Friday, April 9, 2010

Mariana Amiruddin, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan

Berharap Dunia Akan Lebih Baik di Tangan Perempuan

Berawal dari cita-citanya yang ingin memajukan kaum perempuan Indonesia, Mariana Amiruddin pun mulai bergelut menjadi seorang aktivis perempuan. Selain ikut di berbagai aksi, ia juga mencurahkan pemikirannya dalam bentuk tulisan yang kemudian dijadikan beberapa judul buku. Dipilih sebagai pimpinan di Jurnal Perempuan semakin memperluas tanggung jawabnya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Lalu bagaimana kisah hidup penganut feminisme ini?

Sebuah rumah yang berukuran cukup besar itu nampak ramai. Beberapa orang terlihat tengah berbincang-bincang dengan seriusnya. Sesekali, gelak tawa menjadi selingan di antara obrolan tersebut. Beberapa orang lainnya tengah sibuk di depan komputer. Rumah yang terletak di Kompleks Kejaksaan Agung, Tebet, Jakarta Selatan tersebut telah berubah fungsi menjadi tempat berkumpulnya para aktivis yang sebagian besar adalah perempuan. Di tempat itulah, banyak lahir aktivis perempuan yang kerap menyuarakan aspirasi perempuan modern abad 21. Sejak didirikan paska reformasi, Yayasan Jurnal Perempuan telah banyak menorehkan berbagai aksi demi hadirnya kesetaraan gender.

Kini, seiring dengan bergulirnya waktu, Yayasan Jurnal Perempuan pun berusaha mengantisipasi segala macam masalah yang menimpa kaum perempuan dengan berbagai perubahan sikap. Kendati demikian, sikap para aktivis perempuan tentunya tetap memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang sempat tergilas oleh kepentingan besar.

Langkah Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) tentu tak bisa dilepaskan begitu saja dari sosok pemimpinnya yang kerap berada di barisan terdepan pada setiap kegiatan. Dialah Mariana Amiruddin, perempuan yang sudah ikut terlibat langsung di keorganisasian sejak didirikan Gadis Arivia pada era reformasi lalu. Ditemui di kantor YJP, Mariana nampak sederhana dengan pakaiannya yang santai. Ia tak memperlihatkan sosok pemimpin dalam penampilannya. Namun, terbukti dialah yang menjadi motor penggerak YJP. Sembari duduk santai di sela-sela kesibukannya, Mariana bercerita tentang kisah hidupnya sebagai seorang perempuan mandiri dan kritis.

Mandiri dan Kritis. Sebagai anak bungsu dari enam bersaudara, Mariana tak lantas tumbuh menjadi anak manja. Sebaliknya, berkat didikan kedua orangtuanya, Amiruddin Saleh (73) dan Ratu Rusniyati (68), Mariana justru tumbuh menjadi anak yang mandiri dan kritis terhadap berbagai hal. Bahkan, saat masih mengenyam pendidikan Taman Kanak-kanak (TK), ia sempat mempertanyakan alasan bersekolah. “Dulu, saya tidak suka sekolah dan pernah mencakar guru saya sampai berdarah,” ungkap Mariana. Sang ibu lantas menjelaskan kenapa setiap anak harus bersekolah. Dengan penjelasan panjang lebar, akhirnya Mariana pun menerima alasan tersebut dan kembali ke sekolah.

Semasa kecil, ia dikenal sebagai anak pendiam dan penyendiri. Hobinya menulis sejak kecil, membuat dirinya selalu mencurahkan apa yang ada di pikirannya dalam bentuk tulisan. Alhasil, Mariana tak memiliki banyak teman. Kesehariannya, ia lebih banyak memegang alat tulis dan menorehkan curahan pikiran dan perasaannya dalam bentuk tulisan. “Saya itu dari kecil memang pemikir,” aku Mariana. Dengan pemikirannya tersebut, ia memang bercita-cita menjadi seorang penulis. “Saya hanya punya cita-cita dua, yakni jadi penulis dan aktivis,” kenangnya.

Mariana sendiri lahir di Jakarta pada 14 Maret 1976. Kala itu, ayahnya berkerja sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah instansi pemerintah. Sedangkan ibunya lebih banyak meluangkan waktu di rumah sebagai ibu rumah tangga. Perpaduan budaya Bengkulu dari sang ayah dan Banten dari ibundanya, menjadi didikan yang diterima Mariana sejak kecil.

Didikan ayah itu nggak pernah membedakan antara perempuan dan laki-laki,” kenang Mariana. Salah satu didikan sang ayah yang paling diingatnya adalah larangan budaya konsumtif terhadap keempat anak perempuannya. “Kita tidak boleh membeli make up atau ke salon, kecuali kita sudah menghasilkan duit sendiri,” aku Mariana. “Kalau kamu perlu bantuan, papa cuma bisa kasih bantuan dalam pendidikan saja, selebihnya tidak,” ujar Mariana menirukan omongan sang ayah. Alhasil, semua anaknya tumbuh menjadi anak yang tak suka menghambur-hamburkan uang hingga sekarang. Setiap belanja pun, anak-anaknya diharuskan belanja barang-barang yang memang dibutuhkan.

Selain itu, ayah selalu mengajarkan setiap anaknya selalu mandiri. “Apa-apa itu harus dikerjakan sendiri,” ungkap wanita yang jarang berdandan ini. Saat duduk di bangku SD, Mariana kerap berpindah tempat tinggal. Karena kepindahan tugas sang ayah, keluarganya lantas pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan, saat usia Mariana baru menginjak 5 tahun. Mariana kecil sempat menempuh pendidikan SD hanya selama 2 tahun. Setelah 2 tahun tinggal di Makassar, Mariana dan keluarga kembali berpindah tempat ke Madiun, Jawa Timur. Di sana, ia melanjutkan SD hingga kelas 5.

Pemikir dan Hobi Menulis. Lagi-lagi, Mariana harus berpindah tempat tinggal dan kembali ke Jakarta di penghujung kelas 6 SD. Setelah menamatkan SD, Mariana melanjutkan ke SMPN 77 Cempaka Putih, Jakarta Pusat dan SMAN 77, Jakarta. Semasa remaja, Mariana suka sekali menulis. “Awalnya saya suka menulis buku diari,” aku Mariana. Lulus SMA sekitar tahun 1994, Mariana memutuskan melanjutkan kuliah di Universitas Jayabaya mengambil bidang studi Hubungan Internasional. Hobi menulis sekaligus pemikir, masih tetap dilakoninya tiap kali ada waktu luang. Tiap coretannya, diakui sebagai hasil pemikirannya tentang hidup dan berbagai pandangannya terhadap berbagai macam masalah.

Setelah lulus sarjana, Mariana memiliki ketertarikan tersendiri terhadap dunia perempuan dan permasalahannya. Ketertarikannya itulah yang membawanya menempuh pendidikan paskasarjana di Universitas Indonesia (UI) program Kajian Wanita. Mendalami kajian tentang wanita semakin membuat dirinya ingin terjun langsung mengatasi segala macam permasalahan perempuan Indonesia. Menurutnya, sudah banyak teori yang ia dapatkan di dunia kampus. Sudah saatnya untuk berbuat secara nyata bagi masyarakat khususnya kaum perempuan. Di kampus itu, ia lantas berkenalan dengan dunia aktivis perempuan yang kemudian membawanya memimpin sebuah organisasi perempuan YJP.

Kali pertama Mariana aktif di YJP, adalah ketika mendapatkan ajakan dari Gadis Arivia, sang pendiri YJP pada tahun 2003. “Waktu itu saya sedang menyelesaikan kuliah paskasarjana Kajian Wanita di UI,” kenang Mariana. Kebetulan, kala itu ia dibimbing oleh Gadis Arivia sebagai dosennya. Ketertarikan Mariana sendiri terhadap dunia perempuan memang sudah lama bersemi dalam semangatnya. Kendati, sempat ditertawakan oleh teman-teman kuliahnya, ia justru semakin terpacu untuk memilih fokus di bidang perempuan dan permasalahannya.

Semangat Mariana mendalami dunia perempuan dan permasalahannya semakin menggebu setelah melihat banyaknya korban perempuan akibat kerusuhan pada periode 1997-1998. Dari sudut pandangnya sebagai perempuan, tentu kejadian tersebut menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri baginya. “Timbul kerinduan dalam diri saya, agar perempuan dapat berprestasi seperti halnya para lelaki,” ungkap Mariana. Terlebih lagi, di bidang-bidang yang membutuhkan intelektual tinggi, yang menurutnya perempuan kerap dilecehkan bila harus bersaing dengan lelaki.

Saat tengah menyelesaikan tugas akhir paskasarjana, Mariana sempat magang di YJP sejak tahun 2002. Barulah, setelah menyelesaikan segala macam urusan dengan kuliah S2-nya di kampus, ia mulai aktif total di keorganisasian YJP. Setelah sekian tahun mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk YJP, pada tahun 2008 lalu, Mariana kemudian terpilih sebagai Direktur Eksekutif YJP secara aklamasi membawahi 22 staff aktifnya. Pemikiran dan perhatiannya yang total terhadap dunia perempuan menambah nilai positif terhadap figurnya di YJP.

Sebagai Direktur Eksekutif YJP, Mariana bertanggung jawab untuk memimpin organisasi agar mampu bertahan menyuarakan aspirasi perempuan Indonesia. “Kita harus tetap menjadi ikon aspirasi perempuan melalui Yayasan Jurnal Perempuan ini dan selalu tanggap terhadap masalah perempuan yang selalu berubah setiap waktu,” tutur Mariana. “Kita ingin memberikan contoh kepada para perempuan dan membawa mereka kepada pencerahan,” lanjutnya dengan yakin.

Kesetaraan Gender. Sebagai pimpinan generasi ketiga setelah Adriana Venny dan Gadis Arivia, Mariana memang dituntut untuk berbuat lebih banyak ketimbang para pendahulunya. “Kalau di era saya, kami lebih menyuarakan pluralisme atau keberagaman, berbeda halnya ketika masih dipimpin Gadis Arivia di era reformasi,” ungkap Mariana. Tak hanya itu saja, ia juga menyoroti bidang pendidikan dan ekonomi yang masih berdampak negatif terhadap kaum perempuan. Terlebih lagi, menurutnya, ekonomi yang masih terkena imbas krisis global, menjadi pukulan terberat bagi buruh pabrik yang kebanyakan perempuan. “Era saya itu lebih kompleks, strateginya harus seperti sirkus,” ujarnya sembari tersenyum.

Ke depannya, Mariana bersama YJP masih memberikan perhatian khusus terhadap kegiatan trafficking perempuan yang masih terjadi. “Angka kematian ibu melahirkan yang masih tinggi,” ujar Mariana. “Kita juga menyoroti kondisi politik nanti paska pemilihan presiden dan dampaknya terhadap perempuan,” lanjutnya menjelaskan. Termasuk segala macam masalah pemilu lalu yang telah banyak merenggut hak pilih para perempuan. “Kalau golput dijadikan partai, maka menjadi pemenang,” canda Mariana. Berbagai diskusi publik pun diadakan Mariana bersama YJP untuk mencari solusi tepat bagi permasalahan yang tengah dihadapi oleh kaum perempuan. Selain diskusi yang menampilkan berbagai pengamat dan para aktivis perempuan, Mariana juga tak segan-segan turun ke jalan dan melakukan aksi mengangkat suatu topik masalah tertentu.

Selain disibukkan dengan kegiatannya di YJP, Mariana tetap tak melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan. Penganut feminisme ini memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya sejak setahun lalu. “Status istri sebenarnya bisa menimbulkan masalah gender,” kilah Mariana sambil enggan menyebutkan nama suaminya ini. “Saya ingin memunculkan nama saya sendiri,” lanjutnya singkat. Baginya, menjalani pernikahan sesuai dengan jalannya sendiri tanpa harus memandang perbedaan antara status suami atau istri.

Yang pasti, Mariana mengaku akan selalu membawa YJP agar selalu berada di jalur yang tepat. Sebagai seorang pemimpin, ia pasti akan melanjutkan program-program yang sudah dirintis oleh para pendahulunya. “Saya ingin dunia ini menjadi lebih baik di tangan para perempuan Indonesia,” harap Mariana. Fajar

Side Bar 1…

Gerakan Perempuan-perempuan Galak

Menurut Mariana, masalah yang kini masih menjadi perhatiannya adalah ketika banyak anggapan negatif yang menghampiri gerakan perempuan. “Masih banyak yang memandang kita negatif,” ujarnya singkat. “Ngapain sih turun ke jalan, mendingan ngurusin keluarga saja, ngurusin rumah,” tutur Mariana menirukan omongan negatif yang selalu terdengar bila mengadakan aksi.

Bahkan, sebagian orang menyebut gerakan perempuan sebagai perkumpulan perempuan galak dan cerewet. Hal tersebut sangat disayangkan Mariana. Pasalnya, apa yang dilakukan dirinya bersama kaum perempuan lain adalah demi kepentingan kaum perempuan yang kerap ditindas zaman. “Itu bisa menjatuhkan mental kita sebagai perempuan,” ujar Mariana.

Kendati selalu dipandang negatif oleh sebagian orang, Mariana tak pernah patah arang untuk selalu menorehkan asa bagi kaum perempuan dengan berbagai aksi, tak hanya aksi turun ke jalan. Mariana mengaku, kegiatan yang dilakukan tak selalu harus turun ke jalan. Seringkali, mereka mengadakan berbagai kegiatan positif yang mengajak perempuan agar lebih banyak aktif dan berprestasi di segala bidang. Fajar

Side Bar 2…

Menulis untuk Kaum Perempuan

Selain memperjuangkan hak-hak perempuan yang kerap tertindas melalui organisasi YJP, Mariana sendiri menempuh cara lain yang sudah menjadi hobinya, yakni menulis. Beberapa karya tulisnya, berupa buku dan kumpulan cerpen selalu ditujukan untuk kemerdekaan hak-hak perempuan. Buku berjudul Perempuan Menolak Tabu dan novel Tuan dan Nona Kosong merupakan hasil karyanya yang lebih banyak berkutat di seputar perempuan.

Wataknya sebagai seorang pemikir dan penulis sudah mulai terlihat ketika Mariana masih duduk di bangku SMP. “Saya orangnya penyendiri waktu masih remaja,” kenang Mariana. Kala remaja, ia kerap memperhatikan perilaku teman-temannya dan langsung mencurahkan hasil pemikiran dan pengamatannya tersebut dalam bentuk tulisan. Kebiasaan tersebut berlanjut semasa SMA dan kuliah. “Setiap hari saya selalu menulis, sudah ritual saya sendiri,” ungkap Mariana.

Rencananya, buku novel terbarunya tentang feminis akan segera diluncurkan pada awal 2010 mendatang. “Soalnya kalau menulis novel itu nggak bisa buru-buru seperti menulis berita,” kilah Mariana. “Saya suka membuat tulisan yang bisa membuat pembacanya ke alam mimpi,” lanjutnya singkat. Kebanyakan dari buku-bukunya pun berakhir dengan cerita yang menggantung bahkan tragedi kematian. “Bila orang mau menghargai kehidupan, maka mereka juga harus menghargai kematian juga,” tutur Mariana.

Menurutnya, dengan membuat tulisan dan buku, maka Mariana berharap dapat memberikan cara pandang baru bagi kaum perempuan Indonesia. “Perempuan Indonesia seringkali terjebak dalam kubangan patrialistik karena sudah membudaya,” ungkap Mariana. Ia mencontohkan kisah Manohara yang akhirnya terjebak dalam pemikiran harus menerima pinangan dari sosok orang yang belum tentu sesuai dengan apa yang diharapkan, karena sebelumnya dibutakan oleh kemapanan yang ditawarkan oleh pria tersebut. Fajar

Biodata

Nama Lengkap : Mariana Amiruddin

Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 14 Maret 1976

Nama Orangtua : Amiruddin Saleh (73) dan Ratu Rusniyah

(63)

Status : Menikah belum memiliki anak

Pendidikan

  • SDN di Makassar, Madiun, dan Jakarta

  • SMPN 77, Jakarta

  • SMAN 77, Jakarta

  • Hubungan Internasional, Universitas Jayabaya, lulus tahun 1998

  • Paska Sarjana Program Studi Kajian Wanita, Universitas Indonesia, 2000

Jabatan

Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan (2008-2012)

Aktivis Jurnal Perempuan (2002-sekarang)

Karya

  • Perempuan Menolak Tabu (2005)

  • Novel : Tuan dan Nona Kosong (2006)

  • Beberapa kumpulan cerpen



1 comment:

Unknown said...

mariana amiruddin, saya sardiati( ati ) teman dan sahabat dulu di jayabaya, " ena " atw docile bwt panggilan mariana masih saya ingat selalu dalam kenangan dan saya salut akan keunikan dan kemandirian yang tidak berubah sejak dulu saya kenal kurang lebih 5 tahun dan saya berharap docile masih mengingat teman nya yang dulu selalu bersama nya walaupun orang lain mencibir akan keunikan nya.
pesan saya; bagaimana saya bisa bertemu dan berbicara dengan " docile " yang saya kenal dulu? karena saya sendiri merupakan pekerja sosial di kementrian sosial khususnya berkonsentrasi terhadap anak2 terlantar, trims!