Monday, February 22, 2010

Agus Tjondro, Mantan Anggota DPR RI


Tersadar Mendapat Teguran Allah Setelah Usahanya Merugi Karena Dibiayai Uang Suap

Membuka keburukan dalam sebuah lembaga negara ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Setidaknya itulah yang dialami Agus Tjondro saat membuka tindakan korup yang dilakukan oleh teman-teman sejawatnya di DPR RI. Pandangan miring, cercaan bahkan teror mengiringi langkahnya tersebut. Namun, Agus tak patah arang meski ia harus menerima kenyataan dikeluarkan dari keanggotaannya di DPR dan Partainya. Lalu bagaimana kisah perjalanan pria asli Batang, Jawa Tengah ini?

Penampilannya memang cukup sederhana. Pakaian batik yang dikenakannya tak membuat pria itu merasa lebih istimewa ketimbang orang lain. Meski memperoleh label ‘Pemberani’ karena telah membuka keburukan sebagian anggota DPR yang kerap berperilaku korup, Agus justru sama sekali tak merasa sebagai seorang pemberani atau bahkan berlagak sebagai seorang pahlawan. Baginya membela kebenaran sudah merupakan suatu kewajiban. Apalagi, ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kondisi di dalam lembaga DPR.

Ditemui di sela-sela kesibukannya sebagai seorang pembicara di berbagai acara diskusi publik pada Kamis malam (23/10) lalu, Agus nampak sumringah meski harus mengisi berbagai acara diskusi dalam satu hari. “Kebanyakan acara diskusi publik tentang perilaku korupsi,” ujar Agus sesaat setelah menerima kedatangan Realita. Kendati menampakkan wajah yang penuh dengan kelelahan, Agus masih bersemangat mengisahkan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan dalam menepis semua halangan yang merintang.

Anak Badung. Terlahir dengan nama lengkap Agus Tjondro Prayitno dari pasangan Suhudi (68) dan (Almh) Istianah, Agus lahir dan dibesarkan di sebuah desa bernama Karang Asem, Batang, Jawa Tengah. Ia lahir pada 29 Agustus 1961 dan merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara. Seperti halnya anak-anak kampung pada umumnya, Agus kecil mengalami masa kecilnya dengan bahagia. Hobinya saat masih kanak-kanak adalah mandi di sungai yang letaknya tak jauh dari rumah. “Di kampung saya belum ada kolam renang waktu itu, jadi kalau mau berenang ya di sungai,” kenangnya sembari tertawa. Kedua orang tua mengajarkan Agus dengan didikan yang sangat mempengaruhi kepribadiannya hingga kini.

Kedua orang tuanya memberikan didikan agar Agus tumbuh menjadi anak yang bersahaja tanpa melupakan kewajibannya beragama. Kendati demikian, ia justru tumbuh menjadi anak nakal yang kerap membolos dari sekolah. “Dulu saya anak yang badung,” ujar Agus sambil tersenyum. Agus sendiri mengenyam pendidikan di SDN Karang Asem 1, dan SMPN 1 Batang. Selepas menamatkan pendidikan SMP-nya, ia melanjutkan ke SMAN 1 Pekalongan. “Waktu dulu di Batang belum ada SMA,” ungkap Ayah dari tiga anak ini.

Di masa-masa SMA inilah, Agus menikmati kenakalannya sebagai anak remaja. Bahkan ketika masih duduk di bangku SMP, ia memiliki hobi kebut-kebutan dengan sepeda motor milik sang ayah di jalan raya. Tak heran, Agus sempat mengalami kecelakaan fatal sebanyak dua kali yang hampir saja merenggut nyawanya seketika. “Dulu kan orang yang punya motor itu bisa dihitung dengan jari, jadi jalanan itu kosong buat kebut-kebutan,” kenang Agus dengan bangga.

Di bangku SMA pun, kenakalannya semakin menjadi-jadi. “Saya pernah nggak naik kelas saat kelas 1 SMA,” ungkap Agus. Kala itu, nilai rapornya dipenuhi dengan angka merah. Bahkan ia pernah membolos selama hampir satu semester. Tak pelak, Agus pun tak bisa naik kelas karena perilakunya tersebut. Sempat merasakan tak naik kelas, akhirnya membuat ia jera. Agus pun kembali getol menuntut ilmu di sekolah yang membuatnya semakin mudah menyerap ilmu yang diajarkan sang guru. Alhasil, selepas menamatkan SMA pada tahun 1980, ia diterima di Universitas Sebelas Maret, Solo. Dengan mengambil jurusan Ilmu Komunikasi Publisistik, Agus berharap ingin menjadi seorang wartawan di kemudian hari.

Terjun ke Partai. Dengan biaya kiriman yang seadanya dari sang ayah yang hanya berprofesi sebagai petani, Agus berusaha merampungkan kuliahnya dengan sekuat tenaga. Padahal, saat itu Agus juga banyak mengikuti berbagai kegiatan di luar kuliah dengan menjadi seorang aktivis. Agus juga mulai serius terlibat dalam partai politik, yakni di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). “Sejak SMP, saya sebenarnya sudah ikut-ikutan

kampanye untuk PDI,” ungkap Agus. Maklum saja, daerah asalnya yakni Batang, merupakan basis pendukung dan simpatisan partai berlogo kepala banteng tersebut. Tak hanya aktif di partai, Agus juga memiliki hobi lainnya yakni menulis artikel. “Saya sering mengirimkan tulisan opini ke berbagai media cetak,” aku Agus. Dari situ, ia mampu memperoleh penghasilan tambahan untuk biaya sehari-hari selama merantau di Solo.

Dengan menjadi aktivis, Agus mulai merambah ke dunia politik. Selain menjadi aktivis di sebuah kelompok mahasiswa, ia bersama rekan-rekannya juga mendirikan sebuah yayasan yang kegiatannya lebih mirip dengan koperasi usaha bernama Yayasan Bhakti Satria. “Salah satu lulusannya itu Almarhum Munir,” ujar Agus bangga. Setelah lulus dari UNS Solo dan malang melintang di dunia aktivis hingga tahun 1988, Agus pun kembali ke daerah asalnya, Batang untuk mencari pekerjaan tetap. “Orang tua menyuruh saya mencari pekerjaan tetap,” kilah Agus.

Di Batang, Agus diterima bekerja sebagai seorang PR Manager di PT Indonusa Medi Group sampai tahun 1998. Walau disibukkan dengan pekerjaan, ia tetap aktif di partai yang kemudian berubah menjadi PDIP. Atas dasar tawaran dari salah satu temannya, Agus pun dicalonkan sebagai anggota legislatif DPR RI dari PDIP. Tak diduga sebelumnya, Agus terpilih sebagai anggota DPR RI periode 1999-2004. “Padahal waktu itu saya nggak punya pikiran terpilih menjadi anggota DPR,” tutur Agus.

Terima Uang Kotor. Dengan berbekal amanat sebagai wakil rakyat, Agus berangkat ke Jakarta dan memulai pekerjaannya menjadi anggota DPR Komisi 7. Namun, sang istri, Elia Murani (42) yang dinikahinya sejak tahun 1994 dan anak-anaknya, tak diajak serta. “Mereka (istri dan anak, red) lebih suka tinggal di kampung,” ujar Agus. Setelah satu periode menjabat sebagai anggota DPR RI, Agus ternyata dicalonkan kembali pada periode 2004-2009. Akhirnya, ia kembali terpilih menjadi anggota DPR RI Komisi 2. Berbeda dengan komisi 7 dan 9 yang sebelumnya pernah ia isi, ternyata komisi 2 lebih ‘basah’ dan menguntungkan bagi dirinya. Dana yang tak jelas asalnya kerap mengalir bagi sebagian anggota komisi 2, termasuk Agus sendiri.

Puncaknya, adalah ketika pencalonan Miranda Goeltom sebagai deputi Bank Indonesia (BI) sekitar tahun 2005 yang diakui Agus, memperoleh uang sebagai pelicin untuk mempermudah pencalonan tersebut. Cek sebesar Rp 500 juta diterimanya sebagai kompensasi bagi Agus dan beberapa anggota Komisi 2 lainnya. “Baru kali itu, saya menerima uang Rp 500 juta,” ujar Agus tersenyum. Mendapat rezeki nomplok, menimbulkan keinginan Agus untuk berbelanja berbagai barang. Agus sendiri mengaku bah

wa ia baru pertama kali memperoleh uang korupsi saat pemilihan Deputi Gubernur BI tersebut. “Tapi memang setelah itu, saya pernah menerima uang-uang lainnya,” ungkap Agus.

Diakuinya, ia membeli dua buah unit mobil, yakni Hyundai Trajet dan Mercedes Benz. Sedangkan sisanya ia pergunakan untuk modal bercocok tanam dan membeli sebidang tanah di kampungnya. Langkah tersebut diambil, agar uang kotor itu dapat berkembang dan menguntungkan di kemudian hari. Agus sendiri mengaku bahwa uang kotor yang biasa diterimanya tak pernah dipergunakan untuk menghidupi istri dan anak-anaknya. “Uang seperti itu biasanya saya gunakan untuk bisnis supaya berkembang,” aku Agus.

Merugi dan Tersadar. Namun entah kenapa semua hasil pembelian dari uang kotor itu ternyata tak membuahkan hasil yang menguntungkan. Terbukti, dari meruginya bisnis kebun cabe merah keriting yang dirintisnya. Uang Rp 87 juta yang dihabiskan untuk menggarap lahan menjadi kebun cabe merah keriting ternyata tidak menguntungkan sama sekali. Lahan tersebut terlantar dan merugi karena tak dikelola dengan baik oleh seorang teman kepercayaannya.

Sebidang tanah yang dibeli seharga Rp 100 juta pun terbengkalai dan tak diurus. Padahal ia sempat berharap lahan tersebut akan dikavling dan dijual kembali agar menghasilkan keuntungan. “Mobil yang saya beli juga rusak terus,” ujar Agus tersenyum kecut.

Melihat kenyataan hasil uang kotor tersebut, barulah menyadarkan Agus bahwa uang yang tidak jelas asalnya tentunya akan menghasilkan sesuatu yang buruk. Padahal sesaat setelah menerima uang kotor pun, Agus sebenarnya sudah merasakan adanya kekhawatiran dalam dirinya. “Saya khawatir dan takut bila saya pensiun nanti, maka tindakan ini akan diketahui cepat atau lambat,” tutur Agus. Ia sendiri telah mengembalikan uang Rp 25 juta, sisa dari uang suap yang diterimanya.

Sesaat setelah menyadari kenyataan itulah, barulah Agus beranggapan bahwa kejadian itu merupakan teguran dari Sang Pencipta terhadap perilakunya yang tidak baik. Ditambah lagi dengan kondisi di lingkungan DPR yang memang selalu dipenuhi dengan perbuatan kotor, semakin membuat Agus jengkel. Alhasil, setelah berdiskusi dengan istri dan kedua orang tuanya, Agus membulatkan tekad untuk membongkar perilaku kotor sebagian anggota DPR. “Sudah saya pertimbangkan sebelumnya, risiko yang akan saya hadapi nanti,” tutur Agus. Bahkan, sang istri pun sangat mendukung terhadap langkah Agus meski risiko yang akan dihadapinya sangatlah berat, termasuk bila ia harus diproses secara hukum nantinya.

Pembongkar Kasus Suap. Keputusan Agus untuk berterus terang kepada publik mengenai praktek korupsi di gedung wakil rakyat ternyata berakibat buruk bagi kelangsungan karirnya di dunia politik. Pasalnya, Agus juga menyebutkan beberapa nama yang juga menerima dana kotor dalam proses pemilihan Deputi Gubernur BI tersebut. Alih-alih menyerahkan diri atas tindakannya menerima uang suap, banyak pihak yang merasa kebakaran jenggot dengan terbukanya kasus korupsi itu. Alhasil, Agus pun diterpa dengan pandangan miring, cercaan, dan teror dari berbagai pihak. “Dibilang sok bersih, pahlawan kesiangan, sok pahlawan, itu sudah biasa,” ujar Agus tenang.

Dalam pengakuannya, Agus menyebutkan enam anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari PDIP yang juga menerima uang suap serupa, yakni Emir Moeis, Willian Tutuarima, Budiningsih, Matheus Formes, Muhammad Iqbal, dan Dudhie Makmun Murod. Pada akhirnya, karir sebagai seorang anggota DPR pun berhenti begitu saja. Begitu pula dengan keanggotaannya di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kendati demikian, dengan dicopotnya dari DPR dan partai, bagi Agus bukanlah akhir segalanya. Bahkan ia terlihat cuek dengan akibat tersebut. “Saya sudah memperkirakan sebelumnya,” ujar Agus yang kerap mendaki gunung di masa mudanya ini.

Bagi saya, kebenaran akan muncul dengan sendirinya,” ujarnya dengan tegas. Menurutnya pula, apa yang dilakukannya adalah demi kemajuan partai yang digelutinya sejak 31 tahun lalu. “Semua pejabat dan presiden itu berawal dari partai,” ujar Agus. “Tapi apa yang bakal terjadi kalau partainya sendiri dipenuhi dengan tikus-tikus kotor,” lanjutnya. Agus sendiri merasa jengkel dan muak dengan perilaku kotor dari sebagian anggota DPR yang kerap menerima uang sebagai pelicin di berbagai rapat yang diadakan.

Menjadi Pembicara. Kini, setelah dibuang dari partai dan DPR, Agus lebih banyak menyibukkan diri dengan menjadi seorang pembicara di berbagai diskusi publik. Diskusi yang biasanya mengangkat topik mengenai perilaku korupsi tersebut, diisi dengan pembicaraan dan pengalamannya selama menjabat sebagai anggota DPR. Menjadi pembicara pun, Agus tak selalu menerima bayaran dari penyelenggara. “Malu saya, masa ngomongin soal korupsi tapi saya juga menerima amplop,” ujar peraih penghargaan Nurani Award ini. Meski demikian, ia juga memiliki cita-cita lainnya di dunia politik. “Sudah dua periode saya menjadi anggota DPR, saya masih ingin tetap eksis di dunia poltik,” tekad Agus. Salah satu caranya adalah dengan berencana membangun Agus Tjondro Center yang akan bertempat di rumah joglo yang baru saja selesai dibangun di daerah asalnya, Batang. Sedangkan untuk menghidupi keluarganya, Agus sudah berencana memelihara hewan ternak di sebidang lahan yang sudah dibelinya di daerah Batang. “Lumayanlah, lahan 2,5 hektar saya mau jadikan untuk memelihara hewan ternak,” aku Agus.

Selain mengisi waktunya dengan menjadi pembicara, Agus juga tak melupakan perannya sebagai seorang suami dari Elia Murani (42) dan anak-anaknya, yakni Edwin Yusuf (17), Ganeshakti (11), dan Ganeshari (9). Sebenarnya Agus memiliki satu anak lagi, adik dari Edwin. Namun anak yang diberi nama Al-Fath meninggal pada usia 20 hari setelah kelahiran karena kelainan suatu penyakit di dalam tubuhnya. Waktu yang diluangkan untuk keluarga, diakui Agus, biasanya setiap akhir pekan tiba atau tiapkali Agus pulang ke kampung setelah rutinitasnya di Jakarta. Namun, setelah tak lagi menjadi anggota DPR, rutinitas pulang ke kampung dan berkumpul dengan keluarga menjadi lebih sering.

Dari pengalaman hidupnya yang dipenuhi dengan lika-liku, Agus mengaku bahwa ia memiliki banyak pelajaran hidup yang dipetik. “Ternyata untuk memperjuangkan kebenaran itu tantangannya banyak,” ujar Agus sembari tersenyum. Menurutnya, dengan banyak cercaan dan pandangan miring yang datang kepada dirinya, telah membuktikan bahwa memperjuangkan kebenaran tidaklah mudah. “Membutuhkan keseriusan, keteguhan, dan keberanian dalam diri kita,” tutur Agus sembari menutup pembicaraan. Fajar


Side Bar 1…

Istrinya Sempat Ketakutan Nasib Agus Akan Seperti Munir

Keputusan yang diambil Agus Tjondro dalam membuka praktek korupsi ternyata tak hanya membutuhkan keberanian dari dalam dirinya sendiri. Menurut Agus, dukungan dari keluarga sangatlah penting. Pasalnya, apa yang dilakukannya tersebut pastilah akan berakibat buruk pada dirinya sendiri dan keluarga. “Saya sudah mempertimbangkan matang-matang sebelumnya,” ungkap Agus. Tak cuma mempertimbangkan dari diri sendiri, ia juga menanyakan kepada istri, dan kedua orang tuanya.

Bak gayung bersambut, semua pihak keluarga menyetujui keputusan yang diambil Agus meski nantinya akan menghentikannya melangkah di dunia politik. “Mereka semua setuju, padahal saya sudah menjelaskan akibat buruknya seperti apa,” tutur Agus. Tanda setuju juga diberikan oleh sang istri tercinta, Elia Murani. “Mungkin saja nasibnya nanti seperti Munir,” ujar Agus kepada sang istri kala itu. “Jangan bilang begitu toh,” jawab sang istri sembari ketakutan terhadap nasib Agus yang mungkin saja akan menyerupai Munir (seorang pejuang hak asasi manusia yang harus tewas karena diracun, red).

Agus tentu saja tak menginginkan suatu hal buruk terjadi dalam kehidupannya. Namun, teror berupa ancaman pembunuhan dari pihak-pihak tertentu sudah kerap terjadi. Meski begitu, Agus tak merasa takut terhadap ancaman tersebut karena ia merasa memperjuangkan sebuah kebenaran yang dulunya sempat ia langgar. Tak ada niatan lain yang melatarbelakangi langkah Agus membuka keburukan sebagian anggota DPR, seperti yang diberitakan sebelumnya. “Saya tidak dendam kepada PDIP karena istri saya tidak menjadi Bupati Batang,” ujar Agus menyangkal munculnya berita yang mengatakan bahwa ia dendam kepada PDIP karena istrinya tak bisa menjadi bupati Batang akibat tak didukung oleh Megawati Soekarno Putri. “Yang pasti saya ingin memperbaiki keadaan di partai dan DPR,” ujarnya dengan tegas. Fajar

1 comment:

Anonymous said...

Denger denger manusia suci ini buka mulut karena nggak keplih lagi ya? Klo misalnya kepilih lagi nambah lagi nggak Mercynya ?