Tak Pernah Memakai Nama Besar Sang Ayah Saat Bekerja Dari Level Bawah
Menjadi anak dari seorang taipan sukses Sukamdani Sahid, diakuinya memiliki untung dan rugi. Namun, Exacty selalu mensyukuri apa yang ia dapatkan. Pertentangan antar anggota keluarga pun diredamnya dengan selalu mengadakan pertemuan setiap 35 hari sekali. Alhasil, meski sudah dipegang oleh generasi kedua, Sahid Group justru semakin maju dan berkembang. Lalu bagaimana kisah wanita yang memiliki hobi mendesain berbagai macam barang ini?
Siapa tak kenal dengan pengusaha yang sukses dengan bisnis perhotelannya, Sukamdani Sahid. Ia berhasil membangun kerajaan bisnisnya hanya dengan bermodal awal 2 mesin cetak tangan kuno dan 2 tenaga kerja pada tahun 1953. Namun, lihat sekarang bagaimana suksesnya kerajaan bisnis bernama Sahid Group yang telah memiliki berbagai bidang bisnis seperti hotel, percetakan, pendidikan, dan sekarang sudah mulai merambah ke dunia kesehatan dengan mendirikan sebuah rumah sakit di daerah Sudirman, Jakarta. Puluhan tahun setelah dirintis sang pendiri, kini giliran generasi keduanya yang melanjutkan bisnisnya tersebut.
Anak Konglomerat. Salah satu pewarisnya adalah Exacty Budiarsi. Anak kedua dari lima bersaudara ini telah terjun mengurusi perusahaan sang ayah sejak tahun 1987. Ia bersama kakak dan adik-adiknya telah diberi kepercayaan untuk melanjutkan bisnis yang telah dirintis ayahnya tersebut. Ditemui di kantornya di bilangan Sudirman, Jakarta, Exacty masih menampakkan semangatnya dalam memimpin beberapa anak perusahaan Sahid Group. “Sebenarnya menjadi anak seorang konglomerat ada untung dan ruginya,” ujar Exacty membuka perbincangan kepada realita pada Senin (13/4) lalu.
Merasa beruntung, karena Exacty mengaku bahwa segala macam keperluannya selalu dikabulkan oleh kedua orangtuanya. Sebaliknya, ia merasa kurang percaya diri tatkala melihat kesuksesan kedua orangtuanya membangun kerajaan bisnis terkemuka di dalam negeri. “Bisa nggak kita seperti apa yang diraih orangtua kita?” kilahnya. Kendati begitu, Exacty berusaha menganggap kesuksesan yang diraih kedua orangtuanya dijadikan sebagai tantangan agar ia juga mampu menandingi apa yang telah dicapai orangtuanya tersebut. “Minimal kita bisa menyamai apa yang dicapai oleh orangtua dan lebih bagus lagi kita bisa melebihi kesuksesan mereka,” tutur Exacty.
Lahir dan dibesarkan di ibukota Jakarta, Exacty sudah diberikan contoh dari kedua orangtuanya untuk berdagang. Ia bersama saudara kandung lainnya, melihat langsung bagaimana sang ayah berbisnis dengan segala macam risiko yang dihadapinya. “Didikan kedua orangtua sebenarnya membebaskan dunia yang akan saya pilih,” ungkap Exacty. “Ayah selalu mengatakan bekerja itu adalah ibadah,” lanjutnya singkat. Sang ayah juga menekankan agar selalu menjadi seorang entrepreneur, karena mampu menghidupi banyak orang. Selain dididik menjadi seorang pengusaha, kelima anaknya juga hidup dalam budaya Jawa yang sangat kental di dalam rumah. “Makan saja kita tidak boleh memakai piyama atau baju tidur,” kenang Exacty.
Setelah mengenyam pendidikan SMA-nya di Jakarta, Exacty memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke negeri seberang. Ia mengambil kuliah Science in Management di State University of New York. Kemudian, Exacty lantas melanjutkan ke jenjang berikutnya dengan mengambil Master of Science Business Administration in Marketing di California State University, Los Angeles dan lulus tahun 1981. Tak lama kemudian, Exacty mengakhiri masa lajangnya dan memulai hidup baru bersama Sryantoro Wiweko.
Bekerja Dari Bawah. Exacty sendiri sempat bekerja di perusahaan lain meski tak lama. Namun, tawaran dari kedua orangtua untuk ikut serta mengurusi bisnis keluarga, membuatnya tertarik. Alhasil, ia pun masuk ke salah satu perusahaan Sahid Group, yang dimiliki sang ayah. Exacty tak langsung terjun langsung ke perusahaan sang ayah dengan menjadi pimpinan. Ia justru harus memulai dari nol. “Waktu itu saya mulai sebagai seorang marketing,” kenang anak dari pasangan Sukamdani Sahid (81) dan Juliah Sukamdani (75) ini. Tentu saja, ia merasa terkejut dengan pekerjaan yang harus menuntutnya menawarkan produk kepada beberapa calon pembeli.
Kendati begitu, Exacty berusaha menerimanya dengan lapang dada dan menganggap pekerjaan yang dilakoninya tersebut sebagai sebuah pembelajaran sebelum terjun langsung sebagai pimpinan. Alih-alih sebagai proses belajar, Exacty tak pernah menggunakan nama belakang Sukamdani untuk mencari calon pembeli. Dengan begitu, menurutnya ia dapat melihat langsung bagaimana sulitnya melakoni pekerjaan dari level bawah. “Jadi kita bisa mengetahui seperti apa bisnisnya itu dari awal,” ujar Exacty. Bahkan, pada awalnya Exacty diberikan kebebasan untuk memilih karir yang disukainya. “Waktu dulu, ditanya apa saya mau bisnis sendiri atau ikut dalam bisnis keluarga,” ujar ibu tiga anak ini.
Tiga tahun menjadi seorang staf marketing di PT Sahid Detolin Textile, Exacty diberi kepercayaan lebih dengan diangkat sebagai seorang Marketing Manager pada tahun 1987 di perusahaan yang sama. Karirnya mulai merangkak naik seiring dengan meningkatnya pengalaman yang ia miliki. Mulai dari direktur, direktur utama, hingga duduk di jajaran komisaris di beberapa anak perusahaan yang berada dalam divisi kesehatan Sahid Group. “Masing-masing anak bertanggung jawab di masing-masing divisi. Saya di divisi kesehatan,” aku Exacty.
Hari Wiyosan Ajang Berkumpul. Meski berbagi dengan saudara kandung lainnya, Exacty mengaku tak pernah ada pertentangan besar dalam perusahaan. Kalaupun ada perbedaan, biasanya dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus terjadi percekcokan. Salah satu cara Exacty dan keluarga tetap menjalin silaturahmi dan komunikasi adalah dengan selalu berkumpul setiap 35 hari sekali pada hari Minggu wage. “Minggu wage itu adalah hari lahir bapak kita,” aku Exacty. Dalam bahasa Jawa, biasanya disebut sebagai hari Wiyosan. Pada hari itu, semua anggota berkumpul bersama kedua orangtua. Dalam suasana santai, mereka membahas segala macam topik, tak terkecuali kondisi perusahaan. “Sebelum dimulai, biasanya kita semua berdoa dan bersyukur kepada Tuhan,” ungkap wanita kelahiran Jakarta, 25 Agustus 1957 ini.
Divisi kesehatan dan kesejahteraan yang dipimpinnya mengalami perkembangan yang cukup pesat. Salah satunya adalah dengan berdirinya sebuah rumah sakit bernama Sahid Sahirman Memorial Hospital di bilangan Sudirman, Jakarta. Melalui rumah sakit ini, Sahid Group memantapkan jejak bisnisnya di bidang kesehatan sejak dua tahun lalu. Sebelumnya, seperti diakui Exacty, perusahaan sudah mendirikan beberapa klinik. Tak puas memiliki satu buah rumah sakit, Exacty juga berencana akan membangun sebuah rumah sakit khusus wanita dan anak-anak di daerah Ciracas, Jakarta Timur.
Nama rumah sakitnya sendiri diambil dari kakek Exacty. Sahid diambil dari nama R. Sahid Djogosentono, ayah dari Sukamdani Sahid. Sedangkan Sahirman berasal dari nama Sahirman Sastrowardojo, ayah dari Juliah Sukamdani. Selain rumah sakit, Sahid Group yang kini lebih banyak dikelola oleh lima anak Sukamdani, akan berencana mendirikan bangunan gedung kembar yang disebut-sebut sebagai pesaing gedung Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia.
Tak hanya bergelut di dunia bisnis, Exacty juga tak melupakan kegiatan lainnya yang bersifat sosial. Melalui Sahid Jaya Foundation, ia bersama orangtua dan keempat saudara kandung lainnya kerap berbagi dengan masyarakat kurang mampu dan korban bencana. “Dengan adanya kegiatan sosial ini, maka diharapkan hidup kita lebih seimbang,” ujarnya berfilosofi.
Kendati disibukkan dengan berbagai kegiatan di perusahaan, Exacty mengaku masih sempat meluangkan waktu bersama keluarga, terlebih lagi bersama anak-anak. Namun, berhubung kedua anaknya, yakni Ratri Wanindyarini (24) dan Dwi Swarani Tunggadewi (20) tengah berada di luar negeri, maka Exacty lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak bungsunya, Rastiningdyah Trihartati (16) dan suami tercinta, Sryantoro Wiweko. “Saya selalu mengusahakan hari Sabtu dan Minggu bersama keluarga,” ungkap Exacty.
Baginya, dengan aktif di perusahaan yang mampu mempekerjakan ratusan karyawan, Exacty telah meneruskan perjuangan Kartini tempo dulu. “Tapi dengan cara saya sendiri,” ujarnya sembari tersenyum lebar. Meski ia seorang wanita, sebagian besar bawahannya justru adalah laki-laki. “Gender itu bukanlah masalah,” tegasnya singkat. Exacty menganggap bahwa apa yang dapat diraihnya saat ini tak terlepas dari generasi sebelumnya yang telah berjuang, termasuk Kartini. “Wanita di Indonesia mungkin tak bisa menjadi seperti sekarang tanpa adanya Kartini,” ujar Exacty mengakhiri perbincangan. Fajar
1 comment:
ti...is that your mom??
Post a Comment