Memaknai Kehidupan Kedua Setelah Lolos dari Tumor Otak
Sempat berada di gerbang maut saat tumor otak hinggap di kepalanya, membuat banyak perubahan bagi Rita. Baginya, kesempatan untuk menikmati hidup setelah lepas dari ganasnya tumor otak merupakan sebuah mukjizat yang diberikan Tuhan. Alhasil, kehidupan kedua Rita sekarang dipenuhi dengan banyak kegiatan yang bermanfaat termasuk salah satunya adalah menelurkan lagu yang menggambarkan perjuangannya melawan tumor otak. Lalu bagaimana kisahnya?
Tuhan… Jangan ambil nyawaku yang belum ingin mati..
Meninggalkan dia yang aku cinta selama hidupku..
Berikan mukjizat-Mu sekali ini saja untuk kita bisa terus menjalani cinta ini seutuhnya..
Pedih.. Ya sampai ke dasar hati bila kuharus meninggalkan..
Tinggalkan dirinya…
Sepenggal lirik lagu bertajuk Pedih itu akan mulai meramaikan industri musik tanah air pada bulan Februari mendatang. Kata-kata dalam lirik tersebut mungkin tak berarti banyak bagi orang lain. Tapi bagi Rita Dinah Kandi, kata-kata itulah yang menggambarkan perasaannya saat harus berada di ambang pintu maut tatkala berjuang melawan penyakit yang bisa saja merenggut nyawanya seketika. Kendati demikian, wanita yang dikenal karena sempat menjadi penyanyi di era tahun 1980-an ini, masih saja menekuni profesinya yang lain.
Sesuai dengan pendidikan yang ia tempuh, kini Rita menikmati pekerjaannya sebagai seorang dokter gigi. Selain masih berpraktik di Rumah Sakit MMC (Metropolitan Medical Center), Kuningan, Jakarta Pusat, Rita juga berpraktik di Jalan Martimbang VI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Setelah Realita menunggu beberapa lama di klinik miliknya itu, sebuah mobil sedan BMW masuk ke garasi. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah menginjak kepala empat itu lantas keluar dari mobilnya. Rita masih kuat untuk menyetir sendiri mobilnya tersebut. Senyum di wajah Rita langsung mengembang saat bertemu dengan Realita.
Bakat Menyanyi. Berbagai peralatan dokter gigi ada di dalam ruangan yang tak begitu besar tersebut. Selain itu, beberapa gambar foto Rita menghiasi berbagai sudut ruangan. Tak hanya itu saja, dua papan yang bertuliskan tandatangan beberapa public figure juga menempel di dinding. Salah satunya adalah tandatangan Aa Gym beserta sang istri, Teh Ninih. “Klinik ini mulai berdiri sekitar tahun 2000,” kenang anak dari pasangan (Alm) Toerido Brojoloekito dan Sri Sapardinah (65) ini memulai pembicaraan. Sambil duduk santai di ruang kerjanya, Rita pun berbagi kisah tentang perjalanan hidupnya yang sempat diberikan cobaan berbentuk penyakit tumor otak.
Sebagai anak dari seorang ayah yang bekerja di Pertamina, Rita memang kerap berpindah tempat tinggal lantaran kepindahan tugas sang ayah. Tak heran, anak pertama dari tiga bersaudara ini lahir di kota Prabumulih, Sumatera Selatan pada 18 Agustus 1962. Ia sempat mengenyam pendidikan SD hingga SMP di kota tersebut. Namun di pertengahan tahun saat Rita duduk di bangku SMP, ia pindah ke Jakarta karena sang ayah kembali pindah tugas ke Kota Medan. Rita dititipkan ke salah satu saudaranya di Jakarta. “Ayah saya itu sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya,” ujar Rita mengenang almarhum ayahnya itu.
Di ibukota, Rita bersekolah di SMP Perguruan Cikini dan kemudian melanjutkan ke SMA 4, Jakarta. Saat masih duduk di bangku SMA, bakat menyanyinya mulai terlihat. Bakat tersebut lantas menghantarkan Rita ke dunia keartisan. Terlebih lagi, setelah terpilih menjadi juara II Bintang TV dan Radio Sumatera Selatan tahun 1977 dan Juara Harapan Bintang Radio dan TV tingkat nasional pada tahun 1980.
Dokter Gigi dan Penyanyi. Tanpa meninggalkan pendidikannya, Rita juga berkarir di dunia tarik suara. Namanya mulai berkibar setelah menelurkan album pertama bertajuk Duri-Duri Cinta (1979). Ketenaran semakin diraihnya saat kembali mengeluarkan album keduanya, Dua Hati Satu Asa (1987). Nama Rita langsung diperhitungkan di industri musik tanah air. Selepasnya lulus dari SMA, Rita melanjutkan pendidikannya di kedokteran gigi Universitas Trisakti. “Saya memang bercita-cita menjadi seorang dokter,” ungkap wanita penyuka travelling ini. Di masa kuliah, Rita sempat bergabung dengan Paduan Suara Trisakti dan ikut ambil bagian pada Festival Paduan Suara ITB pada tahun 1984, yang kemudian berhasil menyabet juara I. Rita lulus dan meraih gelar dokter gigi pada tahun 1987.
Berbekal gelar dokter gigi, Rita sempat bertugas di Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta. Karir di dunia tarik suara tak membuat ia melupakan kehidupan pribadinya. Hubungannya dengan seorang pria bernama Ir. Syaiful M. Anwar (49) yang telah berlangsung cukup lama, dibawanya ke pernikahan pada 17 Desember 1989. Setelah menikah pun, Rita masih aktif bernyanyi. Terbukti dengan keluarnya album-album berikutnya, Kisah Cinta di Kota Kecil (1997), Aku Masih Sayang (1998), Bila Hati Kita Berbeda (1998) dan Jalan Terbaik (2000).
Kehidupannya memang terbilang sempurna seiring dengan kehadiran dua buah hatinya, yakni Paquita Genuschka (17) dan Ramawajdi Kanischka (9). Ditambah lagi, profesinya sebagai dokter gigi kembali mendapatkan kepuasan setelah ia mendirikan klinik gigi sendiri di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sejak tahun 2000. Rita juga kembali mendalami ilmunya di luar negeri. “Saya lebih mendalami estetika,” kenang Rita. Setelah album terakhirnya pada tahun 2000, Rita memang tak banyak melakukan kegiatan keartisan. Ia lebih menghabiskan waktu untuk berpraktik sebagai dokter gigi sekaligus menjadi seorang ibu dari dua anaknya.
Selain itu, Rita juga memiliki beberapa bisnis di bidang konstruksi dan ekspor-impor. Ketiga kegiatan itulah yang kemudian menghabiskan banyak waktunya. “Saya memang orangnya workaholic,” aku Rita. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk pekerjaan dan menyanyi. Kehidupan Rita dipenuhi dengan berbagai target dan ambisi dalam karirnya. Tak jarang, ia kerap lupa meluangkan waktu untuk sekadar makan. Kehidupan tak sehat inilah yang diduga Rita menjadi penyebab munculnya penyakit ganas di kepalanya.
Sakit Kepala Kronis. kehidupan Rita yang hampir mencapai kesempurnaan itu harus terhenti sejenak lantaran cobaan yang mendera hidupnya. Cobaan berupa penyakit ganas itulah yang sempat menghantarkan Rita ke dalam ruang ICU rumah sakit. Awalnya, Rita kerap merasakan sakit di kepalanya. “Sakit kepala ini sudah sering saya alami sejak 6 tahun lalu,” ujar Rita. Ia tak pernah anggap serius rasa sakit yang kerap mendera kepalanya tersebut. Bahkan Rita menganggap rasa sakit di kepalanya hanya gejala masuk angin biasa. “Waktu itu saya hanya meminum pain killer untuk meredakan rasa sakitnya,” kenang Rita.
Mulanya, rasa sakit itu memang mereda ketika pain killer diminum Rita. Namun lama kelamaan, pil pain killer sudah tak mempan untuk meredakan rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi-jadi. Hingga suatu hari di tahun 2007 menjadi awal petaka bagi kehidupan Rita. Tepat pada malam takbiran, tiba-tiba kepalanya kembali merasakan sakit yang sangat luar biasa ketimbang sakit sebelumnya. Rasa sakit itu hanya menyerang kepala bagian kirinya seperti ada tusukan ribuan jarum. Tak hanya itu saja, tubuh bagian kanannya pun mati rasa. Pandangan mata Rita pun mulai mengabur dan mulutnya menyong tiba-tiba. Rita tak kuasa untuk menahan berat tubuhnya yang lemah tak berdaya.
Merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya, Rita yang saat itu tengah berada di lantai 3 rumahnya hendak meminta bantuan kepada keluarganya yang sedang berada di lantai dua. Sembari berusaha berjalan dengan sekuat tenaga, Rita menuruni tangga. Namun, kondisinya yang sangat lemah membuatnya terjatuh dari tangga dan terguling ke lantai dua. Kepalanya terbentur lantai. Darah segar pun mengucur dari kepalanya. “Saya masih tersadar,” kenang Rita yang sempat menunaikan Haji tahun 2006. Mengetahui Rita terjatuh dari tangga, keluarganya lantas membawanya ke rumah sakit MMC. Hari Idul Fitri terpaksa ia rayakan di rumah sakit bersama keluarganya.
Luka di kepalanya langsung dijahit. Rita juga menjalani scan untuk mengetahui penyebab rasa sakit di kepalanya yang sudah bersarang sejak lama. Hasilnya cukup mengejutkan. Pasalnya, sang dokter menemukan sebuah benda sepanjang 5 cm di kepala bagian kirinya. Benda itulah yang kemudian disebut sebagai tumor dan menjadi penyebab rasa sakit di kepalanya selama ini. Kendati sangat berisiko tinggi, Rita memilih untuk menjalani operasi pengangkatan tumor. “Saya hanya bisa pasrah kepada Allah,” ujarnya sembari terharu. Padahal sebelumnya, sang dokter telah mengatakan bahwa kemungkinan untuk mencapai kesembuhan sangat kecil sekali. Ketakutan akan kematian langsung membayangi pikirannya. Rita tak mau menempuh pengobatan secara alternatif, karena ia mengaku lebih percaya bahwa penyakitnya tersebut masih mampu disembuhkan secara medis.
Jalani Operasi. Jantungnya berdegup kencang saat memasuki ruang operasi di rumah sakit. Berbekal kepasrahannya kepada Allah, ia memilih untuk segera dioperasi meski kemungkinan kesembuhannya sangat kecil. Rita selalu berusaha untuk menyerahkan diri kepada Sang Pencipta. Doa dzikir pun tak pernah berhenti keluar dari mulutnya. Seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di rumah sakit seolah-olah menjadi perjumpaan terakhir mereka dengan Rita. Mereka khawatir terhadap kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi setelah operasi, termasuk kedua anaknya yang masih kanak-kanak. Operasi pengangkatan tumor sendiri dilakukan pada Rabu malam, 17 Oktober 2007.
Setelah menjalani operasi yang ditangani 9 orang tim dokter, Rita mengalami pendarahan hebat. Sayangnya, persediaan darah di kantor PMI (Palang Merah Indonesia) sedang kosong. Kekhawatiran melanda seluruh anggota keluarga. Mereka lantas meminta bantuan kepada rekan-rekan Rita dan mencari golongan darah B yang cocok dengan Rita. Bila awalnya diperkirakan hanya membutuhkan sekitar 600 cc darah, ternyata perkiraan tersebut meleset. Pendarahan hebat yang dialami Rita ternyata membutuhkan transfusi darah sebanyak 2000 cc. Beruntung, karena darah terkumpul dari beberapa temannya.
Setelah operasi yang berlangsung selama 5 jam tersebut, Rita langsung mengalami koma. Dua hari kemudian tepatnya pada Jumat tengah malam, barulah ia tersadar. Akan tetapi, ia merasa tersiksa karena harus bernafas dengan menggunakan mesin respirator selama sekitar 8 jam. “Saya bernafas seperti dipaksakan,” ungkap penyuka makanan bakso ini.
Rita sendiri menjalani perawatan intensif di rumah sakit pascaoperasi selama 10 hari. Setelah itu, ia lantas keluar dari rumah sakit dan beristirahat di rumah. Namun, tak semudah itu ia mendapatkan kesembuhan. Pasalnya, pemulihan selepas operasi memakan waktu cukup lama. “Kata dokter, pemulihannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun,” tutur Rita. Setelah berada di rumah, kondisi tubuhnya belum banyak mengalami perubahan positif. “Saya bagaikan anak kecil yang mulai belajar memegang dan menulis,” kenang Rita. Untuk memegang benda kecil saja, Rita harus belajar sekitar 3 bulan. Ia juga kerap rutin mondar-mandir ke rumah sakit untuk menjalani fisioterapi dan berkonsultasi dengan dokter. “Jari tangan saya saja sekarang masih belum normal,” ujar Rita sambil menunjukkan gerakan jari tangannya yang masih belum sinkron. Ia menjalani terapi selama 6 bulan secara intensif untuk mengembalikan fungsi gerak tubuh bagian kanannya akibat dari tumor otaknya yang berada di sebelah kiri.
Kehidupan Kedua. Kini, setelah 2 tahun menjalani waktu pascaoperasi, Rita berusaha mengisi hidupnya dengan berbagai kegiatan bermanfaat tak hanya bagi dirinya sendiri tapi bagi banyak orang. “Saya jadi membuang pikiran-pikiran kotor dari kepala saya,” ujar Rita tersenyum. Ia sendiri mengaku trauma dengan tumor otak yang pernah diidapnya. Namun, Rita berusaha keras untuk menghilangkan trauma dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Beruntung bagi Rita, ia masih mendapatkan kesempatan hidup kedua. Oleh karena itu, sebagai penyanyi, ia masih ingin mengeluarkan album setelah 8 tahun vakum. Lagu bertajuk Pedih pun akan mulai menyapa para penggemar Rita mulai Februari mendatang seiring dengan keluarnya album ketujuh Rita. “Lagu Pedih ini diciptakan Bebi Romeo khusus untuk saya,” aku Rita bangga. Lagu Pedih ini pula yang menjadi andalan untuk albumnya yang akan diluncurkan pada Februari mendatang. Album yang berisikan 10 lagu ini dianggapnya sebagai pengobat rindu bagi Rita setelah sekian lama tak mengeluarkan album.
Selain untuk tujuan komersil, Rita juga menganggap menyanyi sebagai sebuah terapi bagi pengobatannya pascaoperasi. “Saya menjadi lebih bersemangat dan santai dalam menjalani hidup dengan menyanyi,” tutur Rita. Melalui lagu dan albumnya tersebut, ia juga berharap dapat memberikan pelajaran bagi masyarakat agar selalu menghargai hidup yang dianggapnya sangat berharga.
Berkat ujian tumor otak, Rita mendapatkan kehidupan baru yang dirasanya lebih baik. Banyak hikmah yang didapatkannya. “Saya jadi lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah,” tutur Rita. Selain itu, menyadari bahwa sebelumnya banyak disibukkan dengan pekerjaan, Rita kini menjadi lebih banyak meluangkan waktu bersama keluarga, khususnya kedua buah hatinya. Tak heran, dalam hal ibadah, Rita berusaha keras untuk selalu melaksanakan ibadah shalat wajib. “Saya berusaha setiap malam untuk melaksanakan shalat Tahajud,” ungkap Rita yang juga mengajarkan shalat Tahajud kepada anak-anaknya ini. “Saya kini memprioritaskan hubungan dengan Allah dan keluarga,” ujar Rita sembari menutup pembicaraan. Fajar
Side Bar 1…
Sempat Diramal Akan Mendapat Penyakit
Penyakit tumor otak yang diidapnya pada tahun 2007, tak disangka pernah diungkapkan oleh orang tak dikenal yang menghampirinya ketika masih mengenyam pendidikan di Kedokteran Gigi, Universitas Trisakti. Kala itu, Rita tengah duduk di kursi panjang tak jauh dari klinik umum yang ada di kampusnya. “Waktu itu banyak pasien yang sedang menunggu giliran,” kenangnya. Rita sendiri sedang menjalankan praktik kerja sebagai tahapan untuk meraih gelar dokter gigi.
Tiba-tiba seorang pria tak dikenal menghampirinya. Pria yang juga menjadi pasien itu sempat mengobrol dengan Rita. Tak hanya itu saja, pria tersebut mengatakan sesuatu hal yang mengejutkan Rita. “Katanya, di usia saya nanti kepala tiga, saya akan mendapatkan penyakit cukup parah,” tutur Rita sambil mengingat kejadian itu. Pria yang kemudian mengaku sebagai paranormal itu pun meninggalkan Rita setelah cukup lama mengobrol. Awalnya, Rita tak pernah menganggap serius perkataan pria itu.
“Sudah melewati usia kepala tiga, nggak ada penyakit. Ya berarti cuma ramalan belaka,” ungkap Rita setelah melewati usia kepala tiganya. Namun, tak disangka pada tahun 2007, ramalan itu ternyata terbukti. Penyakit tumor otak bersarang di bagian kiri kepalanya. Meskipun terbukti apa yang dikatakan pria tak dikenal tersebut, Rita tak lantas menganggap ramalan akan selalu menjadi nyata di masa mendatang. “Ini memang harus terjadi,” ujarnya singkat. Yang terpenting baginya adalah penyakit tumor yang sempat diidapnya sebagai ujian dari Allah. Fajar
No comments:
Post a Comment