Monday, March 22, 2010

Ade Pujiati, Pemilik SMP Ibu Pertiwi

Mendirikan SMP Gratis Setelah Kecewa Terhadap Sekolah Negeri

Merasa kecewa dengan sikap pihak sekolah negeri yang tidak membebaskan pungutan biaya kepada para siswa, akhirnya membuat perempuan ini membuat sebuah gebrakan. Ade lantas mendirikan sebuah sekolah tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) yang dikhususkan bagi anak-anak kurang mampu. Alhasil, puluhan anak kurang mampu kini mampu mengenyam pendidikan gratis dan mendapatkan harapan untuk menggapai cita-citanya. Lalu bagaimana cara Ade mewujudkan pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu tersebut?

Bunyi nada-nada yang terangkai indah terdengar dari sebuah rumah besar yang berada di dalam kompleks Perdatam, Jakarta Selatan. Tepat di halaman rumah, beberapa anak berseragam putih biru tengah sibuk memegang alat musik yang terbuat dari bambu. Beberapa anak lainnya yang tidak berseragam SMP juga sedang asyik memainkan nada-nada sehingga terdengar sebuah lagu nan indah. Meski udara terasa panas, mereka seperti tak menghiraukannya. Butiran keringat yang jatuh di pelipis wajah anak-anak itu seakan-akan tak menghalangi keinginan mereka untuk belajar bermain musik. Sesekali gelak tawa menghentikan alunan nada alat musik angklung yang sedang mereka mainkan. Tak jarang pula, mereka terdiam dan terlihat serius mendengarkan suara dari seorang perempuan di depan mereka.

Tepat di depan barisan anak-anak siswa itulah, berdiri seorang perempuan berkerudung yang menjadi guru dalam bermain angklung. Walaupun raut wajahnya menampakkan kelelahan, ia masih tetap bersemangat untuk mengajari anak-anak tersebut bermain musik angklung. Seperti halnya anak-anak siswa yang berkeringat karena panasnya suhu udara di luar ruangan, perempuan tersebut juga sesekali menyeka butiran keringat yang jatuh ke dahinya. Sebuah spanduk panjang bertuliskan ‘School For The Poor, SMP Gratis : TKBM Ibu Pertiwi’ terpampang di pagar halaman, tempat anak-anak itu belajar bermain musik. Spanduk itu pulalah yang membedakan rumah bernomor 4B tersebut dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Karena rumah besar itu tak hanya digunakan sebagai tempat tinggal bagi si empunya saja, tapi juga digunakan sebagai tempat menuntut ilmu bagi 24 siswa-siswi yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Didikan Orang Tua. Keberadaan SMP gratis itu tak bisa dipisahkan begitu saja dengan sosok perempuan berkerudung yang menjadi pemilik sekaligus pendirinya. Dialah Ade Pujiati, wanita yang patut diacungi jempol karena mampu mendirikan sebuah sekolah gratis bagi anak-anak setingkat SMP kurang mampu. Saat Realita mengunjungi kediamannya itu pada hari Selasa (27/11), Ade terlihat sibuk mengajari anak-anak muridnya bermain musik angklung. Setelah selesai mengajar, jabat tangan dan senyum ramah menjadi awal perbincangan pada tengah hari tersebut.

Ade bukanlah sosok perempuan pengusaha kaya raya hingga mampu mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu. Ia hanyalah seorang guru les piano yang kerap berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengajar cara bermain piano kepada beberapa anak didiknya. Meski begitu, ia ternyata memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi terhadap kaum yang kurang beruntung. Terlebih lagi, anak-anak kurang mampu yang harus putus sekolah karena ketiadaan biaya. Ade pun lantas mendirikan SMP gratis bagi anak-anak kurang mampu tersebut.

Ade Pujiati merupakan anak keempat dari lima bersaudara pasangan (Alm.) M. Karyadinata dan Isa (72). Ia lahir di Jakarta pada 6 Oktober 41 tahun yang lalu. Kepedulian sosial yang dimiliki Ade ternyata tak terlepas dari didikan kedua orang tuanya. “Kedua orang tua saya sering memberikan contoh ketika memberi kepada mereka yang kurang beruntung,” kenang Ade. Tak heran, Ade tumbuh menjadi perempuan yang sangat peduli terhadap lingkungannya. “Ayah saya juga mengajarkan bagaimana cara yang tepat menolong orang,” lanjutnya.

Ade kecil lahir dan besar di rumah orang tuanya, yang kini juga dijadikan sebagai sekolah SMP gratis bagi anak kurang mampu. Ia bersekolah di SDN Pancoran 01 dan SMPN 13, Kebayoran, Jakarta Selatan. Ade kemudian melanjutkan sekolah ke SMAN 24, Jakarta. Selain sibuk mengenyam pendidikan, Ade juga memiliki kesenangan untuk ikut dalam berbagai organisasi. “Saya suka berorganisasi,” ujar Ade singkat tanpa menyebutkan nama organisasi yang diikutinya. Tak hanya berorganisasi dan bersekolah, Ade juga mengikuti kursus musik di Sekolah Musik YPM (Yayasan Pendidikan Musik, red). Kala itu, ia belajar cara bermain piano. “Saya belajar piano cukup lama, meski nggak sampai selesai,” ungkap Ade singkat. Selepas menyelesaikan pendidikan SMA-nya, ia lantas meneruskan ke bangku kuliah seperti harapan dari kedua orang tua sebelumnya.

Guru Les Piano. Program studi Sastra Inggris di Universitas Indonesia menjadi pilihan Ade dalam melanjutkan pendidikan kuliahnya. Selain disibukkan dengan pendidikannya di bangku kuliah, Ade juga sibuk berorganisasi seperti yang dilakukannya semasa sekolah dulu. Tak hanya itu saja, di samping kuliah, Ade juga bekerja sebagai seorang wartawati di sebuah media cetak ibukota. “Jadi, saya sembari kuliah, kerja juga,” akunya. Alhasil, Ade mampu membiayai kuliahnya sendiri tanpa harus meminta kepada kedua orang tuanya. Meski begitu, keasyikannya bekerja membuat ia harus memilih antara pekerjaan dan pendidikan. Akhirnya, Ade lebih memilih untuk berkarir menjadi seorang wartawati sekaligus guru les piano bagi segelintir anak yang menjadi siswanya.

Berkarir menjadi seorang wartawati ternyata hanya sekejap saja bagi seorang Ade. Ketika baru menginjak 7 bulan meniti karir sebagai seorang reporter, media tempatnya bekerja harus berhenti beroperasi. “Waktu itu kan zamannya media di-bredel,” ujar Ade. Tak pelak, ia harus melepaskan karir sebagai seorang wartawati. Beruntung, Ade memiliki keahlian bermain piano yang cukup mumpuni berkat pendidikan musik piano yang pernah ia dapatkan ketika masih kanak-kanak. Ditambah lagi dengan kecintaannya terhadap musik, Ade akhirnya memilih fokus untuk menjadi seorang guru les piano. “Menjadi guru les piano itu cukup besarlah penghasilannya,” aku Ade sembari tersenyum simpul. Hal tersebut lantas membuatnya tertarik menjadi seorang guru les piano. Sejak saat itu, kegiatannya hanyalah mengunjungi anak-anak siswa yang memanggilnya untuk mengajari piano di rumah masing-masing.

Kemapanannya dalam profesi sebagai seorang guru les piano tak membuat Ade lupa terhadap nasib warga kurang mampu. Sebaliknya, karena merasa mampu memperoleh penghasilan sendiri, ia merasa terpanggil untuk mengulurkan tangan terhadap kaum papa. Pertama kali yang dilakukannya adalah dengan memiliki beberapa anak asuh yang secara rutin dibiayai sekolahnya. “Sudah lama saya punya anak asuh,” ungkap Ade tanpa menyebutkan jumlah anak asuhnya. Sebagian besar anak asuhnya berasal dari keluarga kurang mampu. Tak heran, Ade memutuskan untuk membantu dengan membayar iuran sekolah yang tentu saja tak sanggup mereka bayar. Kala itu, Ade belum memiliki keinginan untuk mendirikan sekolah gratis karena ia membiayai beberapa anak asuhnya di sekolah negeri biasa.

Kecewa Terhadap Sekolah Negeri. Pengalaman pahit menghadapi sikap sekolahlah yang membuat Ade memutuskan untuk mendirikan SMP gratis bagi anak-anak kurang mampu. “Waktu itu saya kecewa melihat sikap sekolah yang masih memungut biaya kepada anak-anak asuh saya, padahal sudah ditentukan oleh pemerintah tidak memungut biaya sama sekali untuk pendidikan 9 tahun,” tutur Ade sembari menunjukkan kekesalan di wajahnya. Terlebih lagi setelah hadirnya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah, red). Menurut Ade, sekolah-sekolah negeri kini semakin gencar ‘berbisnis’ buku dengan cara menjual buku kepada anak siswanya. Hal itulah yang menimbulkan kekecewaan tersendiri bagi Ade. “Buku yang seharusnya dipinjamkan, siswanya malah disuruh beli,” sesal Ade.

Kekecewaan yang sempat hinggap dalam diri Ade lantas membuatnya memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu. Seorang diri, ia berjalan berkeliling kampung di sekitar Jakarta Selatan untuk mencari anak-anak kurang mampu yang tak bisa meneruskan sekolah karena ketiadaan biaya. “Saya tempelkan pamflet pengumuman di berbagai daerah di Jakarta Selatan,” kenang Ade. Bukan tanpa halangan Ade menyebarkan pamflet mengenai keberadaan SMP gratis yang akan didirikannya tersebut. “Banyak yang meragukan keberadaan SMP gratis, dikiranya saya bohong,” tuturnya. Meski demikian, kala itu ia tetap mendirikan SMP gratis yang ditujukan bagi anak-anak putus sekolah dan mencari anak-anak kurang mampu yang berhak mengikuti pelajaran di sekolah miliknya.

Setelah mampu merangkul 24 anak kurang mampu, barulah Ade memulai niat mulianya dengan mendirikan sebuah sekolah SMP gratis sederhana yang bertempat di rumahnya sendiri. Tepat pada tanggal 3 September lalu, SMP Ibu Pertiwi miliknya resmi dibuka. “Biayanya puluhan juta,” aku Ade tanpa menyebutkan pasti nominal uang yang harus dikeluarkan untuk mendirikan SMP gratis miliknya tersebut. Jumlah uang itu didapatnya dari kocek sendiri dan sumbangan dari beberapa rekannya. Meski harus dengan susah payah, Ade mewujudkan cita-citanya mendirikan sekolah, ia tetaplah bangga walaupun kini sekolahnya tersebut masih memiliki banyak kekurangan. Uang puluhan juta yang digunakan sebagai biaya mendirikan sekolah diakui Ade digunakan untuk membeli segala macam peralatan sekolah. “Untuk buku tulis dan buku pelajaran,” ujar Ade. Buku-buku itulah yang kemudian dibagikan kepada setiap siswa secara gratis. “Mereka dipinjamkan buku-buku pelajaran,” imbuhnya. Setiap siswa tidak dipungut biaya sama sekali untuk mengikuti pelajaran di SMP Ibu Pertiwi. Bahkan, diakuinya, ia harus merogoh koceknya sebesar Rp 350 ribu setiap siswa untuk buku-buku dan peralatan sekolah yang mereka gunakan. Meski demikian, Ade tidak membiayai ongkos yang digunakan para siswanya untuk pulang pergi dari rumah ke sekolah.

Pendidikan Musik dan Keterampilan. Tak dinyana, guru-guru yang mengajar di SMP Ibu Pertiwi juga tak lain adalah rekan-rekan Ade sendiri. “Ada yang teman kuliah, ada tetangga juga, banyaklah,” ujar Ade singkat. “Mereka sukarelawan,” tambahnya. Kini, SMP Ibu Pertiwi memiliki 17 orang guru yang mengajar berbagai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah tersebut. Mata pelajaran yang ada di SMP Ibu Pertiwi diakui Ade memang tidak jauh berbeda dengan sekolah negeri lainnya. Yang membedakan hanyalah dua pelajaran tambahan yang diajarkan kepada para siswanya. “Kita ada pelajaran musik dan keterampilan,” ungkap Ade. Salah satu alat musik yang diajarkan kepada para siswa adalah alat musik angklung. Mereka juga diajarkan keterampilan tangan sebagai salah satu bekal setelah lulus sekolah nantinya. Keterampilan ini berupa keahlian dalam membuat sebuah kerajinan tangan. “Rencananya, saya akan mengajarkan keterampilan dari rotan untuk berbagai macam barang yang nantinya bisa dijual,” ujar Ade. “Jadi, jika mereka lulus, setidaknya punya keterampilan dan mampu buka usaha sendiri,” imbuhnya.

Para siswa SMP gratis Ibu Pertiwi juga nantinya dapat mengikuti ujian nasional setelah menyelesaikan tiga tahun pendidikannya. Pasalnya, mereka terdaftar sebagai siswa SMPN 67, Manggarai, Jakarta Selatan. “Walaupun mereka belajarnya di sini, mereka juga terdaftar sebagai siswa di SMPN 67,” aku Ade. Sehingga para siswa ini berhak mengikuti ujian nasional di akhir sekolahnya kelak.

Walaupun baru berjalan 3 bulan, SMP gratis Ibu Pertiwi tetap mampu menjadi wadah pendidikan bagi sebagian anak-anak kurang beruntung yang tak bisa melanjutkan pendidikan SMP-nya. Luapan kegembiraan terpancar dari wajah 24 anak yang kini menjadi siswa SMP Ibu Pertiwi. Entah sampai kapan kegiatan belajar mengajar anak-anak kurang beruntung tersebut akan tetap mendapatkan ilmu dengan gratis. Tapi yang pasti, Ade bertekad untuk meneruskan sekolah yang didirikan dari hasil jerih payahnya sendiri. Bahkan, Ade bercita-cita untuk mendirikan bangunan permanen yang kelak akan dijadikan sebagai sekolah gratis bagi anak-anak kurang mampu. Saat ini, Ade memang fokus untuk membahagiakan anak-anak tersebut. Kesibukannya inilah yang sangat menguras waktu Ade sehari-hari. Untuk kehidupan pribadinya pun, Ade tidak terlalu ambil pusing. Jodoh yang tak kunjung tiba di usianya yang sudah menginjak 41 tahun, tidak dijadikannya sebagai sebuah beban hidup yang harus ditanggungnya sendiri. Melihat kebahagiaan dari anak-anak kurang mampu sudah merupakan sebuah kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakannya sendiri. “Belum mendapatkan jodoh bukan merupakan masalah bagi saya,” ungkap Ade sembari menutup pembicaraan. Fajar

Side Bar 1…

Terbiasa Berbagi Sejak Masih Kanak-kanak

Aksi sosial yang dilakukan Ade memang tak terlepaskan begitu saja dari didikan kedua orang tuanya. Ketika ia masih kanak-kanak, Ade kerap diberikan contoh oleh kedua orang tuanya tentang cara menolong orang yang membutuhkan. “Kedua orang tua saya mengajarkan bagaimana caranya bersyukur dan menolong orang dengan cara yang tepat,” tutur Ade bersemangat. Salah satunya adalah ketika sang ayah yang memberikan ijin kepada kedua PRT (Pekerja Rumah Tangga, red) di rumahnya untuk bersekolah kembali. Sehingga kedua PRT tersebut dapat meningkatkan ilmu yang mereka miliki.

Tak hanya itu saja, ketika Ade masih duduk di bangku kelas 3 SMP, sang ayah mengajaknya untuk berkunjung ke salah satu panti asuhan di Jakarta. “Waktu itu adalah ulang tahun saya,” kenang Ade. Kala itu, ia diajarkan untuk berbagi dengan anak-anak kurang beruntung. Dengan berbagi itu pulalah, Ade merasa bahwa nasibnya sangat beruntung ketimbang anak-anak yang tinggal di panti asuhan. Dengan begitu, motivasi Ade untuk terus berkarya dan mengukir prestasi terus meningkat. Sehingga pada akhirnya akan bersyukur dengan cara berbagi terhadap sesama.

Hal itu pula yang menjadi dasar sikap Ade selama ini. Tak tanggung-tanggung, mewujudkan pendidikan gratis adalah jalan yang ditempuhnya. Seperti yang diakui Ade, pendidikan gratis sempat terlontar dari adiknya yang ternyata juga mendambakan pendidikan gratis bagi masyarakat khususnya warga kurang mampu. “Maunya sih sekolah gratis ini saya jalankan seumur hidup saya,” ujarnya sembari berusaha dan berdoa. Fajar

Side Bar 2…

Berencana Mendirikan Bangunan Permanen untuk Dijadikan Sekolah

Sama halnya dengan sekolah-sekolah umum lainnya, Ade juga menginginkan sebuah bangunan permanen yang nantinya akan digunakan sebagai bangunan SMP Ibu Pertiwi. Namun demikian, angan-angannya tersebut belum mampu diwujudkan pada saat ini. Ia hanya mampu mewujudkan pendidikan gratis di rumah milik orang tuanya. Meski begitu, untuk saat ini ia merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya. Pasalnya, ia mampu mewujudkan keinginannya untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak kurang mampu meski baru sederhana.

Saya inginnya sih punya bangunan sendiri,” ungkap Ade sambil berharap. “Tapi ini kan terbatas dana,” imbuhnya singkat. Dana operasional yang digunakan pada saat sekarang saja, diakui Ade berasal dari beberapa donatur yang nilai sumbangannya tidak terlalu besar. Donatur-donatur itu pun merupakan teman-teman Ade sendiri. Tak heran, kini ia berharap bisa mendapatkan bantuan dari berbagai pihak untuk merealisasikan bangunan sekolah yang permanen. Selain itu, di masa mendatang, Ade juga memiliki rencana untuk melembagakan sekolah yang dimilikinya menjadi sebuah yayasan sosial. Karena, selama ini sekolah gratis yang kini banyak berdiri di berbagai daerah dibentuk oleh yayasan. “Hanya sekolah gratis Ibu Pertiwi saja yang dimiliki oleh saya perorangan,” aku Ade sembari tersenyum. Fajar

Side Bar 3…

Fitriani (13), Salah Satu Siswi SMP Gratis

Saya ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi”

Salah satu anak yang mampu memancarkan rona kebahagiaan tatkala mampu mengenyam pendidikan tanpa harus membayar sepeser pun adalah Fitriani. Sejak SMP Ibu Pertiwi didirikan, Fitriani adalah salah satu siswa yang kali pertama ikut kegiatan belajar mengajar di sekolah gratis tersebut. Sebelumnya Fitriani bersekolah di salah satu SMP swasta di daerah Cawang, Jakarta Timur. Namun, setelah mengetahui tentang sekolah gratis yang didirikan Ade sudah beroperasi, ia lantas menyambangi kediaman Ade yang sekaligus dijadikan sebagai sekolah sederhana. “Awalnya saya diajak teman,” aku Fitriani.

Bila di sekolah sebelumnya, Fitriani diharuskan membayar uang puluhan ribu sebagai iuran sekolah, maka di SMP Ibu Pertiwi, Fitriani sama sekali tidak membayar. Bahkan ia bersama teman-teman lainnya, dipinjamkan buku-buku pelajaran lengkap. “Saya senang karena di sini gratis,” ujarnya singkat. Kehidupan keluarga Fitriani memang berasal dari keluarga kurang mampu. Sang ayah, Kasmanta (35) hanyalah seorang pengamen yang memiliki penghasilan sekitar Rp 20 ribu per hari. Sedangkan ibundanya, Senaulina (33), hanyalah seorang buruh pabrik yang diberi upah Rp 100 ribu per minggu. Penghasilan keduanya kurang mencukupi untuk biaya sehari-hari dan membayar iuran sekolah Fitriani dan sang kakak, yang masih duduk di kelas 2 SMP. Terlebih lagi keluarga ini tinggal di sebuah kontrakan yang cukup menguras penghasilan kedua orang tua Fitriani. Tak pelak, Fitriani pun langsung mengiyakan ketika ia diajak untuk bersekolah di sekolah gratis milik Ade karena mampu meringankan beban kedua orang tuanya.

Fitriani berharap jika nanti ia dapat lulus dari SMP Ibu Pertiwi, ia dapat melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi agar mampu menggapai cita-citanya. “Cita-cita saya ingin menjadi dokter,” ujar anak perempuan yang lahir pada 28 Februari 13 tahun lalu ini. Di matanya, sosok Ade memang dianggap sebagai seorang ibu asuh yang selalu membimbingnya di sekolah. Peran Ade sendiri memang tak hanya sebagai seorang pemilik dan guru saja. Ia juga terkadang harus berperan sebagai seorang ibu bagi para siswanya. “Ibu Ade orangnya baik,” ujar Fitriani. Menurut anak kelas 1 SMP ini, Ade memang seringkali bersikap tegas kepada para siswanya agar dapat menerima ilmu dengan baik. Setiap hari Senin sampai Jumat, Fitriani bersama teman-temannya mendapatkan pengajaran dari pukul 13.00-17.00 WIB. Sedangkan hari Sabtu, mereka mendapatkan pelajaran tambahan, berupa pelajaran musik dan keterampilan serta budi pekerti. Fitriani sendiri mendapat uang bekal dari orang tuanya sebesar Rp 5.000 setiap hari untuk menumpang angkutan umum. Dari uang tersebut, Rp 2.000-3.000 disisihkan untuk ditabung. Setiap anak memang diwajibkan untuk menabung dan disimpan di rumah Ade. “Jumlah uang yang ditabung terserah kita,” aku Fitriani. Setiapkali mereka ada keperluan, maka para siswa itu dapat mengambil dan mempergunakannya. Fajar

8 comments:

rosita kurniawan said...

subbahanalah....saya bangga sama mba ade, bisa berbagi kepada sesama, bisa mengamalkan ilmunya.
mungkin bisa dibagi tips2 nya....mudah2n berkah ya mba dan apa yang diinginkan akan tercapai. amien.
mungkin saya bisa berbagi tapi gimana caranya.
tq.

rosita kurniawan said...

subbahanalah....saya bangga sama mba ade, bisa berbagi kepada sesama, bisa mengamalkan ilmunya.
mungkin bisa dibagi tips2 nya....mudah2n berkah ya mba dan apa yang diinginkan akan tercapai. amien.
mungkin saya bisa berbagi tapi gimana caranya.
tq.

fajar aryanto said...

iya, kita memang butuh orang-orang seperti Mbak Ade ini..
terimakasih sudah berkunjung di blog saya..

Supadilah said...

ada kontak beliau mas??

CATATAN SEORANG REPORTER AMATIR said...

apakah bisa minta kontak person beliau??? mohon infonya ...

CATATAN SEORANG REPORTER AMATIR said...

Ada kontak person beliau tidak ya mas??? boleh minta izin kah untuk minta???

Unknown said...

Saya pun bangga pernah menjadi murid nya 😊

Unknown said...

Saya pun senang pernah menjadi murid beliau 😊