Friday, February 12, 2010

Muhammad Dahlan (Pengusaha SPBU)

Ingin Masuk Surga dengan Membantu Orang Kecil

Usia senja tak selamanya menghambat seseorang untuk berkarya. Terbukti, dengan hadirnya sosok Muhammad Dahlan yang mampu membuka mata masyarakat Kecamatan Sukamakmur, Jonggol, untuk lebih banyak belajar tentang Islam. Di desa itulah, Dahlan mengumpulkan warga untuk mengikuti majelis Ta’lim yang telah ia bentuk. Tak hanya itu, ia juga membangun Masjid di kampung tersebut. Selain di Jonggol, daerah Bekasi Utara juga menjadi salah satu daerah sasaran dakwahnya. Untuk melakukan semua itu, tentu tidak sedikit biaya yang dikeluarkan, padahal Dahlan bukanlah seorang konglomerat atau pengusaha besar, ia hanya seorang penguaha biasa. Lalu apa motivasi Dahlan untuk selalu membantu orang kecil, dan mau turun sendiri meski kini usianya sudah pada angka 78 tahun?

Jalanan penuh bebatuan itu harus dilalui Dahlan agar dapat sampai ke salah satu desa terpencil di daerah Jonggol, Bogor, Jawa Barat. Di sisi kanan dan kiri jalan, terlihat hijau pepohonan dan kebun milik warga. Pemandangannya memang cukup indah. Namun, pemandangan itu tak seindah nasib penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya. Sebagian besar warga bekerja sebagai buruh tani dan memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan. Tak hanya itu, pengetahuan tentang agama Islam juga masih terbilang kurang. “Di sini pengetahuan mereka tentang agamanya masih kurang,” ujarnya.

Atas dasar itulah, Dahlan berusaha untuk membantu warga Kecamatan Sukamakmur, Jonggol, dengan mengadakan pengajian majelis Ta’lim setiap hari Senin dan Jumat. Pada dua hari itulah, secara rutin, Dahlan mengunjungi Jonggol untuk sekadar mengajar tentang Agama Islam kepada para warga.

Setiap hari Senin dan Jumat, Dahlan harus menempuh perjalanan dari rumahnya di Jln. Veteran, Bekasi, menuju daerah Jonggol yang menghabiskan waktu sekitar satu jam. Dari Jalan Raya Jonggol, Dahlan masih harus melalui jalan berbatu dan terjal untuk mencapai bangunan surau yang telah dibangunnya setahun yang lalu. Di bangunan yang cukup sederhana itulah, Dahlan bersama satu ustadz yang dibawanya dari Bekasi, mengajar tentang Agama Islam kepada para penduduk. Jalanan yang harus dilalui menuju surau memang terbilang cukup sulit. Tak jarang, mobil keluarga yang sering dipakai Dahlan harus berjalan perlahan-lahan karena banyaknya bebatuan besar yang harus dilewati. “Bebatuan ini memang disengaja supaya jalanannya tidak licin,” ungkap Dahlan.

Perjalanan menggunakan mobil keluarga pada Senin (11/9) siang itu juga sempat terhambat karena adanya sekawanan sapi yang melintas. Akhirnya, selang 15 menit kemudian, Dahlan sampai juga di surau miliknya. Angin yang berhembus cukup kencang pada siang itu mampu mendinginkan suasana. Padahal siang itu matahari begitu terik.

Setahun sudah, Dahlan melakukan kegiatan sosial di daerah Jonggol. Di desa Sukamakmur itu, Dahlan memiliki tanah seluas 10 hektar yang ditanami berbagai tanaman. Mulai dari singkong, kelapa, duren, hingga jagung. Tepat di tengah-tengah lahannya tersebut, Dahlan membangun sebuah surau sebagai tempat pengajian atau majelis Ta’lim bagi warga Sukamakmur. Sekitar pukul 14.00 WIB, setelah Dahlan tiba di surau, warga Sukamakmur mulai berdatangan ke surau milik Dahlan. Seorang ustadz yang dibawanya dari Bekasi langsung memberikan ceramah kepada warga yang sebagian besar adalah kaum ibu.

Bangun Tujuh Madrasah. Majelis ta’lim di Jonggol tersebut secara rutin diadakan tiap hari Senin dan Jumat. Sedangkan hari Rabu dan Sabtu, Dahlan mengajar pengajian di daerah Bekasi Utara. Di daerah itu, Dahlan juga membangun tujuh madrasah di enam kecamatan yang berbeda. Di antaranya adalah kecamatan Telar, Kampung Sasak, Keramat Baru, Sungai Keramat, Poncol, dan Sungai Kelina. Khusus untuk yang terakhir, Dahlan membangun dua madrasah sekaligus. Total siswa madrasah yang kini ditampungnya sekitar 490 siswa. Sebagian besar dari siswanya berasal dari keluarga kurang mampu.


Pada awalnya, Dahlan berniat membasmi rentenir yang kala itu masih berkeliaran di daerah Bekasi Utara. “Dulu di sini banyak berkeliaran para rentenir. Kalau orang pinjem Rp 100 ribu, maka dikasihnya Rp 90 ribu, dan besoknya sudah nyicil Rp 4000 per hari selama satu bulan,” tutur Dahlan menceritakan bagaimana cara kerja rentenir di daerah Bekasi Utara. “Makanya saya ingin membasmi rentenir di sini,” ungkap Dahlan.

Sejak itulah, Dahlan mulai membantu masyarakat di enam kecamatan tersebut dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memberikan 18 perahu kepada masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Dahlan berharap dengan diberikannya perahu kepada masyarakat tersebut. Dengan bantuan itu, mereka mampu menabung dan meningkatkan taraf hidupnya.

Selain itu, mereka juga diharapkan mampu menabung untuk membeli tambahan perahu sehingga dapat mengembangkan pekerjaannya sebagai nelayan. Akan tetapi, rencana itu tinggal rencana. “Rencana itu nggak berjalan,” aku Dahlan. Ia menduga rencana tersebut tidak bisa berjalan maksimal karena pengetahuan masyarakat yang kurang. Selain itu, pola pikir yang masih tradisional juga menjadi salah satu penyebabnya.

Dirikan Koperasi. Tak hanya itu. Dahlan memulai pendekatan lainnya dengan cara mendirikan koperasi simpan pinjam (KSP) bagi masyarakat di enam kecamatan yang berbeda. Usahanya pun berhasil. Koperasi simpan pinjam tersebut sampai sekarang sedang berjalan dan membantu warga sekitar untuk mengembangkan profesi mereka sebagai nelayan. Selain itu, Dahlan juga secara rutin mengadakan majelis Ta’lim di daerah Bekasi Utara setiap hari Rabu dan Sabtu. Tidak jarang pula, ia mengajak beberapa rekan atau kenalannya untuk mengunjungi tempat-tempat yang memang masih berada di bawah garis kemiskinan di daerah Bekasi Utara dan Jonggol.

Dengan begitu, Dahlan mengajak teman-temannya untuk memberikan sumbangan kepada warga yang kurang mampu. “Seperti yang terjadi minggu lalu, saya bawa beberapa pejabat dari Mandiri Sekuritas. Dan kemudian, mereka memberikan sumbangan kepada warga kurang mampu,” aku Dahlan.

Guru. Kegiatan Dahlan memang telah berlangsung sejak lama. Dari dulu, ia telah memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi. Kakek yang pernah mengenyam pendidikan di SGTA (Sekolah Guru Tingkat Atas) ini pernah menjadi guru selama hampir delapan tahun. Dengan bekal itu, kini Dahlan mencoba untuk memberikan dakwah kepada warga yang memiliki pengetahuan tentang agama Islam yang masih sangat jauh.

Kakek yang aslinya berasal dari Pulogebang, Jakarta Timur ini telah lama bergelut dalam usaha SPBU yaitu tepatnya sejak tahun 1971. Meski lama bergelut di bisnis SPBU, namun hingga sekarang ia hanya memiliki satu-satunya pom bensin di daerah Cakung. Itu pun sekarang sudah dikelola oleh Luli, salah seorang anaknya. Tak hanya hebat dalam kegiatan sosial, Dahlan juga ternyata jempolan dalam mengurus berkeluarga. Ia mampu menyekolahkan beberapa anaknya hingga ke luar negeri, dengan penghasilannya sebagai pengusaha pom bensin. Anak pertamanya, Taty Susman, mampu melanjutkan kuliahnya di Kobe University, Jepang, setelah menyelesaikan S1 Sastra Jepang di UI. Ia bisa belajar di sana karena mendapatkan beasiswa dari kampusnya. Sedangkan anak kelimanya, Mochtar Dahlan, mendapatkan tambahan pendidikan di Perancis selama hampir dua tahun setelah menyelesaikan sarjananya di salah satu universitas swasta di Jakarta. Kini, Mochtar sudah memiliki usaha sendiri di bidang arsitektur.

Selain itu, Ade Fauzi, putera keenamnya juga mampu melanjutkan kuliahnya di Melbourne, Australia setelah menyelesaikan sarjananya di Universitas Brawijaya, Malang. Kini, Ade bekerja di Kalimantan. “Biaya yang paling berat adalah saat Ade belajar di Australia,” aku Dahlan. Tak ketinggalan, puteri bungsunya Luly (34), juga sempat merasakan pendidikan di Perancis. Semua kesuksesan anak-anaknya tersebut memang tidak lepas dari peran Dahlan sebagai orang tua. Berkat dorongan yang besar dari ayah mereka, sebagian anak Dahlan ini sudah bekerja di luar Jakarta. Ada yang bekerja di Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa. Saat ini, hanya dua anaknya yang tinggal di Jakarta, yaitu Mochtar dan Luly.

Meskipun dana yang dikeluarkan sangat besar untuk membiayai kuliah anak-anaknya, Dahlan tidak melupakan nasib warga kurang mampu yang terkadang tidak sanggup untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Itu sebabnya, madrasah yang telah ia dirikan sangat membantu warga Bekasi Utara dalam menyekolahkan anaknya.

Mendidik Anak Secara Islam. Untuk anak-anaknya, Dahlan memang mendidik dengan cara Islami. “Semua anak dari istri saya semuanya dimasukkan ke pesantren,” aku Dahlan. Itu sebabnya, tidak mengherankan kalau sebagian dari anak-anaknya mampu berdakwah karena pernah berguru di pesantren. Sedangkan anak-anak dari istri keduanya, hanya Nala Waroah, anak keempat dari istri kedua yang dikirim ke Sudan, Afrika untuk belajar di sana. Dahlan sendiri memiliki 16 anak. Delapan anak dari istri pertama dan delapan anak lainnya dari istri keduanya. Ia mengaku sudah pisah dari istri pertamanya. Kini Sadiah, istri pertamanya tinggal bersama Mochtar di Pulo Gadung. “Saya sudah punya banyak cucu,” ujarnya sambil tersenyum tanpa mau menyebutkan jumlah cucunya.

Sementara Dahlan tinggal bersama isteri keduanya, Khusnul Khotimah, beserta anak-anaknya. Dengan setianya, Khusnul selalu menemani sang suami mengajar di majelis ta’lim di Jonggol dan Bekasi Utara. Ketika Realita ikut bersama Dahlan ke Jonggol, Khusnul tak lupa membawa makanan sebagai bekal di Surau. Realita pun merasakan suasana kekeluargaan saat berkumpul bersama warga desa yang hendak mengaji. Dengan ramah, Dahlan menyapa setiap warga yang datang ke Suraunya. Suasana menjadi hening ketika ustadz yang dibawa Dahlan menyampaikan materi dakwah, yang kala itu membahas mengenai Bulan Ramadhan yang tak lama lagi akan disambut oleh umat Islam. Warga pun terlihat sangat menikmati materi yang diajarkan oleh ustadz. Dahlan membantu memberikan materi kepada warga.

Kakek yang lahir di Jakarta, 10 Februari 1928 ini ternyata memiliki cita-cita yang sangat mulia bagi anak-anak kurang mampu. “Saya punya cita-cita ingin menyekolahkan anak-anak miskin,” ujar Dahlan. Berbekal cita-cita tersebut dan keinginan yang kuat, akhirnya Dahlan mampu membantu warga pada enam kecamatan di Bekasi Utara sejak 12 tahun lalu, serta warga di kecamatan Sukamakmur, Jonggol sejak setahun silam. Biaya yang harus dikeluarkan pun terbilang cukup besar. Untuk membayar guru ngaji saja, Dahlan harus mengeluarkan uang sekitar Rp. 400 ribu per guru ngaji setiap bulan. Sedangkan untuk di daerah Bekasi Utara, Dahlan harus merogoh koceknya sekitar Rp 5 juta per bulan untuk membiayai kegiatan operasional madrasah dan pengajian di daerah tersebut. Lain halnya di Jonggol, Dahlan harus mengeluarkan uang minimal Rp 2 juta untuk sekali perjalanan ke daerah Jonggol. Maka jika selama seminggu ia pergi ke Jonggol sebanyak dua kali, Dahlan harus mengeluarkan dana sekitar Rp 16 juta tiap bulan. Semua biaya tersebut secara rutin dikeluarkan Dahlan setiap bulan. Dari jumlah kebutuhan sebesar itu, hampir seluruh biaya berasal dari kocek pribadinya. Memang, ada temannya yang menyumbang, tetapi tidak terlalu besar.

Tindakan Dahlan yang banyak membantu warga kurang mampu, dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk mengharapkan ridha Allah. “Cuma satu target saya, yaitu mengharapkan ridha Allah untuk masuk surga,” aku Dahlan. Ia juga menilai bahwa untuk bisa masuk surga di kemudian hari tidak gampang dan murah. “Saya melihat surga itu barang mahal, jadi harus kerja keras,” lanjutnya. Dengan tujuan tersebut, Dahlan berusaha untuk menggapainya dengan cara menghabiskan sisa waktu di usianya yang sudah senja dengan memberikan dakwah kepada warga yang masih jauh dari agama Islam. Diakuinya pula, tidak sedikit pun muncul niat dari dalam dirinya untuk mencari popularitas dengan perbuatannya tersebut. “Saya tidak mengharapkan popularitas,” ujarnya. Fajar

Side Bar 1

Berencana Bangun Sekolah di Jonggol

Jiwa sosial seorang Dahlan ternyata tak hanya berhenti sampai di situ. Ia mempunyai rencana lainnya untuk membantu warga yang kurang mampu. Salah satunya adalah rencananya untuk membangun sekolah di daerah Jonggol. Di kecamatan Sukamakmur itulah, Dahlan akan membangun sekolah umum bagi anak-anak sekitar. Tanah kosong sudah disiapkan Dahlan. Ia memang memiliki tanah seluas 10 hektar di kecamatan tersebut. Sebagian dari tanahnya itu akan digunakan untuk bangunan sekolah. Keinginan untuk membangun sekolah sama halnya dengan ketika ia membangun madrasah di daerah Bekasi Utara. Oleh karena itu, ia juga berkeinginan untuk membangun sekolah di daerah Jonggol untuk masyarakat kurang mampu.

Walaupun belum ada rencana yang matang dalam pembangunan sekolah tersebut, Dahlan memastikan akan mendirikan bangunan sekolah bagi warga kurang mampu. Lahan kosong tersebut terletak tepat berada di seberang Masjid yang kini sedang dibangunnya. Untuk Masjidnya sendiri, bangunannya hampir selesai. Bangunan Masjid yang berukuran 10x13 meter itu terlihat megah di tengah-tengah pemukiman warga. Sebelumnya, tidak ada Masjid berukuran besar yang berdiri di daerah tersebut. Hanya ada musholla kecil yang ada. Itu pun kondisinya sangat memprihatinkan. Hingga kini, Dahlan telah menghabiskan dana sekitar Rp 60 juta untuk membangun Masjid tersebut. Dana itu tak hanya berasal dari kantongnya, melainkan juga berasal dari donatur lainnya yang menitipkan sumbangan pada Dahlan.

Saat ini, Masjid itu belum diberi nama karena belum rampung. Bangunannya baru mencapai sekitar 80 persen. Dahlan menargetkan sebelum Ramadhan ini, Masjid tersebut telah selesai dibangun dan dapat dipergunakan oleh warga sekitar untuk shalat tarawih dan shalat Ied. Fajar

Side Bar 2…..

Mochtar Dahlan (Anak Muhammad Dahlan)

Saya sempat memprotes sikap Ayah”

Sang ayah di mata anaknya memang telah memiliki jiwa sosial sejak lama. Meski begitu, Mochtar (anak kelima dari isteri pertama Dahlan) pernah tidak menerima sikap Dahlan. Pasalnya, waktu Mochtar masih anak-anak, ada suatu kejadian yang membuatnya sempat tidak menerima sikap sang ayah. Ketika masih kanak-kanak, Mochtar memiliki dua buah mainan. Sang ayah, kemudian menyuruhnya untuk memberikan salah satu mainannya kepada anak angkat Dahlan. Karena Mochtar masih anak-anak, ia sempat marah dengan sikap ayahnya tersebut. Ia menganggap sikap ayahnya itu tidak adil. Meski begitu, setelah beranjak dewasa, Mochtar menyadari bahwa itu adalah sikap sosial yang ditunjukkan ayahnya kepada anak kurang mampu. “Sejak dulu, Bapak memang berjiwa sosial,” ujar Mochtar.

Mochtar juga dapat memahami bahwa sang ayah memiliki kegiatan sosial yang cukup banyak. Kesibukan Dahlan dalam melakukan aktifitas sosial yang dilakukan oleh Dahlan tidak membuatnya melupakan keluarga besarnya. Terbukti dengan sebagian besar anak-anaknya yang mampu sekolah hingga ke luar negeri dan sukses dalam berkarir. Selain berkarir di bidang arsitektur, Mochtar juga terkadang membantu sang ayah dalam kegiatan-kegiatan di Jonggol dan Bekasi Utara. Tak heran, Senin (11/9) itu Mochtar ikut serta dengan sang ayah untuk mengajar di Jonggol. Pria yang pernah sekolah di Prancis ini mengaku bahwa ayahnya memiliki sikap tegas terhadap seluruh anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya sukses menata kehidupan pribadinya. Tak hanya itu, jiwa sosial juga ditularkan kepada 16 anaknya.

Mochtar mengaku bahwa ia memang jarang bertemu dengan sang ayah. Tak mengherankan, karena sebagian besar anak-anaknya telah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri. Hal tersebut juga diakui oleh Dahlan. “Kita memang jarang bertemu,” aku Dahlan. Meski begitu, hubungan antara ayah dan anak masih tetap terjalin dengan baik. Begitu juga dengan anak-anak Dahlan lainnya. Mereka masih tetap berhubungan baik meski melalui telepon. Sebagai seorang anak, Mochtar merasa bangga terhadap sosok ayahnya. Rasa bangganya itu timbul setelah melihat banyaknya warga kurang mampu yang terbantu oleh aksi yang dilakukan sang ayah. Fajar


No comments: