Wednesday, March 14, 2007

Sakit itu Mahal

M. Farhan
Habiskan Rp 10 Juta Lebih Tiap Bulan untuk Terapi Anaknya
· Pernah Anaknya Tidak Tidur Selama 24 Jam

Semula Farhan merasa bangga terhadap sikap anak sulungnya yang bernama Muhammad Ridzky Khalid. Sebagai anak lelaki, Ridzky begitu kerap disapa, termasuk anak yang sangat anteng dan tidak banyak tingkah seperti kebanyakan anak-anak lelaki lainnya. Namun lama kelamaan Farhan justru merasa curiga dengan tingkah anaknya itu. Pasalnya, Ridzky sering sekali terlihat asyik dengan dunianya sendiri dan tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Setelah berkonsultasi dengan beberapa pakar, ternyata Ridzky mengalami kelainan. “Autis” begitulah istilah kedokteran menyebutnya. Bagaimana Farhan menghadapi kenyataan tersebut? Apa hikmah yang bisa dipetiknya?

Bahagianya Farhan dan keluarga ketika akan melakukan perjalanan ke Yogyakarta untuk mengisi liburan. Tetapi pada saat pesawat lepas landas, anak sulungnya, Muhammad Ridzky Khalid justru mengamuk dan tidak mau naik ke pesawat. Ridzky memang sedang asyik bermain di tangga yang berada di salah satu sudut bandara Soekarno-Hatta. Farhan sendiri sepertinya sudah terbiasa menghadapi perilaku Ridzky. Pasalnya, kelainan autis yang diidap Ridzky memang mengakibatkan perilakunya berbeda dengan anak-anak biasa.
Semenjak awal, yaitu ketika mengetahui bahwa si sulung menderita autis, Farhan dan isteri memang sudah berkomitmen untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap Ridzky. Meski kesibukannya sebagai presenter di berbagai acara, membuat waktu yang disediakan untuk keluarga cukup terbatas. Tapi itu tidak membuat perhatiannya berkurang. “Yang namanya orangtua dari anak autis, salah satu dari kita harus nggak boleh kerja sama sekali, karena musti ada satu orang yang bisa mencurahkan 100% waktunya untuk anak ini,” tutur Farhan menjelaskan. Tak ayal, tugas ini diserahkan kepada Aya, isterinya tercinta. Sang isteri pun memang sejak awal telah memilih untuk mencurahkan waktunya untuk anak-anak.
Usia 18 Bulan. Farhan sendiri telah menemukan gejala-gejala autis pada anaknya ketika berumur 18 bulan. Pada saat itu, Farhan memperhatikan perilaku yang aneh dari Ridzky. “Anaknya jadi terlalu anteng, nggak merhatiin lingkungan sekitarnya,” aku pria kelahiran 25 Februari 1970 ini.
Perilaku aneh dari Ridzky menimbulkan kecurigaan Farhan terhadap anak sulungnya tersebut. “Ya kita khawatir, kita bawa ke psikolog, ternyata memang punya gejala autistik,” ujar Farhan. Meskipun begitu, Ridzky tidak langsung divonis memiliki kelainan autis. “Butuh pengamatan sekitar 1,5 tahun lagi,” lanjut Farhan. Setelah berbagai pengamatan dilakukan, Ridzky akhirnya divonis memiliki kelainan autis. Pada waktu divonis, putera sulungnya itu sudah berusia tiga tahun.
Hebatnya, Farhan beserta isteri tidak merasakan kelainan yang diidap oleh Ridzky tersebut sebagai beban. Mereka tidak merasa kaget dengan apa yang terjadi pada Ridzky. “Isteri saya malah lebih santai lagi pas tahu Ridzky autis,” aku Farhan. “Dia malah bilang, ok, gue ngelamun dulu sehari saja,” ujar Farhan sembari menirukan suara Aya.
Farhan dan sang isteri, Aya, memang cukup tabah ketika mendengar anak sulungnya memiliki kelainan autis. Mereka justru lebih mementingkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk merawat Ridzky. Tak heran, Farhan dan Aya langsung mencari tahu lebih banyak mengenai kelainan autis pada anak. Mereka juga mencari psikolog yang mampu menangani Ridzky. Selain konsultasi dengan psikolog, Farhan juga tak ketinggalan untuk memasukkan Ridzky dalam suatu program terapi khusus bagi penderita autis.
Ada dua macam program terapi yang dijalankan oleh Ridzky, yakni Applied Behavioural Analysis dan Sensory Integration. Kedua macam terapi tersebut tak ubahnya sebagai ajang pelatihan dan pengembangan kemampuan daya pikir penderita autis. “Terapinya macam-macam, mulai dari terapi perilaku, terapi keseimbangan otot dan saraf, pelatihan bicara, dan pelatihan-pelatihan kemampuan lainnya seperti membaca, menulis, dan berhitung,” tutur presenter Om Farhan di salah satu stasiun televisi swasta ini.
Mematok Target. Sejak mengikuti beberapa program terapi, Ridzky, seperti yang diakui Farhan memiliki berbagai kemajuan yang cukup berarti. “Alhamdulillah, paling nggak, kita tahu bahwa anak kita tuh sekarang berada di trek yang benar,” ujar Farhan sembari tersenyum. Untuk mengetahui perkembangan dari sang anak, Farhan selalu mematok target-target tertentu yang harus tercapai setiap tahun. Ridzky selalu dibimbing dan diarahkan agar dapat mencapai target-target yang telah ditentukan sebelumnya tersebut. Meskipun target telah ditentukan, pencapaiannya tidak selalu berhasil. “Selalu ada yang tercapai, ada juga yang tidak tercapai,” aku Farhan.
Salah satu contoh target yang telah tercapai adalah, berkurangnya amukan yang kerap Ridzky lakukan jika sedang menginginkan sesuatu. Bahkan, Ridzky telah mampu untuk mengungkapkan keinginannya secara verbal. Ia tidak lagi mendorong-dorong tubuh orang lain hanya untuk meminta diambilkan suatu barang. Farhan mengakui target yang telah tercapai tersebut memang merupakan target yang cukup berat. Tidak heran betapa bahagianya Farhan ketika mengetahui bahwa Ridzky telah mampu mencapai target tersebut.
Selain mengikuti beberapa terapi, Ridzky juga harus mematuhi beberapa pantangan yang diperintahkan dokter. “Dia nggak boleh makan daging sapi, susu sapi, dan turunannya seperti keju, es krim, margarine, gandum dan turunannya, serta sereal,” ujar Farhan. Farhan pun langsung membatasi makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh Ridzky. Ridzky yang biasanya sering makan es krim, kini, harus rela tidak dapat merasakan lezat dan dinginnya es krim berbagai rasa. Sarapan dengan sereal pun harus dihindari Ridzky. “Nyolong sih pernah tapi ketahuan,” kenang Farhan.
Gejala Awal Hiperaktif. Seperti yang diakui Farhan, Ridzky sejak umur 18 bulan sudah menunjukkan perilaku hiperaktif. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan dokter bahwa Ridzky menderita autis dengan spectrum ADHD, yakni ada kecenderungan hiperaktif. Bahkan, Ridzky pernah tidak tidur selama 24 jam penuh. “Dia lari keliling kamar selama 24 jam dan nggak tidur,” aku Farhan.
Begitu Ridzky menunjukkan perilaku hiperaktif, baik Farhan maupun sang isteri biasanya melakukan dua hal. “Pertama, saya menyuruhnya loncat-loncat sampai capai. Kedua, saya dan Aya langsung memeluknya. Meski begitu, kadang-kadang intensitas hiperaktifnya sangat tinggi. Jadi, butuh waktu yang agak lama untuk tenang kembali,” kata Farhan.
Secara fisik, Ridzky memang tumbuh besar dan sehat. Tetapi ada yang aneh pada tingkah lakunya. Baik Farhan, isteri, juga beberapa kerabat mereka seringkali terheran-heran melihat Ridzky begitu kalem dan tenang di usia yang seharusnya sangat aktif. "Sepertinya inderanya kurang berfungsi, misal, dia nggak merespon saat dipanggil atau dikasih bunyi-bunyian. Kemampuan bicaranya kurang. Pola bicaranya kacau dan kalau ditanya bukan menjawab tapi mengulang-ulang kata yang didengar. Jika melihat suatu obyek, dia bisa tahan berjam-jam tanpa bisa dialihkan ke obyek lain, dan kurang suka disentuh, '' papar Farhan.
Ridzky seakan berada di dunianya sendiri yang hening, sunyi, dan tidak bisa dimasuki orang lain. ''Kita selalu bilang Ridzky kok ngelamun sih, Nak. Atau Ridzky kamu lagi lihat apa, kok anteng sekali sampai berjam-jam. Dan yang paling bikin kami khawatir, sikap tubuhnya aneh nggak seperti anak lainnya,'' tambah Farhan.
Sang isteri sempat melontarkan kekhawatiran anaknya menderita kelainan, tetapi ibu mertuanya memintanya tabah dan jangan panik. Ridzky akhirnya menjalani serangkaian tes, fisik, psikososial, dan psikomotorik. Hasilnya, “Anak kami dinyatakan mengidap autisme,” tutur Farhan dengan nada sedih.
Meskipun begitu, Farhan mengaku bahwa mendidik anak autis termasuk pekerjaan yang cukup mudah. Biasanya anak autis memiliki pola tersendiri dalam bertindak. Sehingga, orangtua hanya cukup membuat pola hidup sang anak dengan teratur karena anak autis lebih suka dengan pola hidup yang teratur.
Farhan tidak pernah memandang Ridzky sebagai beban. Akan tetapi, Farhan justru melihat kedua anaknya, tak terkecuali Ridzky, sebagai suatu keajaiban. Bagi Farhan, Ridzky menjalani pertumbuhan sebagai anak autis, sedangkan adiknya, Bisma, tumbuh seperti halnya anak normal. “Perbedaan inilah yang membuat keindahan-keindahan tersendiri buat saya,” ujar Farhan. Selain sebagai keindahan, keluarga juga memiliki suatu makna yang sangat berarti bagi mantan penyiar radio ini. “Keluarga adalah motivasi saya untuk bangun tiap pagi dan alasan saya untuk pulang tiap malam,” tutur Farhan.
10 Juta per Bulan. “Untuk anak, saya akan memberikan banyak fasilitas pendidikan yang terbaik,” kata Farhan ketika ditanya tentang rencana ke depan bagi anak-anaknya. Tak terkecuali bagi Ridzky. Tak ayal, kini Ridzky tengah diikutsertakan dalam suatu program terapi khusus bagi penderita autis. Ridzky pun harus mengikuti setiap terapi yang diadakan untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
Dari hari Senin hingga Jumat, Ridzky bersekolah di sekolah khusus penderita autis dari jam 8 sampai jam 2 siang. Sore harinya, jam 4 sore sampai jam 7 malam, Ridzky harus ikut terapi. Sedangkan untuk hari Sabtu, terapi dilakukan pada pukul 10.00 WIB-12.00 WIB, pukul 14.00-16.00 dan 18.00-19.00. Hampir sebagian besar waktu Ridzky dihabiskan untuk mengikuti terapi. Akan tetapi, program terapi tersebut memang diakui Farhan sebagai jalur yang harus dilewati oleh Ridzky. Farhan juga mengaku bahwa biaya yang harus dikeluarkan tiap bulannya sekitar Rp 10 juta. Jumlah tersebut hanya untuk membayar ongkos terapinya saja. Artinya belum termasuk untuk obat-obatan atau suplemen yang harus dikonsumsi Ridzky . Tanpa menyebutkan angka, Farhan mengakui bahwa biaya untuk pengobatan anak autis cukuplah besar.
Dengan fasilitas pendidikan yang terbaik, Farhan berharap kedua anaknya tersebut dapat menjadi orang-orang yang berguna di masa mendatang. “Saya berharap anak saya dua-duanya jadi orang-orang yang independen, tidak nyusahin orang, nggak harus jadi orang kaya, pintar, atau terkenal, yang penting nggak jadi orang yang nyusahin orang lain,” harap Farhan. Fajar

Sidebar 1:
Sempat Tidak Terima Kenyataan Selama Enam Bulan
Ketika mengetahui anaknya menderita autis, Farhan mengaku bahwa dirinya sempat shock dan tidak menerima kenyataan tersebut. “Pertanyaan saya pada waktu itu adalah, kenapa anak saya yang kena? Padahal ada jutaan anak lainnya. Kenapa anak saya yang dipilih?” ucap Farhan.
Diakui Farhan, isterinya lebih tabah menerima kenyataan tersebut. “Saya sempat enam bulan tidak bisa menerima kenyataan tersebut,” ujarnya. Untungnya Farhan segera tersadar. Meski perasaannya sangat sedih ketika anaknya divonis autis namun Farhan berusaha untuk tidak panik. Ia berusaha sebisanya untuk tegar dan rasional. “Saya pikir kalau saya hancur, isteri pasti ikut hancur, kalau saya tegar, isteri bisa ikut terbawa tegar,” ucapnya.
Farhan sangat bersyukur karena keluarga besarnya ternyata juga sangat mendukung dan tidak membebaninya dengan pertanyaan-pertanyaan “mengapa ini bisa terjadi?” atau pun menyalahkan. Mereka justeru bertanya apa yang bisa dibantu?.
Antara Farhan dan isteri pun kini terjalin hubungan kebersamaan yang sangat kuat. “Selama ini kami sudah menjalani hidup bersama, dan sekarang dengan cobaan ini, kita makin merasa dekat lagi,” tandas Farhan. “Bagaimanapun kondisi Ridzky, kita percaya bahwa itu adalah amanah Allah SWT. Dia percaya bahwa kami bisa membesarkan Ridzky,” tambahnya. Ada hikmah yang bisa diambil Farhan dari apa yang dialami oleh anaknya. “Saya menjadi yakin bahwa Allah memiliki rencana yang terbaik bagi umat-NYA. Sejak kasus Ridzky, hubungan saya dengan isteri semakin baik. Kalau dahulu kami punya banyak sekali konflik, sekarang justru konflik itu musnah, dan kami semakin kompak, saling bantu, dan saling menguatkan,” ucapnya bijak.
Sidebar 2:
Penderita Kebanyakan Laki-Laki
Autisme adalah ketidakmampuan untuk mengembangkan relasi yang normal dengan sesama, bahkan dengan orangtuanya. Kelainan ini sering ditemukan pada bayi baru lahir hingga usia dua setengah tahun. Kelainan ini juga sering menimpa anak laki-laki dan diperkirakan terjadi karena faktor genetika.
Mengutip sebuah hasil penelitian, jumlah penderita autis di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 475 ribu anak. Artinya, dari 500 anak di Indonesia, satu di antaranya adalah penderita autis. Kebanyakan dari mereka adalah anak laki-laki dengan perbandingan 4:1. Ini berarti dari lima penderita autis, empat di antaranya anak-anak laki-laki. Adapun penyebab autis bisa karena faktor bawaan, makanan, atau akibat ibu mengonsumsi obat-obatan tertentu saat hamil.
Biasanya orangtua merasa malu kalau ada anaknya yang menderita autis. Padahal, sikap tersebut justru akan makin memperparah kondisi anak. Seharusnya orang tua bisa menerima keadaan anaknya sekaligus mencari cara untuk menyembuhkannya. Pasalnya, jika ditangani sejak dini, autis bisa disembuhkan.
Mengisolasi Diri. Anak yang menderita autis biasanya akan mengisolasi dirinya dengan lingkungan di mana mereka tinggal. Penderita autis juga memiliki kemampuan bahasa yang tidak normal. Misalnya, dia akan sulit untuk mengatakan sesuatu yang menjadi keinginannya. Untuk menangani dan melatihnya tentu dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Dan tentunya dukungan orangtua sangat dibutuhkan untuk menanganinya.
Penderita autis biasanya sangat membutuhkan identifikasi dan intervensi secara dini. Tujuannya adalah mereka memiliki kemampuan dasar yang amat penting dalam kehidupan mereka nantinya.
Oleh karena itu dukungan dan informasi sangat diperlukan oleh orangtua yang memiliki anak autis. Sehingga, orangtua bisa paham bagaimana cara mengatasi dan menyembuhkan anaknya. Tidak hanya orangtua, guru dan terapis juga perlu pengetahuan yang mendalam tentang hal tersebut. Fajar

No comments: