Monday, May 17, 2010

Ary Subagyo Wibowo, Penanggung Jawab Program Radio Suara Warga Jakarta

Menyuarakan Aspirasi Warga Miskin Melalui Radio

Kepedulian sosial seseorang tak selalu digambarkan melalui nominal lembaran uang Rupiah saja. Tapi hiburan musik dan suara yang hanya keluar dari kotak penangkap gelombang radio ternyata mampu memberikan perubahan positif terhadap komunitas warga menengah ke bawah. Lalu seperti apa perjalanan Ary dan rekan-rekannya di LSM Fakta membangun radio yang memiliki penyiar para pedagang kaki lima tersebut?

Di radio aku dengar lagu kesayanganmu

Kutelepon di rumahmu sedang apa sayangku

Kuharap engkau mendengar

Dan kukatakan rindu….

Petikan lagu yang dibawakan oleh Gombloh tersebut mungkin akan mengingatkan kita pada masa-masa tempo dulu, masa di mana radio masih menjadi jawara sebagai alat komunikasi antar pendengarnya yang terpisahkan jarak dan waktu. Kirim-kiriman lagu pun tak pelak menjadi salah satu cara untuk mengungkapkan perasaan dari salah satu pendengar ke pendengar lainnya, seperti halnya yang diungkapkan pada lagu ‘kugadaikan cintaku’ ciptaan Gombloh. Kini, radio memang mendapatkan saingan yang sangat berat setelah hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menjamur di tanah air. Terlebih lagi, setelah banyaknya stasiun televisi lokal yang ikut bermunculan dihampir setiap daerah di pelosok nusantara. Meski begitu, stasiun radio masih memiliki tempat di hati sebagian masyarakat. Setidaknya, hal tersebut dapat terlihat dari beberapa stasiun radio swasta yang masih bertahan hingga kini.

Tak hanya radio komersil yang memiliki jangkauan besar saja yang menancapkan tiang-tiang pemancarnya di tanah air. Ternyata radio yang berukuran kecil, yang biasa disebut dengan radio komunitas juga cukup merebak di daerah. Salah satunya adalah radio komunitas yang didirikan oleh masyarakat secara gotong royong di daerah Cipinang Muara, Jakarta Timur. Radio yang diberi nama radio Suara Warga Jakarta alias SWJ ini didirikan atas gagasan dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, red), yakni LSM Fakta (Forum Warga Kota Jakarta) bersama warga di sekitar Cipinang Muara. Sosok pria ini pun tak bisa dilepaskan begitu saja dengan radio SWJ. Berkat ayah dua anak ini dan pengurus LSM Fakta lainnya, Radio SWJ akhirnya dapat berdiri. Adalah Ary Subagyo Wibowo, yang turut berperan besar terhadap pendirian Radio SWJ hingga mampu mengudara sampai saat ini. Radio SWJ sendiri awalnya bernama Radio Suara Warga Bujana (berasal dari nama daerah Bujana Tirta, tempat awal berdirinya).

Studio radio SWJ memang hanyalah berupa rumah penduduk biasa yang terletak di salah satu gang di Jalan Pancawarga IV daerah Kalimalang, Jakarta Timur. Tak akan ada orang yang menyangka bahwa sebuah studio radio akan berkantor di rumah yang berukuran tidak begitu besar tersebut. Rumah tersebut tak hanya menjadi sebuah tempat berlindung bagi para penyiar radio SWJ saja, tapi juga bagi para pekerja sosial di LSM Fakta. “Lantai bawah untuk kantor Fakta, tapi kalau lantai atas buat radio,” tutur Ary saat menyambut kedatangan Realita pada Senin (25/6) siang. Sembari berjalan, ia kemudian mempersilahkan Realita untuk masuk ke salah satu ruangan di rumah tersebut. Ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 meter itu merupakan ruangan para pengurus Fakta berkumpul. Diruangan itulah, Ary kemudian menceritakan perjalanan awal sejak tahun 2004, ketika Radio SWJ mulai mengudara dan menyapa para pendengarnya pada frekuensi 96,9 FM. Radio SWJ hanya mampu menjangkau masyarakat dalam radius 2,5 km dari tiang antena di markas tersebut.

Bermodalkan Barang Bekas. Awalnya, LSM Fakta berencana untuk membuat sebuah media yang mampu mengakomodir suara aspirasi dari masyarakat kurang mampu. Namun, para pengurus dan aktivis Fakta kemudian merasa bingung media apa yang akan dibuat. “Kita semua berkumpul bersama masyarakat membicarakan rencana apa yang akan dijalankan,” kenang Ary. Lalu muncullah satu ide dari masyarakat dan para aktivis Fakta untuk mendirikan sebuah radio komunitas yang mampu menyuarakan segala macam keluh kesah warga kurang mampu. Ary bersama dengan kedua rekannya di Fakta, yakni Azas Tigor Nainggolan (sekarang ketua Fakta, red) dan Tubagus Haryo Karbiyanto (salah satu pengurus Fakta, red), kemudian memutuskan mendirikan stasiun radio SWJ yang turut dibantu oleh masyarakat sekitar.

Banyak sekali halangan yang dihadapi oleh para pengurus Fakta dalam merealisasikan rencana pendirian sebuah radio komunitas. “Kita dulu hanya memiliki modal yang sangat minim,” ungkap Ary. Namun demikian, berkat keinginan yang sangat kuat dan dibarengi dengan banyaknya bantuan dari segala macam lapisan masyarakat, akhirnya radio tersebut dapat mengudara. “Dulu modal awalnya sekitar Rp 25 juta,” aku Ary. Jumlah uang tersebut berasal dari sumbangan para donatur yang sebagian besar berasal dari para pengacara. Modal uang tersebut memang diakui Ary masih terbilang kurang cukup untuk membiayai pendirian sebuah stasiun radio. Meski begitu, mereka tetap berusaha untuk membeli segala macam peralatan penyiaran dengan menggunakan uang tersebut.

Tak hanya berupa uang saja, Ary dan rekan-rekan juga kerap mendapatkan sumbangan berupa barang-barang bekas yang tentu saja masih layak pakai. “AC dan radio ini juga sumbangan,” ungkap Ary sembari menunjuk ke arah pendingin ruangan dan radio kaset yang ada di dalam studio. Sebagian besar sumbangan tersebut berasal dari para pendengar yang mengetahui kebutuhan radio SWJ yang masih kurang. Awalnya, besi yang dipakai untuk tiang antena setinggi 15 meter dikumpulkan dari para pemulung di sekitar Cipinang yang menjadi anggota pendengar radio ini. Sedangkan kabel dan kawat yang digunakan, merupakan sumbangan dari warga setempat.

Penyiarnya Pedagang dan Tuna Netra. Radio SWJ sendiri mengudara setiap hari mulai pukul 7 pagi hingga pukul 8 malam. Acaranya cukup beragam, mulai dari acara dialog yang kerap mengundang berbagai narasumber, seperti kader posyandu, jumantik maupun pejabat sekelas RW dan lurah, hingga acara musik yang lebih banyak didominasi dengan musik dangdut. Uniknya, penyiar yang sering berkoar-koar di depan mikropon bukanlah penyiar profesional yang dibayar secara rutin setiap bulan. “Penyiarnya ada yang tukang sate, nasi goreng, dan yang tuna netra juga ada,” ungkap Ary. Radio SWJ memang memilih beberapa penyiarnya dari profesi pedagang kaki lima. Ary tidak merekrut penyiar profesional karena menurutnya radio SWJ merupakan radio yang menyuarakan warga menengah ke bawah. Tak heran, ia merekrut penyiar juga dari kalangan menengah ke bawah. Dengan begitu, sebagai penyiar, mereka diharapkan mampu menyuarakan tentang keluh kesah mereka sendiri sebagai pedagang kaki lima. Selain pedagang, Ary juga merekrut beberapa orang yang merupakan tuna netra. “Ini pembuktian juga bagi mereka yang tuna netra bahwa mereka juga mampu berkarya dan menjadi seorang penyiar meski mereka memiliki kekurangan,” tutur Ary.

Para penyiar tersebut tidak dibayar dengan sejumlah nominal uang yang dibayarkan setiap bulan. Mereka hanya mendapatkan penghasilan dari setiap atensi atau permintaan lagu yang dikirimkan oleh para pendengar. “Mereka mendapatkan 70 % dari setiap atensi yang dikirimkan oleh pendengar,” aku Ary. Sedangkan sisanya, yakni sebanyak 30 % masuk ke dalam kas radio. Setiap atensinya sendiri, pendengar radio hanya diharuskan untuk membayar Rp 500 perak saja. Dari koin-koin 500 perak itulah, para penyiar mendapatkan jatah 70 %. Tak besar memang bila dibandingkan dengan bayaran penyiar profesional di stasiun-stasiun radio yang berukuran besar. Meski begitu, mereka tetap senang dapat menjadi seorang penyiar. Bagi mereka, menjadi penyiar merupakan suatu pengalaman yang cukup menarik.

Mengakrabkan Masyarakat. Setelah tiga tahun berjalan sejak tahun 2004, Radio SWJ semakin banyak didengar oleh masyarakat di sekitar Cipinang, Jakarta Timur. Salah satunya adalah para pedagang pasar Ciplak, Jakarta Timur. Mereka mengaku dengan kehadiran Radio SWJ, ada semacam hiburan untuk warga khususnya warga miskin. Hebatnya, berkat kehadiran radio SWJ, masyarakat pendengar menjadi semakin akrab. “Kelompok masyarakat yang dulunya sering tawuran, sekarang malah sering kirim-kirim salam melalui radio,” aku Ary. Menariknya, para pendengar tersebut membentuk kelompok-kelompok pendengar yang kerap memberikan atensi kepada para penyiar. Kelompok-kelompok seperti Antik (Anak Tikungan), Japul (Jarang Pulang), Cukong (Cucunya Engkong), Elit (Ekonomi Sulit) dan beberapa lainnya seringkali mengirimkan atensi sesama kelompok.

Dengan tetap bertahannya Radio SWJ hingga saat ini, seorang pria yang merasakan bangga dan senang adalah tentu saja Ary Subagyo Wiyogo. Sosok Ary sendiri merupakan sosok yang sangat disegani di dalam lingkungan Radio SWJ dan LSM Fakta. Ia tercatat sebagai salah satu pendiri Radio SWJ bersama-sama dengan aktivis LSM lainnya. Ary juga kini menjabat sebagai manajemen sekaligus penanggung jawab program di Radio SWJ.

Menggeluti LSM. Ary merupakan anak pertama dari 4 bersaudara pasangan Syamsu Hadi (69) dan (alm.) Sri Suryati. Ia berasal dari keluarga yang cukup sederhana. Sang ayah merupakan seorang wiraswasta di daerah asalnya, Sragen. Ary sendiri lahir di Grobogan pada 25 Januari 41 tahun yang lalu. Sepanjang hidupnya, Ary memang lebih banyak terjun di dunia sosial melalui LSM-LSM yang dimasukinya. Namun, setelah lulus dari Fakultas Hukum, Universitas Jakarta, Ary sempat merasakan karir di perusahaan swasta. Meski begitu, ia mengaku tidak merasa cocok dengan dunia kerja. Ia lebih cenderung untuk berkecimpung di dunia LSM, dan mengabdi bagi kepentingan masyarakat.

Awal mula berkecimpung di dunia LSM adalah ketika ia masuk ke Institut Sosial Jakarta (ISJ) pada tahun 1986. “Saya dulu sebagai salah satu stafnya,” aku Ary yang juga sempat terlibat di LBH Pers ini. Sejak itulah, Ary seakan-akan menemukan dunia yang cocok bagi dirinya, dunia yang membuat ia lebih bermakna bagi masyarakat sekitar. Ary aktif di ISJ hingga tahun 1997. Kemudian, pemilik gelar sarjana hukum ini sempat merasakan bekerja di salah satu perusahaan swasta di Surabaya selama kurun waktu 1997-1998. Namun, Ary tidak merasakan adanya kecocokan menjadi seorang pegawai. “Saya lebih menyukai dunia sosial,” aku Ary. Ia kemudian kembali bergelut di dunia sosial dengan mendirikan LSM Mitra Masyarakat Kota Jakarta pada tahun 1998. Sayangnya, LSM tersebut hanya mampu bertahan selama sekitar 2 tahun. Sekitar tahun 2000, Mitra Masyrakat Kota kemudian bubar. Barulah Ary bersama beberapa rekannya kemudian mendirikan LSM Fakta (Forum Warga Kota Jakarta) hingga saat ini. Di Fakta, Ary menjabat sebagai Wakil Ketua. Sedangkan di radio SWJ, Ary bertanggung jawab penuh dalam program-program acara yang disiarkan oleh radio.

Kepuasan Batin. Keterlibatan Ary di dunia LSM memang diakuinya tidak akan membuatnya memiliki penghasilan yang cukup besar. Namun, dengan adanya kepuasan batin yang diterimanya ketika membantu warga kurang mampu, Ary memutuskan untuk tetap bergelut di dunia LSM. “Dari dulu, saya masih saja mengontrak rumah,” ungkap Ary. Dengan penghasilan yang hanya cukup untuk sehari-hari, ia mampu menghidupi istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Pernikahannya dengan sang istri, Katarina Tri Widarti (36) membuahkan dua anak, yakni Oktavianus (7), dan Maria (1). Meski dari dunia yang ia geluti, tak mampu memberikan materi yang berlimpah, Ary tetap saja bertahan menggeluti dunia sosial melalui LSM Fakta dan Radio SWJ yang dipimpinnya.

Melalui Radio SWJ pula, Ary berharap dapat membantu warga kota Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mampu menyuarakan aspirasi mereka. Terbukti, kehadiran SWJ ibarat ungkapan jiwa. Ungkapan yang datang dari hati nurani setiap individu-individu yang kurang beruntung. Meskipun hadir dengan segala macam bentuk keterbatasannya, Radio SWJ ternyata cukup efektif dalam menyuarakan aspirasi komunitasnya, komunitas yang didominasi oleh warga miskin yang justru selama ini aspirasinya kurang terdengar oleh pejabat-pejabat berdasi dipemerintahan. Fajar

Side Bar 1:

Ingin Mendirikan Televisi Komunitas

Tak puas dengan radio komunitas yang telah didirikan, Ary bersama pengurus Fakta lainnya memiliki rencana lain yang cukup menarik. “Kita ingin mendirikan televisi komunitas juga,” harap Ary. Keinginan tersebut memang sudah cukup lama dipendam oleh para pengurus Fakta dan para penyiar SWJ. Ary berharap dengan mendirikan sebuah televisi komunitas, maka penyampaian informasi kepada masyarakat akan lebih jelas dengan adanya gambar dan suara. Berbeda halnya dengan radio yang hanya mengandalkan suara saja.

Dilihat dari biayanya pun, diakui Ary tidak berbeda jauh dengan mendirikan sebuah stasiun radio komunitas. Tak heran, Ary bersama pengurus Fakta lainnya menginginkan adanya sebuah televisi komunitas. “Sama halnya dengan radio komunitas, TV juga jangkauannya tidak terlalu luas,” ungkap Ary. Dengan begitu, diakui Ary melalui televisi penyampaian aspirasi akan lebih efektif dengan disertai gambar yang mewakili aspirasi tersebut.

Sayangnya, jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh pengurus Fakta dan warga sekitar belum dapat dipenuhi dengan baik. “Radio saja masih untung dapat bertahan hingga sekarang,” ungkap Ary. Untuk sehari-harinya sendiri, pengeluaran SWJ ditanggung dari pendapatan yang diperoleh dari atensi yang datang dari para pendengar. Sedangkan markas atau rumah yang digunakan sebagai kantor, merupakan rumah salah satu donatur yang direlakan untuk dipakai sepuasnya oleh LSM Fakta. Pengeluaran setiap bulan seperti biaya listrik ataupun telepon diakui Ary sudah disatukan dengan pengeluaran Fakta yang sebagian besar disokong oleh donatur. “Kalau pendapatan sih kebanyakan dari donatur,” ungkap Ary tanpa menyebutkan asal para donatur tersebut. Fajar

Side Bar 2:

M. Abdul Majid (36), Pedagang Nasi Goreng

Nasi Gorengnya Semakin Laku Setelah Menjadi Penyiar

Menjadi seorang penyiar mungkin tak akan pernah terbayangkan oleh Abdul. Tapi berkat hadirnya Radio SWJ, ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang penyiar radio. Setiap hari, Abdul selalu berada di depan mikropon untuk menyambut para pendengar setianya. Setiap pukul 10.00-13.00 setiap harinya, Abdul bersama Daryono membawakan acara musik yang sebagian besar lagunya adalah lagu dangdut. “Kebanyakan lagu dangdut sih yang diminta para pendengar,” aku penyiar yang memiliki nama udara Ca’ Kabul ini.

Sejak Radio SWJ berdiri, Abdul memang menjadi salah satu penyiar dari 9 penyiar yang dimiliki oleh SWJ. Kala itu, Abdul juga turut membantu mendirikan Radio SWJ bersama dengan pengurus Fakta dan masyarakat lainnya. Ajakan dari para pengurus Fakta pun datang kepada dirinya. Ia diajak untuk menjadi penyiar SWJ. Abdul sendiri membutuhkan banyak penyesuaian terhadap pekerjaan penyiar yang baru dilakoninya. Untuk itu, para pengurus Fakta kemudian mendatangkan beberapa ahli dibidang penyiaran untuk melatih dan mendidik beberapa penyiar amatir agar mampu menyapa para pendengarnya dengan baik. Alhasil, kemampuan Abdul dalam mengeluarkan suara dari mulutnya dan kemudian menyebar ke radio-radio milik pendengarnya kian hari kian membaik.

Bila siang harinya Abdul menjadi seorang penyiar, maka di malam harinya ia kembali menekuni profesi semula sebagai seorang pedagang nasi goreng. Mulai pukul 6 sore, Abdul sudah bersiap-siap untuk menjual nasi goreng buatannya di daerah Pancoran. Hingga tengah malam, Abdul tak berhenti menunggu para pembelinya berdatangan. Rutinitas seperti itu dilakukannya setiap hari sejak 3 tahun lalu. Abdul mengaku, setiap hari ia dapat meraup pendapatan kotor sekitar Rp 200 ribu. Kehidupannya pun kini telah berubah. Abdul tak hanya pedagang nasi goreng biasa saja. Setelah ia menjadi seorang penyiar, Abdul ternyata dapat dikenal oleh masyarakat luas terutama para pendengar setia SWJ. “Banyak sih yang menegur saya dijalanan,” kenang Abdul sembari tersenyum.

Tak hanya itu saja, Abdul juga dapat memperbanyak penghasilan yang didapatnya dengan cara menjadi penyiar. Bahkan berkat menjadi penyiar pula, ia tak jarang mendapatkan tawaran untuk menjadi pembawa acara dalam acara pernikahan. “Honornya lumayan lah,” ungkap Abdul tanpa menyebutkan nominalnya. Selain itu, dagangan nasi gorengnya juga menjadi semakin laku setelah ia menjadi seorang penyiar. “Banyak pendengar yang penasaran sama nasi goreng buatan saya,” aku Abdul. Tak pelak, para pendengar tersebut kerap berdatangan ke tenda sederhana miliknya untuk mencicipi rasa nasi goreng buatan Abdul.

Ketika ditanya apakah ingin meneruskan pekerjaan penyiarnya, ia tampak sumringah dan menjawab, “Wah, saya mau banget kalau jadi penyiar di radio besar,” ungkap ayah dua anak ini. Abdul hanyalah satu dari beberapa pedagang yang berasal dari warga menengah ke bawah yang mampu menebarkan sayapnya menjadi seorang penyiar. Fajar

Side Bar 3:

Mengadakan Pertemuan Antar Pendengar Setiap Minggu

Kedekatan Radio SWJ tak hanya ditunjukkan melalui suara-suara para penyiarnya yang selalu menyapa para pendengar setiap hari. Namun juga dengan kegiatan yang kerap diadakan oleh radio SWJ setiap minggu. “Setiap hari Minggu, kami selalu didatangi oleh para pendengar,” ungkap Ary. Berbagai kelompok pendengar secara rutin berkumpul dan mengobrol dirumah yang dijadikan sebagai kantor SWJ tersebut. Uniknya, mereka datang dengan membawa makanan sendiri-sendiri. “Biasanya mereka membawakan makanan untuk para penyiarnya,” ujar Ary.

Para pendengar itu juga tak hanya berkumpul-kumpul saja tanpa tujuan. Mereka justru melakukan komunikasi antar kelompok pendengar. “Mereka juga sekalian memberikan atensi lagu,” aku Ary. Dengan dilakukannya pertemuan antar pendengar tersebut, maka kedekatan hubungan antar pendengar dapat terjalin dengan baik.

Markas Radio SWJ tak hanya digunakan sebagai tempat berkumpul para pendengar saja, rumah yang cukup sederhana itu juga sempat digunakan sebagai salah satu tempat pengungsian bagi warga sekitar yang beberapa bulan lalu terkena musibah banjir. “Waktu banjir kemarin tempat ini juga dijadikan sebagai posko bagi para korban banjir,” kenang Ary. Bahkan rumah yang dijadikan sebagai markas Radio SWJ dan Fakta tersebut sempat memberikan berbagai macam bantuan kepada para korban banjir tersebut. Sehingga Radio SWJ tak melulu berfungsi sebagai hiburan semata namun tetap memberikan uluran tangan bagi mereka yang kurang beruntung. Fajar


No comments: