Mantan PRT yang Memiliki Taman Bacaan dengan Koleksi 1900 Buku
Meski Kiswanti bukanlah berasal dari keluarga yang mapan, namun ia tetap mampu mewujudkan bentuk kepeduliannya terhadap orang lain. Melalui taman bacaan yang didirikannya, Kiswanti bisa diibaratkan bagai sebuah pelita yang mampu menerangi suramnya suasana kampung Saja, Parung, Kabupaten Bogor. Bagaimana perjuangan Kiswanti dalam meningkatkan minat baca warga di kampungnya?
Hari Rabu (11/7) sore, Realita melakukan perjalanan yang cukup melelahkan menuju daerah Parung, Kabupaten Bogor. Kampung Saja-nama kampung tempat tinggal Kiswanti, terletak di daerah Parung sekitar 5 KM dari Pasar Parung. Jalanan yang penuh dengan bebatuan harus dilalui hanya untuk menuju kediaman Kiswanti. “Rumahnya di blok Jawa,” ujar salah satu warga ketika Realita menanyakan rumah Kiswanti. Kampung Saja ternyata tak hanya ditempati oleh warga asli Sunda saja. Namun, kaum pendatang yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur juga menempati kampung ini. Akhirnya sebuah rumah yang terlihat sederhana nampak dari kejauhan. Rumah tersebut terletak tepat di tikungan gang yang hanya memiliki lebar satu meter.
Rumah itu terlihat lebih istimewa ketimbang rumah-rumah lainnya yang berada di Kampung Saja. Bukan karena bangunan rumahnya yang agak lumayan bersih dibandingkan rumah lainnya, tapi juga karena adanya bangunan yang berada tepat di sebelahnyalah yang membuat rumah tersebut lebih istimewa. Bangunan yang dijadikan sebagai taman bacaan itulah yang mampu menarik anak-anak dan ibu rumah tangga sekitar untuk mampir dan membaca lembaran demi lembaran halaman buku yang menjadi koleksi di taman bacaan tersebut. Untuk membaca buku atau bahkan meminjam salah satu buku koleksi Taman Bacaan milik Kiswanti, mereka tak perlu merogoh koceknya. Mereka cukup mencatat data dirinya masing-masing, dan buku-buku yang ingin mereka pinjam pun dapat langsung dibawa.
Anak Tukang Becak. Memberi di saat kekurangan adalah yang kini dilakukan oleh wanita berkerudung ini. Bukan harta berlebih yang membuat Kiswanti mengambil keputusan untuk meletakkan tangannya di atas tangan orang lain. Ia juga tak melakukannya hanya untuk menjadi terkenal di kalangan masyarakat luas. Hanya satu alasan yang berada di balik segala tindak tanduknya dalam mendirikan taman bacaan. “Saya hanya ingin meningkatkan minat baca warga kampung sini (Kampung Saja, Red) melalui taman bacaan ini,” ujarnya tegas ketika menyambut kedatangan Realita sembari memperlihatkan taman bacaan sederhananya.
Sosok wanita kelahiran Bantul 4 Desember 1965 ini hanyalah ibu rumah tangga biasa yang tinggal di pinggiran Jakarta. Meski hanya ibu rumah tangga biasa, Kiswanti ternyata mampu memperlihatkan sisi dirinya yang sangat bersahaja. Kiswanti sendiri merupakan anak pertama dari lima bersaudara pasangan Tresno Suwarno (69) dan (alm) Tumirah. Sang ayah hanya berprofesi sebagai seorang penarik becak. Sedangkan ibunya merupakan pedagang jamu gendong. Tak pelak, kehidupan Kiswanti tidaklah selalu berkecukupan. Keluarga Kiswanti hanya mengandalkan penghasilan dari kedua orang tuanya yang pas-pasan. Bahkan biaya SPP untuk sekolahnya di SDN Kepuh, Bantul, sempat tidak terbayarkan selama lima bulan. Alhasil, Kiswanti hampir saja tidak naik kelas hanya gara-gara tidak mampu melunasi iuran SPP sekolahnya. Namun, berkat kebaikan dari pihak sekolah, akhirnya Kiswanti mampu menyelesaikan sekolah dasarnya. Meski demikian, selama Kiswanti menyelesaikan bangku pendidikan SD-nya, ia mengaku sering mendapat ejekan dari teman-temannya. “Mereka mengejek saya orang miskin yang nggak bisa bayar iuran sekolah,” kenang Kiswanti. Tak ayal, Kiswanti kecil selalu berurai air mata tiap kali pulang sekolah.
Meski dengan ejekan dari teman-teman sekolahnya, Kiswanti akhirnya mampu menyelesaikan pendidikan SD-nya. Ia pun kemudian melanjutkan pendidikannya ke Madrasah. “Saya di madrasah hanya sampai kelas 2 saja, karena ketiadaan biaya,” ungkap Kiswanti yang juga mengidap penyakit liver ini. Walaupun Kiswanti harus rela meninggalkan bangku sekolahnya, tapi ia tak pernah mengurungkan niatnya untuk belajar. Salah satunya adalah dengan banyak membaca berbagai macam judul buku. Buku-bukunya pun bukanlah buku baru yang ia beli dari toko buku, melainkan buku bekas yang selalu dibawakan oleh sang ayah setiap pulang menarik becak. Tak hanya buku, koran bekas juga selalu menjadi buah tangan Tresno untuk anak sulungnya tersebut.
Semakin hari, kegemaran Kiswanti membaca buku semakin menjadi-jadi. Buku telah menjadi sahabat karibnya sehari-hari. Kegemarannya membaca buku ternyata didorong juga oleh kedua orang tuanya. Pasalnya, ketika masih kanak-kanak, ibundanya mengajarkan membaca kepada Kiswanti dengan cara yang unik. “Si Mbok (Ibu, Red) saya itu mengajarkan membaca dengan menggunakan koran bekas, dan disuruh menyusun huruf-huruf supaya jadi nama saya,” kenang Kiswanti. Uniknya, sang ibu menyembunyikan salah satu huruf dari nama Kiswanti agar ia dapat dengan cermat mencari huruf yang hilang tersebut. Dengan begitu, kemampuan belajar mengenal huruf-huruf dapat terasah dengan baik.
Selepas meninggalkan sekolahnya, Kiswanti memang dituntut untuk membantu kedua orang tua membiayai keempat adik-adiknya. Tak heran, ia mencari penghasilan sampingan untuk membantu penghidupan keluarga. Pekerjaan memotong padi, membuka kulit kacang melinjo dan kedelai pun dilakoninya untuk mencari penghasilan tambahan. Uang yang didapat, diakui Kiswanti memang tak seberapa. “Untuk membuka kulit kacang melinjo, saya mendapatkan upah Rp 1.000 per Kg,” ungkap Kiswanti. Tak hanya itu saja, Kiswanti juga membawahi pekerja yang mengupas kulit melinjo. Sehingga, ia pun mendapatkan bonus dari si empunya. Singkat cerita, pada tahun 1987 Kiswanti terbujuk oleh salah satu temannya yang sudah merantau ke Jakarta. “Ada teman saya yang mengajak ke Jakarta untuk bekerja,” kenang Kiswanti. Ia akhirnya tertarik untuk ikut merantau ke Jakarta dan mencari penghidupan yang lebih layak. Meski begitu, ada satu alasan menarik yang menjadi latar belakang Kiswanti merantau ke Jakarta. “Saya ingin mencari uang ke Jakarta supaya bisa beli buku,” ujarnya singkat. Kegilaannya terhadap buku, membuat Kiswanti rela meninggalkan keluarganya hanya untuk menambah koleksi bukunya.
Terbentur dengan latar pendidikannya yang hanya lulus SD, Kiswanti pun tak dapat memperoleh pekerjaan yang mumpuni. Alhasil, Kiswanti hanya mampu bekerja sebagai seorang Pembantu Rumah Tangga (PRT). Beruntung, kali pertama ia mendapatkan majikan, yang juga memiliki hobi sama dengan dirinya, yang tak lain adalah membaca buku. Banyak buku yang berhasil ia dapatkan dari majikannya yang berasal dari Negara Philipina. Sayangnya, Kiswanti hanya bekerja selama tiga bulan dikarenakan sang majikan kembali ke Negara asalnya. Setelah itu, Kiswanti bekerja kembali menjadi seorang PRT di salah satu keluarga asal Surabaya. Pada saat itulah, Kiswanti bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya, yakni Ngatmin (53). Pernikahan dengan Ngatmin menghadirkan dua orang anak yakni Afief Priyadi (17) dan Dwi Septiani (12).
Tinggal di Bedeng Proyek. Pertemuan dengan sang suami pun dirasa cukup unik, karena Ngatmin sendiri bekerja sebagai kuli bangunan yang tengah mendirikan sebuah rumah di dekat rumah majikan tempat Kiswanti bekerja. Seringnya bertemu membuat keduanya dilanda api cinta. Tak pelak, mereka memutuskan untuk menikah di tahun yang sama ketika Kiswanti pindah ke Jakarta. Pekerjaan PRT kemudian ditinggalkan Kiswanti. Ia memutuskan untuk mengikuti pekerjaan sang suami yang tinggalnya berpindah-pindah. “Kami tinggalnya di bedeng-bedeng dan selalu berpindah sesuai proyek suami,” ujar Kiswanti yang selalu membawa koleksi bukunya setiap kali berpindah tempat tinggal.
Setelah beberapa tahun hidup di bedeng, Kiswanti kemudian mengontrak rumah di Jakarta selama enam bulan. Barulah pada tahun 1994, Kiswanti pindah ke daerah Parung, Jawa Barat. Di daerah tersebut Ngatmin membeli sebidang tanah beserta bangunan rumah yang sederhana. Dengan harga Rp 10.000 per meter persegi, Ngatmin membeli tanah dan rumah seluas 4 x 9 meter. Uang yang dipergunakan untuk membelinya pun didapat dari hasil tabungan keluarga selama beberapa tahun bekerja sebagai seorang kuli bangunan.
Di Parung, perasaan Kiswanti sangatlah miris ketika melihat kondisi di kampungnya yang sangat kurang memiliki minat baca terhadap buku. Terlebih lagi waktu itu, jaringan listrik dan telepon belum masuk ke kampung di daerah Parung tersebut. “Saya sedih melihat nasib anak-anak di sini yang tidak suka membaca dan didikan dari orang tua yang sangat kurang karena orang tua yang bekerja,” tutur pengoleksi buku sejak SD ini. Ia lalu mengambil tindakan yang cukup berani dengan membuka sebuah warung kecil untuk menarik anak-anak dan ibu-ibu rumah tangga agar mereka sudi untuk mampir dan melihat koleksi buku bacaan Kiswanti. Strategi yang digunakan Kiswanti adalah dengan menurunkan harga jual barang-barang jualannya agar warga sekitar lebih memilih berbelanja di warungnya ketimbang di warung lain. Dengan begitu, mereka dapat melihat ribuan buku koleksi Kiswanti yang berada di rak dekat dengan warungnya. Selain itu, Kiswanti juga menawarkan berbagai macam mainan anak-anak untuk menarik minat anak-anak sekitar.
Strategi tersebut tak disangka cukup berhasil menarik minat warga untuk sekadar melihat dan membaca buku-buku koleksi Kiswanti. Waktu terus berjalan, Kiswanti lalu mengambil keputusan yang cukup unik dengan menawarkan buku-buku koleksinya dengan cara berkeliling. Sepeda pun menjadi alat transportasi yang digunakannya untuk berkeliling kampung sejauh 13 KM. Sejak Januari hingga September 2003, Kiswanti selalu melakukannya setiap hari dari pagi hingga sore. Kini pun, Kiswanti masih tetap meluangkan waktu untuk berkeliling setiap hari Rabu dan Sabtu. Tak puas dengan hasilnya, Kiswanti kemudian memiliki rencana untuk membangun sebuah taman bacaan yang lebih bagus dan luas agar mampu menampung banyak pengunjung. Akan tetapi, lagi-lagi rencana tersebut terhalang oleh persoalan dana yang terbatas. Kiswanti pun memutar otaknya agar mampu mendapatkan uang yang cukup untuk mendirikan bangunan taman bacaan yang baru. Salah satu cara yang ditempuh oleh ibu dua anak ini adalah dengan menggunakan tabungan kedua anaknya dan menjual motor milik Ngatmin. Sisanya berasal dari pinjaman dari salah seorang di kampungnya. Alhasil, bangunan Warung Baca Lebak Wangi (Warabal, red) pun terwujud. Dua buah rak besar menghiasi sudut Taman Bacaan tersebut. Ratusan bahkan ribuan buku tertata rapi di dalamnya. Beberapa meja kecil juga terpasang di dalam ruangan tersebut.
Berbagai Kegiatan. Setelah berdiri, taman bacaan Warabal memang terlihat rapi dan bersih. Banyak kegiatan dilakukan di tempat itu. Hampir setiap hari, pengajian dilaksanakan di ruangan yang berada tepat di samping rumah Kiswanti. Tengok saja tiap hari setiap pukul 08.00-10.00 pagi, ada anak-anak usia 3-4,5 tahun yang mengikuti pendidikan dari seorang guru. Kiswanti menyebutnya sebagai homeschooling. Lalu pukul 12.00-16.00 sore harinya ada pengajian bagi anak-anak usia 3-6 tahun. Kemudian selepas maghrib, masih ada pengajian untuk anak-anak usia 6-18 tahun. Tak hanya anak-anak saja yang meramaikan Warabal, ibu-ibu rumah tangga pun memiliki jadwal sendiri untuk sekadar berkumpul dan menambah pengetahuannya masing-masing. Sebulan dua kali, ibu-ibu yang tergabung dalam 25 majelis ta’lim di Kampung Saja, kerap berkumpul dan membedah buku yang mereka sukai. “Kalau ibu-ibu, dinamakan Majelis Ta’lim Silaturahmi Bulanan,” ujar Kiswanti.
Kumpulan ibu-ibu itu membahas pengetahuan umum seperti pendidikan anak, kesehatan, dan agama sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. “Kami juga sering menghadirkan berbagai narasumber untuk menambah pengetahuan ibu-ibu,” aku Kiswanti. Tidak seperti anak-anak yang sebagian besar tidak dipungut biaya, maka khusus untuk ibu-ibu, Kiswanti mewajibkan setiap orang untuk membayar iuran sebesar Rp 5.000 setiap kali pertemuan diadakan. Dari uang lima ribu tersebut, Rp 2.000 digunakan untuk uang kas, Rp 2.000 untuk konsumsi dan sisanya digunakan untuk keperluan bersama, seperti membeli buku ataupun kegiatan lainnya.
Kini, segala macam bentuk kegiatan tersebut selalu berjalan setiap hari. Meski kondisi keuangannya kembang kempis, namun Kiswanti selalu mengusahakan untuk menyediakan uang bagi keperluan Warabal. Hanya satu harapan yang masih berada dalam pikiran Kiswanti, yakni memperkenalkan buku kepada warga di kampungnya serta meningkatkan minat baca yang pada akhirnya akan meningkatkan pengetahuan mereka. Dengan serba kekurangan yang dimilikinya, Kiswanti juga berharap dapat meningkatkan Warabal. “Saya ingin mendirikan taman bermain gratis untuk anak-anak di sini,” ujarnya sembari berharap keinginannya dapat terwujud sesegera mungkin. Fajar
Side Bar 1:
Dibayar dengan Buku Saat Menjadi PRT
Tahun 1987, ketika Kiswanti memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT), kegemarannya membaca dan mengoleksi buku semakin menjadi-jadi. Terlebih lagi, saat mengetahui sang majikan yang juga memiliki hobi sama dengan dirinya. Majikan yang diketahui bernama Marti ini memang diakui Kiswanti sebagai pengoleksi buku. Saat Kiswanti mengetahui bahwa majikannya memiliki hobi membaca buku, ia seakan-akan menemukan harta karun yang sudah terpendam lama.
Kiswanti seakan-akan diingatkan dengan tekadnya ke Jakarta yang hanya mencari penghasilan untuk membeli buku. Ia kemudian mengusulkan sesuatu yang cukup unik dan menarik kepada sang majikan. “Saya menawarkan kepada majikan saya, agar membayar gaji saya dengan buku saja,” aku Kiswanti. Bak gayung bersambut, sang majikan kemudian menyetujuinya dan setiap bulan selama kurang lebih tiga bulan, Kiswanti dibayar dengan beragam buku bacaan. Alangkah senangnya Kiswanti kala itu yang mampu menambah koleksi buku bacaannya. “Saya dulu sering ke Senen untuk membeli buku,” kenang Kiswanti.
Buku-buku yang menjadi upahnya ternyata bukanlah buku bekas yang harganya tidak seberapa, namun berbagai macam judul buku baru yang harganya cukup mahal. Sayangnya, sang majikan hanya tinggal di Jakarta selama tiga bulan. “Dia harus balik lagi ke Philipina,” aku Kiswanti. Meski begitu, Kiswanti mengaku mendapatkan pelajaran berharga dari sang majikan yang mampu memberinya berbagai macam buku bacaan.
Kiswanti sendiri memang sangat tergila-gila terhadap buku. Bila anak kecil pada umumnya meminta uang di saat lebaran untuk membeli baju, maka lain halnya dengan Kiswanti yang justru meminta uang di saat lebaran untuk membeli buku bacaan baru. Bahkan setiap kali ia memperoleh uang dari kedua orang tuanya, ia selalu membelanjakan uang tersebut untuk membeli buku. “Si Mbok (Ibu dalam bahasa Jawa, Red) dan Bapak sempat takut saya menjadi gila karena terlalu menyukai buku bacaan,” kenang Kiswanti. Namun penilaian kedua orang tuanya tersebut kini tak terbukti. Dulu, sang ayah malah sempat berpesan kepada Kiswanti agar menekuni buku-bukunya karena menurut sang ayah, kelak di masa tua akan bermanfaat banyak. Kini, Kiswanti merasakan bahwa omongan ayahnya itu terbukti dengan adanya manfaat bagi banyak orang setidaknya bagi warga sekitar di kampungnya. Fajar
Side Bar 2:
Menunda Kuliah Anak Pertamanya Demi Taman Bacaan
Jika dibilang sebagai bentuk keegoisan, mungkin Kiswanti juga menyadarinya. Namun, bila dilihat dari segi manfaat dan sosial, tentu saja keputusan Kiswanti sangatlah tepat. Pasalnya, Kiswanti harus dengan rela menunda kuliah anak pertamanya, Afief Priyadi. “Uang tabungannya dipakai untuk membangun Warabal,” aku Kiswanti sembari meringis. Meski begitu, Afief dengan lapang dada mampu memaklumi keinginan ibundanya yang ingin memberikan banyak manfaat bagi warga sekitar.
“Ya kalau kuliah bisa kapan saja,” kilah Kiswanti. Bahkan Afief yang lulus dari STM Pembangunan ini kini berencana untuk mencari pekerjaan agar mampu membiayai kuliahnya sendiri. Kiswanti sendiri memang merasakan kesedihan yang cukup dalam karena tak mampu mewujudkan keinginan anak sulungnya. Meski demikian, Kiswanti berjanji dalam dirinya bahwa suatu saat nanti akan memasukkan Afief ke bangku kuliah. “Tahun ini bersamaan dengan adiknya yang masuk SMP,” ujarnya beralasan. Afief pun harus dengan rela memendam keinginannya tersebut demi adik dan ibunya yang sangat dicintainya tersebut. Fajar
Side Bar 3:
Membawa 75 dari 155 Anak Didiknya Melihat Monas di Jakarta
Kiswanti bukanlah tanpa halangan dalam merealisasikan keinginannya untuk mendirikan taman bacaan. Selain halangan berupa keterbatasan dana, ia juga sempat dihujani berbagai ejekan dari sebagian warga di kampungnya. Salah satunya adalah setelah ia mengajarkan mengenai sejarah berdirinya Monumen Nasional (Monas) di Jakarta kepada anak-anak. Oleh karena sebagian besar anak-anak belum pernah melihat bentuk Monas, maka Kiswanti pun menyarankan agar mereka dapat menabung. Dengan begitu, mereka dapat membayar ongkos untuk pergi ke Monas.
Tak dinyana, anak-anak warga sekitar tersebut selalu meminta uang setiap kali mereka disuruh oleh orang tuanya. Tak pelak, banyak orang tua pun kesal dengan ajaran Kiswanti. Menurut mereka, karena didikan Kiswanti, anak-anak mereka menjadi sering meminta uang untuk ditabung. Kiswanti menjadi dibenci oleh warga sekitar. Ia lalu tidak habis akal. Kiswanti lalu menceritakan permasalahannya tersebut ke salah satu anggota komunitas 1001 buku. Singkat cerita, ada salah satu donatur yang mau membayarkan segala macam ongkos bagi 75 anak didik Kiswanti. “Yang boleh diajak hanya 75 dari 155 anak didik saya,” ungkap Kiswanti. Tak ayal, ia pun melaksanakan seleksi untuk menyaring anak-anak didiknya tersebut. Seleksi yang dilakukan meliputi tes pengetahuan dan tes sikap yang selalu dipantau Kiswanti. Tepat bulan April lalu, Kiswanti akhirnya mampu mewujudkan keinginan anak-anak didiknya untuk bisa melihat Monas dari dekat. “Saya sangat bahagia melihat mereka bahagia melihat monas,” ungkap Kiswanti.
Ejekan tak hanya berhenti sampai di situ saja, Kiswanti juga kerap dijuluki sebagai tukang rongsokan oleh sebagian warga Kampung Saja, Parung. Ejekan ini timbul karena mereka seringkali melihat Kiswanti membeli buku bekas dari tukang loak. “Saya sih bersabar saja,” ujarnya singkat. Kiswanti memiliki alasan tersendiri kenapa ia membeli buku dari tukang loak. “Kadang-kadang buku bekas di tukang loak itu masih bagus-bagus dan mahal,” ujar Kiswanti. Menurutnya, hal ini disebabkan karena PRT di rumah-rumah orang kaya di sekitar rumahnya sering menjual buku-buku milik majikannya tanpa sepengetahuan si pemilik. Alhasil, buku-buku tersebut terkadang dibeli oleh Kiswanti yang kemudian dijadikan sebagai koleksi Warabal. Tak heran, kini koleksi buku-buku di Warabal sudah mencapai angka 1900 buah. Ditambah lagi, dengan banyaknya sumbangan buku dari berbagai pihak. Fajar
Side Bar 4:
Dwi Septiani (12), Anak Bungsu Kiswanti
Sempat Kesal karena Diejek Anak Tukang Rongsokan
Kegemaran Kiswanti membeli buku-buku bekas dari tukang loak atau tukang barang rongsokan ternyata berdampak pula kepada anak keduanya, Dwi Septiani. “Saya sering diejek anak tukang rongsokan,” kenang Dwi. Tak pelak, Dwi pun sempat kesal dengan ejekan tersebut. Meski begitu, sang ibu tetap berusaha untuk menenangkan anak perempuan satu-satunya tersebut agar tetap sabar menerima ejekan dari sebagian teman-temannya. “Jangan dipikirin,” ujar Dwi sembari meniru ucapan ibunya ketika mengadu perihal ejekan tersebut.
Meski terkadang kesal dengan ejekan, di sisi lain, Dwi merasa bangga dengan ibu kandungnya itu. Pasalnya, berkat kegiatan ibunyalah, anak-anak di sekitar kampungnya lebih menyukai membaca buku. “Saya bangga lah,” ujar anak yang akan memasuki bangku SMP ini. Rasa bangganya itu tergambar jelas dari sosok Dwi. Ia kini sudah keukeuh dengan cita-citanya sebagai guru. Dwi beralasan bahwa ia ingin menjadi guru karena melihat tindakan sang ibu yang mampu mengajar meski hanya lulusan sekolah dasar. Untuk mencapai cita-citanya sebagai guru, Dwi telah bertekad untuk dapat merasakan bangku kuliah bila nanti saatnya tiba.
Hasil dari didikan Kiswanti juga tergambar jelas pada Dwi. Kiswanti yang dengan getolnya memperkenalkan buku sejak dini ini ternyata mampu membuat kedua anaknya termasuk Dwi mencapai prestasi yang cukup baik di sekolahnya. “Saya selalu mendapat rangking 1 di kelas,” kenang Dwi. Tidak hanya memperkenalkan buku saja, Kiswanti juga kerap mengajarkan kedua anaknya untuk selalu mengerjakan Pekerjaan Rumahnya sendiri. “Saya tidak pernah memberitahu jawabannya kepada anak saya,” aku Kiswanti. Tak heran, Dwi pun selalu berusaha untuk menemukan jawaban dari setiap pertanyaan pada PR yang diberikan gurunya di kelas. Rencananya Dwi akan masuk ke SMPN 1 Parung. “Mudah-mudahan bisa diterima,” harap anak perempuan berkerudung ini. Fajar
4 comments:
Mas bisa tau contact nya Ibu Kis ini? saya dari PLN berminat untuk menjadikan Bu Kis sebagai Pembicara saat hari kartini di PT PLN Kantor Pusat.
Terima kasih
halo mbak Navy, boleh minta alamat email atau no telpnya? terimakasih..
mas fajar, saya boleh tau kontak ibu kiswanti, untuk bntang tamu acara di k-vision yang akan kantor saya buat?
bisa di email ke gusriyandi.oren@gmail.com
terimakasih sebelumnya mas fajar :)
halo
mungkin ada yang tau untuk nomor telepon ibu kiswanti ini ?
bisa e-mail saya di filiks@goviral.bz
Post a Comment