Thursday, February 11, 2010

Abdullah Suharis da Costa Guteres (Karyawan PPD)

Kuakrabi bau busuk sampah demi menyambung hidup”

Keranjang sampah itu kini jadi teman hidupnya. Tangannya yang renta sudah beberapa bulan ini tidak lagi menyentuh alat bengkel di kantor PPD. Karena kantor yang selama ini menjadi tempat Abdullah Suharis da Costa Guteres menggantungkan hidupnya, sejak delapan bulan lalu tidak lagi bersahabat dengan nasibnya. Ia harus kehilangan gajinya yang tidak seberapa setelah pihak perusahaan tidak sanggup lagi membayar gajinya. Kini, tangannya yang semakin kurus karena dimakan usia itu harus segera akrab dengan kotoran dan bau busuk sampah. Ia berharap, dari bau busuk sampah inilah ia bisa mendapatkan sesuatu yang berharga, sekadar untuk menyambung hidup.

Matahari belum tinggi, ketika Realita menemui ayah empat anak ini di salah satu menara Depo PPD, Cawang, Jakarta Timur. Tidak seperti biasanya, kehadiran Abdullah di menara ini bukanlah untuk memeriksa kondisi menara. Ia memang tinggal di tempat tersebut sejak lima bulan lalu. Ruangan yang hanya berukuran 2x3 meter itu kini menjadi tempat tinggalnya, setelah ia diusir dari rumah kontrakkannya karena sudah tak sanggup lagi membayar sewa rumah. Ini terjadi setelah pihak perusahaan milik negara itu tak sanggup lagi membayar gaji karyawannya sejak delapan bulan lalu. Padahal, gaji Abdullah tidak seberapa.

Selama ini, Dullah, begitu ia kerap disapa, masih bisa menggunakan gajinya yang hanya Rp 700 ribu untuk mengontrak sebuah rumah petak di samping Depo B PPD, Cawang, Jakarta Timur dekat kantornya. Ia juga masih tinggal bersama Sutina (36) istrinya dan salah satu puterinya, Selvi (11). Sedangkan puteri sulungnya, Milalorosae (18) tinggal di Tegal, daerah asal sang isteri. Dengan gaji sekecil itu, Dullah harus memenuhi kebutuhan keluarganya dan membayar sekolah kedua anaknya tersebut. Selama ini Dullah bekerja sebagai teknisi di PPD.

Namun, keadaan berubah menjadi sulit sejak Desember 2005. Gajinya tidak dibayarkan oleh perusahaan. Ia tidak bisa lagi membayar iuran sekolah dan membayar rumah kontrakan yang ia tempati. Alhasil, Dullah mengambil keputusan untuk memulangkan istri ke rumah orang tua istrinya di Tegal, Jawa Tengah. Sedangkan Selvi, puteri bungsunya dititipkan ke sanak saudaranya yang tinggal di daerah Kalibata, Jakarta. Nasib Selvi masih beruntung dibandingkan sang kakak, Milalorosae. Selvi masih dapat bersekolah karena dibiayai oleh saudaranya. Sebenarnya, saudara yang tinggal di daerah Kalibata itu bukanlah saudara kandung. Dulu, Dullah diajak oleh salah seorang prajurit TNI yang ketika itu bertugas di daerah Timor Timur, untuk pergi ke Jakarta. “Daripada di sana saya ketembak peluru, makanya saya ikut pergi ke Jakarta,” kenang Dullah. Milalorosae berhenti bersekolah pada saat ia sudah duduk di bangku kelas 3 SMA di Tegal. “Waktu itu sudah mau ujian, tapi saya suruh keluar karena saya nggak bisa membayar iuran sekolah,” ujar Dullah. Milalorosae pun harus mengubur cita-citanya untuk membantu kehidupan keluarga, karena ia tak mampu lagi untuk melanjutkan sekolahnya.

Semenjak itulah, Pak Dullah tidak bisa lagi mengontrak rumah petak. Ia harus mencari tempat tinggal untuk dirinya sendiri setelah istri dan anak dipulangkan ke rumah mertuanya. Dan, di bekas menara Depo B PPD Cawang, Jakarta Timur yang tidak terpakai lagi menjadi pilihannya. Ruangannya cuma berukuran 2x3 meter. Jangan berharap dapat menemukan barang-barang berharga di tempat tersebut. Untuk tidur saja, Dullah harus rela tidur di atas lantai menara yang dilapisi oleh karpet plastik. “Boro-boro buat beli kasur, buat makan saja susah,” tutur Dullah.

Satu-satunya barang berharga di mata Dullah adalah satu bantal lusuh yang menjadi penyangga kepalanya saat tidur. Di pojok ruangan, terlihat sebuah kompor minyak kecil untuk memasak. Sedangkan di pojok sebelahnya, sebuah kantong plastik berwarna hitam yang diketahui berisikan sejenis kacang-kacangan sebagai salah satu bahan makanan sehari-hari bagi Dullah. Tepat di sebelahnya, kantong plastik bening berukuran lebih besar disandarkan di dinding kamar. Botol bekas minuman dalam kemasan terlihat berjejalan di dalam plastik tersebut. Itulah hasil memulungnya pada hari Kamis (3/8) saat Realita berkunjung ke tempat tinggalnya. Ia harus menjadi pemulung botol-botol bekas minuman untuk mendapatkan tiga atau empat lembar uang ribuan. Uang sebanyak itu pun masih kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tak ayal, Dullah harus mencari alternatif kerja demi bertahan hidup di Jakarta.

Menjadi pemulung adalah pilihan yang terpaksa. Maklum, selama ini Dullah termasuk karyawan PPD yang hanya mengandalkan gaji untuk membiayai kehidupannya. Sehingga ketika kantornya, PPD tidak mampu membayarkan gaji karyawannya selama delapan bulan, Dullah terkena dampak paling parah. Sehari-hari, ia harus mengumpulkan botol bekas minuman dan dijual kembali untuk mendapatkan uang. Selain itu, ia juga menjalani kerja serabutan hanya untuk memperoleh pendapatan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Mulai dari menjadi tukang pijat dadakan hingga menjadi tukang cuci mobil. Hampir segala pekerjaan, ia lakukan hanya untuk membeli makanan sehari-hari. “Kalau saya mijit-mijit, dibayar Rp 3000-4000, lumayan buat makan,” aku Dullah sambil menyeka keringat yang menggantung di dahinya yang makin keriput.

Sejak delapan bulan yang lalu, Pak Dullah beserta ribuan karyawan PPD lainnya memang tidak mendapatkan gaji sebagaimana mestinya. Kondisi perusahaan PPD yang sulit merupakan penyebabnya. Saking sulitnya, perusahaan tidak mampu lagi untuk membiayai biaya operasional bus-bus milikinya. Akibatnya, dari sekitar 350 bus yang beroperasi, 50 persennya harus pulang lebih awal karena bermasalah. Hal serupa juga terjadi pada nasib karyawannya. Sekitar 4.500 karyawan PPD harus gigit jari karena sejak Desember 2005 lalu, mereka tidak menerima gaji yang seharusnya menjadi hak mereka.

Ingin Kumpul Lagi. Sungguh miris memang, seorang karyawan PPD harus tinggal di bekas menara. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh Dullah. Setitik harapan muncul bagi seluruh karyawan Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD) setelah pemerintah berjanji membayar gaji delapan bulan yang tertunda. Bagi Dullah, janji pemerintah itu juga akan menjadi penyelamat kehidupannya.

Sebelum tinggal di menara depo PPD Cawang, Dullah juga sempat tinggal di bangkai bus-bus PPD. ”Tapi saya nggak kuat digigit nyamuk,” ujar Dullah. Akhirnya, pimpinan PPD memberikan salah satu menara yang tidak terpakai kepada Dullah untuk dijadikan tempat tinggal. Dullah tinggal di menara yang terletak tepat di depan gerbang depo PPD Cawang sudah hampir tiga bulan. Janji pemerintah yang akan memberikan gaji karyawan PPD selama delapan bulan ke belakang memang sedikit membuat hati Pak Dullah bahagia. Rona wajahnya pun menampakkan senyum ketika Dullah membicarakan hal tersebut. “Tapi saya bingung, bagaimana mendapatkan uang sampai tanggal 16 Agustus,” tanya Dullah kebingungan.

Dullah akan selalu berpikir keras untuk mendapatkan uang selama beberapa hari ke depan. Kegigihan Dullah tampak dari raut wajah yang terlihat lebih tua ketimbang umurnya yang baru menginjak 45 tahun. Semula, Realita menduga umurnya sudah menginjak kepala lima atau enam. Akan tetapi dugaan tersebut salah, ketika Dullah mengungkapkan umurnya kepada Realita. Menjelang tanggal 16 Agustus, hari di mana pemerintah akan membayar delapan bulan gaji karyawan PPD termasuk Dullah, ia berencana untuk pulang ke kampung halaman isterinya di Tegal. “Saya ingin berkumpul lagi dengan keluarga dan kembali mengontrak rumah di Jakarta,” janji Dullah menutup pembicaraannya dengan Realita . Fajar Aryanto

Side Bar

Kacang dan Ubi jadi Makanan Pokok

Dalam keterpaksaan, orang sering tampil lebih kreratif. Hal itu juga yang dirasakan Dullah. Ketika ia semkain sulit mendapatkan uang untuk membeli makana, Dullah makin kreatif mengolah bahan makanan yang ada untuk makanan sehari-hari. Ada satu menu masakan yang sering dimasak oleh Dullah. Kacang-kacangan yang biasa dipetik dari lahan di belakang Depo PPD Cawang. Kacang-kacangan ini dimasaknya menjadi makanan sehari-hari. “Ya, lumayanlah buat mengisi perut,” ujar Dullah. Sebelum dimasak, kacang yang telah dipetik, dikeringkan terlebih dahulu hingga berubah warna menjadi kecokelatan. Setelah itu barulah kacang tersebut diambil dari cangkangnya yang telah mengering. Kacang yang bentuknya hampir mirip dengan kacang tanah ini kemudian direbus dengan hanya sedikit bumbu untuk menambah rasa. Dullah menyebutnya sebagai sup kacang. Hampir setiap hari, Dullah memakan sup kacang tersebut sebagai makanan pokok.

Dullah juga kerap memakan ubi rebus sebagai makanan alternatif. Ketidakmampuan Dullah untuk memperoleh uang setelah gajinya tidak terbayarkan selama delapan bulan, mengharuskannya untuk memakan makanan selain nasi. “Kalau saya mijit orang, nyuciin mobil orang, baru bisa kebeli nasi,” aku Dullah sambil menerawang jauh. Hanya bermodalkan kompor minyak kecil, Dullah memasak kedua makanannya tersebut. “Kalau istri dan anak saya sih nggak doyan kacang ini. Ini adalah makanan asli Timor-Timur,” kenang Dullah. Makanan yang mirip sup kacang tersebut memang diakuinya sebagai makanan asli Timor Timur, daerah asal Dullah. Fajar

Ustadz Wijayanto

Bayarlah upah sebelum keringat mengering”

Kerja keras memang sangat dianjurkan di dalam Agama Islam. Oleh karena itu, kerja keras dari seorang karyawan patut mendapatkan bayaran yang setimpal. Sehingga wajib hukumnya bagi sebuah perusahaan atau pun pengusaha untuk membayar gaji karyawannya. Tak terkecuali bagi karyawan PPD (Perusahaan Pengangkutan Djakarta). Di dalam Islam, kewajiban membayar gaji karyawan merupakan suatu amanah. Bahkan salah satu hadits Rasulullah mengatakan, “Jangan mengatakan orang beragama, kalau amanah tidak dilakukan.” Mengacu pada hadits tersebut, PPD wajib membayar gaji sebagai bayaran atas tenaga yang telah dikeluarkan oleh karyawan PPD. Bahkan hadits lainnya menyebutkan, “Bayarlah tenaga itu sebelum keringat mengering.” Sehingga, tak ada alasan bagi perusahaan untuk menunda-nunda pembayaran gaji.

Jika memang suatu perusahaan mampu untuk membayar gaji para karyawannya, tetapi tidak memberikannya kepada karyawan, maka tindakan perusahaan tersebut dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk kezhaliman. Tindakan perusahaan yang tidak membayarkan gaji para karyawannya termasuk zhalim dalam uang. Bahkan, perusahaan yang sengaja menunda pembayaran gaji karyawan juga termasuk dalam perbuatan zhalim. Karena sesungguhnya gaji merupakan hak karyawan. Di dalam Agama Islam, juga dikenal dengan adanya pemberdayaan dalam ekonomi. Suatu perusahaan yang memperkerjakan banyak karyawan merupakan salah satu pemberdayaan untuk meningkatkan ekonomi secara keseluruhan.

Pada kasus karyawan PPD yang belum mendapatkan gaji mereka selama 8 bulan, belum ada kepastian apakah kesalahan itu terletak pada manajemen PPD atau di mana letak kesalahannya. Meski begitu, karyawan PPD yang mendapatkan cobaan tersebut, seharusnya mengambil langkah-langkah yang bijak. Langkah paling utama adalah mencari pihak ketiga sebagai mediator dalam usaha mencari penyelesaian masalah gaji. Selain itu, perusahaan juga seharusnya menyadari adanya pertanggungjawaban sosial, sehingga mereka akan merasa bertanggungjawab untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak karyawannya. Fajar

No comments: