Tuesday, May 4, 2010

Indria Samego, Pengamat Politik

Anak Juragan yang Tak Tahan Melihat Tindakan Semena-mena

Awalnya Indria Samego memiliki cita-cita menjadi seorang diplomat, namun ia justru menjadi seorang peneliti dan pengamat politik yang mumpuni. Meski begitu, Indria tetap menikmati profesinya saat ini. Baginya, sebagai seorang peneliti sekaligus pengamat politik, ia mampu membuat sebuah perubahan tanpa harus terlibat langsung di dunia politik. Lalu, seperti apa perjalanan hidup dan karir Indria Samego?

Hari Minggu (22/7) pagi menjelang siang, rumah yang terletak di jalan Rajawali Raya, Jakasampurna, Bekasi Barat itu tampak sepi. Hanya ada dua buah kendaraan roda empat yang terparkir di bagian garasi rumah tersebut. Salah seorang pengurus rumah pun keluar dan menyambut kedatangan Realita. Saat memasuki halaman rumahnya, suasana sejuk langsung terasa. Perjalanan yang jauh dan cukup panas langsung tergantikan dengan suasana sejuk di saat Realita masuk ke dalam rumah besar itu. Selang beberapa lama kemudian, sosok pria setengah baya keluar dari pintu rumah dan langsung menyapa dengan ramah.

Jika dilihat secara seksama, wajahnya terasa asing. Pasalnya, wajah yang biasa dihiasi dengan kacamata tebalnya kini tak ada lagi. Tak pelak, pria itu nampak sedikit lebih muda ketimbang umurnya saat ini. Dialah Indria Samego, sosok pengamat politik yang tak jarang muncul di layar kaca dengan lontaran kalimat-kalimatnya seputar dunia politik tanah air dan luar negeri. Indria kemudian mempersilahkan Realita masuk ke ruang tamu yang berukuran tak begitu besar. Dengan hanya mengenakan t-shirt berkerah dan bercelana jeans, figur Indria terlihat lebih santai ketimbang biasanya. Perbincangan santai dengan ayah tiga orang anak ini pun dimulai.

Anak Seorang Juragan. Indria Samego merupakan anak pasangan (alm) Harjo Disostro dan (alm) Siti Aminah. Ia lahir pada 13 Juni 1950 di kota Cirebon, Jawa Barat. Di kota itu pula, Indria dibesarkan oleh kedua orang tuanya. Kehidupan keluarga Indria memang dapat dikatakan serba berkecukupan. Pasalnya, sang ayah dikenal sebagai seorang juragan di kampungnya. “Bapak saya memiliki lahan pertanian di kampungnya,” ungkap Indria. Tak heran, penghasilannya sudah bisa lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga. Sedangkan sang ibu hanyalah ibu rumah tangga biasa yang mengurusi tujuh anak-anaknya termasuk Indria sendiri.

Indria kecil dibesarkan dengan cukup banyak pelajaran yang diberikan oleh kedua orang tua, khususnya dari sang ayah. “Bapak saya memberikan teladan bagi anak-anaknya,” ujar Indria. Indria bersekolah di SDN 1 Hauergeulis, Indramayu. Masih di kota yang sama, Indria kemudian melanjutkan sekolahnya di SMPN 2 Indramayu, sekolah yang sama dengan Da’i Bachtiar (mantan Kapolri, red). Seiring dengan bertambahnya umur, Indria seakan-akan mampu menunjukkan dunia yang disukainya, yakni berorganisasi. “Saya dulu waktu masih sekolah sangat aktif sekali,” aku Indria.

Aktif Berorganisasi. Keaktifannya terlihat dengan banyaknya teman yang dimiliki Indria ketika masih bersekolah. Bahkan sifat kepedulian terhadap tindakan semena-mena yang dilihatnya sudah terlihat ketika ia menginjak bangku SMP. Selepas SMP, Indria memutuskan untuk bersekolah di luar kota Indramayu. Kemandirianlah yang ia cari hingga memutuskan untuk bersekolah di luar kota Indramayu. SMAN 5 Surabaya merupakan tujuan sekolahnya. Di kota tersebut juga tinggal salah satu sanak keluarganya, sehingga Indria memilih kota pahlawan sebagai kota tempat tinggalnya. Merasa tak betah tinggal di Surabaya, Indria kemudian ikut dengan salah seorang kakaknya dan meneruskan sekolahnya di SMAN Bangkalan, Madura pada kenaikan kelas 2 SMA. Rasa jenuh pun kembali melanda dirinya ketika tinggal di Madura. Ia pun kemudian pindah ke SMAN 2 Cirebon. “Waktu dulu, saya adalah angkatan kedua di SMAN 2 Cirebon,” kenang Indria. Figur terkenal lainnya yang juga pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulunya bernama SMA Garuda tersebut adalah Nano Ryantiarno, seorang seniman yang cukup dikenal di tanah air.

Menjelang akhir pendidikan di SMAN 2 Cirebon, Indria mengalami kebimbangan dalam memilih pendidikan selanjutnya setelah lulus dari SMA. Namun, ada satu cita-cita yang sempat terlintas dalam pikiran Indria, yakni diplomat. “Alasannya sederhana, saya ingin bisa pergi ke luar negeri,” ungkapnya singkat. Alasan itu pulalah yang membimbing Indria untuk memilih jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Gajah Mada (UGM). Beruntung bagi dirinya karena ia dapat diterima di kampus yang terletak di kota pelajar, Yogyakarta tersebut. Indria pun tak bermasalah bila ia harus tinggal di kota asing tanpa kehadiran kedua orang tua. Pasalnya, Indria memang dikenal sebagai anak yang mandiri.

Bercita-cita Menjadi Diplomat. Seperti halnya sewaktu di sekolah, Indria masih tetap aktif meski sudah mengenakan almamater sebagai seorang mahasiswa. Bahkan ia lebih banyak aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan di lingkungan kampus. Meski bukanlah termasuk mahasiswa yang memiliki prestasi mencolok, Indria tetap lebih banyak aktif di berbagai organisasi, khususnya di organisasi mahasiswa asal Jawa Barat di kampus. Meski demikian, prestasi Indria juga tidaklah buruk. Terbukti setelah menamatkan sarjana mudanya, ia berhak untuk melanjutkan kembali meraih gelar Drs berkat prestasinya yang dinilai kampus cukup baik. Alhasil, Indria pun mampu menyandang gelar Drs di depan namanya setelah pendidikannya selesai.

Sebelum menamatkan pendidikan Hubungan Internasional, Indria sempat memikirkan cita-cita diplomat yang sejak kecil telah diidam-idamkannya. Tak dinyana, Indria mengubah cita-citanya tersebut dan memilih untuk bergelut di dunia penelitian dengan melamar menjadi seorang peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). “Saya melihat banyak ekonom-ekonom ternama yang memulai karirnya di LIPI,” ujar indria. Alhasil, ia pun ingin menjadi seperti mereka yang mampu merengkuh namanya yang sukses dimulai dari seorang peneliti di LIPI. “Itu menjadi tantangan buat saya,” tambahnya.

Indria mampu meraih gelar Drs pada tahun 1975, setahun kemudian ia diterima di LIPI sebagai salah seorang peneliti di bidang politik. Di lembaga tersebut, Indria mampu menghasilkan cukup banyak hasil penelitian. Beberapa diantaranya bahkan telah diterbitkan menjadi sebuah buku. Salah satunya adalah buku yang bertajuk ‘Bila ABRI Menghendaki’ dan ‘Bila ABRI Berbisnis’ yang mampu mengangkat namanya sebagai salah seorang peneliti sekaligus pengamat yang diperhitungkan.

Alasan lainnya yang menjadi pertimbangan Indria berkarir sebagai PNS di LIPI adalah tentu saja kesempatan untuk melanjutkan sekolah kembali. “Saya berharap dapat melanjutkan sekolah yang tentu saja dibayar oleh lembaga,” ungkap Indria. Namun, selang beberapa tahun berkarir sebagai PNS di LIPI, tawaran untuk melanjutkan gelar master di luar negeri tak kunjung tiba. Tak ayal, hal tersebut sedikit mengecewakan Indria yang sangat berharap dikirim secepat mungkin ke luar negeri untuk bersekolah. Sehingga, ia memutuskan untuk menggeluti profesi lainnya di luar LIPI. “Saya sempat menjadi asisten dosen di FISIP UI,” aku Indria.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya kesempatan tersebut datang juga. Indria mendapatkan beasiswa untuk mengenyam pendidikan S2 di luar negeri tepatnya di negeri Kangguru, Australia. Perasaan bahagia kian dirasakan Indria manakala proses keberangkatannya ke luar negeri semakin dekat. “Waktu itu, saya sudah punya tiga anak,” kenang Indria. Tak pelak, Indria pun harus mengajak serta istri dan tiga anaknya untuk ikut ke Australia untuk jangka waktu yang cukup lama. Di The Flinders University of South Australia, Indria justru mengambil program Studi Pembangunan. Ia beralasan dengan mempelajari program studi tersebut, maka ia dapat menerapkan langsung di kehidupan nyata. Indria lulus dari universitas dan meraih gelar MA pada tahun 1989. Setelah itu, ia mendapatkan kesempatan untuk kembali melanjutkan gelar Ph.D di kampus yang sama karena prestasinya yang cukup menjanjikan.

Kesempatan untuk meraih gelar PhD lantas diambilnya tanpa perlu berpikir panjang, karena baginya itu merupakan kesempatan emas yang tak boleh dibuang begitu saja. Akhirnya, tahun 1993 Indria mampu meraih gelar PhD dan menyelesaikan petualangannya di Australia selama sekitar 6 tahun bersama istri dan ketiga anaknya. Sekembalinya ke tanah air, Indria masih tetap berkecimpung di LIPI. Bahkan ia meningkatkan kinerjanya dengan menghasilkan beberapa publikasi hasil dari penelitiannya di LIPI. Tak hanya itu saja, ia juga ditawari beberapa jabatan di berbagai lembaga di tanah air. Peneliti senior di lembaga The Habibie Center pun dijabatnya sejak tahun 2000 hingga sekarang. Profesi sebagai seorang dosen pun dilakoninya, salah satunya adalah dosen tamu Sesko TNI (sejak tahun 1997 hingga sekarang) dan dosen tamu Sesko AD (sejak 2003 hingga sekarang).

Selain itu, Indria sempat menjadi staf ahli Fraksi TNI/Polri DPR-RI 1999-2004. Sejak tahun 2001, Indria telah menjadi anggota dewan Direktur CIDES (Center for Information and Development Studies) hingga saat ini. Pada masa kepemimpinan Habibie, Indria juga dipercaya untuk menjadi Asisten Wakil Presiden bidang Politik dan Keamanan.

Terjunnya Indria di dunia peneliti politik dan militer, ternyata mempertemukan dirinya dengan wanita yang hingga saat ini telah menjadi istrinya. Pernikahan Indria dengan Yayat Mardiyah (53) menghadirkan tiga anak, yakni Widya Asri (27), Batara Aditya (24) dan Citra Puspita (22). Kini, anak pertamanya yakni Widya Asri telah menikah dengan pujaan hatinya. Meski begitu, ia masih tetap tinggal bersama dengan Indria. “Rumah ini kan cukup besar, ya sudah tinggal di sini saja,” ungkap Indria. Dalam hal mendidik anak, Indria menerapkan hal serupa dengan apa yang diajarkan oleh ayahnya dahulu. Ia mengaku sangatlah bersikap demokratis dalam mendidik ketiga anaknya. Indria tak pernah mengekang kemauan sang anak selama keinginan mereka bersifat positif.

Menyoal karirnya kini, Indria mengaku tidak mengetahui kapan akan berhenti berkarir sebagai seorang peneliti sekaligus pengamat dunia politik tanah air. Baginya, dengan berkarir seperti sekarang ini, ia juga mampu memberikan kontribusi yang sangat besar untuk kemajuan dunia politik Indonesia. “Kadang-kadang saya ingin berhenti juga menjadi seorang pengamat,” ungkap Indria sembari menutup pembicaraan. Fajar

Side Bar 1

Sejak Kelas 3 SMP, Sudah Ikut Mendemo Pemerintah

Kesukaannya di bidang politik tak dinyana terlihat jelas dari segala perilaku Indria di waktu masih bersekolah. Anak kelima dari tujuh bersaudara ini memang sangat getol berorganisasi baik di sekolah maupun di lingkungan rumahnya. Menurut Indria, dengan banyak berkecimpung di dunia organisasi, ia memiliki lebih banyak jaringan. “Saya kan sebenarnya suka ngobrol ya,” aku Indria. Tak pelak, dengan berorganisasi itulah, Indria dapat menyalurkan hobinya untuk bersosialisasi dengan pihak lain.

Salah satu yang unik adalah keikutsertaannya dalam aksi demo di Indramayu. “Dulu saya ikut demo ketika pergeseran dari orde lama ke orde baru,” kenang Indria. Atas dasar keinginannya sendiri, Indria ikut dalam aksi demo tersebut. “Saya nggak ikut-ikutan loh,” kilahnya. Bukan sekadar ikut-ikutan, Indria kala itu mengaku sudah memiliki sifat kepedulian terhadap sikap yang otoriter atau menindas orang yang tak berdaya.

Saya paling tidak suka melihat orang yang sok atau mentang-mentang,” aku Indria. Dari sifat itulah, akhirnya Indria memutuskan untuk terjun di dunia politik, sebagai seorang pengamat politik. Pilihan tersebut terbilang sangatlah tepat, karena atas dasar pilihannyalah, ia mampu dikenal oleh masyarakat luas. Fajar

Side Bar 2

Belajar Mengenai Hidup dari Ayahanda

Bukanlah seorang publik figur yang dijadikan sebagai panutan bagi sosok Indria, namun ayahnyalah yang menjadi panutan selama ini. Pasalnya, dari sang ayah pula, Indria mendapatkan banyak pelajaran berharga dalam hidup. “Dulu, bapak saya memberikan teladan bagi saya dan anak-anaknya yang lain,” aku Indria. Seperti diungkapkan Indria, sang ayah kerap memberikan nasehat yang merupakan nilai-nilai kejawaan.

Meski banyak pelajaran berharga yang ia dapatkan, ada salah satu nasehat yang selalu ia ingat sampai sekarang. “Jadilah orang yang berguna bagi lingkungan,” ungkap Indria sembari meniru omongan sang ayah. Tak hanya itu saja, meski kehidupan Indria kecil tergolong kehidupan yang sangat berkecukupan, (alm) Harjo Disostro justru mengajarkan kepada Indria untuk tidak bersikap sombong. Latar belakang orang tua yang cukup terpandang memang membuat kehidupan Indria di waktu kecil tak pernah kekurangan, baik materi maupun perhatian dari orang tua. Sang ayah kala itu selain sebagai juragan tanah di kampungnya, juga berprofesi sebagai salah satu pegawai pemerintahan. “Ayah saya dulu adalah asisten wedana,” ungkap Indria. Tak heran pendidikan Harjo Disostro berlatarbelakang HIS, sekolah yang memang dikhususkan bagi pegawai pemerintahan level atas.

Selain diajarkan untuk tidak bersikap sombong dan berguna bagi lingkungan, Indria juga selalu diajarkan untuk dapat mandiri. Kemandirian Indria tergambar jelas ketika Indria harus berpisah dari orang tua saat mengenyam pendidikan SMA dan sarjananya. “Kalau jatuh, harus bisa bangun sendiri,” ujar Indria. Berbagai macam pendidikan mengenai hidup itulah yang kembali diajarkan kepada ketiga anaknya sekarang. Fajar

Side Bar 3

Sempat Mengkritik Peran TNI, Anak Keduanya Malah Menjadi Prajurit TNI

TNI atau yang dulunya bernama ABRI memang kerap menjadi sasaran penelitian bagi Indria Samego. Banyak hal yang menjadi sorotan Indria mengenai peran TNI yang diakuinya melenceng dari tugas awalnya sebagai pengayom masyarakat. Segala macam bentuk pemikiran Indria mengenai peran TNI ini bahkan dituangkan dalam beberapa buku yang merupakan hasil penelitiannya di LIPI. Buku yang bertajuk ‘Bila ABRI Menghendaki’ dan ‘Bila ABRI Berbisnis’ juga telah mampu mengangkat namanya sebagai salah satu pengamat politik luar negeri dan militer ini di tanah air.

Salah satu pendapatnya sempat terlontar kepada Realita tentang kasus pengibaran bendera RMS di Ambon dan OPM di Papua. “Itu hanyalah suatu bentuk ketakutan dan kekhawatiran pemerintah dan TNI,” ujar Indria. Ia juga berpendapat bahwa kasus pengibaran bendera tersebut tidak usah terlalu ditanggapi secara berlebihan. “Itu cuma bentuk ekspresi dari masyarakat setempat saja,” imbuhnya.

Tak disangka sebelumnya, Indria yang banyak mengkritisi peran TNI ternyata memiliki anak yang justru menjadi seorang anggota TNI. Batara Aditya, anak kedua Indria saat ini tengah menjadi salah satu anggota TNI AU berpangkat letnan dan tengah berdinas di daerah Riau. “Awalnya memang dia sendiri yang meminta untuk menjadi TNI,” kenang Indria. Keinginan yang sangat menggebu-gebu dari Batara inilah yang membuat Indria langsung mengiyakannya. “Saya membebaskan keinginan dia (Batara, red),” aku teman dekat BJ Habibie ini. Ijin dari sang ayah lantas mendorong Batara untuk mendaftar menjadi prajurit berseragam loreng.

Beruntung bagi Batara yang lahir 15 Juli 1983 ini, karena ia diterima menjadi seorang prajurit TNI. Ketika ditanya tentang anak keduanya yang menjadi prajurit di sebuah lembaga yang kerap dikritisinya, Indria hanya menjawab, “Anak saya jadi lebih tahu mengenai seluk beluk TNI dari dalam tubuh TNI.” Meski begitu, Indria mengaku sangat bangga tatkala ia mengetahui bahwa Batara diterima menjadi prajurit TNI, meski kini Batara ditempatkan di daerah yang cukup jauh. “Terakhir ketemu sih pas Lebaran ya,” kenang Indria. Namun, Indria tetap mendukung pilihan Batara, anak laki-laki satu-satunya tersebut. Fajar

Side Bar 4

Biodata :

Nama Lengkap : Indria Samego

Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 13 Juni 1950

Pendidikan :

  • Drs Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM, 1975

  • MA-Studi Pembangunan, The Flinders University of South Australia, Adelaide, 1989

  • Ph.D-Asian Studies, The Flinders University of South Australia, Adelaide, 1993

Pengalaman Kerja :

  • Peneliti di LIPI, 1976-sekarang

  • Peneliti senior di The Habibie Center, 2000-sekarang

  • Dosen Tamu Sesko TNI, 1997-sekarang. Dosen Tamu Sesko AD, 2003-sekarang

  • Asisten Wakil Presiden bidang politik dan keamanan, Oktober 1998-Januari 2000

  • Staf Ahli Fraksi TNI/Polri DPR-RI, 1990-2004

  • Anggota Dewan Direktur CIDES (Center for Infromation and Development Studies), 2001-sekarang

  • Penasehat Ahli Kapolri, 2003-sekarang

  • Dosen Senior Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Negeri Riau, 1999-sekarang

  • Dosen Program Pascasarjana Bidang Politik, Universitas Nasional, 1999-2004

  • Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1999-2003

  • Dosen Program Pascasarjana Universitas Satyagama, 1996-2005

  • Penguji Disertasi S3 Program Pascasarjana Universitas Indonesia, UGM, dan Australian National University

  • Dosen PTIK, 2006-sekarang

Publikasi :

  • Politik Pembangunan Orde Baru: Peran Negara dalam Mengembangkan Pengusaha Nasional”, 1995

  • Tulisan Bersama, Dinamika Kedaulatan Rakyat, CIDES, 1997

  • Politik Tanpa Kekerasan”, 1997

  • Bila ABRI Menghendaki”, 1998

  • Bila ABRI Berbisnis”, 1998

  • Menata Negara, 1999

  • Implikasi Politik dari Pemekaran Wilayah”, 2000

  • TNI di Era Reformasi”, 2000

  • Berbagai publikasi hasil penelitian hubungan sipil-militer, LIPI, 1996-sekarang.


No comments: