Thursday, April 1, 2010

dr. Nova Riyanti Yusuf, Dokter dan Penulis

Ketakutan Akan Kematian Menghantarkannya Menjadi Penulis Terkenal

Mendapat cobaan terberat saat ditinggal ayah dan kakak tercinta sekaligus, membuat Nova sempat berada di titik nadir. Di saat itu pulalah, ia mengadu kepada Tuhan dan mendapat pertolongan. Selain itu, problematika kehidupan pribadinya pun menghantarkan Nova untuk mengadu kepada Allah di Tanah Suci untuk menjalankan Umrah. Nova akhirnya mampu bangkit dan sukses merintis karir sebagai seorang novelis handal. Bahkan ia juga mampu berkarir sebagai seorang dokter untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Bagaimana kisahnya?

Tawa…Suka…Penuh kebahagiaan semu…

Wanita-wanita yang melolong dalam kepuasan duniawi yang seharusnya belum berhak mereka rengkuh…

Setiap aku biarkan mereka memanjat ke atas tubuhku dan mereka pun mencambukku dalam khayalan dahsyat, yang aku pun tak kuasa membelenggu..

(Diambil dari novel Mahadewi Mahadewi, karya Nova Riyanti Yusuf)

Tulisan yang diambil dari novel perdananya tersebut memang bermakna cukup dalam. Sisi kegelapan dari kehidupan seorang anak manusia tergambar jelas dari novel karangannya itu. Tak banyak yang tahu bahwa inspirasi penulisan novel tersebut muncul dari kesedihan yang dirasakan Nova tatkala ditinggalkan oleh dua orang yang sangat dicintainya, yakni ayah dan sang kakak. Namun, kesedihan yang teramat dalam itu mampu diubahnya menjadi kesuksesan dalam karirnya sebagai seorang novelis yang merangkap sebagai dokter.

Wajah pemilik nama lengkap Nova Riyanti Yusuf itu nampak kelelahan setelah seharian beraktivitas. Akan tetapi, ia masih saja mengumbar senyum kepada Realita saat berkunjung ke rumahnya di Pondok Indah pada Kamis (18/12) lalu. Sebagai seorang dokter, Nova memang disibukkan dengan menerima pasien pada siang harinya. Tak hanya berperan sebagai seorang dokter, Nova juga disibukkan dengan kegiatan lain. Hari sebelumnya, ia sempat diminta untuk menjadi juri di salah satu festival film independen di Jakarta. Tak jarang pula undangan datang ke hadapannya untuk menjadi pembicara menyangkut buku-buku yang sudah pernah ia terbitkan. Tentu saja, Nova berupaya untuk menghadiri berbagai undangan acara tersebut.

Beberapa hari ini saya sebenarnya sedang sakit,” ungkap Nova memulai pembicaraan. Wajah pucatnya tak menghalangi Nova untuk bercengkerama dengan Realita. Siapa sangka, perjalanan hidup gadis yang kerap disapa dengan Noriyu ini dipenuhi dengan cobaan yang sempat membuatnya depresi. Namun demikian, salah satu cara yang ditempuh untuk menepis segala macam cobaan tersebut adalah berkomunikasi dengan Allah. Bahkan berkunjung ke Tanah Suci pun dilakoninya agar mendapatkan jawaban terhadap kegalauannya saat itu.

Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, Nova tidak tumbuh sebagai anak manja dan berpangku kepada kedua orang tuanya, (Alm) H. Yusuf Abbas dan Hj. Marsiswati Yusuf. “Kedua orang tua tetap mengajarkan kedisiplinan,” ungkap Nova. Tak hanya itu saja, ia sudah terbiasa untuk ‘memberi’ sedari remaja. Meski Nova tak selalu ‘memberi’ dengan materi.

Nova lahir di kota Palu, Sulawesi Tengah pada 27 November 1977. Sang ayah yang berprofesi sebagai seorang bankir membuat keluarga Nova kerap berpindah tempat seiring dengan kepindahan tugasnya. Kendati lahir di Palu, Nova tetap dibesarkan di Jakarta.

Nova kecil mengenyam pendidikan SD hingga kuliah di Jakarta. Ia bersekolah di SD Ora et Labora, Jakarta dan kemudian melanjutkan ke SMP Islam Al-Azhar, Jakarta. Semasa kecil, ia dikenal sebagai anak yang aktif di berbagai kegiatan, tak terkecuali di kegiatan olahraga. “Saya waktu remaja juga menekuni tenis,” kenang wanita yang betah melajang hingga saat ini. Bahkan beberapa turnamen lokal sempat ia ikuti. Tak jarang pula, Nova berhasil menyabet gelar juara. Hobi memegang raket tenis diakuinya tertular dari sang ayah.

Saat masih duduk di bangku SMA Tarakanita I, Nova lebih banyak aktif di dunia tulis menulis dengan menjadi editor sekaligus reporter majalah sekolah bernama Starpura (Suara Tarakanita Pulo Raya). Sebenarnya Nova sudah memiliki hobi menulis sejak SD. Ketika di bangku SMP pun, ia kerap menghasilkan cerpen-cerpen berbahasa Inggris.

Selepas lulus dari SMA, Nova sempat berkeinginan untuk mendalami kemampuan menulisnya di luar negeri. “Tapi orang tua nggak setuju,” ujar Nova singkat. Apalagi sebagai anak bungsu, Nova diharuskan untuk menempuh pendidikan di dalam negeri saja. Alhasil, kuliah kedokteran di Universitas Trisakti pun diambilnya. Kendati menempuh pendidikan kedokteran, Nova tak lantas meninggalkan hobi menulisnya. Sebaliknya, semasa kuliah, ia mendirikan media komunikasi KOMET (Komunikasi Medikal Trisakti) dan sempat menjadi pemimpin redaksi.

Ditinggal Ayah dan Kakak. Bakat menulis cerpen dan novel bukanlah tiba-tiba muncul dalam diri Nova. Kemampuannya tersebut didapat dari sang kakek, yakni D. Suradji yang juga dikenal sebagai seorang wartawan Antara sekaligus sastrawan Malioboro. “Sudah biasa melihat buku-buku yang tebal,” ujar Nova. Dari sang kakek pulalah, goresan tangan yang berubah menjadi kumpulan novelnya bermula. “Sebenarnya, awal itu pas saya menulis opini-opini,” ungkapnya.

Lama-kelamaan Nova merasakan ketertarikan dalam dunia menulis. Apa yang berada dalam pikirannya, dapat dengan mudah langsung dituangkan ke tulisan dan dirangkai menjadi sebuah cerita nan menarik. Namun, untuk menerbitkan buku masih belum dapat dicapai dengan mudah bagi Nova. Cobaan justru datang dalam kehidupannya tatkala kepergian sang ayah yang sangat dicintainya.

Saat masih co-ass untuk meraih gelar dokter, sang ayah yang tengah sakit keras ternyata harus pergi selamanya. Sungguh dianggap sebagai sebuah tragedi besar dalam hidupnya. Sang ayah meninggal pada tahun 2000, akibat gagal jantung pascaoperasi by-pass jantung koroner. Belum habis duka yang dirasakan Nova, setahun kemudian kakak tertuanya, Novinita Hassan menyusul kepergian sang ayah di usianya yang baru menginjak 35 tahun. Setelah dirawat selama 38 hari, karena didiagnosis Disseminated Intravascular Coagulation. Akibat penyakit tersebut, sang kakak harus mengalami pendarahan cukup parah sehingga tak dapat tertolong lagi.

Dua kematian yang terjadi di dalam hidup Nova, tak ayal mengakibatkan rasa traumatik tersendiri bagi dirinya. “Kematian terasa sangat dekat,” ujar pengagum Stephanie Mayer, penulis novel Twilight ini. “Jadi saya mengira-ngira siapa berikutnya dalam keluarga,” lanjutnya sembari tersenyum kecut. Ia pun menjadi merasa takut akan datangnya kematian. “Saya sempat takut akan kematian,” ungkap Nova. Berbagai tanya besar muncul dalam pikirannya. Nova sempat merasa hidup ini tak adil untuk dijalani. Dua anggota keluarganya yang dijemput maut dalam kurun waktu setahun, dianggapnya sebagai sebuah ketidakadilan. “Saya tak berani untuk marah kepada Tuhan,” ungkapnya. Butuh waktu cukup lama untuk mengembalikan kondisi mental Nova.

Nova sendiri berusaha untuk bangkit kembali merangkai puing-puing kehidupannya yang sempat berantakan. Saran salah satu temannya agar lebih mendekatkan diri kepada Allah pun dijalaninya dengan ikhlas. “Ambil wudhu dan shalat,” ujar Nova menirukan omongan temannya tersebut. Benar saja, setelah mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, kondisi mental Nova semakin membaik. “Tiba-tiba ada titik terang setelah saya sudah tawakal. Di situ saya merasakan adanya intervensi Allah,” tutur Nova menjelaskan. “Seperti ada energi positif yang muncul,” ujar Nova menggambarkan kondisi ketika berkomunikasi dengan Tuhan.

Seiring dengan berjalannya waktu, ia berhasil menerima kenyataan pahit harus ditinggalkan dua orang yang disayanginya tersebut. Kuliah di kedokteran umum di Trisakti pun berhasil diselesaikannya dengan baik di tahun 2003. Di tahun yang sama pula, Nova menerbitkan novel perdananya yang bertajuk ‘Mahadewi Mahadewi’. “Awalnya saya terbitkan secara independen,” aku penyuka sushi ini. Salah satu penerbit besar kemudian tertarik untuk mengedarkannya. Kesuksesan pun diraih Nova tatkala novelnya tersebut meraih predikat bestseller karena penjualannya yang cukup tinggi.

Jawaban di Tanah Suci. Diakui Nova, inspirasi dalam menulis ‘Mahadewi Mahadewi’ didapat dari dua kematian yang terjadi dalam keluarganya. Sisi gelap kehidupan anak manusia tergambar jelas dari kedukaan yang teramat dalam yang dirasakan Nova. Baginya, pertolongan Allah tak hanya hinggap ketika ia harus ditinggalkan dua orang yang disayanginya tersebut. Dalam kehidupan pribadinya, Nova merasakan lebih banyak pertolongan Allah. Ia memang sempat merasakan kebahagiaan saat tengah menjalani hubungan dengan putera sulung calon presiden tahun 2004 lalu. “Kita sudah merencanakan pernikahan, tapi ada banyak kendala yang menghadang,” kenang Nova yang berencana membuat skenario film thriller bersama Indra Birowo ini.

Awalnya, Nova berusaha untuk mencari solusi terhadap masalah yang menghadang rencana pernikahannya. Namun, ia lantas mengambil keputusan untuk mengakhirinya. Tak puas dengan keputusan yang diambil, Nova pun berangkat ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah Umrah. “Di Tanah Suci, saya berdoa agar diberikan petunjuk dan kekuatan agar mengambil keputusan yang tepat,” kilah Ketua Metaforma Institute: Center for Community and Social Development itu. Sekembalinya ke Jakarta, barulah petunjuk tersebut datang dan menambah keyakinan bahwa keputusan yang diambilnya sudah tepat. “Dia memang bukanlah jodoh saya,” ujar Nova singkat.

Sekembalinya ke Jakarta, hubungan keduanya semakin menjauh dan tak bisa bersatu kembali. Terlebih lagi, sang ibu menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hubungan Nova dengan pria tersebut. Hal itulah yang semakin membuat yakin bahwa keputusan yang diambil adalah tepat. Meski mengalami kegagalan dalam membina hubungan dengan pria, tak membuat Nova trauma. Soal kesendiriannya, ia tetap berusaha untuk mencari pasangan tanpa harus terburu-buru karena usianya yang sudah berkepala tiga.

Selalu Bertawakal. Kini, banyak judul buku yang sudah diterbitkan Nova, di antaranya adalah Mahadewi Mahadewi (2003), Imipramine (2004), dan 3Some (2005). Selain itu, ia juga menulis novel adaptasi dari 2 skenario film, yakni ‘30 Hari Mencari Cinta’ dan ‘Garasi’. Tak hanya itu saja, kumpulan esai ‘Libido Junkie’ dan ‘Stranger Than Fiction’ juga menjadi buku terbitannya yang sudah berada di pasaran. Novel perdananya Mahadewi Mahadewi bahkan dijadikan sebagai buku referensi di Universitas Charles Darwin, Australia untuk unit belajar kemahiran bahasa Indonesia. Cerpen-cerpennya juga telah tersebar di berbagai media cetak, salah satunya adalah di majalah Djakarta sebagai penulis esai reguler.

Prestasinya memuncak saat beberapa waktu lalu, Nova menjadi perwakilan Indonesia pada “The Asia 21 Young Leaders Summit” yang berlangsung di Tokyo, Jepang. Ia terpilih mewakili Indonesia setelah menyingkirkan ribuan peserta lainnya. Forum dialog para pemimpin muda Asia Pasifik itu digagas kelompok "Asia Society" yang memilih hanya 200 peserta, termasuk Nova Riyanti. Ia merupakan orang ketiga dari Indonesia yang ikut pertemuan dari berbagai negara tersebut, setelah Veronica Colondam (2006) dan Sandiaga Uno (2007). “Saya banyak belajar bagaimana pikiran delegasi dari beberapa negara dan mengaplikasikannya ke Indonesia,” ungkap Nova dengan bangga. Fajar

Side Bar 1...

Mendapatkan Inspirasi dari Sosok Menyeramkan Dalam Mimpi

Ada sebuah pengalaman unik yang mungkin tak dapat dimengerti oleh Nova sendiri. Saat akan menulis Mahadewi Mahadewi, dalam tidurnya, ia selalu didatangi oleh sosok dengan penampilan menyeramkan di mimpinya. Sosok itu selalu datang pada mimpinya berulang kali. Nova sempat merasa takut dengan kehadiran sosok tak dikenal tersebut. “Sosok itu menakutkan dan setelah terbangun dari tidur, saya menjadi sakit,” kenang penulis skenario film ‘Merah itu Cinta’ ini.

Namun, entah kenapa kehadiran sosok menyeramkan itu langsung memberikan inspirasi Nova untuk menulis novel Mahadewi Mahadewi. Akhirnya, ia pun berusaha menuangkan sosok itu ke dalam karakter salah satu tokoh di novel Mahadewi Mahadewi. Setelah melihat hasilnya, Nova sangat puas. “Sebenarnya Mahadewi Mahadewi dan Stranger Than Fiction yang menurut saya puas banget dengan hasilnya,” tutur Nova.

Nova sendiri berencana akan menulis buku tentang bunuh diri, yang dianggapnya sangat menarik untuk diangkat. “Rencananya tahun depan,” harap Nova. Saat ini, ia tengah serius menyelesaikan pendidikan spesialis psikiatri di Universitas Indonesia (UI). Tak sabar Nova menyandang gelar sebagai seorang psikiater. Fajar


No comments: