kejadian tersebut bermula ketika ia tengah berada di kamar kostnya. Selama menjalani perkuliahan di kota Bandung, Ika memang kerap merasakan sakit di kepalanya yang teramat sangat. “Tapi waktu itu saya sering minum obat sakit kepala, jadi hilang sakitnya,” aku Ika. Tanpa ada firasat buruk, Ika hanya menganggap rasa sakit kepala itu sebagai rasa sakit biasa. “Ya karena mungkin cuma masuk angin saja,” pikirnya kala itu. Selain sakit kepala, tak ada rasa sakit lainnya yang dirasakan Ika. Tak heran, ia tak pernah ambil pusing dengan rasa sakit yang bersarang di kepalanya.

Namun, tak disangka rasa sakit yang selalu mendera kepalanya menjadi pertanda sebuah penyakit yang juga bersarang di kepalanya. Hingga suatu hari, saat Ika masih berada di kamar kostnya yang tidak begitu besar, ia merasakan sakit kepala yang lebih parah. “Pandangan tuh sempoyongan,” kenang Ika. Kendati demikian, Ika masih mampu berjalan kaki dengan sakit kepala yang dideritanya. “Saya masih bisa keluar rumah kok,” ungkap Ika. Namun, selang beberapa lama kemudian saat ia terbangun dari tidurnya pada pagi hari, Ika merasakan sakit di kepalanya menjadi teramat sakit. Bahkan ia merasa bagian tubuh sebelah kanannya tidak dapat digerakkan. “Saya lumpuh sebelah,” ujar Ika singkat. Untuk bangun dari tempat tidurnya dan mengambil air minum, ia harus merangkak karena tak kuat berjalan kaki.

Rumah sakit pun menjadi tujuan Ika untuk berobat. Kedua orang tua Ika langsung berangkat ke Bandung dari Jakarta untuk melihat kondisi anak pertamanya tersebut. Kedua orang tua Ika pun memutuskan untuk membawa Ika kembali ke Jakarta agar dapat sembuh dari penyakit yang belum diketahui itu. Di Jakarta, Ika langsung dibawa ke salah satu rumah sakit di daerah Jakarta Barat. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, Ika divonis memiliki sebuah massa yang bersarang di bawah batok kepalanya. “Letaknya itu berada di batang syaraf,” ujar Ika. Sang dokter juga mengatakan bahwa penyebab sakit kepala yang sering dirasakan Ika adalah massa tersebut. “Tapi pihak rumah sakit belum dapat memastikan jenis massa tersebut apa berupa daging atau cairan,” tutur Ika. “Mungkin sejenis tumor atau apalah tapi belum diketahui berupa daging atau cairan,” lanjutnya. Massa yang berukuran bola pingpong itu pulalah yang membuat tubuh Ika mengalami kelumpuhan pada bagian kanannya. Akibatnya, Ika tak mampu melakukan banyak kegiatan karena kelumpuhan yang dialaminya tersebut. “Tubuh saya bagian kanan tidak dapat digerakkan,” aku Ika. Tak hanya itu saja, tiapkali makan atau minum, Ika selalu memuntahkannya. Akibatnya, berat badan Ika langsung menyusut drastis.

Membangun Ketegaran. Tak puas dengan hanya mengandalkan hasil pemeriksaan di satu rumah sakit, maka ia pun berobat kembali di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Selama sekitar satu bulan Ika mendapatkan perawatan di rumah sakit di daerah Jakarta Selatan. Sembari menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan sang dokter, Ika pun lebih banyak berserah diri dan berusaha membangun ketegaran dalam dirinya. “Saya berusaha tegar menghadapi penyakit saya,” ungkap Ika. Rasa takut memang sempat hinggap dalam dirinya. Akan tetapi, ia selalu berusaha untuk menghilangkan ketakutan itu agar mampu bangkit dari penyakit yang bisa saja merenggut nyawanya. “Saya harus percaya bisa sembuh dari penyakit saya,” ujar Ika. Padahal, kala itu sang dokter menyarankan kepada kedua orang tua Ika agar membawa putri sulungnya tersebut ke luar negeri untuk menjalani operasi. Pasalnya, bila massa itu dibiarkan tumbuh di kepala, kemungkinan akan menimbulkan risiko yang lebih buruk. “Ada tiga negara yang disarankan dokter sebagai tempat operasi, yaitu Singapura, Amerika, dan Swiss,” ujar Ika. Selain diberikan opsi dioperasi, sang dokter juga memberikan pilihan lainnya yakni melalui penyinaran untuk menghilangkan massa tersebut.

Kendati sudah disarankan dokter agar Ika segera menjalani operasi agar massa yang bersarang di kepalanya dapat diangkat, Ika bersama kedua orang tuanya justru lebih memilih untuk berpikir dan mempertimbangkan saran itu. “Wah, kalau saya dioperasi, letak massa ini kan dekat dengan jaringan syaraf, bisa berisiko fatal,” ungkap Ika sembari tersenyum kecut mengingat masa-masa itu. Risiko menjalani operasi memang sangatlah besar. Pasalnya, massa yang belum diketahui jenisnya tersebut bersarang tak jauh dari jaringan syaraf. Bila operasi mengalami kegagalan, maka bisa saja Ika akan mengalami kelumpuhan total permanen. Risiko itulah yang kemudian membayangi pikiran Ika selama dirawat di rumah sakit. Untuk mengetahui proses penyembuhan seperti operasi tersebut, maka Ika diharuskan menjalani pemeriksaan di rumah sakit dengan menggunakan sebuah alat medis canggih. Mau tak mau, Ika pun harus menunggu di rumah sakit sembari menjalani perawatan medis.

Menunggu di rumah sakit ternyata membuat Ika merasa sangat bosan. Pasalnya, serba ketidakpastian mengiringi penyakit yang dideritanya. Hal tersebut mendorong Ika yang selalu didampingi kedua orang tuanya selama sakit, untuk keluar dari rumah sakit. Keputusan tersebut juga didorong karena alat yang seharusnya akan dipakai untuk mengidentifikasi massa di kepala Ika, mengalami kerusakan. “Daripada menunggu di rumah sakit, saya lebih baik dirawat di rumah saja sambil mencari pengobatan alternatif,” kenang Ika. Di rumah, ia memang tak berdiam diri saja menunggu kabar alat medis yang akan digunakannya sudah diperbaiki. Berkat bantuan kedua orang tuanya pula, Ika pun mencari pengobatan alternatif yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa saudara dan teman-temannya, akhirnya Ika pun mencari berbagai pengobatan alternatif yang tersebar di sekitar Jakarta.

Memperoleh Kesembuhan. Sayangnya, berbagai pengobatan alternatif yang didatangi Ika tak pernah menemui keberhasilan. “Saya sudah ke mana-mana, ke Bogor pun saya datangi,” ungkap wanita yang memiliki hobi menulis ini. Tak hanya itu saja, pengobatan yang bersifat agak mistis pun sempat dijalaninya. “Saya pernah menjalani operasi yang dibilang gaib,” ujar Ika sembari tertawa lebar. Kala itu, Ika sebenarnya tak percaya dengan proses penyembuhannya. Benar saja dugaan tersebut. Ia tak menemui kata sembuh dalam penyakit yang dideritanya. Beberapa pengobatan lainnya pun pernah ia jalani. Namun, tetap saja massa itu tak jua hilang dari batok kepalanya.

Kondisi penyakit yang tak kunjung sembuh memang membuat Ika sempat terpuruk. “Saya anggap sebagai cobaan,” ujar Ika. “Hidup ini memang cobaan,” lanjutnya singkat. Tapi, di balik keterpurukannya, Ika masih berusaha untuk selalu tegar dan berserah diri kepada Allah dalam menghadapi penyakitnya yang tak jua sembuh. Dengan begitu, ia berharap Sang Pencipta mampu mengabulkan doa Ika yang ingin sembuh dari penyakit misterius yang dideritanya. Akibat dari penyakit tersebut, Ika memang memutuskan untuk mengambil cuti dari kuliahnya selama setahun. Alhasil, skripsi yang sebenarnya akan diselesaikan, tidak mampu selesai tepat waktu.

Titik terang kemudian mulai terlihat setelah salah satu teman sang ayah menyarankan agar menjalani pengobatan alternatif ala Cina di daerah Muara Karang, Jakarta Utara. Pasalnya, teman sang ayah tersebut pernah mengalami cacat akibat kecelakaan tapi dapat sembuh dalam waktu yang cukup singkat setelah berobat ke pengobatan alternatif ala Cina. Kali ini, Ika berusaha percaya bahwa ia mampu sembuh dengan datang ke Sinshe yang bernama Lim Sie Ling itu. Akhirnya ia tersadar bahwa dengan percaya dapat sembuh, maka ia akan memperoleh kesembuhan. Maka tak heran, Ika membangun rasa kepercayaan dan keyakinan itu dalam dirinya. “Kalau kita menyerah mencari kesembuhan, maka tak akan ada kesembuhan,” tutur Ika sembari berfilosofi. Dengan bekal itulah, Ika mendatangi pengobatan alternatif asal Cina tersebut. Sang Sinshe lantas memeriksa kondisi tubuh Ika. Setelah itu, ia lantas memberikan ramuan obat-obatan tradisional Cina untuk dikonsumsi oleh Ika.

Di rumah, Ika langsung meminum ramuan obat yang diberikan Sinshe. “Rasanya pahit sekali,” ujar Ika sembari meringis seakan-akan tengah meminumnya. Meskipun pahit, Ika berusaha untuk selalu meminumnya setiap hari sebanyak dua kali. Sungguh merupakan sebuah keajaiban, selang beberapa hari setelah meminum ramuan secara rutin untuk kali pertama, Ika tak lagi muntah-muntah tiapkali makan. Berat badannya yang sempat susut 10 kilogram berangsur-angsur mengalami kenaikan seperti sebelum sakit. Bahkan sebulan kemudian, Ika sudah mampu berdiri sendiri. Bila ketika sakit, ia tak mampu berdiri dan menopang berat badannya karena kelumpuhan yang dialami, maka hanya setelah sebulan meminum ramuan obat Cina itu, ia dapat berdiri sendiri. Bulan-bulan berikutnya ia mengalami perkembangan positif lainnya. Bagian tubuh sebelah kanannya, tak lagi lumpuh.

Tak cuma meminum ramuan, Ika juga menjalani proses akupunktur untuk membersihkan penyakit dalam tubuhnya dan menghilangkan kelumpuhan yang dideritanya. Benar saja, setelah beberapa bulan ia divonis memiliki sebuah massa di kepalanya, Ika justru telah menghilangkan keberadaan massa tersebut. “Saya kembali lagi ke rumah sakit untuk scan pada bulan Februari 1997, dan massa-nya itu sudah tidak ada,” aku Ika sambil bersyukur. Ia sendiri merasa tak percaya bahwa massa-nya sudah hilang. Begitu pula dengan sang dokter yang menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.

Setelah setahun meminum ramuan dan rutin berobat ke Sinshe, akhirnya Ika berhasil sembuh. Setelah sembuh itulah, Ika kembali ke bangku kuliah dan mulai menyelesaikan skripsinya yang sempat tertunda. Pada tahun 1997, ia berhasil lulus dari Sastra Perancis Universitas Padjadjaran, Bandung. Setelah lulus, Ika menjadi seorang translattor yang kerap menerima jasa terjemahan dari para pelanggannya. Pada tahun 2000, ia kemudian resmi bekerja di kantor perwakilan media Financial Times di Jakarta. Pada tahun yang sama pula, ia menikah dengan Heyder Affan (41), seorang pria yang kini bekerja sebagai wartawan BBC. Dari pernikahannya tersebut, hadirlah buah hati yang diberi nama Aida (7).

Kini, hidupnya memang diabdikan untuk dua hal yang dianggapnya sangat penting. Dunia pekerjaan dan keluarga yang sangat dicintainya. Penyakit yang sempat dideritanya dianggap Ika sebagai salah satu bagian dalam hidupnya yang memberikan banyak pelajaran. Salah satunya adalah ketika ia melihat bahwa ada beberapa pihak yang tidak menjalani tugasnya dengan baik saat ia dirawat di rumah sakit. Tak hanya itu saja, ketegaran dan keyakinan untuk sembuh juga menjadi bekal terbaik dalam menghadapi segala macam rintangan dalam hidup. Fajar

Side Bar 1…

Sempat Mengajak Temannya Berobat di Tempat yang Sama, Tapi Justru Tak Sembuh

Ada pengalaman menarik yang sempat dialami Ika. Setelah sembuh dari penyakitnya, Ika memang sangatlah bersyukur dan menganggap bahwa pengobatan alternatif ala Cina yang didatanginya sangatlah manjur. Maka tak heran ketika salah satu temannya yang menderita sakit, langsung diajaknya untuk berobat ke tempat tersebut dengan harapan dapat sembuh seperti halnya Ika. “Kebanyakan teman yang saya ajak, tidak sukses sembuh seperti saya,” aku Ika. “Keyakinan si pasien yang paling penting,” ujar Ika.

Barulah ia menyadari bahwa kesembuhan ternyata bukanlah milik semua orang. Bila orang tersebut percaya dan meyakini bahwa ia mampu memperoleh kesembuhan dan dibarengi dengan doa, maka tentu kesembuhan pasti dapat diperolehnya. Meski dengan obat yang paling manjur sekalipun. Oleh karena itu, Ika mengaku bahwa ia sangatlah bersyukur dapat sembuh dari penyakit misterius yang dideritanya. Selain itu, Ika juga merasakan bahwa kasih sayang Allah selalu menyertainya tatkala ia tengah terpuruk dalam penyakitnya. Fajar

No comments: