Sunday, June 27, 2010

Nur Dahyar, Pemilik PT Nuansa Raya Dinamika

Sukses karena Sehabis Shalat Selalu Membaca Al-Fatihah untuk Nabi Khidir

Tak akan ada yang menyangka bahwa sosok anak yang lahir dari keluarga miskin ini akan meraih sukses pada saat sekarang. Berkat kegigihan dan niatnya yang tulus, Nur Dahyar akhirnya mampu menjadi salah satu pengusaha UKM sukses dan menyediakan lapangan kerja bagi 120 anak muda di sekitar rumahnya. Ternyata kesuksesannya tersebut didapatkan melalui semangat dan pengalaman-pengalaman unik yang pernah ia rasakan. Lalu bagaimana cerita pria asli Kudus ini meniti bisnis pallet beromset miliaran tersebut?

Sebuah bengkel yang berukuran tidak begitu besar itu nampak ramai dengan para pekerja. Mereka terlihat sibuk mengangkut beberapa batang besi panjang. Sebagian lainnya tengah menyambungkan potongan besi dengan beberapa potongan besi lainnya. Di antara beberapa pekerja tersebut, ada sosok pria paruh baya yang tengah berdiri dan mengawasi pekerjaan para pekerjanya itu. Ia tampak serius memperhatikan hasil kerja para pekerjanya dan seakan-akan tak mau ada kesalahan dalam setiap proses pembuatan pallet di bengkel miliknya. Dialah Nur Dahyar, sang pemilik perusahaan bernama PT Nuansa Raya Dinamika (NRD). Nur-panggilan akrabnya-ternyata dalam membangun bisnisnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jatuh bangun telah ia alami dalam meniti bisnis pembuatan pallet miliknya.

Meski harus mengalami banyak hambatan dalam meraih suksesnya saat ini, Nur juga sempat mendapatkan banyak pengalaman religi yang sedikit banyak mempengaruhi bisnis yang dijalaninya. Percaya atau tidak, Nur mengaku bahwa banyak pengalaman unik yang mempengaruhi jalannya bisnis yang ditekuninya tersebut. “Ini merupakan hasil atas kerja keras saya bertahun-tahun dan berkat pertolongan Allah juga,” tutur Nur Dahyar saat di temui Realita di bengkel miliknya. Nur sesekali menampakkan kedua matanya berkaca-kaca saat berbagi kisah dengan Realita pada Jumat (28/12) pagi itu. Nur mengaku bahwa ia kerap terharu bila menceritakan masa lalunya yang penuh dengan kekurangan dan perjuangan. Namun, kini ia dapat mengubah kesedihan di saat kekurangan dengan kesuksesan yang membuat semua orang di sekitarnya bahagia.

Berasal dari Keluarga Miskin. Nur Dahyar bukanlah seseorang yang terlahir dari keluarga mapan dan berkecukupan. Ia lahir dari pasangan H Subandi (76) dan Hj Juariyah (72) di kota Kudus pada 2 April 1958. Keluarganya hidup dalam serba kekurangan. Sang ayah sempat memiliki usaha garmen namun bangkrut di tengah jalan. Alhasil, kehidupan keluarganya semakin terpuruk. “Saya termasuk keluarga miskin di Kudus saat itu,” aku Nur. Hal tersebut diperparah dengan banyaknya anggota keluarga. Pasalnya, Nur merupakan anak kedua dari 10 bersaudara. “Saya sama saudara kandung sering dititipkan di tempat tetangga supaya bisa dapat makan,” kenang peraih UKM terbaik dari Bank Niaga ini. Bahkan, Nur pun harus mengurungkan niatnya melanjutkan ke jenjang SMA, hanya karena ketiadaan biaya. “Setelah lulus SMP, saya ‘disuruh’ untuk keluar dari rumah dan cari makan sendiri,” aku Nur. Hal tersebut membuat dirinya harus mencari pekerjaan dan bersikap mandiri tanpa bergantung kepada orang tua. “Ya karena memang keluarga kami nggak mampu,” ujar Nur.

Meski hanya berbekal ijazah SMP, Nur bertekad untuk mencari penghidupan yang lebih baik. “Ya sudah kamu keluar dari rumah, kalau susah jangan kasih tau Bapak, tapi kalau sukses kasih tahu Bapak,” ujar Nur sembari menirukan omongan sang ayah. Tekadnya tersebut menjadi salah satu motivasinya untuk mencari pekerjaan. Berbagai profesi pekerjaan telah ia lakoni. Bahkan menjadi penyapu jalanan pun sempat ia tekuni hanya untuk makannya sehari-hari. Selepas ‘keluar’ dari rumah, Nur kemudian merantau ke daerah lain. Sekitar tahun 1973, Nur merantau ke daerah Jombang dan menjadi salah satu pelayan di sebuah rumah makan. Selain menjadi seorang pelayan restoran, ia juga kerap menjadi tukang cuci mobil para tamu hotel yang berada tepat di sebelah rumah makan, untuk menambah penghasilan. Sekitar tahun 1975, salah satu tamu hotel bernama Tau Pok Han mengajaknya ke daerah Pamekasan, Madura. Nur bekerja sebagai salah satu pesuruh pabrik kecap milik Tau Pok Han di Pamekasan. Nur hanya bertahan selama setahun di pabrik kecap tersebut. Tahun 1976, Nur kembali ke rumahnya di kota Kudus. “Waktu itu saya merasa tidak berhasil dan gagal merantau,” kenang Nur. Setelah kembali ke Kudus, sang kakak lantas mengajak Nur untuk merantau ke Jakarta untuk bekerja. Di ibukota, ia sempat menjadi pesuruh di pabrik tepung Bogasari. “Saya mengumpulkan tepung yang berjatuhan lalu diayak dan saya jual,” kenang Nur. Ia juga pernah menjadi seorang penyapu jalanan ibukota. Dua tahun bekerja, ia kembali bertekad untuk melanjutkan sekolah kembali. Alhasil, Nur bersekolah di sekolah malam di sekolah remaja Yaspi, Jakarta. Ia lulus tahun 1981. “Pagi saya kerja, malam saya sekolah,” ungkap Nur.

Bisnis Pallet Beromset Miliaran. Sebelum lulus SMA (sekolah malam, red), sekitar tahun 1980 ia menikah dengan seorang gadis bernama Lilis Suharti, yang merupakan anak dari si empunya rumah kontrakan yang ditinggalinya. Pada tahun yang sama, Nur mencoba melamar di perusahaan Toyota Mobilindo. “Kebetulan yang dibutuhkan hanya lulusan SMP,” ungkap Nur. Beruntung, ia diterima di perusahaan otomotif itu dengan gaji awal sebesar Rp 36 ribu per bulan. Awalnya ia bekerja di bagian pengepresan. Sejak pertama kali masuk ke Toyota, Nur memang berniat untuk belajar banyak di perusahaan itu. Ia pun memutuskan untuk meminta kepada atasannya agar selalu dipindahkan ke berbagai divisi di dalam perusahaan. Akibatnya, setiap dua tahun ia selalu berpindah divisi. “Saya memang dari awal punya rencana untuk berbisnis jadi saya berusaha untuk mengambil ilmu di Toyota,” tutur Nur. Meski sudah bekerja di Toyota dan memiliki penghasilan sendiri, Nur masih tetap ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Entah disebut sebagai cita-cita atau kenekatan, Nur lantas mendaftarkan diri di Akademi Komputer Indonesia (AKI) dan mengambil pendidikan komputer setara D3. Walaupun ia mampu menyelesaikan kuliahnya dengan susah payah, Nur tidak bisa melunasi ijazahnya karena ketiadaan biaya.

Setelah ‘mencuri’ ilmu dan mengumpulkan dana dari menyisihkan gajinya, Nur memberanikan diri untuk memulai bisnis. Uang Rp 14 juta hasil tabungannya ia gunakan untuk membeli angkot bekas jurusan Sukapura-Tanjung Priok. “Pagi sampai sore saya bekerja, malamnya saya narik angkot,” aku Nur. Dua tahun ia jalani rutinitas tersebut. Angkotnya beranak pinak, dan mencapai puncaknya pada tahun 2002 yang berjumlah 12 angkot. Sekitar tahun 1997, Nur nekat keluar dari Toyota setelah merasa sudah banyak cukup ilmu yang didapatnya. Ia lantas mengembangkan bengkel las yang dibuatnya sejak tahun 1995. Melalui kerjasama dengan salah satu rekannya, Setyadi, Nur kemudian mendirikan sebuah perusahaan bernama PT Nuansa Raya Dinamika (NRD) tepat pada tahun 1997 yang memproduksi pallet. Modal awal yang digunakan untuk mendirikan perusahaan tersebut sebesar Rp 20 juta. Modal tersebut berasal dari kocek pribadi Nur dan Setyadi. Setahun kemudian, perusahaannya terkena krisis moneter yang mendera tanah air. Namun karena beberapa pembayaran dari pelanggannya dalam bentuk Dolar AS, maka perusahaannya justru dapat meraup untung.

Membaca Al-Fatihah untuk Nabi Khidir. Sejak awal berdiri, NRD langsung menjadi rekanan Toyota. Nur membuat pallet yang dipesan oleh perusahaan Toyota. Awalnya Nur hanya memiliki 10 orang karyawan dan peralatan sederhana. Kini jumlah karyawannya berkembang pesat mencapai 120 orang karyawan dan telah memiliki tiga gudang di jalan Berantas, Jakarta Utara. Selain itu, omzet perusahaanya saat ini telah mampu mencapai Rp 1 miliar, suatu angka yang cukup mencengangkan bagi seorang pengusaha kecil seperti Nur Dahyar.

Bisnisnya yang sukses, ternyata tak terlepas dari sisi pengalaman religi Nur Dahyar selama ini. “Saya diajarkan Ibu saya dari kecil, sehabis shalat saya selalu membaca Al-Fatihah untuk Nabi Khidir,” ungkap Nur. “Nabi Khidir itu adalah nabi yang tidak tercantum dan tidak kelihatan dan sampai kiamat itu akan selalu ada,” lanjutnya. Diakui Nur, Nabi Khidir itu identik dengan nabi yang memakai baju lusuh dan tua layaknya seorang gelandangan. Dengan membaca Al-Fatihah untuk Nabi Khidir itu, Nur berharap agar bisnisnya dilancarkan dan sukses di kemudian hari.

Tak hanya itu saja, pengalaman berhaji pada tahun 1998 juga menjadi pengalaman uniknya. Waktu itu, Nur berniat untuk berbelanja di Tanah Suci. “Saya waktu itu kan merasa sudah kaya, jadi ingin belanja sepuasnya di sana,” tutur Nur sembari tersenyum. Ketika di Tanah Suci, Nur didatangi orang Arab yang hendak menukarkan uang. Namun, Nur tidak memiliki uang receh. “Karena saya takut berbohong, saya tunjukin dompet saya,” kenang Nur. Ternyata beberapa saat kemudian ketika akan membeli barang, ia baru menyadari bahwa dompetnya hilang. Padahal di dalam dompetnya terdapat banyak uang yang memang rencananya akan digunakan untuk berbelanja di Tanah Suci. Kejadian itu membuat Nur tersadar bahwa uang bukanlah segalanya. Masih banyak hal lebih penting ketimbang harta. Nur pun lantas ingat terhadap hartanya yang paling berharga yakni anak yang ditinggalnya di Jakarta. Nur tersadar bahwa uang bukanlah hal terpenting di dunia ini.

Membantu Banyak Orang. Selepas naik haji, perusahaan miliknya ternyata mengalami kesurutan. Kala itu ordernya sedang sepi. Tak pelak, pemasukan ke kantong pribadi Nur pun berkurang drastis. Suatu hari, Nur mengerjakan shalat Dhuha dan memohon rezekinya dilancarkan. Setelah itu, Nur kemudian duduk di dalam bengkel miliknya. Datanglah salah seorang tetangganya meminta tolong dibuatkan tenda beserta kurungnya untuk Musholla kepada Nur. Dengan dana yang hanya Rp 600 ribu, Nur pun menerimanya. Ia membuatkan kurung dari besi. Sedangkan uangnya digunakan untuk membeli tenda. Kala itu, Nur tidak mengharapkan untung. Ia hanya ikhlas menolong salah satu tetangganya yang memiliki dana terbatas tersebut. Setelah kembali ke rumah, ternyata rezekinya benar-benar diperlancar. Ia langsung mendapatkan order dari sebuah perusahaan senilai Rp 1 miliar. Selain itu, pengalaman lainnya juga sempat ia alami. Salah satunya adalah ketika didatangi seorang pengemis. Tanpa berpikir panjang, Nur memberikan 2 lembar uang 50 ribuan kepada sang pengemis. “Tidak sampai satu minggu setelah itu, bisnis saya langsung kembali lancar dan kebanjiran order,” ujar Nur yang sudah menunaikan haji sebanyak tiga kali ini. Sejak saat itu, Nur kerap membantu orang-orang dengan berbagai cara. Salah satunya adalah gurunya yang dibiayai untuk berangkat haji pada tahun 2005.

Seiring dengan sedekah yang terus dialirkan, usahanya pun terus berkembang pesat dan menghasilkan banyak uang ke kantong pribadinya. Bahkan Nur telah membangun villa bernama Villa Imelda untuk disewakan. Selain itu, ia juga membuat sebuah rumah makan Padang bernama Ratu Bundo dengan modal Rp 600 juta. Ia juga membeli sebuah perusahaan karoseri kendaraan bernama Panja Group pada awal 2007 lalu. Bisnis-bisnis tersebut diakui Nur akan dipersiapkan untuk keempat anaknya kelak. Pernikahan Nur dengan Lilis Suharti (47), kini telah menghadirkan empat anak, yakni Evayanti (26), Ari Afroni (24), Intan Rizki Yuliani (18) dan Imelda (13). Baginya, kesuksesan dalam berbisnis saat ini merupakan hasil kerja keras dan pertolongan Allah yang datang kepada dirinya. Berkat mendekatkan diri kepada Allah dan rasa tulus dan ikhlasnya membantu orang banyak, ia merasakan rejekinya semakin lancar dan bisnisnya pun meraup untung miliaran. Fajar


No comments: