Monday, May 17, 2010

Feisal Tamin, Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Sukses Meniti Karir dari Bawah Setelah Meminum Air yang Diberi Doa Sang Ibu

Sosoknya memang tak lagi menjadi salah satu pembantu Presiden. Namun, perjalanan karirnya cukup mengesankan. Pasalnya, hanya mulai dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan II/A, ia mampu meraih puncak dengan menjabat sebagai seorang menteri. Kesuksesannya ternyata tak lepas dari doa sang ibu melalui air yang diminumnya seusai shalat tahajud. Lalu bagaimana sebenarnya mukjizat air minum dalam perjalanan karir dan hidup pria asli Dompu, Nusa Tenggara Barat ini?

Sebuah rumah yang terletak di sebuah sudut perumahan di daerah Tomang nampak asri dengan banyaknya tanaman dan pepohonan di pekarangannya. Hampir tak ada yang istimewa dari rumah yang berukuran cukup besar tersebut. Keistimewaannya justru tergambar dari sosok pemilik rumah bernomor 1 itu. Pasalnya, seorang mantan menteri mendiami bangunan tersebut. Dialah Feisal Tamin, mantan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara. Pria asli Nusa Tenggara Barat ini memang dikenal sebagai sosok mantan pejabat yang memiliki perjalanan hidup dan karir menarik. Pasalnya, ia benar-benar meniti karir dari bawah. Feisal memulai karirnya hanya dari seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan II/A. Berkat kemampuan dan keinginannya yang kuat, ia lantas berhasil meraih puncak karirnya dengan menjabat menteri.

Feisal memang kini lebih banyak menghabiskan waktunya di sebuah ruang kerjanya yang tidak begitu besar di rumahnya. Ruangan tersebut mungkin lebih mirip dengan ruang perpustakaan. Tak heran memang, jika melihat sebuah rak tinggi dan besar yang dipenuhi dengan beraneka macam judul buku koleksi Feisal. Selain dipenuhi dengan buku-buku, di rak tersebut juga dihiasi dengan berbagai penghargaan yang sempat diterimanya di masa lampau. Foto-foto sebagai bentuk kenangan dari setiap aktivitas yang pernah diikutinya pun membuat ruang kerjanya kian berwarna.

Sembari duduk di sebuah kursi sofa, lelaki itu nampak masih bugar di usia senjanya. Meski kerutan telah menghiasi sebagian besar kulit wajahnya, pemikiran-pemikiran Feisal masih tetap seperti tempo dulu. Ia tetap kritis terhadap segala macam hal, tak terkecuali tentang kondisi PNS dan birokrasi saat ini yang merupakan spesialisasinya. Senyumnya mengembang saat Realita menemuinya pada Selasa (8/1) pagi. Ia pun lantas berbagi cerita tentang perjalanan karir dan hidupnya yang dipenuhi dengan cinta kasih dari sang ibu.

Anak Seorang Ulama. Feisal Tamin merupakan anak ketiga dari lima bersaudara pasangan (Alm.) H. Tamin dan (Almh.) Hj. Siti Adnen. Ia lahir di daerah Dompu, Nusa Tenggara Barat pada 15 Juni 1941. Meski lahir di daerah yang hanya memiliki satu buah SMP Negeri, Feisal dikenal sebagai anak dengan kemampuan intelegensi yang mumpuni. Tak heran, ia mampu meraih juara umum bagian B di SMP pada tahun 1954. Feisal pun bertekad untuk melanjutkan ke jenjang SMA Negeri Mataram bagian B yang merupakan sekolah favorit di daerah NTB. Namun, sayangnya ia hanya bisa gigit jari setelah keinginannya tersebut tidak dapat terwujud hanya karena permasalahan sepele. Kala itu, hasil ujian akhir SMP di Sumbawa ternyata pemeriksaannya harus dilakukan di daerah Singaraja, Bali yang letaknya cukup jauh. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh daerah yang ditinggali Feisal.

Alhasil, pemeriksaan hasil ujian yang seharusnya selesai dalam jangka waktu sebulan ternyata membutuhkan waktu selama 90 hari. Tak pelak, hasil ujiannya terlambat sebagai syarat mendaftar di SMA Negeri tersebut. Akhirnya, Feisal pun terpaksa melanjutkan sekolahnya di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Negeri di Mataram. Saat itu, meski ia telat mendaftar, masih dapat diterima oleh pihak sekolah. Pasalnya, Feisal merupakan satu-satunya calon siswa yang berasal dari Pulau Sumbawa. Karena kemampuannya dalam setiap pelajaran yang diikutinya, Feisal akhirnya mampu menjadi salah satu siswa yang meraih nilai cukup baik, termasuk mata pelajaran Hukum Agraria dan Ilmu Kimia. Ia lulus dari SPMA pada tahun 1960 dengan predikat siswa dengan nilai-nilai yang sangat baik.

Berkat nilai-nilai tingginya di hampir semua mata pelajaran, Feisal langsung mendapat tawaran menjadi kepala dinas pertanian di Dompu dan juga tawaran menjadi petugas teknis sentra pengembangan perkapasan (cotton station) Nusa Tenggara. Tawaran terakhir yang disebutkan lantas diterimanya dan belum genap setahun, ia kemudian dipromosikan menjadi Kepala Sentra Proyek Kapas dengan fasilitas yang mencukupi dan gaji tinggi. Meski sudah meraih jabatan dalam sebuah institusi, Feisal tak lantas bersantai begitu saja. Sebaliknya, ketekadan dan keinginannya yang bulat untuk dapat memajukan diri sendiri dan institusi menghantarkannya menjadi seorang pegawai yang dikenal dengan kinerja cukup baik.

Merintis dari Bawah. Akhir tahun 1961, Feisal memutuskan untuk pindah ke Jakarta dengan harapan mencari kesempatan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Langkah pertama yang ditempuhnya adalah dengan melamar pekerjaan di Departemen Agraria melalui bekal nilai-nilai tinggi di sekolahnya. “Saya ingin mencurahkan tenaga dan pemikiran saya untuk negara,” alasannya waktu itu. Bak gayung bersambut, Feisal ternyata diterima di instansi pemerintahan tersebut. Bahkan ia sempat diiming-imingi gaji 2 kali lipat dan fasilitas tambahan bila ia bertahan di cotton station dan mengurungkan niatnya untuk pindah ke Departemen Agraria yang kala itu dipimpin oleh Sadjarwo, SH.

Di Departemen Agraria, Feisal ditempatkan di bagian Direktorat Land Use. Keinginannya untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke bangku kuliah akhirnya tercapai dengan diterimanya Feisal di Fakultas Sosial Ekonomi dan Politik Universitas Nasional pada tahun 1962. ia mampu menyelesaikan studinya dalam waktu 4 tahun 2 bulan. Ia pun diangkat menjadi Kepala Sekretariat Direktorat Land Use. Seiring dengan gelar kesarjanaan yang diraihnya, kepangkatannya pun disesuaikan dan naik menjadi golongan IIIF dan menjabat sebagai Kepala Bagian. Berkat ketekunan dan kegigihannya dalam membangun karir, karirnya perlahan-lahan merangkak naik. Tercatat jabatan kepala bagian hubungan dan penerangan masyarakat Departemen Dalam Negeri pada tahun 1975, dan menjabat Kepala Biro Humas dan Bakohumas Pusat periode 1978 hingga 1989. Pada jabatan itulah, prestasinya mencuat naik sebagai seorang juru bicara (jubir). Feisal mampu meniti karir dari golongan IIA hingga mencapai golongan tertinggi IVE, dan Eselon menduduki jabatan structural dirjen hingga Sekretaris Jenderal Depdagri. Setiap jenjang ia ikuti dengan giat dan tekun tanpa adanya kecurangan. Feisal mengaku memiliki kepuasan tersendiri dapat menjalani semua jenjang dan pangkat itu dengan baik. Alhasil, ia benar-benar menempuh jalur yang memang benar-benar harus dilalui untuk mencapai jenjang lebih tinggi.

Tak hanya itu saja, Feisal juga aktif di berbagai organisasi agama masyarakat. Puncaknya, pada tahun 1998 ia dipercaya menjadi ketua KORPRI Umum Pusat. Setahun kemudian, ia menjadi pelopor bagi kemajuan KORPRI dengan meluncurkan paradigma baru KORPRI, diantaranya adalah, profesionalisme, netral, demokratis, dan sejahtera. Melalui paradigma tersebut, Feisal ingin menekankan bahwa organisasi KORPRI akan selalu menjadi abdi bangsa dan negara serta netral dari pengaruh politik apapun tanpa memihak kepada satu partai politik saja. Feisal mencapai puncak dalam karir dan kehidupan pribadinya saat presiden Megawati kala itu mengangkatnya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Selama menjabat sebagai seorang menteri, ia telah melakukan reformasi birokrasi dalam setiap institusi pemerintahan. Salah satu caranya adalah dengan mengubah kultur setiap PNS yang bekerja sebagai abdi negara. Selama menjadi menteri, Feisal memang terbilang berhasil dalam mengubah kebiasaan buruk PNS dan membenahi kekurangan yang ada pada para abdi negara tersebut.

Ternyata kesuksesannya dalam meniti karir dari seorang PNS golongan rendah hingga mencapai puncak menjadi seorang menteri, memang tak terlepas dari dukungan keluarganya sejak masih kanak-kanak. Feisal kecil memang dididik dalam ruang lingkup keluarga dengan patokan agama yang kuat. “Ayah saya seorang ulama,” aku Feisal. “Orang tua saya itu tidak mengajarkan melalui omongan tapi melalui praktek,” lanjutnya.

Minum Air Doa Ibu. Tak heran, Feisal banyak belajar soal agama dari kedua orang tua khususnya dari sang ayah. Sebagai seorang ulama, sang ayah memang kerap mengadakan acara agama. Tiapkali menghadirinya, sang ayah selalu mengajak serta Feisal. “Lama-lama saya mengerti dan tertanam dalam diri saya,” ungkap Feisal. Bahkan ada suatu kebiasaan aneh yang dilakukan oleh ibundanya selepas melakukan shalat tahajud di tengah malam. “Saya selalu dikasih air minum yang telah diberi doa setelah shalat tahajud,” kenang Feisal. Kala itu, ia pun tidak tahu menahu bacaan doa apa yang telah dilafadzkan oleh ibundanya tersebut. Namun, yang pasti, ia selalu menuruti perintah ibunya hampir setiap tengah malam. “Saya selalu dibangunkan tengah malam untuk meminum air itu,” ungkap Feisal. Sembari mata terkantuk-kantuk, Feisal yang waktu itu masih berumur belasan tahun mengiyakan untuk meminum air yang telah diberi doa tersebut. Begitu pula dengan kedua kakak dan kedua adiknya.

Dengan mata kepalanya sendiri, Feisal melihat ibunya, Siti Adnen membacakan doa sembari mendekatkan mulutnya ke gelas yang telah berisi air. Feisal tidak tahu bacaan doa apa yang telah diucapkan oleh ibundanya itu. Kebiasaannya itu dilakukan Feisal tiapkali ibunya melakukan shalat tahajud. Selain itu, sang ibu juga meletakkan Al-Qur’an di atas kepala Feisal ketika akan tidur kembali. Kebiasaan tersebut dilakukannya ketika Feisal masih tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. “Maksud Ibu saya melakukan itu mungkin agar anaknya bisa menguasai isi Al-Qur’an dan menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Feisal. Namun menjelang usia 12 tahun, ia tak lagi meminum air yang telah diberi doa sang ibu karena ia telah merantau untuk bersekolah yang letaknya cukup jauh dari rumah. Oleh karena itu, ia pun tinggal di rumah sanak saudaranya yang letaknya dekat dengan sekolah.

Entah ada pengaruhnya atau tidak, namun Feisal percaya bahwa doa dan restu sang ibu memanglah sangat manjur. “Kebiasaan Ibu saya mendoakan saya ya mujarab juga dengan dibarengi tekad untuk mencari ilmu yang baik bagi kehidupan,” tuturnya. Tak heran, ia percaya bahwa karirnya yang merangsek naik berkat adanya restu dan doa sang ibu disertai dengan kerja keras. Begitu pula dengan keempat saudaranya yang kini rata-rata berprofesi sebagai eksekutif dan pengusaha.

Kini, hal yang sama berupa didikan agama juga ia ajarkan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Pernikahannya sendiri dengan Hj. Zaenab Aryani (58) telah menghadirkan empat anak, adalah Muhammad Erwin (38), Feni Dwiyana Pratiwi (36), Muhammad Triyanda Ihram (32) dan Zafitri Rosmeina Adisti (26). Keempat anaknya kini tengah mengurusi perusahaan yang membangun sebuah townhouse di daerah Jakarta Selatan. Keempat anaknya juga telah memberinya tujuh cucu. Selepas menjabat menteri, Feisal memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Terkadang anak-anak dan cucu-cucu mengunjungi rumahnya. “Tak ada rencana di masa mendatang, saya hanya ingin menikmati masa tua saya sambil menambah bekal akherat,” ujarnya sembari tersenyum. Fajar

Side Bar 1…

Takjub Saat Keinginannya Masuk ke Dalam Ka’bah Menjadi Kenyataan

Tak ada yang mampu memastikan sebuah keinginan atau cita-cita dapat berubah menjadi kenyataan kecuali Sang Pencipta. Hanya Allah-lah yang mampu mewujudkan keinginan seorang umat-Nya. Salah satunya terjadi dalam perjalanan hidup Feisal terutama dalam hal religi. Keinginannya untuk masuk ke dalam Ka’bah memang harus terpendam sejak lama hingga saat ia menjadi seorang pejabat pemerintahan. “Orang-orang kita tahu sendiri berebutan hanya untuk dapat menyentuh bangunan Ka’bah,” ujar Feisal.

Saya sangat bersyukur bisa masuk ke dalam Ka’bah yang merupakan kiblat semua umat Islam,” ujarnya. Kala itu, Feisal menjadi tamu Kerajaan Arab Saudi bersama dengan delegasi MTQ Indonesia yang diadakan di Makkah, Arab Saudi pada tahun 1977. Ia diberikan kesempatan langka oleh pemerintahan Arab Saudi untuk dapat masuk dan melihat isi di dalam Ka’bah. Feisal juga ternyata berbarengan dengan Ali Bhuto, mantan pemimpin Pakistan sebelum ia dihukum gantung beberapa waktu kemudian. Di dalam Ka’bah, Feisal lantas menunaikan shalat sunnah ke berbagai arah. Ia bahkan sempat tak percaya dapat masuk ke dalam Ka’bah. “Itu suatu rahmat dan karunia,” ujarnya singkat. Selain merasakan sebagai karunia, Feisal juga menyadari bahwa kesempatan langka tersebut merupakan sebuah tujuan perjalanan dari didikan agama dan air minum doa dari sang ibu. “Itu merupakan sebuah perjalanan religi yang berawal dari doa orangtua,” ungkap Feisal.

Selain pengalaman di Tanah Suci, Feisal juga ternyata sempat mendapatkan godaan dalam pekerjaan sekembalinya ke tanah air. Kala itu, Feisal ikut menjadi pengurus dalam penyelenggaraan MTQ pada tahun 1990-an di Yogyakarta. Ada pihak lain berniat untuk mencari keuntungan dari penyelenggaraan MTQ tersebut. Namun demikian, Feisal tak tergoda bahkan ia melawan keras godaan tersebut. “Saya mencoba untuk bertahan tidak mencari keuntungan, karena itu menyangkut kitab suci,” tuturnya. Karena keteguhannya itulah, ia sempat tidak disukai oleh oknum-oknum itu. Penyelenggaraan MTQ itu sendiri memang sangat kekurangan dana, namun ada pihak yang ingin mendapatkan uang dengan cara yang diakui Feisal tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam. Saat itu, ia menyadari bahwa berkat doa orangtua dan keluarga, ia dapat terjaga dari segala bentuk godaan yang dapat menjerumuskannya ke dalam kubangan dosa. Fajar

Side Bar 2…

Mantan ‘Calo’ Tanah yang Pernah Menjadi Menteri

Awal mula menjadi seorang PNS di masa lampau, diakui Feisal memang hanya berpenghasilan relatif kecil sekitar Rp 700 pada tahun 1960-an. Alhasil, ia pun mencari tambahan penghasilan lainnya dengan menjadi seorang perantara jual beli tanah. Jam kerja seorang PNS kala itu memang cukup longgar bagi Feisal untuk mencari tambahan penghasilan. “Saya bekerja dari jam 7 pagi hingga jam 1 siang,” kenang Feisal mengingat aktivitasnya di tahun 1960-an itu. Selepas jam 1 siang itulah, ia berkeliling Jakarta untuk mencari tanah yang dapat dijual dan dicarikan pembeli yang berminat. Feisal bahkan kerap berkeliling kota Jakarta untuk mencari tanah yang dapat dijual. “Saya sempat berkeliling ke daerah Ceger dan daerah lainnya,” kenangnya. Diakuinya, dari hasil menjadi perantara tanah itulah, ia mampu mendapatkan keuntungan yang dirasanya lumayan. “Nanti ada siapa yang mencari pembeli, saya yang cari penjual, begitu juga sebaliknya,” kenang Feisal. “Jadi saya dapat komisi,” lanjutnya singkat.

Bahkan dari keuntungan komisi yang didapatnya sebagai seorang perantara jual beli tanah, Feisal juga mampu membeli tanah sendiri sebagai investasi di masa mendatang. Kebiasaan tersebut tersebut berlanjut ketika ia menikahi Zaneab Aryani pada tahun 1968. “Saya dan istri mengumpulkan sedikit demi sedikit juga untuk membeli tanah,” aku pria yang gemar membaca ini. Salah satu bukti nyatanya adalah tanah seluas 1 hektar di daerah Pondok Labu yang dibelinya sekitar tahun 1970-an dan kini dijadikan sebagai lahan townhouse yang dikelola oleh anak-anaknya. “Sehingga setelah menjabat, saya sudah punya tabungan sendiri,” imbuhnya. Lahan rumah yang dimilikinya saat ini pun berkat kerja kerasnya di masa lampau. Feisal dan keluarga juga menyewakan kamar kost-kostan di dekat rumahnya. Saat ini, sudah ada 30 kamar kostan yang disewakan. “Anda mau ngekost di sini, Rp 1,5 juta per bulan,” ujar Feisal sambil bercanda dan tersenyum.

Pekerjaan sampingan sebagai seorang perantara jual beli tanah ternyata diakui Feisal sebagai salah satu insting ketika memikirkan masa depannya. Sehingga diakui Feisal rumah besar yang didiaminya saat ini bukanlah rumah yang didapat setelah menjadi pejabat. “Jadi jangan tercengang, rumah ini bukan saya dapat waktu saya menjadi pejabat,” ujarnya sembari tertawa lebar. Namun, apa yang dilakukannya di luar pekerjaan sebagai PNS, ia mengaku tidak mengganggu rutinitasnya di dalam instansi pemerintahan. Pekerjaannya sebagai perantara jual beli tanah ia lakukan sejak ia menjadi PNS hingga naik jenjang F (golongan IV). “Kalau sudah golongan F golongan IV, kan tidak boleh berbisnis di luar,” ujar Feisal sembari tersenyum. Fajar