Tiga Kali Lolos Dari Ledakan Bom di Jakarta
Beberapa kali menghampiri maut dan melihat dengan mata kepala sendiri akibat dari bom yang meledak di Jakarta, merupakan suatu pengalaman menakutkan bagi Nurdin. Baginya, lolos dari ledakan bom yang bisa saja merenggut nyawanya seketika merupakan sebuah pertolongan Allah.
Pria paruh baya itu masih terlihat bugar di usianya yang sudah menginjak angka 53. Sepanjang perjalanan hidupnya, pria yang bernama lengkap Muhammad Nurdin tersebut sempat tiga kali lolos dari ledakan bom yang mengguncang kota Jakarta beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, ia menjadi lebih dekat kepada Allah dan lebih menghargai hidupnya. Tak heran, kini Nurdin nampak sumringah dan ramah kepada setiap orang, tak terkecuali kepada Realita yang menyambangi kediamannya pada Sabtu (8/11) lalu.
Selain terlihat ramah, pembicaraan Nurdin juga kerap diisi dengan nada keyakinan terhadap Sang Pencipta yang masih memberikan waktu bagi dirinya untuk mengisi sisa hidup lebih lama. “Ini merupakan rahasia Allah,” ungkap Nurdin memulai pembicaraan. Di rumahnya yang cukup sederhana, Nurdin pun bersedia untuk berbagi cerita tentang kisah lolosnya dari tiga ledakan bom yang memakan puluhan korban jiwa.
Didikan Agama Kuat. Nurdin bukanlah orang yang hidup dengan harta berlimpah. Namun, ia patut bersyukur karena pekerjaannya sebagai seorang messenger atau pengantar surat di sebuah perusahaan asing telah mampu memberikan dirinya kesempatan untuk menafkahi keluarga. Rasa bersyukurnya tersebut diakui Nurdin, dilakukan dengan cara bekerja dengan jujur dan sebaik-baiknya. “Yang penting kita harus bekerja dengan jujur,” ujar Nurdin singkat. Prinsip itulah yang kemudian dipegangnya selama bekerja. Tak ayal, hampir 20 tahun ia habiskan untuk menekuni pekerjaannya sebagai seorang messenger. Menurutnya, waktu selama itu membuktikan komitmen kejujurannya dalam bekerja sehingga ia dipertahankan oleh pihak perusahaan kendati usianya sudah memasuki masa pensiun.
Semasa kecilnya, Nurdin memang telah ditanamkan didikan agama yang kuat dari kedua orang tuanya, (Alm.) Sukro dan (Almh.) Icih. “Saya lahir dan dibesarkan di daerah Curug Cilember, Bogor, yang didikan agamanya kuat,” aku Nurdin. Baik sang ayah maupun ibunya, selalu mengingatkan Nurdin agar tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Disiplin agama itulah yang lantas tertanam dalam kepribadian Nurdin hingga kini. Nurdin yang terlahir pada 14 Maret 1955 ini merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di kota hujan, Bogor.
Selepas menamatkan sekolahnya, Nurdin bersama kedua orang tuanya pindah ke Jakarta untuk memulai kehidupan baru. Saat itu, atas ajakan salah satu saudaranya, pihak keluarga pun pindah ke Jakarta. Sebenarnya sang ayah bekerja di sebuah kantor PLN di Jakarta. Namun, setelah pensiun dari pekerjaannya, ia lantas kembali ke Bogor dan berkumpul dengan istri dan ketiga anaknya. Setelah Nurdin menamatkan sekolahnya, barulah seluruh anggota keluarga pindah ke Jakarta sekitar tahun 1969.
Di Jakarta, Nurdin berusaha untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi, ia baru tersadar bahwa mencari pekerjaan di ibukota tak semudah membalikkan telapak tangan. Tak pelak, Nurdin pun bertekad untuk melakoni pekerjaan apapun asalkan pekerjaan tersebut halal. Bahkan, ia sempat menjadi seorang pegawai rendahan yakni office boy di beberapa perusahaan. Berpindah-pindah tempat bekerja memang tak membuat dirinya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kendati begitu, Nurdin selalu bersyukur dengan apa yang telah didapatnya. Dengan gaji kecil, ia pun berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Meski dengan gaji yang tergolong kecil, Nurdin memberanikan diri untuk menikah pada tahun 1978 dengan seorang gadis bernama Julaeha. Setelah bekerja di berbagai perusahaan dengan status pegawai rendahan, salah satu temannya mengajak Nurdin bekerja di PT Corelab Indonesia sebagai seorang messenger atau pengantar surat. Atas ajakan temannya tersebut, Nurdin pun melamar. Beruntung baginya, ia diterima di perusahaan asing itu sejak tahun 1989. Mulailah Nurdin bekerja di lapangan untuk bertugas mengantarkan surat-surat kepada perusahaan lain yang menjadi klien perusahaan tempatnya bekerja.
Bom BEJ. Sebagian waktunya memang dihabiskan di perjalanan. Pasalnya, Nurdin selalu mengantarkan surat-surat setiap hari di seputar Jakarta, khususnya wilayah perkantoran di Jakarta. “Ya seputar Thamrin, Sudirman, Kuningan sampai Pulogadung, saya mengantarkan surat-surat,” tutur Nurdin. Dengan menggunakan motor inventaris kantor, ia berkeliling Jakarta dan mampir ke kantor-kantor untuk mengantarkan surat. Cuaca panas dan hujan dialaminya selama perjalanan. Ia menekuni pekerjaan itu hingga saat ini. Terhitung hampir 20 tahun, Nurdin bekerja di lapangan. Manis pahitnya bekerja di lapangan sudah ia rasakan. Meski usianya sudah memasuki masa senja, Nurdin masih menguatkan dirinya untuk bekerja.
Selama kurun waktu 20 tahun itulah, Nurdin pernah merasakan adanya pertolongan Allah di saat maut hampir saja merenggut nyawanya seketika. Saat teror bom melanda kota Jakarta, saat itu pulalah maut membayangi Nurdin. Kejadian bom pertama terjadi ketika Nurdin mengantarkan surat sekaligus mengambil sejumlah uang di Bank of America yang berkantor di gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), pada 13 September 2000. Pada hari itu, ia berangkat pada pagi hari dari kantornya di daerah Cilandak. Sekitar pukul 11 siang, ia sampai di gedung BEJ dan lantas mengambil sejumlah uang yang ditugaskan oleh kantor sebelumnya.
Tiba-tiba, suara sirine terdengar di dalam gedung. Banyak orang yang bertanya-tanya tentang apa yang tengah terjadi, termasuk Nurdin sendiri. Ia berusaha untuk tenang menghadapi kekacauan di sekitarnya tersebut sembari menyelesaikan urusannya di bank. Beberapa lama kemudian, Nurdin selesai mengambil uang di Bank of America. Meski kondisi dalam gedung masih belum pasti, ia memutuskan untuk keluar dari gedung dan kembali melanjutkan pekerjaannya mengantarkan surat ke kantor lainnya. Sebelum jam 2 siang, Nurdin sudah keluar dari gedung BEJ dan melanjutkan perjalanan ke gedung di sekitar Sudirman.
Bom Marriott. Ternyata setelah Nurdin sampai di gedung perkantoran tujuan selanjutnya, ia mendengar kabar bahwa gedung BEJ telah terkena ledakan bom. Bom tersebut diletakkan di dekat tempat ia memarkirkan sepeda motornya. Padahal sebelumnya, saat Nurdin datang ke gedung BEJ, ia sempat melihat ada beberapa supir yang dikenalnya tengah duduk-duduk di sekitar tempat parkir tersebut. Saat Nurdin keluar dari gedung BEJ dengan terjadinya bom pun hanya berselang beberapa jam saja. “Itu merupakan kuasa Allah,” ujar Nurdin.
Kejadian bom kedua yang hampir saja dikunjunginya adalah bom yang meledak di hotel JW Marriot pada 5 Agustus 2003. Seperti biasa, Nurdin masih bergelut di lapangan untuk mengantarkan surat ke berbagai perkantoran, termasuk di JW Marriot. Sehari sebelumnya, yakni pada 4 Agustus, Nurdin diberi tugas untuk mengantarkan surat di sebuah perusahaan di kawasan Mega Kuningan tepatnya di JW Marriot. “Saya harus mengantarkan surat itu,” tekad Nurdin. Biasanya, bila surat-surat tak mampu diantarkan pada satu hari, maka ia dapat mengantarkannya pada keesokan hari. Namun, hal tersebut tak selalu terjadi pada pekerjaan Nurdin. Baginya, bila ia memang ditugaskan untuk mengantarkan pada hari itu maka lebih baik ia mengantarkannya pada hari itu juga. Termasuk kejadian pada 4 Agustus, dimana ia ditugaskan untuk mengantarkan surat ke JW Marriot.
Bom Kuningan. Pilihan untuk mengantarkan surat itu pada keesokan hari, tak diambilnya. Pada siang hari, Nurdin menyempatkan diri untuk mengantarkan surat-surat tersebut. Ternyata pada keesokan harinya di jam yang sama ketika ia datang ke JW Marriot, terjadi bom yang meluluhlantakkan sebagian bangunan hotel dan menghancurleburkan restoran yang berada di hotel tersebut. Perasaan terkejut dan setengah tak percaya melanda Nurdin. Kata-kata pasrah kepada Allah pun keluar dari mulutnya. “Kalau saja saya mengantarkan pada keesokan hari, saya pasti mati,” ungkapnya ketika mengetahui adanya bom di JW Marriot.
Tak hanya dua bom saja, Nurdin juga sempat lolos dari bom yang meledak di kedutaan besar Australia, Kuningan, Jakarta. Seperti sebelumnya, Nurdin bertugas untuk mengantarkan surat. Pada pagi harinya, Nurdin sudah bersiap-siap untuk berangkat ke gedung Setiabudi yang menjadi tujuan dan letaknya berdekatan dengan kedutaan besar Australia. “Saya sudah siap berangkat itu pagi-pagi,” akunya. Tapi, ketika Nurdin akan melangkahkan kaki dan menaiki motornya, ia ternyata harus kembali ke kantor karena ada beberapa dokumen yang belum lengkap. Alhasil, ia pun tertahan di kantor dan menunggu kelengkapan dokumen sebelum diantarkan ke gedung Setiabudi. “Saya tertahan di kantor selama hampir satu jam,” kenang Nurdin. Padahal sebelumnya, ia berkeinginan dapat sampai di Kuningan sekitar pukul 10 pagi.
Sesaat setelah selesai mengurusi dokumen yang belum lengkap dan akan berangkat mengantarkan surat ke gedung Setiabudi, Nurdin mendengar kabar bahwa kedutaan besar Australia ternyata telah dibom. Padahal, rute perjalanannya melewati jalan HR Rasuna Said dan letak gedungnya pun tak jauh dari kedubes Australia. Jantungnya pun berdebar kencang dan mulutnya tak mampu berkata apa-apa selain pujian kepada Allah. Entah apa jadinya bila ia tak tertahan di kantor dan berangkat ke daerah Kuningan saat itu juga. Pasalnya, ledakan bom di kedubes Australia tersebut sangatlah besar, bahkan suaranya terdengar hingga radius 15 KM. Gedung-gedung perkantoran di sekitarnya pun hancur akibat ledakan yang amat dahsyat. Bom Kedubes Australia sendiri meledak sekitar pukul 10.30, waktu yang hampir bersamaan dengan tujuan Nurdin sebelumnya. Sekali lagi, Nurdin merasa diselamatkan Allah atas maut yang mengancam nyawanya. Ledakan bom kedubes Australia yang terjadi pada 9 September 2004 itu kembali menyadarkan Nurdin bahwa Allah secara tak langsung menyelamatkan dirinya. Fajar
No comments:
Post a Comment