Thursday, April 1, 2010

Komunitas Suara Ibu Peduli

Menyuarakan Kepedulian Ibu-Ibu Rumah Tangga di Jakarta

Jangan pernah menilai ibu-ibu rumah tangga cuma bisa memasak dan mengurusi anak saja. Bila melihat apa yang telah dilakukan oleh Suara Ibu Peduli di masyarakat, ternyata penilaian itu salah besar. Ibu-ibu rumah tangga juga memiliki pemikiran kreatif dan jiwa sosial terhadap lingkungan sekitar. Lalu, apa saja yang telah dilakukan oleh Suara Ibu Peduli?

Bagi penggemar film di bioskop, mungkin sudah tak asing lagi dengan bioskop Megaria Cikini, Jakarta Pusat. Bioskop tertua di Jakarta ini memang kerap dijadikan tempat untuk menonton film-film baik buatan Hollywood maupun buatan anak bangsa sendiri. Namun, tepat di belakang bioskop Megaria tersebut, ada tempat di mana banyak pemikiran ibu-ibu rumah tangga yang kreatif terlahir dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Di antara kebahagiaan kerumunan anak-anak remaja yang tengah mengantre untuk sekadar menonton film di bioskop, terdapat sekumpulan ibu-ibu yang justru giat memikirkan cara untuk membantu sesama. Ironis memang, ibu-ibu ini juga memperjuangkan masyarakat kurang mampu agar mampu bertahan hidup, sementara di sekeliling mereka ada kerumunan anak-anak remaja yang ‘menghabiskan’ uangnya hanya untuk menyaksikan akting dari pemain-pemain film kesukaan mereka.

Jumat (11/5) siang, gedung yang berada tepat di samping studio bioskop Megaria terlihat sepi seperti tak ada pertanda adanya kehidupan di dalam gedung tersebut. Gedung tua itu seperti halnya bangunan lainnya di sekitar bioskop Megaria itu juga tampak bukan sebagai kantor. Tapi itulah kantor atau lebih tepatnya markas Suara Ibu Peduli berada. Di lantai dua gedung tersebut, ternyata suasana tidaklah sepi seperti terlihat dari luar gedung. Ada beberapa orang yang semuanya ibu-ibu tengah sibuk berada di mejanya masing-masing. Entah apa yang mereka kerjakan saat itu, tapi tampaknya mereka sangat serius dengan pekerjaannya tersebut.

Seorang wanita kemudian keluar dari ruangan, ia tampak ramah menyambut kedatangan Realita. Wanita yang diketahui bernama Ninoek, Sekretaris Suara Ibu Peduli lalu mempersilahkan Realita untuk masuk ke dalam ruangan untuk bertemu dengan para pengurus Suara Ibu Peduli. Ruangan yang tidak cukup besar itu ternyata dipenuhi oleh rak-rak yang berjejalan dengan buku-buku. Tidak banyak orang yang berada di dalam ruangan. Hanya ada 4 orang pengurus yang terlihat di dalam ruangan. “Kami adalah sebagian dari pengurus SIP (Suara Ibu Peduli, red),” ujar Ninoek.

Berdiri Setelah Krisis Moneter. Ruangan yang hanya berukuran 2 x 3 meter itu juga tidak dipenuhi dengan barang-barang mewah. Satu barang yang mungkin bisa dibilang mewah adalah komputer. Perangkat elektronik itu pun diperkirakan sudah berumur cukup tua ketimbang komputer-komputer yang kini beredar di pasaran. Sebuah rak panjang yang bersandar di dinding ruangan juga terlihat tua dan lusuh. Rak tersebut dipenuhi dengan berbagai dokumen-dokumen masa lalu SIP hingga saat ini. Meski hanya menempati ruangan yang cukup sederhana, tidak terlihat wajah-wajah sedih dari ibu-ibu pengurus SIP. Saat Realita berkunjung, ada tiga wanita setengah baya yang menyambut, dan mereka pun kemudian menceritakan perjalanan SIP di masa lampau hingga sekarang. Mereka adalah Ninoek Widharyati (49), sebagai sekretaris SIP, Pujiwati (43) dan Djumanti Komalasari (51), keduanya sebagai anggota Presidium SIP.

Sesuai dengan namanya, Suara Ibu Peduli (SIP) memang merupakan suatu komunitas atau perkumpulan yang mayoritas anggota serta pengurusnya adalah kaum hawa. Awalnya SIP didirikan sebagai wadah bagi ibu-ibu yang memiliki rasa kepedulian sangat tinggi terhadap lingkungan sekitar. Terlebih lagi ketika krisis moneter menerpa Indonesia pada tahun 1997 dan 1998, masyarakat Indonesia khususnya ibu-ibu rumah tangga terkena dampaknya. “Waktu krismon, harga sembako (sembilan bahan pokok, red) menjadi mahal,” ungkap Pujiwati. Tak pelak, dengan kenaikan harga sembako tersebut membuat masyarakat miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Melihat kondisi seperti itu, beberapa ibu rumah tangga kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah komunitas yang didirikan untuk mengantisipasi keadaan yang semakin mengkhawatirkan pada saat krisis tersebut. Bahkan ibu-ibu itu sempat menjual susu murah di depan Hotel Indonesia untuk memprotes krisis yang terjadi pada saat itu. Berawal dari aksi itulah kemudian berkembang menjadi suatu bentuk kepedulian dari sekumpulan ibu rumah tangga untuk mendirikan SIP.

Modal Rp 750 Ribu dan Dua Tikar. Setelah krisis melanda tanah air pada tahun 1997, sekumpulan wanita yang dipelopori oleh Gadis Arivia (novelis, red) dan Karlina Leksono (dosen UI, red), sepakat untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Suara Ibu Peduli sebagai wadah untuk membantu masyarakat miskin yang menderita akibat krisis moneter. Namun, kala itu Suara Ibu Peduli masih merupakan sebuah divisi sosial di bawah organisasi Jurnal Perempuan. Seiring berjalannya waktu, Suara Ibu Peduli kemudian lepas dari Jurnal Perempuan dan kemudian berdiri sendiri pada tahun 2002 dengan akta notaris tertanggal 21 Juni 2000. SIP pun berdiri sebagai sebuah perkumpulan yang independen dan memiliki kegiatan yang lebih menjurus ke arah kepedulian sosial. “Kita akhirnya memisahkan diri dan ingin memfokuskan di dalam pemberdayaan perempuan untuk aksi sosial,” ungkap Pujiwati. Diakui Pujiwati, SIP bertujuan untuk menyampaikan secara terbuka suara keprihatinan ibu dan perempuan mengenai situasi ekonomi, sosial, dan politik yang berpengaruh terhadap masa depan bangsa.

Pada awal pendirian SIP, Ninoek mengaku bahwa mereka hanya memiliki sedikit uang dan beberapa barang saja dalam menjalankan operasional organisasi. “Waktu itu kita cuma punya uang Rp 750 ribu,” kenang Djumanti. “Sama dua buah tikar,” tambah Ninoek. Para pengurus SIP kemudian memutar otak dalam mencari jalan bagaimana mendapatkan dana untuk membiayai operasional organisasi. Beruntung, SIP lalu mendapatkan dana sumbangan dari donatur. “Dari dana sumbangan itu, kita berhak mempergunakan 20 %-nya untuk SIP,” ujar Djumanti. Dari dana sumbangan itulah, para pengurus SIP kemudian mencanangkan beberapa program sosial SIP. Salah satunya adalah program pendidikan. “Agar program pendidikan tersebut berjalan, maka kami memutuskan untuk mendirikan koperasi di tahun 2000,” ujar Djumanti.

Tersebar di Berbagai Wilayah. Dari koperasi inilah, SIP kemudian mendapatkan banyak pemasukan dari para anggotanya. Dengan meminjamkan uang kepada para anggotanya, SIP juga berusaha untuk mencegah rentenir menyebarluas. “Kita ingin mencegah para rentenir beraksi,” harap Djumanti. Koperasi simpan pinjam SIP berkembang dari waktu ke waktu hingga saat ini seperti halnya SIP sendiri yang kini telah memiliki 13 wilayah kerja di Jabotabek dan 33 kelompok ibu-ibu. 13 wilayah kerja SIP, di antaranya adalah Depok, Tanjung Priok, Cibinong, Pasar Minggu, Bojong Gede, Pondok Aren, Tanah Abang, Gandul, Pondok Gede, Cilandak, Rempoa, Kampung sawah, dan Condet. “Tapi markas pertama kita dari dulu di sini (Megaria, red),” ucap Ninoek. Di setiap wilayah kerja SIP, ditunjuk satu orang yang bertugas sebagai penanggungjawab di daerah tersebut.

Koperasi simpan pinjam SIP cukup menarik bagi para ibu rumah tangga. Dengan sistem tanggung renteng yang dianutnya, para ibu rumah tangga dapat dengan mudahnya mengajukan pinjaman tanpa harus memberikan jaminan barang tertentu. Anggota SIP dapat meminjam uang senilai Rp 500 ribu sampai Rp 1,5 juta dari koperasi. “Biasanya digunakan untuk keperluan berobat atau biaya sekolah anak-anak,” ungkap Djumanti. “Ada juga yang meminjam untuk memulai usaha,” tambah Ninoek. Untuk memulai usaha, para ibu-ibu ini juga dapat meminjam dana sampai Rp 3 juta dan proses pengembalian pinjaman tersebut dapat dilakukan secara diangsur dalam jangka waktu selama 6-10 bulan.

Dengan sistem tanggung renteng ini pula, para anggota koperasi yang kini berjumlah sekitar 600 orang dituntut untuk saling mendukung satu sama lain. “Jika satu orang dari anggota kelompok yang tidak bisa bayar cicilan, maka anggota-anggota lainnya tidak bisa mengajukan pinjaman,” tegas Djumanti. Ibu dari tiga anak ini juga mengibaratkan sistem ini sebagai sebuah rantai. “Kalau rantai itu putus, maka tidak bisa menyatu dan mengikat,” imbuhnya. Dengan begitu, keluar masuk anggota tergantung dari kesepakatan anggota kelompok lainnya. Anggota koperasi SIP yang berniat meminjam tidak dikenakan persyaratan yang sulit. Mereka haruslah wanita yang telah berumur 17 tahun ke atas dan telah menjadi anggota selama 3 bulan, serta tidak membutuhkan jaminan. Dari nominal pinjaman tersebut, anggota hanya diwajibkan membayar biaya jasa sebesar 2% dari besarnya pinjaman itu.

Perputaran Dana Rp 500 Juta. Jika diperhatikan, komunitas SIP ini bisa dibilang lumayan besar. Selain tersebar di 13 wilayah Jakarta, perputaran dana dalam koperasi SIP pun sudah mencapai Rp 500 jutaan. Meski demikian, Djumanti mengaku bahwa selama ini koperasi simpan pinjam SIP tidak pernah mengalami yang namanya kredit macet. Bahkan Sisa Hasil Usaha (SHU) dari koperasi simpan pinjam itu dapat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional SIP sehari-hari. Sungguh menakjubkan untuk satu organisasi yang hanya digerakkan oleh ibu-ibu rumah tangga biasa. Namun sayangnya banyak anggota yang tidak dapat memperoleh pinjaman sesuai dengan apa yang mereka inginkan karena keterbatasan biaya. “Banyak anggota yang mau pinjam, tapi kita terbentur dana,” ungkap Djumanti.

Untuk mempertanggungjawabkan perputaran dana di dalam koperasi khususnya dan SIP pada umumnya, para pengurus SIP secara rutin mengadakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) setahun sekali. Selain itu, mereka juga kerap mengadakan rapat sebulan sekali untuk mengakomodir keinginan dari para anggotanya. Hingga saat ini, banyak ibu rumah tangga yang merasa sangat terbantu dengan kehadiran koperasi simpan pinjam SIP.

Ditawari Rp 7 Miliar Oleh Parpol. SIP sendiri tidak hanya menyuarakan kepeduliannya melalui koperasi simpan pinjamnya saja. Berbagai kegiatan lainnya juga turut diadakan untuk membantu sesama khususnya ibu-ibu di lingkungan Jakarta. Kejadian tsunami di Aceh dan Pangandaran, gempa di Bengkulu, serta kejadian kerusuhan yang sempat menimpa Pontianak juga pernah menjadi saksi sumbangan yang diberikan SIP. Dana yang digunakan untuk diberikan sebagai sumbangan itu diakui Ninoek diperoleh dari donatur yang sifatnya tidak tetap. Namun Ninoek enggan merinci siapa saja para donatur tersebut.

Tak hanya itu saja, SIP juga sempat memiliki program pendidikan dengan memberikan beasiswa kepada siswa yang berprestasi tapi kurang mampu. SIP juga sempat mendirikan Rumah Belajar lengkap dengan guru yang diberi uang transport Rp 25 ribu per hari, meski tidak mampu berjalan hingga sekarang. “Kita terbatas dana,” ungkap Ninoek. Tidak mudah memang untuk mendapatkan dana bagi kegiatan operasional SIP. Ninoek mengaku bahwa SIP sempat ditawari dana Rp 7 miliar dari salah satu partai politik, namun mereka enggan menerima kucuran dana tersebut. Pasalnya, kegiatan mereka tidak mau dicampuradukkan dengan embel-embel yang bersifat politis. “Kita biar miskin tapi tetap sombong,” kelakar Ninoek sembari tertawa lebar.

Kini, para pengurus SIP berharap kegiatan sosialnya mampu memberikan inspirasi dan dorongan bagi masyarakat khususnya ibu-ibu rumah tangga untuk peduli terhadap sesama. Selain itu, mereka juga berharap ada donatur yang mampu menyokong dana bagi SIP dalam setiap kegiatan sosialnya. Terbukti, ibu-ibu rumah tangga yang tentunya berjiwa Kartini mampu menorehkan jejak-jejak Kartini tanpa harus menjadi seorang profesional ataupun wanita karir. Kini, ibu-ibu rumah tangga itu selalu berpikir untuk tetap dapat mencanangkan aksi-aksi sosial dan selalu mengembangkan potensi di tengah-tengah kekurangan yang melanda mereka. Fajar

Side Bar 1:

Pujiwati (43)

Presidium Suara Ibu Peduli

Aktif di Suara Ibu Peduli Setelah Tidak Bekerja Lagi

Para pengurus SIP bukanlah berstatus sebagai karyawan, mereka hanyalah ibu-ibu rumah tangga biasa. Mereka juga hanya berstatus sebagai relawan di SIP. “Kita cuma dibayar ongkos transport saja,” aku Pujiwati. Meski demikian, mereka tetap bersemangat untuk tetap aktif di SIP. Termasuk salah satunya adalah Pujiwati.

Pujiwati adalah ibu dari dua anak yang telah aktif di SIP sejak tahun 1998. Sehingga, Pujiwati termasuk salah satu pendiri dan pengurus yang masih bertahan hingga sekarang. Awal keterlibatan Pujiwati adalah ketika di tahun 1998, waktu dimana harga sembako kian melangit. “Harga susu dulu juga mahal,” kenang Pujiwati. Di daerah sekitar tempat tinggal di Bojong Gede, banyak ibu rumah tangga yang mengeluhkan harga susu formula yang sangat mahal. Sehingga, Pujiwati pun mencari tahu bagaimana mendapatkan susu formula dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Pujiwati kemudian mendapatkan kabar bahwa di Megaria Cikini, ada perkumpulan ibu-ibu dari Jurnal Perempuan yang menjual susu dengan harga yang miring.

Tanpa banyak pikir, Pujiwati pun kemudian mendatangi Megaria Cikini untuk mencari tahu tentang kabar tersebut. Benar saja, susu formula itu memang dijual dengan harga yang cukup miring. Dengan harga Rp 1.500 per kaleng, Pujiwati pun membeli banyak susu untuk warga di sekitar tempat tinggalnya. “Saya nggak naikin tuh harganya,” aku Puji. Meski begitu, Puji tetap meminta sumbangan sukarela kepada ibu-ibu yang membeli susu tersebut untuk memperbaiki posyandu di daerahnya. Dari situlah, ia memulai keterlibatannya di SIP.

Pujiwati sendiri sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berkantor pusat di Bandung. Di Jakarta, ia memang tengah menangani proyek dari perusahaan tampatnya bekerja. Setelah proyek itu selesai, wanita lulusan D3 Universitas Mercubuana ini kemudian memutuskan untuk tidak bekerja lagi dan memilih untuk tinggal di Bojong Gede bersama suami dan kedua anaknya. Selain itu, ia juga memutuskan untuk aktif sepenuhnya di SIP. Setelah terpisah dari Jurnal Perempuan, Puji pun ditunjuk sebagai salah satu presidium SIP. Ibu RW dan Ibu PKK di daerah Bojong Gede ini juga turut menjadi salah satu penulis di buku yang berjudul ‘Di Pinggir dan Di Tengah Jakarta’, buku hasil pemikiran SIP yang rencananya akan diedarkan pada bulan Juni mendatang. Cita-cita mulianya adalah mengharapkan ibu-ibu atau perempuan, baik yang di SIP Pusat maupun di wilayah Kerja SIP dapat maju bersama-sama dalam pengetahuan, wawasan, dan ketrampilan demi majunya perempuan Indonesia. Fajar

Side Bar 2:

SIP : Suara Ibu ‘Pembangkang’

Eitss… jangan salah mengartikan pembangkang dalam arti negatif untuk para pengurus dan anggota SIP. Pasalnya, pembangkang yang dimaksud adalah tipe wanita dan ibu-ibu yang pemberani dan mampu membangkang untuk kepentingan sosial. Salah satu contohnya adalah tindakan kumpulan ibu-ibu ini ketika terjadi tragedi Semanggi 2 pada tahun 1998 silam. Atas dorongan rasa keprihatinan dan sosial, para ibu rumah tangga ini pun memutuskan untuk memberikan bantuan berupa nasi bungkus kepada mahasiswa yang tengah melakukan demo. “Waktu itu kan para mahasiswa dikepung dan terkurung di Universitas Atmajaya,” kenang Ninoek. Dengan membawa nasi bungkus dalam jumlah yang banyak, ibu-ibu tersebut memberanikan diri untuk menerobos barikade yang dibuat oleh pihak berwajib.

Meski sempat dihalang-halangi oleh pihak keamanan, ibu-ibu itu pun berhasil memberikan nasi bungkus kepada para mahasiswa. Tak hanya itu, ketika harga barang-barang melonjak naik dan rencana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik dan telepon, ibu-ibu dari SIP kemudian memutuskan untuk melakukan demo di bundaran Hotel Indonesia. “Kita semua pakai baju putih-putih dan janjian di bundaran HI,” aku Ninoek. Ratusan ibu-ibu kemudian terlihat memadati daerah di sekitar Hotel Indonesia.

Selain memperjuangkan hak ibu-ibu rumah tangga, sebutan pembangkang juga diakui Ninoek ketika mereka memutuskan untuk membagi waktu mereka antara keluarga dan SIP. “Kita tadinya nggak diridhoi suami, karena risikonya besar,” aku Ninoek. Namun, berkat pengertian yang diberikan oleh para pengurus tersebut akhirnya para suami dapat memahami keinginan istri-istri ‘pembangkang’ ini. “Awalnya ditentang suami, tapi kita menjelaskan dengan cara kita sendiri,” ujar Ninoek sembari tertawa riang. Diakui Ninoek, para pengurus SIP memiliki strategi sendiri dalam membagi waktu antara keluarga dan SIP. “Kita berangkat ke SIP setelah suami berangkat kerja, dan kita pulang sebelum suami pulang kerja,” tuturnya sembari tersenyum. ‘Pembangkangan’ yang dilakukan oleh para pengurus dan anggota SIP memang cukup berhasil. Lihat saja, banyak ibu-ibu rumah tangga yang dapat memberdayakan dirinya masing-masing melalui berbagai kegiatan sosial SIP. Fajar

Side Bar 3

Mengumpulkan Kisah-kisah Inspiratif SIP di Dalam Satu Buku

Ada satu rencana penting yang telah diwujudkan oleh para pengurus SIP. Rencana tersebut adalah menerbitkan buku yang berisikan kisah-kisah inspiratif dari pengalaman selama berdirinya SIP. Para penulisnya tak lain adalah para pengurus SIP. Mereka secara bahu membahu membuat tulisan dari berbagai kisah nyata yang pernah mereka temui selama mengurus SIP.

Dalam waktu dekat, buku yang bertajuk ‘Di Pinggir dan Di Tengah Jakarta’ itu akan diedarkan di pasar. Mereka berharap dengan meluncurkan buku tersebut, mereka dapat memberikan inspirasi bagi para pembacanya untuk melakukan berbagai aksi sosial di masyarakat. Salah satu kisah nyata yang ditulis oleh Pujiwati adalah kisah mengenai seorang ibu yang suaminya menikah lagi. Padahal ibu itu harus membiayai 3 anak kandungnya. Tak pelak, si ibu memutuskan untuk menjadi seorang sopir angkot untuk memperoleh pendapatan. Kisah ibu seorang sopir angkot itu hanyalah satu dari banyak kisah nyata yang ditulis oleh para pengurus SIP.

Buku yang diterbitkan itu juga hanyalah menjadi salah satu bukti keterlibatan SIP di dalam masyarakat. Kegiatan seminar ataupun pelatihan menjadi acara yang kerap diadakan SIP. Biasanya, SIP melakukan kerjasama dengan instansi lainnya setiap kali mengadakan kegiatan seminar atau pelatihan. Kegiatan terakhir adalah kegiatan seminar hasil kerjasama dengan YLKI yang membahas mengenai hak-hak konsumen tentang obat-obatan dan transportasi darat yang sempat tercoreng dengan banyaknya kecelakaan yang terjadi. Tak hanya itu, mereka juga pernah melakukan kerjasama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menggelar pelatihan kewirausahaan bagi ibu-ibu rumah tangga. Fajar

1 comment:

Unknown said...

Halo, saya Ibu Joyce, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup. Apakah Anda membutuhkan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau Anda membutuhkan pinjaman untuk meningkatkan bisnis Anda? Anda telah ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda membutuhkan pinjaman konsolidasi atau hipotek? mencari lebih karena kita di sini untuk membuat semua masalah keuangan Anda sesuatu dari masa lalu. Kami meminjamkan dana kepada individu yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, untuk berinvestasi di bisnis di tingkat 2%. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu Anda bahwa kami memberikan bantuan yang handal dan penerima dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini melalui email di: joycemeyerloanfirm@gmail.com