Leher Sakit Seperti Tercekik Saat Jauh dari Allah
Sempat jauh dari Sang Pencipta, akhirnya Sudirman merasa adanya teguran dalam hidupnya. Teguran tersebut tak tanggung-tanggung berupa penyakit yang tak mampu didiagnosis oleh dokter sekalipun. Tujuh tahun ia jalani hidup bersama penyakit yang kerap menyiksanya ketika malam tiba. Alhasil, Sudirman pun kembali mendekatkan diri kepada Allah melalui ilmu tasawuf yang ia dalami. Lalu seperti apa perjalanan hidupnya dalam melawan rasa sakit seperti tercekik di leher tersebut?
Awan mendung menggantung di langit ibukota. Rintik hujan mulai menyirami Jakarta. Tak hanya di Jakarta saja hujan turun. Namun, di daerah pinggiran selatan ibukota tepatnya di daerah Ciputat, air hujan juga menyapa warga yang kala itu tengah menikmati hari liburnya. Di salah satu perumahan di daerah Ciputat, seorang pria yang walaupun di hari libur, ia tetap bekerja di depan komputer. Pasalnya, ia berprofesi sebagai seorang penulis buku. Ketika Realita menyambangi kediaman pria yang bernama lengkap Sudirman Tebba ini pada hari Minggu (10/2), ia memang tengah asyik berada di depan komputernya.
Sudirman seakan-akan tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Bahkan ia terlihat seperti tengah asyik dengan dunia cerita yang ditulisnya sendiri. Sesekali ia berhenti sejenak dan menatap ke segala arah tanpa tujuan. Barulah ia kembali memainkan jari-jemarinya di atas tombol-tombol keyboard komputernya. Setelah Dirman (panggilan akrabnya, red) menyadari kehadiran Realita di rumahnya yang tidak begitu besar, barulah ia berhenti dari rutinitasnya tersebut. Ia lantas duduk di sebuah sofa dan mulai berbagi kisah tentang perjalanan hidupnya yang sempat dihampiri penyakit yang tak bisa dikenali oleh ilmu kedokteran.
Didikan Agama. Dirman lahir di daerah Bone, Sulawesi Selatan pada 31 Januari 1959. Ia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan (Alm.) Daeng Pawero dan Lallo (75). Ayahnya merupakan seorang petani di daerah tersebut. Meski hanya seorang petani, Dirman ternyata berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ketika Dirman menginjak usia 6 tahun, ia kemudian pindah ke kota Jambi mengikuti kepindahan kedua orang tuanya. Sang ayah memang mengadu nasib dengan memulai bisnis di kota tersebut. Tak pelak, Dirman pun mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Jambi. Selepas menamatkan pendidikan SD, ia kemudian berpindah ke Sukabumi untuk melanjutkan sekolahnya ke Tsanawiyah. “Saya ingin memperdalam agama Islam, makanya saya masuk ke sekolah Islam,” aku Dirman. Sedangkan kedua orang tuanya tinggal di Jakarta. Dirman sendiri tinggal di asrama yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Setelah menamatkan pendidikannya di Tsanawiyah, ia kembali memperdalam ilmu agamanya dengan melanjutkan pendidikannya di Aliyah di kota gudeg, Yogyakarta. “Saya pilih di Yogyakarta karena itu kan kota pelajar,” ujarnya sembari tersenyum.
Diakui Dirman, pendidikan agama memang kebanyakan didapatnya dari bangku sekolah. Meski demikian, di dalam lingkungan keluarga pun, ia kerap mendapatkan ilmu agama dari kedua orang tuanya. Bahkan setelah lulus dari Aliyah, Dirman pun masih ingin memperdalam ilmu agamanya dengan memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Ia mengambil program studi hukum syariah di kampus tersebut. Selama masa kuliahnya itu, Dirman mengembangkan hobi menulisnya. “Saya hobi menulis sebenarnya sejak SMA,” ungkapnya. Hobi itulah yang membawanya memasuki dunia jurnalisme dengan berprofesi sebagai seorang wartawan.
Sakit Seperti Leher Tercekik. Sejak tahun 1983, ketika Dirman masih mengenyam pendidikannya di UIN, ia telah menjadi seorang reporter di surat kabar Kompas. Dirman sendiri lulus dari UIN, dua tahun setelah ia diterima sebagai reporter di surat kabar tersebut. Selama kurun waktu 7 tahun lamanya Dirman menjadi reporter di Kompas. Selepas meniti karirnya di Kompas, pada tahun 1990 ia pindah ke surat kabar Pelita. Namun, Dirman hanya bertahan selama dua tahun saja. Setelah itu, ia kemudian berkarir di dunia pertelevisian dengan bekerja di sebuah stasiun televisi Antv, yang kala itu pemiliknya sama dengan Koran Pelita yaitu keluarga Bakrie.
Meski karir Dirman terbilang lancar, lain halnya dengan kondisi kesehatan tubuhnya. Pada tahun 1993, ia sempat merasakan ada yang aneh di tubuhnya. “Saya merasakan sakit di leher saya,” aku Dirman. Rasa sakitnya tersebut diakui Dirman seperti rasa sakit ketika sedang dicekik. Tak hanya leher saja, tak jarang pula dadanya terasa sakit seperti sesak napas. “Seperti dicekik saja,” ujar Dirman. Rasa sakit yang sangat luar biasa itu membuatnya tak bisa melakukan kegiatan seperti biasa. Ia hanya mampu tergeletak di atas tempat tidur menahan rasa sakitnya. Bahkan untuk dapat berangkat ke kantor pun, ia tak kuat melakukannya. “Di kantor pun, kadang saya hanya mampu terduduk lesu,” kenang Dirman. Hal itu lantas membuatnya tersiksa dan menangis bila rasa sakit kembali menderanya. Pasalnya, hampir setiap malam ia kerap merasakan rasa sakit yang luar biasa di lehernya. Tanpa berpikir panjang, Dirman langsung memeriksakan kesehatannya ke dokter THT. Tak dinyana, sang dokter pun tidak mampu mengidentifikasi jenis penyakit yang diderita Dirman. Padahal ia jelas-jelas merasakan sakit di leher dan di sekitar dadanya. “Dokter nggak tahu jenis penyakit yang saya derita,” tutur Dirman. Lama kelamaan, tak hanya bagian leher dan dadanya saja yang terasa sakit. “Daerah kemaluan saya juga merasakan sakit yang luar biasa,” aku pria yang gemar membaca buku ini. Bahkan rasa sakit tersebut membuat alat vitalnya mengeluarkan darah.
Kendati tidak mendapatkan solusi dari segi medis, Dirman tak patah arang. Ia lantas mencari pengobatan alternatif lain yang mampu mengobati rasa sakit yang dideritanya di berbagai daerah. “Berbagai pengobatan sudah saya datangi di Bogor, Banten, sampai Tangerang,” ujar Dirman. Meski begitu, sebagian besar dari pengobatan tersebut tak mampu menyembuhkan rasa sakit di lehernya. Akan tetapi, dari berbagai hasil pemeriksaan dengan pengobatan alternatif, Dirman mendapatkan sebuah kesimpulan yang cukup mencengangkan. “Katanya sih saya diguna-guna,” ujar Dirman. “Ada pihak yang kecewa dengan saya dan mengirim guna-guna,” imbuhnya tanpa menjelaskan lebih lanjut. Kendati demikian, ia hanya menganggap rasa sakit yang menghantuinya selama bertahun-tahun tersebut sebagai salah satu teguran dari sang Khalik. “Ini merupakan kehendak dan teguran Tuhan,” imbuhnya singkat. Selama kurun waktu dari tahun 1993 hingga tahun 2000, sudah banyak berbagai macam pengobatan yang telah ia datangi. Hingga suatu ketika pada pertengahan tahun 2000, Dirman bertemu dengan seorang pria keturunan tionghoa yang merupakan seorang mualaf. Pria tersebut kerap dipanggil dengan nama Bi Bin. “Saya mendapatkan banyak pelajaran dari dia,” ujar Dirman singkat. Salah satunya adalah ilmu tasawuf dalam menyembuhkan berbagai penyakit.
Mendalami Ilmu Tasawuf. Dirman pun langsung tertarik dengan konsep pengobatan yang ditawarkan oleh Bi Bin. “Kita diminta untuk lebih ikhlas dalam menerima kenyataan,” ungkap Dirman. Selain itu, ia juga menganggap penyakit yang dideritanya sebagai teguran dari Allah karena beberapa kesalahan yang pernah ia perbuat di masa lampau. Ketika Dirman mengalami masa-masa sukses dalam karirnya, ia mengaku lupa dengan ibadah kepada Tuhan. Salah satunya adalah menunaikan ibadah shalat wajib. “Waktu dulu, karena kesibukan pekerjaan, saya sering menjamakkan shalat,” ungkapnya. Jika biasanya shalat dikerjakan dalam lima waktu, maka karena kesibukannya bekerja dan seringnya mengikuti rapat di kantor, Dirman biasa menjamakkan menjadi tiga waktu saja. Hal tersebut tentunya tidak dianjurkan dalam agama.
Tak hanya itu saja, diakui Dirman, ia juga kerap melakukan kesalahan dalam berzakat. “Mungkin zakatnya nggak bersih waktu dulu,” ujarnya singkat. Kala itu, ia memang mengaku sangat berat saat akan mengeluarkan sebagian hartanya untuk berzakat. “Masa kita sudah kerja keras, hasilnya harus diambil buat orang lain,” begitu pikirannya saat itu soal zakat. Ketika sudah melakukan zakat pun, ia juga mengaku bahwa kadarnya masih di bawah jumlah yang seharusnya dikeluarkan. Selain itu, ia juga menyadari bahwa sifatnya yang temperamen atau mudah marah ini sebagai salah satu kekhilafannya di masa lampau. Namun, setelah menekuni ilmu tasawuf, Dirman kini mengaku dapat lebih mengontrol emosinya dan mampu bersikap lebih sabar. “Saya juga harus lebih ikhlas dalam menghadapi berbagai masalah,” ujar Dirman.
Kini meski rasa sakitnya belum hilang total, tapi diakuinya jauh lebih berkurang ketimbang sebelumnya. Karena menurutnya kebanyakan penyakit dihasilkan dari pikiran yang justru tidak sehat. Kini, dengan berangsur-angsur membaiknya rasa sakit yang diderita, Dirman mengalami perubahan dalam hidup dan kepribadiannya. Bila sebelumnya ia lebih banyak mengejar materi dan kepuasan duniawi, maka saat ini Dirman lebih banyak memperbaiki kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Caranya adalah dengan mengubah cara pandang terhadap segala macam hal. “Kita harus selalu berikhtiar dan bertawakal,” ujar Dirman yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1991 ini.
Saat ini, Dirman juga selalu berdzikir memuji kebesaran Allah di setiap waktu senggang. Dengan begitu, ia merasakan lebih tenang dan rasa sakitnya jauh lebih berkurang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. “Saya selalu mengusahakan untuk bersedekah setiap hari untuk membersihkan harta saya,” tutur Dirman. Shalat pun kembali dikerjakannya sesuai dengan perintah agama, yakni lima waktu. Salah satu doa dzikir yang selalu ia lafadzkan setiap hari adalah Hasbunalloh. “Artinya itu cukuplah Allah untuk kita,” ujar Dirman. Doa tersebut diakuinya selalu dilafadzkan sebanyak 4500 kali dalam sehari. Menurutnya, berkat mengucapkan dzikir tersebut sebanyak 4500 kali banyak kemudahan yang didapatkannya dalam menjalani hidup. Dengan mengucapkan itu pula, ia selalu mengingat kebesaran Allah dan menjadi lebih ikhlas dan tawakal dalam menghadapi berbagai masalah yang menghadang. Tak ada waktu tertentu bagi Dirman dalam melafadzkan kalimat dzikir tersebut. “Di waktu senggang saja, sembari konsentrasi untuk mendekatkan diri kepada Allah,” tutur pria berkacamata ini.
Selepas pensiun dari karirnya di stasiun televisi swasta sejak tahun 2007, Dirman lantas kembali menekuni karirnya yang lain sebagai seorang penulis buku. Menulis buku sebenarnya sudah ia jalani sejak ia masih bekerja sebagai wartawan di Kompas. Namun, kala itu hanya sebagai hobi dan pekerjaan sampingan belaka. Tak hanya itu saja, ia juga mendirikan perusahaan penerbitan sendiri bernama Pustaka Irvan di rumahnya pada tahun 2006. Selain sibuk meniti karir sebagai seorang penulis sekaligus penerbitan buku, ia juga membagi waktunya dengan keluarga. Pernikahannya dengan Masita (46) telah menghadirkan dua anak gadis, yakni Pridia (20) dan Adhyea Rizkia (16). Anak pertama kini tengah mengenyam bangku kuliah di Universitas Indonesia jurusan Farmasi. Sedangkan anak bungsunya masih duduk di bangku SMA. Tak ada rencana khusus yang dicanangkan Dirman untuk masa mendatang. Saat ini, ia hanya menjalankan segala hal yang telah direncanakan Allah, tanpa melupakan hubungan ibadah dengan Sang Khalik. Fajar
Side Bar 1…
Menerbitkan Buku-Buku Islami Sebagai Hikmah dari Penyakitnya
Ada salah satu hikmah yang ternyata dapat diambil Dirman setelah penyakit tak dikenal menghampirinya. “Saya mengambil hikmah dengan menulis buku-buku,” ujar Dirman. Dari pengalamannya menghadapi rasa sakit yang luar biasa, ia mampu menghadirkan sisi-sisi religi dari segala macam masalah dari setiap buku yang ia tulis. Terutama dalam ilmu tasawuf yang sempat ia dalami saat sakit. Beberapa judul buku seperti Kiat Sukses Menjemput Maut, Menggapai Kesuksesan Hidup, Nikmatnya Cinta, dan Menuju Ekstase Spiritual, didasarkan dari Al-Qur’an dan hadits.
Total buku yang telah dihasilkannya sebanyak 32 judul buku. Sebagian dari buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Pustaka Irvan, yang merupakan penerbitan miliknya sendiri. Namun, sebagian lainnya diterbitkan oleh penerbit swasta lain. Menurut Dirman, pengalamannya diharapkan dapat berguna bagi masyarakat melalui buku-buku yang dihasilkannya. Saat ini, Dirman tengah menggali pepatah-pepatah bijak yang berasal dari tanah Jawa. “Banyak kan pepatah Jawa yang mengandung arti penting,” tutur Dirman. Menurutnya, pepatah-pepatah tersebut mengandung banyak nasihat yang dapat berguna bagi masyarakat. “Sebagai introspeksi diri,” imbuhnya singkat.
“Tasawuf selain mengubah hidup saya juga sebagai sumber penghidupan saya,” ujar Dirman sembari tersenyum. Dikatakannya sebagai sumber penghidupan karena berkat tasawuf pula, ia mampu menulis buku tentang tema yang sama dan menghasilkan pendapatan bagi dirinya dan keluarga. “Tasawuf itu intinya ikhlas, sabar, berserah diri,” imbuh Dirman. Menurutnya dengan memegang prinsip tasawuf itu, manusia dapat menahan nafsu yang berada dalam dirinya. “Manusia itu kan nggak ada puasnya,” ungkap Dirman. Diakuinya, melalui ilmu tasawuf, manusia juga dilarang untuk merusak alam. Banyak hal-hal positif yang ditimbulkan setelah mempelajari dan memahami isi dari ilmu tasawuf. Fajar
Side Bar 2…
Sekilas Mengenai Tasawuf
Tasawuf mungkin sudah tak asing lagi terdengar. Terkadang sebagian orang justru tidak mengerti apa arti tasawuf sebenarnya. Bagi Dirman, tasawuf mempunyai arti penting dalam hidupnya. Karena dengan menerapkan ilmu-ilmu tasawuf, ia dapat terbebas dari rasa sakit yang mencengkeram lehernya. Tasawuf sendiri memiliki arti ‘membersihkan hati dan anggota-anggota lahir dari dosa, kesalahan, dan kekhilafan’. Sehingga orang yang melakukan tasawuf, diharapkan dapat membersihkan sisi dalam dan luar dari dirinya. Segala macam bentuk dosa dan kesalahan di masa lampau juga akan terhapus asalkan ikhlas menerapkan ilmu tasawuf.
Tasawuf banyak dikatakan sebagai intipati atau isi ajaran Islam. Selain itu ilmu tasawuf juga merupakan salah satu ilmu dasar Islam selain aqidah dan syariat. Ada beberapa peran tasawuf bagi umat Islam, diantaranya adalah membersihkan dosa, menghidupkan rasa kehambaan, menanamkan rasa keikhlasan, dan menghidupkan rasa ber-Tuhan.
Dari definisi-definisi yang beredar, dapat dipahami bahwa ilmu tasawuf pada intinya merupakan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam dengan lebih menekankan aspek batin, spiritualitas, dan kalbu dibandingkan dengan aspek-aspek rasionalitas dan formalitas. Secara garis besar, lingkup ajaran tasawuf ada dua macam, yakni ajaran tentang tujuan dan ajaran tentang jalan untuk mencapai tujuan. Fajar
No comments:
Post a Comment