Wednesday, March 10, 2010

Irma Hutabarat, Presenter dan Aktivis

Sudah Tujuh Tahun Bergulat dengan Warga Miskin Cilincing

Lama tak terlihat di layar kaca, Irma muncul dengan kesibukan terbarunya. Bukan tampil sebagai pembawa acara talkshow di televisi, melainkan sibuk mendatangi perkampungan nelayan Cilincing di Jakarta Utara. Di kampung itu, Irma tak segan-segan mengulurkan tangannya untuk meringankan beban hidup warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lalu, apa yang melatarbelakangi ibu empat anak ini giat melakukan aktivitas sosial? Seperti apa pula perjalanan hidup dan karir Irma hingga saat ini?

Kamis (30/8) siang, udara Jakarta terasa cukup panas. Sinar matahari menyinari ibukota dengan teriknya. Terlebih lagi di daerah pesisir pantai di bagian utara Jakarta. Di antara sebagian ibu-ibu yang tengah mengupas kerang hijau tepat di pinggir pantai, ada sosok wanita berkulit putih yang rela berpanas-panas hanya untuk memberikan sebagian barang-barang sumbangan bagi sebagian warga. Dengan keringat yang mengucur di wajahnya, wanita itu memang terlihat lelah. Meski begitu, ia juga nampak bahagia ketika memberikan lembaran uang untuk ibu-ibu yang sedang sibuk memainkan jari-jemarinya untuk mengupas cangkang kerang. Bau tak sedap yang muncul dari kerang-kerang hijau itu tak menyurutkan niatnya untuk membantu warga kurang mampu. Sesekali ia mengajak salah satu wanita pengupas kerang itu untuk berbincang-bincang. Raut wajahnya berubah setelah salah satu ibu pengupas kerang tersebut menjawab beberapa pertanyaannya. Raut kekecewaan sekaligus perasaan miris sangat tampak di wajahnya. Entah apa yang tengah dipikirkannya, namun tak jarang ia memberikan tanda kepada salah satu asistennya untuk segera memberikan beberapa lembaran uang bagi sebagian ibu pengupas kerang.

Setelah mengunjungi wilayah pinggir pantai yang digunakan sebagai tempat mengupas kerang, wanita yang masih terlihat cantik di masa tuanya ini langsung singgah di beberapa rumah warga. Ia juga nampak tidak merasa sungkan untuk masuk ke dalam salah satu rumah penduduk di kampung nelayan tersebut. Meski beberapa rumah yang dikunjunginya sudah tak layak huni lagi, ia tetap masuk ke dalam rumah karena keinginannya mengetahui kehidupan warga kampung nelayan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya tatkala memasuki salah satu rumah penduduk seakan-akan tak habis pikir dengan kondisi kehidupan warga di kampung itu. Sembari berpamitan dengan si empunya rumah, wanita itu menyerahkan sebuah amplop putih berisikan lembaran uang untuk meringankan beban hidup warga tersebut.

Wanita yang bernama lengkap Irma Hutabarat itu memang kerap mengunjungi perkampungan nelayan di daerah Cilincing, Jakarta Utara tersebut. Meski tak tentu, namun hampir setiap bulan ia menyempatkan diri untuk melihat perkembangan kondisi warga yang tinggal di kampung itu. “Beginilah kondisi warga di sini,” ujarnya kepada Realita saat menunjukkan keadaan warga kurang mampu di Cilincing. Realita pun langsung tertegun melihat kenyataan warga ibukota yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Rasa salut dan pujian pun layak diberikan kepada Irma Hutabarat, sosok wanita yang selama Tujuh tahun ini memperjuangkan hak-hak warga miskin Cilincing.

Selang dua hari kemudian, Realita berkesempatan untuk bertemu dengan Irma Hutabarat di rumahnya di daerah Kemang Barat, Jakarta Selatan. Rumah yang terlihat sangat asri itu ditempati Irma bersama suami dan keempat anaknya. Dilihat dari luar, rumah bernomor 10H tersebut nampak kental dengan aksen tradisional yang menyatu dengan keasrian sebuah bangunan rumah. Tak ayal, ketika memasuki pekarangan rumah, udara sejuk langsung terasa. Udara panas ketika di daerah Cilincing terbalaskan saat berada di kediaman Irma. Aksen tradisonal kembali terasa ketika berada di dalam rumah Irma,apalagi di dalam rumah itu banyak dipajang perabotan yang berumur tua. “Saya memang menyukai perabotan tua dan tradisional,” ujarnya ketika menyambut kedatangan Realita. Sembari duduk santai di ruang tengah dalam rumahnya, Irma bersedia berbagi cerita mengenai aktivitas sosialnya yang kerap ia lakukan saat ini dan perjalanan hidupnya yang dipenuhi dengan berbagai kerikil kehidupan.

Kepedulian sosial yang kini dimilikinya, diakui Irma berasal dari pergaulannya di masa kuliah di Universitas Indonesia (UI). “Saya bersama teman-teman kuliah menyisihkan waktu untuk mengajar anak-anak kurang mampu,” kenang Irma. Tak pelak, jiwa sosial pun langsung tertanam di hatinya hingga sekarang. Seiring perjalanan waktu, kepedulian sosial yang dimilikinya semakin terasah. Dengan melihat beberapa daerah yang diakuinya masih hidup di bawah garis kemiskinan, kepedulian sosial Irma dituangkan dalam berbagai bentuk, baik materi maupun pengetahuan yang dapat berguna bagi warga tersebut. Lihat saja, bagaimana bahagianya sebagian warga Cilincing ketika mengetahui kedatangan Irma ke kampung tersebut.

Irma memang menjadi sosok sentral dalam setiap aksi sosial di Cilincing. Irma sendiri terlahir dari pasangan Hutabarat (72) dan Titi (67) pada 25 Desember 1962. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Sang ayah berprofesi sebagai salah seorang eksekutif di salah satu perusahaan swasta terbesar di Indonesia. Tak heran, kehidupan keluarganya terbilang berkecukupan. Namun hal tersebut tak membuat sifat Irma sombong dan melupakan nasib wong cilik. Sebaliknya, justru Irma tumbuh menjadi sosok wanita yang sangat perasa dan peduli terhadap sesama.

Jadi Aktivis Sejak Kuliah. Meski lahir di Jakarta, ternyata Irma mengenyam pendidikannya di berbagai daerah seiring dengan kepindahan tugas sang ayah. Bahkan saat Irma masih berumur 5 tahun, ia harus pindah domisili ke Palembang karena sang ayah yang harus berpindah tugas ke kota mpek-mpek tersebut. Sejak SD hingga pertengahan SMA, Irma habiskan waktu di Palembang. Ketika memasuki semester kedua SMA di Palembang, Irma kembali harus berpindah tempat ke Surabaya. Setelah beberapa bulan di kota pahlawan tersebut, ia kembali harus berpindah seiring kepindahan sang ayah. Ia lantas meneruskan pendidikan SMA-nya di SMA 6, Jakarta.

Selepas menyelesaikan pendidikan SMA, Irma kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (UI). “Saya mengambil sastra Rusia, karena menurut saya bahasa Rusia indah dan puitis,” tutur Irma. Di kampus kuning itulah, Irma mendapatkan pelajaran berharga tentang bagaimana caranya berbagi terhadap sesama. Sejak saat itu pula, kepedulian sosial yang dimilikinya mengubah sosok Irma menjadi seorang aktivis. Tak hanya sebagai aktivis, kemampuan berbicara Irma yang cukup pandai membuatnya berkecimpung sebagai seorang pembawa acara dan jurnalis di sebuah stasiun televisi swasta. Sejak tahun 2000, wajah Irma kerap wara wiri di layar kaca. Di tahun yang sama, Irma menyalurkan jiwa sosialnya dengan mendirikan LSM yang diberi nama Ice on Indonesia. Sejak tahun itu pula, Irma mulai berkenalan dengan daerah Cilincing yang dilihatnya sebagai salah satu kampung termiskin di Jakarta. “Mereka nelayan yang tak punya kapal sendiri,” aku Irma.

Membantu Warga Cilincing. Tak hanya para suami yang menjadi nelayan, para istri di kampung nelayan Cilincing juga turut membantu kehidupan keluarga dengan menjadi buruh pengupas kerang. “Mereka hanya diupah Rp 7000 per karung besar,” ungkap Irma. Meski sang suami dan istri bekerja, tetap saja kehidupan hampir sebagian besar keluarga di Cilincing memperihatinkan. Tak pelak, kenyataan tersebut membuat hati Irma tersentuh dan sejak saat itu ia bertekad untuk selalu mengulurkan tangannya membantu warga Cilincing. Banyak bantuan yang diberikan Irma bagi warga Cilincing, baik berupa materi maupun non materi.

Dari segi materi, Irma secara rutin memberikan beasiswa bagi anak-anak SD Dewi Sartika yang berada tak jauh dari pemukiman warga. Kondisi bangunan SD-nya pun tak jauh berbeda dengan kondisi rumah warga miskin Cilincing. Bangunannya sudah tak terurus lagi. Beberapa bagian bahkan sudah hampir roboh karena bahan-bahan kayunya yang sudah berumur tua. Namun, berkat bantuan dari Irma, SD tersebut akhirnya mampu beroperasi dan mengadakan kegiatan belajar mengajar seperti biasa. Dengan beroperasinya SD Dewi Sartika, kesadaran warga Cilincing juga berubah. “Yang awalnya anak-anak mereka tidak bersekolah, akhirnya langsung mendaftar,” ungkap Irma sembari tersenyum. Sekolah yang dulunya hanya berjumlah puluhan siswa, kini sekolah tersebut dijejali dengan jumlah siswa di atas 100 anak.

Tak hanya untuk sekolah dan para siswanya saja, Irma juga kerap memberikan sumbangan bagi warga kurang mampu di daerah Cilincing. Aksi sosial tersebut memang diakuinya tidak secara rutin diberikan, namun khusus untuk sekolah dan siswa, Irma selalu merogoh koceknya hampir setiap bulan. “Untuk bulan lalu saja, saya mengirimkan beberapa komputer untuk pihak sekolah,” aku Irma. Selain itu, Irma juga mengirimkan buku-buku pelajaran beserta alat tulis untuk para siswanya. Terkadang, Irma juga sering mengajak beberapa rekannya untuk mengunjungi Cilincing. Rekan-rekannya tersebut tak mau kalah dengan Irma, mereka juga kerap membawa bingkisan yang di dalamnya berisikan barang-barang sumbangan untuk dibagikan kepada warga Cilincing.

Untuk memberikan sumbangan bagi warga Cilincing, Irma memang tak pernah menentukan jumlah dana yang disiapkan dari kocek pribadinya. “Jumlah nggak penting dan nggak tentu,” ungkap istri seorang arsitek ternama ini. Baginya yang terpenting adalah kebahagiaan dari warga yang telah disumbangnya tersebut. Ia juga merasa kecewa terhadap pemerintah daerah setempat yang hanya berdiam diri melihat kenyataan hidup warga Cilincing. Menurut Irma, pemerintah seharusnya lebih responsif dalam membantu kehidupan warganya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. “Mereka juga warga Jakarta yang sah, bukan warga musiman,” ujar Irma tegas. “Seharusnya pemerintah DKI harus lebih proaktif untuk membantu mereka (warga Cilincing, red),” lanjut wanita yang memulai karir sebagai account executive ini. Meski kecewa dengan sikap pemda DKI, Irma tetap saja turut membantu warga Cilincing dengan berbagai bantuan materi dan non materi. Khusus untuk non materi, Irma lebih banyak memberikan pengetahuan kepada warga bagaimana mendapatkan Asuransi Kesehatan bagi Warga Miskin (ASKESKIN). “Saya sudah memberitahu mereka bagaimana caranya dan saya mempermudah pengajuan Askeskin bagi mereka,” tutur pemilik nama lengkap Irma Natalia Hutabarat ini.

Hobi Memasak. Kepedulian yang dimiliki Irma juga ditularkan kepada keempat anaknya. Bahkan ia seringkali mengajak keempat anaknya tersebut mengunjungi daerah Cilincing. Pernikahan Irma dengan Widodo Sunarko (54) menghadirkan empat buah hati, yakni Amanda (19), Kevin (15), Aisya (11) dan Ghibran Mikail (7). Meski disibukkan dengan karir dan aksi sosialnya, Irma mengaku tetap mampu meluangkan waktu bagi keluarga. Salah satu kegiatannya di rumah, diakui Irma adalah memasak untuk suami dan keempat anaknya. “Hobi saya memasak,” ujarnya singkat. Hobinya itu pulalah yang menjadi tali keakraban antar anggota keluarga. Bahkan salah satu anaknya, Kevin juga mengikuti jejak sang ibu dengan mempelajari bagaimana cara memasak. “Kevin itu juga jago memasak loh,” ujarnya sembari tersenyum lebar.

Kini, dengan kesibukannya berkarir dan beraktivitas sosial, Irma berharap ke depannya ia akan mampu membuat suatu perubahan besar di daerah Cilincing. Tak hanya itu saja, diakui Irma masih banyak daerah-daerah yang terbilang cukup miskin di Jakarta. Namun demikian, Cilincing baginya, perlu mendapatkan banyak perhatian dari pemerintah DKI. Karena di daerah itu, hati Irma tersentuh untuk pertama kalinya di saat melihat kenyataan yang memperihatinkan. Ketika uluran tangannya membuat warga bahagia, di saat itu pulalah, Irma berbahagia karena mampu meringankan beban hidup mereka. Fajar

Side Bar 1…

Sempat Dimarahi Orang Tua karena Memberikan Jatah Makanan kepada Pengemis di Waktu Kecil

Ada satu pengalaman menarik yang sempat dialami Irma di waktu kecil. Ternyata Irma kecil telah memiliki kepedulian sosial terhadap kaum papa. Salah satu contohnya terlihat ketika Irma masih berumur 5 tahun. Kala itu, Irma sedang berada di rumah tatkala seorang pengemis menghampirinya untuk meminta sedekah. Bila anak kecil lain mungkin tak akan memperdulikan keberadaan sang pengemis yang datang, maka berbeda halnya dengan Irma. Tak dinyana, Irma kecil langsung bergegas ke dapur untuk mengambil makanan yang kemudian diberikan kepada pengemis tersebut.

Uniknya, makanan yang diambil Irma merupakan jatah makan siang sang ayah yang belum dimakan. Tak ayal, setelah Irma memberikan makanan kepada pengemis, ia pun dimarahi oleh kedua orang tuanya karena telah memberikan jatah makanan sang ayah kepada pengemis. “Saya sempat dimarahi,” kenang Irma singkat. Meski begitu, Irma tetap saja memberikan sumbangan bagi pengemis yang kerap datang ke rumah. Ia tak pernah kapok dengan kemarahan kedua orang tuanya. Alhasil, lambat laun kedua orang tuanya pun memaklumi sifat anak perempuannya tersebut.

Terbukti, saat ini ketika Irma telah mampu mengulurkan tangannya bagi warga kurang mampu. Kedua orang tuanya mendukung kegiatan sosial Irma. Dukungan itulah yang membuat Irma merasa bebas berbuat sesuatu yang dirasanya mampu memberikan setitik pencerahan bagi warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Sifat kepedulian sosial Irma, ternyata ia tularkan pula kepada keempat anaknya. Meski tidak diwajibkan oleh sang ibu, keempat anaknya tersebut dengan sukarela menyumbangkan barang-barang yang sudah tidak terpakai untuk disumbangkan kepada warga Cilincing. “Mereka sendiri yang mau barang-barangnya disumbangkan,” aku Irma. Tak hanya itu, keempat anaknya tak jarang ikut serta ketika sang ibu mengunjungi daerah Cilincing. “Mereka penasaran juga dengan keadaan di sana,” lanjutnya.

Dengan bermodalkan rasa penasaran itulah, keempat anaknya, yakni Amanda, Kevin, Aisya dan Ghibran ikut bersama ibunya mengunjungi daerah Cilincing. Setelah melihat dengan mata mereka sendiri, diakui Irma, mereka justru terheran-heran dengan kondisi di Cilincing. “Mereka sempat bertanya, kok ada tempat seperti itu di Jakarta?” ujar Irma sembari menirukan omongan anak-anaknya. Perasaan keperihatinan yang dirasakan oleh anak-anaknya tak ayal membuat Irma berbangga hati. Ia berharap kepedulian sosial yang dimiliki keempat anaknya dapat berkembang di kemudian hari dan mampu memberikan manfaat bagi orang banyak khususnya warga kurang mampu. Fajar

Side Bar 2…

Membuatkan Askeskin untuk Warga Cilincing

Tak hanya memberikan bantuan materi kepada warga Cilincing, Irma juga berusaha untuk mendorong warga agar dapat mendapatkan pelayanan dari pemerintah di bidang kesehatan. Salah satu buktinya adalah dengan membantu pengurusan Asuransi Kesehatan untuk Warga Miskin (Askeskin). “Mereka kan sering sakit tapi nggak punya biaya,” tutur Irma. Kesulitan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena ketiadaan biaya itulah yang menyebabkan Irma memutuskan untuk membantu pengurusan Askeskin. “Makanya saya membantu mereka untuk mendapatkan Askeskin,” ungkap ketua LSM Ice on Indonesia ini.

Irma pun langsung meminta kelengkapan identitas sebagian warga Cilincing sebagai kelengkapan persyaratan pengajuan Askeskin. Warga Cilincing yang sebelumnya tidak tahu menahu mengenai prosedur pengajuan Askeskin langsung termotivasi untuk membuat Askeskin. “Mereka sangat antusias untuk membuat Askeskin, karena mereka menyadari pentingnya Askeskin,” tutur Irma. Tak pelak, ratusan warga yang hidupnya di bawah garis kemiskinan pun mendaftarkan diri kepada Irma. Rencananya, bila Askeskin tersebut dapat terwujud, biaya premi untuk bulan pertama akan ditanggung oleh Irma. Hal tersebut diakui Irma agar warga dapat termotivasi untuk terus membayar premi pada bulan-bulan berikutnya. “Meski mereka sangat miskin, mereka juga harus diajarkan untuk menabung sedikit demi sedikit untuk membayar premi asuransi,” harap Irma. Dengan begitu, bila kesehatan warga terganggu, maka mereka tidak dipusingkan dengan biaya pengobatan yang termasuk mahal bagi ukuran mereka.

Warga Cilincing sendiri diakui Irma memang kerap menderita penyakit, khususnya penyakit kulit. Menurut Irma, hal ini disebabkan ketiadaan air bersih di daerah tersebut. “Mereka harus membayar setiap jerigen air bersih sebesar Rp 3000,” ungkap Irma. Tak pelak, bagi warga yang tak mampu untuk membayar air bersih tersebut, terpaksa harus menggunakan air kotor, bahkan air laut sekalipun. Akibatnya, warga seringkali mengidap penyakit kulit seperti gatal-gatal, dan penyakit kulit lainnya. Saat ini pun, bila Irma melakukan kunjungan ke daerah Cilincing, ia selalu membawa obat salep kulit untuk dibagikan kepada warga sebagai obat bagi penyakit kulit yang mereka derita. Namun, Irma mengaku kebiasaan ini tak akan dapat selalu diandalkan. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengurusi Askeskin agar mereka mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak secara gratis. Ketiadaan air bersih di daerah Cilincing juga mendapatkan perhatian khusus dari Irma. Menurutnya, perusahaan air minum atau PAM Jaya harus segera merespon ketiadaan air bersih di daerah Cilincing. “Mereka seharusnya membantu dengan memberi diskon kepada warga miskin,” saran Irma. Selama ini, air tanah di daerah Cilincing tidak dapat dikonsumsi warga. Pasalnya, air tanah di bagian utara Jakarta tersebut sudah tercemar dengan air laut yang telah menyerap ke dalam tanah pemukiman warga. Fajar

Side Bar 3…

Niat Hati untuk Membantu Korban Banjir, Malah Sempat Dituduh Melakukan Korupsi

Perjalanan karir dan hidup Irma tak selalu berjalan dengan sempurna. Tetap saja ada rintangan dan halangan yang siap menghadang kiprah sosialnya. Salah satunya adalah ketika ia sempat menerima tuduhan sebagai seorang koruptor dalam penyaluran dana sebesar Rp 4,2 miliar kepada korban banjir beberapa tahun silam. Kala itu Irma sebagai seorang ketua LSM Ice on Indonesia menerima bantuan dana dari Pemda DKI untuk disalurkan kembali kepada korban banjir di daerah ibukota. Dana sebesar Rp 4,2 miliar itu, sebanyak Rp 600 juta dimanfaatkan untuk biaya operasi dan bantuan kepada anak-anak korban banjir saat itu dan sisanya Rp 3,6 miliar didepositokan. Bunganya digunakan sesuai dengan komitmen dengan Pemda DKI Jakarta.

Penyaluran dana bantuan ternyata tak semulus yang diharapkan. Seseorang telah melaporkan dan mempublikasikan bahwa Irma Hutabarat telah melakukan korupsi terhadap dana bantuan Pemda DKI. Padahal, diakui Irma, bunga deposito dari total jumlah dana yang diberikan Pemda telah disalurkan kepada korban banjir. “Itu memang sudah kesepakatannya,” ujar Irma kepada Realita. Meski demikian, tuduhan yang banyak berdatangan, membuat Irma merasa terpojok. Meski ia tidak melakukan tindakan yang dituduhkan kepada dirinya tersebut, akhirnya Irma dengan sukarela mengembalikan uang bantuan yang telah diberikan. “Sudah selesailah kasusnya,” ujarnya tegas.

Tak hanya itu saja, Irma juga sempat mendapatkan tuduhan lainnya, yakni dituduh menjadi seorang calo anggaran di DPR. Namun, tuduhan tersebut tidak terbukti dan Irma pun kembali berkiprah di dunia sosial yang terlanjur dicintainya. Baginya, kasus yang menimpanya tersebut hanyalah cobaan yang pasti akan dapat dilewatinya. Fajar

Biodata

Nama : Irma Natalia Hutabarat

Tempat, Tanggal lahir : Jakarta, 25 Desember 1962

Pendidikan terakhir : Sarjana Sastra Rusia, Universitas

Indonesia

Karir :

  • Direktur GMP AdComm (2004-sekarang)

  • Direktur Pemasaran AAA Securities (2004-2006)

  • Pembawa Acara Today’s Dialogue Metro TV (2000-2004)

  • Konsultan komunikasi TNI-AD

  • Juru bicara Mega Center (2003-2004)

  • Penasihat Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (1999-2000)

  • Konsultan komunikasi PT Garuda Indonesia (2000-2001)

  • Konsultan Asian Development Bank (ADB) (2000-2001)


Organisasi :

  • Wakil ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) (1999-2001)

  • Wakil ketua Jakarta Media Center

  • Pendiri dan Ketua LSM Ice on Indonesia (Institute of Civic Education on Indonesia)

2 comments:

Anonymous said...

Your heart toward the poor and the weak will be always remembered.

Anonymous said...

Your heart towards the poor and the weak will be always remembered.

Dr. MH