Yani Panigoro, Direktur MEDCO Holdings
“Hati saya bergetar kalau melihat orang yang tak berdaya”
Entah dari mana datangnya, namun rasa gelisah dan selalu bergetar ia rasakan manakala melihat penderitaan dan ketidakberdayaan orang lain. Itulah perasaan yang dirasakan wanita yang bernama Yani Panigoro yang juga adik kandung dari pengusaha minyak terkemuka, Arifin Panigoro. Dan dari keresahan hatinya itu pula, ia kemudian tak hanya mengisi waktunya untuk menjalankan tugasnya sebagai direktur di Medco Group, tetapi ia juga ikut melakukan pembinaan terhadap masyarakat yang membutuhkan.
Mengenakan blazer warna hitam dipadu celana panjang warna krem, Yani terlihat santai. Ia kemudian menerima Realita di ruang rapat seluas sekitar 6 x 4 meter itu. Sambil duduk di ujung meja yang berbentuk oval, Yani kemudian mulai bertutur soal aksi sosialnya.
Meski usianya tak muda lagi, namun wajah Yani Panigoro masih memancarkan semangat kerja yang tinggi diusianya yang sudah berkepala lima ini. Tak hanya itu, suaranya yang keluar dari mulutnya, sama sekali tidak menggambarkan bahwa wanita ini telah memiliki usia lebih dari separoh abad. Jelas dan lugas adalah gaya bicara Yani saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan.
Wanita yang tampak elegan ini, juga terbilang cukup sukses membawa grup perusahaan yang bergerak di bidang energi tersebut ke tingkat internasional. Meskipun begitu, kesuksesan dalam karirnya tidak membuat istri dari Rodyat Suprapto ini melupakan tanggungjawab sosialnya terhadap masyarakat khususnya masyarakat kurang mampu.
Sebagai seorang eksekutif di perusahaan besar, sudah sepantasnyalah Yani Panigoro bersikap demikian. Tetapi, jika digali lebih dalam, adik konglomerat Arifin Panigoro ini ternyata menyimpan sejuta cerita mengenai kegiatan sosial yang dilakukannya.
Untuk bisa membantu sesame, di perusahaan tempatnya bekerja, Yani ikut terlibat langsung di dalam yayasan yang dibentuk untuk memfasilitasi Corporate Social Responsibility (CSR) Medco Group terhadap masyarakat sekitar. Yayasan tersebut diberi nama Medco Foundation, sesuai nama grup perusahaan yang dipimpinnya bersama sang kakak, Arifin Panigoro. Yayasan tersebut bergerak di beberapa macam kegiatan sosial dan memiliki target untuk meringankan beban yang harus dipikul oleh masyarakat kurang mampu. “Kita mengadakan kegiatan sosial di beberapa bidang, di antaranya adalah dunia pendidikan, lingkungan hidup, serta beberapa lainnya,” aku Yani. Pada dunia pendidikan, Medco Foundation beberapa tahun yang lalu telah mengambilalih salah satu yayasan pendidikan dan mulai bertanggungjawab terhadap sekolah yang berada di bawah yayasan tersebut. Selain itu, Yani beserta tim yang berada di belakang Medco Foundation juga telah memberikan banyak beasiswa kepada siswa-siswa yang berprestasi di sekolahnya. Dengan begitu, Yani berharap dapat membantu anak-anak kurang mampu yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan biaya.
Saat ini, Medco Foundation memiliki dua sekolah yang tengah dikelolanya, yakni di daerah Tanjung Barat dan Pamulang. Khusus untuk di Tanjung Barat, Jakarta Selatan, sekolahnya mampu menampung para siswa mulai dari jenjang TK, SD, SMP, sampai dengan SMA. Sedangkan di Pamulang, sekolahnya baru pada tahap kelas taman bermain (Play Group), TK dan SD. “Sekolahnya diberi nama Avisena,” ujarnya singkat.
Dikatakan Yani, nama Avisena diambil dari nama tokoh Islam di masa lampau yang juga perhatian terhadap dunia pendidikan. Tak hanya itu, Medco Foundation yang dipimpin oleh Yani ini juga kerap memberikan beasiswa kepada siswa di berbagai jenjang pendidikan. “Kita juga banyak memberikan beasiswa,” ujar wanita kelahiran Bandung, 18 Juni 1951 ini.
“Saya memang ikut banyak aktivitas sosial, dan kadang-kadang aktivitas sosial itu terkait juga dengan perusahaan,” aku Ibu dari dua anak ini.
Medco Foundaion yang dipimpin Yani tersebut dibiayai oleh Medco Group dengan angggaran dana sebesar US$ 2 juta atau sekitar Rp 18 miliar per tahunnya. Medco Group sendiri memiliki beberapa anak perusahaan. Dana yang dikeluarkan itu berasal dari keuntungan beberapa perusahaan. Selain dunia pendidikan, Medco Foundation juga menebarkan kegiatan sosialnya di bidang lingkungan hidup.
Menurut Yani, Medco sebagai suatu grup perusahaan besar yang bergerak dalam pengembangan energi sumber daya alam sangatlah berperan terhadap kelangsungan hidup dari lingkungan sekitar. Yani berpendapat bahwa jika masyarakat saat ini tidak memperdulikan keadaan lingkungan hidup, maka dikhawatirkan pada generasi mendatang, penerus-penerusnya tidak dapat merasakan lingkungan yang asri yang dipenuhi oleh rindangnya pepohonan. Tak cukup di situ, Medco Foundation juga membantu pengusaha kecil. Melalui kegiatan Micro Financial Services, Medco Foundation memberikan sejumlah dana yang dapat dijadikan modal bagi pengusaha kecil. Adapun dana yang diberikan sebagai modal berkisar di angka Rp 50 juta untuk tiap usaha. Bantuan kepada pengusaha kecil tidak hanya berupa modal saja, Yani juga memberikan pembinaan kepada mereka. Pembinaan tersebut antara lain berupa teknik-teknik berbisnis yang baik. “Kita mengajarkan cara membuat laporan keuangan yang sederhana,” aku Yani. Dengan begitu, diharapkan para pengusaha kecil ini mampu mengembangkan usaha yang dikelolanya dengan baik. Jika pemberian modal melalui Micro Financial Services ini berhasil dan mampu mengangkat pengusaha kecil, maka mereka akan diberikan pembinaan lanjutan. Sehingga pada akhirnya, para pengusaha kecil ini mampu mandiri tanpa harus selalu diberikan bantuan.
Miliki 100 Anak Asuh. Selain turut serta di dalam Medco Foundation, Yani juga memiliki kegiatan sosial pribadi yang sumber dananya diambil dari kocek pribadinya. Setiap tahun, Yani memberikan sumbangan kepada anak-anak asuh yang berada di lingkungan sekitar rumahnya. “Jumlahnya sekitar 80-100 anak asuh yang saya biayai,” ujar Yani. “Saya mementingkan anak-anak yang benar-benar tidak mampu,” lanjutnya. Dana yang disumbangkan kepada tiap anak asuh pun cukup bervariasi, tergantung jenjang pendidikan yang dikuti oleh anak asuh tersebut. Meskipun begitu, rata-rata tiap anak asuh mendapatkan sumbangan dari Yani sebesar Rp 250.000 per bulan. Dana itu biasanya digunakan untuk membiayai sekolah dan keperluannya sehari-hari.
Bagi Yani, anak-anak kurang mampu seharusnya tidak hanya yang cerdas saja yang mendapatkan beasiswa, akan tetapi, anak-anak kurang mampu lainnya yang kurang cerdas juga patut dibantu, selama anak-anak tersebut tidak mampu untuk bersekolah karena ketiadaan biaya. Masih di lingkungan sekitar rumahnya, Yani juga kerap mengadakan pengajian bagi ibu-ibu di lingkungannya. Sekitar 200-an ibu-ibu berkumpul di rumahnya tiap kali Yani mengadakan pengajian. Paling tidak pengajian besar ini diadakan 4 kali dalam setahun.
Selain membahas mengenai isi Al-Quran, pada pengajian itu, Yani biasanya memberikan makanan dan pakaian bagi ibu-ibu yang telah hadir di rumahnya. “Sebagian anak-anak asuh saya itu adalah anak-anak dari mereka (ibu-ibu pengajian-red),” ungkap wanita yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1979 ini.
Di usianya yang tidak muda lagi, Yani terus melakukan kegiatan sosial di berbagai tempat. Ia juga seringkali terlihat mengunjungi panti-panti asuhan ataupun rumah singgah bagi anak-anak jalanan. “Hati saya bergetar kalau melihat orang yang tak berdaya,” ujar Yani. Baginya, keluarga kurang mampu merupakan orang-orang yang tak berdaya di matanya. Tak heran, ia selalu tergerak untuk membantu mereka baik dalam bentuk materi maupun pengajaran.
Tak hanya materi dan perhatian yang dibagi penyuka olahraga yoga ini kepada sesama, Yani juga seringkali membagikan ilmu dengan mengajar atau menjadi dosen tamu di berbagai universitas, tentu saja tanpa harus dibayar. “Saya memberikan motivasi kepada mahasiswa supaya tidak selalu menginginkan menjadi pegawai, melainkan menjadi seorang pengusaha atau pencipta lapangan pekerjaan,” jelas Ibu dua anak ini. Di kampus-kampus, Yani memberikan pengajaran mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan dunia usaha. Sehingga para mahasiswa dapat mengerti dan mampu menjadi wirausaha di kemudian hari. Yani pun menyebutkan salah satu contoh dari mahasiswa didikannya yang kini mampu menjadi pengusaha yang sukses. “Salah satu mahasiswa saya kini telah menjadi pengusaha yang cukup sukses, setelah saya berikan modal dan pembinaan sejak 7 tahun yang lalu,” ujar Yani dengan bangganya.
Ketika diatanyakan apa yang ingin dicapai ketika ia bisa berbagai bagi sesame, Yani hanya mengatakan ,“itu merupakan kebanggaan yang tidak bisa diukur dengan uang,” lanjutnya. Yani sendiri menganggap bahwa apa yang selama ini ia berikan terhadap mahasiswa ataupun pengusaha kecil, adalah nilai atau value. Menurut Yani, value ini dapat diartikan dengan banyak hal. Modal hanyalah sebagian kecil dari value yang telah ia berikan kepada pengusaha kecil dan mahasiswa. Para pengusaha kecil biasanya didatangi oleh Yani minimal sebulan sekali. Kedatangannya tersebut semata-mata untuk memberikan pengarahan kepada mereka agar sesuai dengan jalur yang telah diajarkan oleh Yani.
Ditambahkan Yani, apa yang telah ia kerjakan baik kegiatan sosial atas nama perusahaan maupun atas nama pribadinya, semata-mata merupakan keinginannya untuk bisa membantu mereka yang tidak berdaya.
Yani Panigoro memang sosok wanita eksekutif di perusahaan yang mampu membagi waktu antara pekerjaan, keluarga dan kegiatan sosial. “Saya senang mengunjungi orang-orang tak berdaya dan membantunya,” ucapnya sembari tersenyum lebar. Fajar
Side bar 1
Anak-Anak adalah Mukjizat
Meski aktif di kantor dan di berbagai macam kegiatan sosial, Yani tetap saja dapat meluangkan waktu untuk keluarga. Bahkan bagi Yani, anak-anak merupakan mukjizat yang paling indah yang pernah ia dapatkan. Tak ada lagi mukjizat terindah lainnya selain kehadiran anak-anak pada awal-awal pernikahannya. “Hadirnya anak-anak membuat saya merasa luar biasa,” ujar Yani sembari tersenyum bahagia.
Kini mukjizatnya bertambah dengan kehadiran dua cucu, hasil pernikahan anak pertamanya. Selain kehidupan keluarganya yang membuat iri semua orang, perjalanan karir Yani juga terbilang sangat pesat. Meski pernah dipandang sebelah mata pada awal-awal bekerja, ia justru merasa tertantang dengan penilaian tersebut. Yani bahkan mampu membuktikan bahwa ia dapat memegang pucuk pimpinan dengan baik. Berbagai persoalan di perusahaan yang muncul bisa ia atasi satu persatu.
Bagi Yani dari berbagai persoalan yang muncul dalam hidupnya, yang dirasa paling berat adalah manakala ia di tinggal mati oleh ayah tercintanya. “Cobaan terberat adalah pada saat ayah saya meninggal,” kenang Yani. “Waktu itu saya baru lulus sekolah dan belum memberikan apa-apa kepada ayah,” lanjut Yani.
Tak hanya itu, ada cobaan lainnya yang pernah ia alami semasa kuliah, yaitu Yani pernah mengalami kecelakaan lalu lintas yang hampir merenggut nyawanya. Kala itu, Yani bersama tiga temannya hendak mengikuti praktek kerja di kota Surabaya. Dengan mengendarai sebuah mobil, mereka melakukan perjalanan darat. Di jalan ternyata mobil tersebut melaju sangat kencang, hingga kecelakaan pun tak terelakkan. “Padahal ayah sudah mengingatkan untuk tidak mengebut,” ujarnya. Untungnya, nyawa Yani tidak diambil pada saat itu juga. Ia mampu selamat dari kecelakaan. Meskipun begtu, Yani mengalami gegar otak dan patah tulang akibat kecelakaan yang terjadi di Nganjuk, Jawa Timur tersebut.
Side Bar 2……
Satu Mangga Untuk 11 Orang
Hidup di dalam keluarga besar memang memberikan banyak pelajaran bagi Yani. Kemampuan bernegosiasi dan melobi didapatkan dari seringnya komunikasi antar saudara kandung. Yani pun harus melakukan lobi kepada 10 saudara kandung lainnya hanya untuk mendapatkan sesuatu yang mungkin dapat diperebutkan di antara mereka. Bahkan suatu ketika, Yani harus berbagi satu buah mangga dengan 10 saudara kandungnya. Buah mangga itu pun harus dipotong-potong dengan ukuran yang cukup kecil supaya cukup untuk dibagi –bagi pada 11 orang. Kejadian tersebut memberikan pelajaran bagi dirinya agar saling berbagi. Tak heran, jika saat ini Yani banyak mengadakan kegiatan sosial sebagai salah satu didikan dari orang tuanya.
Pribadi Yani memang telah terbentuk sejak kanak-kanak. Jika Yani sekarang sangat menyukai dunia pendidikan dengan mengajar mahasiswa, itu memang merupakan salah satu titisan dari orang tuanya yang memang berprofesi sebagai guru.
Sebagai anak guru, anak ke-4 dari 11 bersaudara ini dididik sangat mandiri oleh orangtuanya. Dari orang tuanya, Yani mendapatkan banyak pelajaran mengenai hidup. “Dari kecil kita sudah berorganisasi dan belajar untuk melobi,” kenang Yani.
Sebagai salah satu anggota dari keluarga yang besar, mau tak mau Yani harus banyak melakukan diskusi sesama saudara sekandung. Hal itulah yang kini membuat Yani mengerti bagaimana bersikap dalam suatu organisasi. Hal tersebut juga ia terapkan kepada dua anaknya, yakni Roni (30) dan Dini (26). Roni yang lulusan S1 dari Australia, saat ini mulai mengikuti jejak orang tuanya sebagai pengusaha. Sementara itu, Dini masih harus menyelesaikan kuliah S2-nya di London.
Meski demikian, Yani mengaku dengan berubahnya zaman, ia juga harus banyak melakukan perubahan dalam mendidik dua buah hatinya itu. Didikan yang wajib ada di dalam keluarganya adalah agama. Bagi Yani, dasar-dasar agama harus ditanamkan kepada anak-anak semenjak mereka kanak-kanak. Dengan begitu, anak-anak dapat tumbuh dengan memiliki sikap dan sifat yang baik sebagai pengaruh positif dari dasar-dasar agama dalam diri mereka. Hal yang sama juga ia tanamkan kepada karyawan-karyawannya di kantor. “Saya ingin semua orang melakukan pekerjaan secara profesional,” ujar Yani dengan lugas. Baginya, karyawan harus selalu bekerja atas dasar result oriented, dimana para karyawan harus selalu melakukan pekerjaan dengan hasil yang baik dan nyata. Fajar
Side Bar 3….
Tia (Karyawan Medco Holdings)
“Ibu pantang mem-PHK karyawan”
Di kantor, Yani memang terkenal sebagai sosok pemimpin yang sangat perhatian terhadap para karyawannya. Hal tersebut tidak terlepas dari jiwa sosial yang dimilikinya. Tak hanya itu, menurut Tia, salah satu karyawan Medco Holdings yang dipimpin oleh Yani, pimpinannya tersebut memiliki sikap yang sangat mendidik. “Ibu memberikan guidance yang jelas kepada para karyawannya,” ujar Tia. Dengan begitu, setiap karyawan mendapatkan banyak pelajaran yang berharga dari didikan yang diberikan Yani. “Ibu sangat keibuan dan perhatian,” tambah Tia. Sebagai eksekutif, Yani juga merupakan sosok orang yang sangat ideal untuk seorang pemimpin.
Dalam menjalankan perusahaan, Yani memiliki insting yang sangat bagus dalam memilih mana proyek-proyek pekerjaan yang dapat diambilalih dan mana yang tidak.
Tak hanya itu, Yani juga sangat berjiwa sosial. Bahkan ia tidak pernah memilih-milih dalam menyumbang atau dalam melakukan kegiatan sosial. Sehingga, cukup banyak orang kurang mampu yang telah dibantu oleh Yani.
Menurut Tia, atasannya tersebut sangat memperhatikan para karyawannya. Seperti yang diakui Tia, jika salah satu karyawannya ada yang sakit, maka Yani akan selalu memberikan lebih banyak perhatian dan akan membantu karyawannya tersebut.. “Ibu juga pantang mem-PHK karyawan,” ujar Tia.
Maka, jangan harap kata-kata PHK akan muncul dari wanita kelahiran Bandung ini, meski demikian karyawan tetap dituntut bekerja secara menyeluruh dan total terhadap perusahaan. Meskipun begitu, lanjut Tia, ada salah satu sifat yang paling tidak disukai oleh Yani, yakni ketidakjujuran. Bahkan Yani sangat membenci orang yang tidak jujur. “Kalau ada orang yang nggak jujur, maka ibu akan marah,” jelas Tia sembari menutup pembicaraan. Fajar
Thursday, March 15, 2007
Wednesday, March 14, 2007
amarah dan ego....
Rabu (14/3) .....
awan kelabu membumbung tinggi di langit Jakarta. tak ada mentari tampak di atas gedung kantor gw, tertutup oleh gumpalan awan yang seakan-akan bersikap arogan.
warna gelap yang terlihat dari awan itu hanya mengingatkan gw pada perasaan 2 hari yg lalu..ketika ego mencapai puncaknya, ketika otak tak bisa lagi berpikir, dan ketika hati akan terbelah...
yang ada hanyalah teriakan yang terlontar dari bibir ini...teriakan yang tak pernah terduga sebelumnya. ya, teriakan itu memecahkan keheningan malam..
sebuah benda terlempar ke lantai. tidak terasa, tangan gw melempar sebuah benda yang amat berarti...sebuah benda yang mengikat dua hati yang terpisahkan oleh jarak..
teriakan demi teriakan terus terlontar dari bibir ini...gak ada yg bisa menghentikan perbuatan gw...semua musnah...semua hancur.. semua sirna terkubur dalam amarah.. amarah yang telah mencapai puncaknya.
entah apa yang membuat teriakan itu berhenti..tersadar dari ego yang telah menghentikan otak untuk berpikir. hening dan berpikir...
asap rokok melayang ke langit-langit, membawa semua amarah dan ego yang sempat membakar perasaan..
untuk sejenak gw bisa berpikir tenang mengingat semua kenangan yang pernah gw alami...hanya ada satu perasaan yang ada di hati gw, KEHILANGAN...
awan kelabu membumbung tinggi di langit Jakarta. tak ada mentari tampak di atas gedung kantor gw, tertutup oleh gumpalan awan yang seakan-akan bersikap arogan.
warna gelap yang terlihat dari awan itu hanya mengingatkan gw pada perasaan 2 hari yg lalu..ketika ego mencapai puncaknya, ketika otak tak bisa lagi berpikir, dan ketika hati akan terbelah...
yang ada hanyalah teriakan yang terlontar dari bibir ini...teriakan yang tak pernah terduga sebelumnya. ya, teriakan itu memecahkan keheningan malam..
sebuah benda terlempar ke lantai. tidak terasa, tangan gw melempar sebuah benda yang amat berarti...sebuah benda yang mengikat dua hati yang terpisahkan oleh jarak..
teriakan demi teriakan terus terlontar dari bibir ini...gak ada yg bisa menghentikan perbuatan gw...semua musnah...semua hancur.. semua sirna terkubur dalam amarah.. amarah yang telah mencapai puncaknya.
entah apa yang membuat teriakan itu berhenti..tersadar dari ego yang telah menghentikan otak untuk berpikir. hening dan berpikir...
asap rokok melayang ke langit-langit, membawa semua amarah dan ego yang sempat membakar perasaan..
untuk sejenak gw bisa berpikir tenang mengingat semua kenangan yang pernah gw alami...hanya ada satu perasaan yang ada di hati gw, KEHILANGAN...
charity dari eksekutif
Rosan P. Roeslani
Direktur Utama PT Recapital Investment Bank
Sisihkan Minimal 10% dari Gaji untuk Bangun Masjid dan Pesantren
Sukses memimpin perusahaannya, ternyata tidak membuat Rosan melupakan nasib masyarakat yang kurang beruntung. Alasan itulah yang hingga kini membuat Rosan mendirikan Yayasan Amanah Recapital, sebuah yayasan yang menghimpun dana karyawan Recapital untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. Berkat Rosan pula, anak-anak kurang mampu dapat bersekolah kembali di pesantren yang telah dibangun.
Hati Rosan tersentuh ketika ia mampu makan segala macam makanan enak dan mahal sedangkan di sisi lain, ada lapisan masyarakat yang harus makan seadanya. “Saya nggak tega,” kenang Rosan. Selain itu, Rosan juga sedih ketika melihat keadaan dimana anak-anak tidak mampu untuk bersekolah karena ketiadaan biaya. Bahkan di salah satu tempat di Pondok Gede, anak-anak harus belajar dan tidur di satu tempat yang sama. Semenjak itulah, Rosan memutuskan untuk mendirikan Yayasan Amanah Recapital yang masih berada di bawah perusahaan miliknya. Sebagai pendiri sekaligus pelopor yayasan, Rosan memang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam mengembangkan yayasan untuk membantu antara sesama. Tetapi, ia akhirnya mampu mengembangkan yayasan dan menghimpun dana demi membangun kesadaran dari para karyawannya untuk menyisihkan sebagian dari pendapatannya di perusahaan dan mengamalkannya kepada target masyarakat yang tepat.
Melalui yayasan itulah, Rosan menyalurkan jiwa sosialnya. Dengan hadirnya Yayasan Amanah Recapital, segala macam bentuk bantuan sosial bagi masyarakat kurang mampu dapat dikoordinir dengan baik. Langkah awal sosial Rosan dimulai pada saat ia dengan yayasan yang dibentuknya tersebut mendirikan pesantren di daerah Pondok Gede, Jakarta. “Waktu itu, saya hampir nggak percaya di Jakarta ada tempat dimana banyak orang yang kurang mampu,” ujar Rosan. Setelah melihat kondisi tersebut, Rosan tidak hanya berdiam diri saja. Ia beserta rekan-rekannya di Yayasan Amanah Recapital langsung bergerak dan berusaha memikirkan langkah-langkah untuk membantu masyarakat di daerah Pondok Gede tersebut. Terlebih lagi, anak-anak yang tinggal di tempat itu banyak yang harus meninggalkan bangku sekolahnya dikarenakan ketiadaan biaya untuk membayar iuran sekolah.
Bangun Pesantren di Pondok Gede. Akhirnya, Rosan pun memutuskan untuk membangun pesantren di daerah Pondok Gede untuk membantu anak-anak yang ingin bersekolah kembali. Para siswa yang sebagian besar kurang mampu, dibebaskan dari biaya. Ratusan siswa ditampung di pesantren tersebut. Masyarakat sekitar pun merasa terbantu dengan keberadaan tempat menimba ilmu yang didirikan oleh pria yang sudah menunaikan haji ini. Tak sampai di situ, Rosan pun kembali mendirikan pesantren beserta asrama dan Masjid di Bandung, tepatnya di daerah Cijapati. Di daerah tersebut, ia membangun pesantren yang cukup besar dan mampu menampung 140 siswa. Di tempat itu pula, berdiri masjid yang megah dan berada di lingkungan pesantren. “Sekarang pembangunannya sudah berlangsung 1,5 tahun,” aku Rosan. “Mudah-mudahan cepat selelsai lah,” harap Rosan.
Kenapa di Bandung? Kota Bandung sendiri dipilih Rosan karena seringnya ia bepergian ke daerah Bandung. Saat itu, ia memiliki banyak kegiatan di Bandung. Dikarenakan yayasannya ingin mengembangkan kegiatan di daerah lain selain Pondok Gede, Jakarta, maka ia memutuskan untuk menerapkan jiwa sosialnya di daerah bandung. “Daerah Cijapati juga merupakan daerah yang cocok untuk dibangun pesantren,” ujar Rosan. Tak ayal, Rosan pun memutuskan untuk membangun pesantren yang hingga kini belum diputuskan nama yang akan dipasang pada pesantren tersebut. Pembangunan pesantrennya sendiri hingga kini masih belum selesai. Hanya masjid saja yang sudah selesai pembangunannya. Tanpa menyebutkan angka, pembangunan pesantren beserta Masjid dan asramanya cukup menyedot biaya yang sangat besar. Tak ayal, pembangunannya pun belum rampung. “Siswa-siwanya sudah belajar sih,” aku Rosan sembari memperlihatkan rancangan pesantren yang sedang dibangunnya. Jika dilihat dari rancangan miniatur, lingkungan pesantren memang terbilang cukup luas. Di sisi depan, terlihat Masjid yang berdiri tegap menyambut kedatangan para siswa atau masyarakat yang sekadar ingin melihat-lihat. Sedangkan di belakang bangunan Masjid, berdiri kokoh bangunan yang dijadikan sebagai tempat belajar para siswa. Bangunan itu cukup besar dan mampu menampung ratusan siswa. Di seberangnya ada dua bangunan yang hampir berdekatan yang ternyata merupakan bangunan asrama bagi laki-laki dan perempuan secara terpisah.
Di sekeliling bangunan pesantren tersebut, tidak lupa Rosan membangun taman yang terlihat mempermanis lingkungan pesantren. Rupanya Rosan telah membuat rencana pembangunan pesantren tersebut dengan sangat matang. Tak heran, di kantornya di bilangan Semanggi, terpampang gambar-gambar dan rancangan miniatur dari pesantren yang sedang dibangunnya itu. Pembanguan pesantren di Bandung memang merupakan salah satu target yang secepatnya ingin dicapai oleh Rosan. Pesantren di Pondok Gede dan Bandung merupakan bukti dari jiwa sosial yang berasal dari pribadi Rosan sendiri dan karyawan Recapital keseluruhan.
Potong 2,5% Gaji Karyawan. Jangan kaget jika seluruh pengeluaran untuk membangun pesantren baik di Pondok gede maupun di Cijapati berasal dari internal perusahaan. “Semua biaya itu berasal dari karyawan kita (Recapital-red),” aku Rosan. Semenjak Yayasan Amanah Recapital berdiri, seluruh gaji karyawan disisihkan sebagian untuk disumbangkan ke dalam yayasan. “Kita potong dari gaji karyawan sebesar 2,5 persen,” aku pria yang lahir di Jakarta ini. Akan tetapi, potongan itu bukanlah potongan wajib yang secara tiba-tiba diharuskan oleh pihak manajemen. Seperti yang diakui Rosan, potongan itu dibicarakan terlebih dahulu dengan seluruh karyawan. Pihak manajemen secara adil menanyakan kepada karyawannya apakah mereka setuju jika gajinya disisihkan 2,5 persen untuk kepentingan yayasan. “Mereka setuju gajinya disisihkan 2,5 persen untuk yayasan,” ujar Rosan. Dari potongan setiap karyawan itulah terkumpul dana yang cukup besar untuk membiayai kegiatan sosial yayasan yang berdiri sejak tahun 2000 ini. Tak hanya dari para karyawan, Rosan pun termasuk yang gajinya harus disisihkan sebesar 2,5 persen. “Tapi kalau saya pribadi, saya sisihkan minimal 10 persen untuk menyumbang,” aku Rosan.
Alhasil, pesantren telah berdiri tegak di daerah Pondok Gede. Sedangkan di Cijapati, Bandung, pembangunannya masih tetap berjalan. Itu semua berkat keikhlasan dan keinginan dari para karyawan Recapital yang dipimpin oleh Rosan.
Sebagai seorang pemimpin, Rosan memang terbilang sangat tegas dalam memimpin perusahaannya. Bersama dengan putra tokoh pendidikan Mien Uno, Sandiaga Uno dan salah satu temannya, Rosan mendirikan perusahaan yang diberi nama Recapital. Pria kelahiran 31 Desember 1968 ini memang sangat sukses memimpin perusahaan tersebut. Terbukti ketika beberapa waktu yang lalu, Recapital mampu memenangkan tender atas tambak uadang terbesar di dunia PT Dipasena di Lampung yang bernilai sangat besar (mencapai triliunan rupiah). Sejak kemenangan tender tersebut, Recapital mengalami perkembangan yang cukup berarti. Meskipun dilahirkan dari keluarga yang cukup berada, Rosan tidaklah melupakan lingkungan sekitarnya terutama masyarakat kurang mampu. Teman sebangku Sandiaga Uno ketika masih di SMU ini pada awalnya berkeinginan untuk menerapkan CSR (Corporate Social Responsibility) di perusahaannya. CSR tersebut diterapkannya melalui berbagai kegiatan sosial perusahaan. Meskipun begitu, kegiatan sosial Rosan berlanjut hingga sekarang dan menghasilkan dua pesantren di dua tempat yang berbeda.
Lahir dari Keluarga Berada. Rosan terlahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai dokter. dr Roeslani-nama ayahnya-adalah orang betawi asli. Sedangkan Siti Khasanah, ibunya berasal dari Ciamis. Keduanya mendidik Rosan dengan cukup tegas.
Dengan profesi sang ayah yang berprofesi sebagai dokter membuat kehidupan keluarganya cukup berada, sehingga Rosan bisa bersekolah ke luar negeri setelah lulus dari SMA Pangudi Luhur. Rosan yang meneruskan kuliah di Amerika dalam bidang ekonomi , kemudian melanjutkan masternya di Belgia. Setelah lulus kuliah di luar negeri, Rosan kembali ke Indonesia untuk berkarir. Selang beberapa lama kemudian, ia bertemu dengan teman sebangku ketika SMA, Sandiaga Uno. Bersama Sandi, Rosan mendirikan PT Recapital Investment Bank. Bersama Sandi pula, Rosan membuat Yayasan Amanah Recapital yang berada di bawah bendera Recapital.
Jiwa sosial yang dimilikinya juga akan ditularkan kepada sang anak yang kini baru berusia tiga tahun. Anak keduanya yang masih berada dalam kandungan isterinya, Ayu Heni, juga akan mendapatkan perlakuan yang serupa dengan kakaknya. Selain akan memberikan bimbingan kepada anak-anaknya kelak, Rosan berencana untuk mengembangkan perusahaan dan yayasan yang didirikannya agar mampu bermanfaat bagi banyak orang. Ia juga tengah memberesi beberapa proyek yang kini ditangani oleh Recapital. Khusus mengenai pesantren yang sedang dibangunnya di Bandung, Rosan berharap agar pembangunannya cepat tuntas dan dapat segera digunakan dengan baik oleh masyarakat sekitar. Fajar
Side Bar 1
Mencarikan Dua Guru Ngaji untuk Sang Istri yang Mualaf
Tak hanya aktif di yayasan dan perusahaan, Rosan juga aktif melakukan kegiatan keagamaan di rumah. Hal ini dilakukan karena istrinya seorang mualaf, sehingga masih membutuhkan perhatian dari Rosan. Tak heran, Rosan secara rutin mendatangkan guru ngaji untuk sang isteri. “Saya undang dua guru ngaji, buat mengajarkan isteri saya,” aku Rosan. Guru yang satu mengajarkan membaca Al-Quran, sedangkan yang satunya mengajarkan tentang ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan. Sedangkan Rosan sendiri lebih banyak mengajar mengenai penerapan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Rosan merasa beruntung mendapatkan istri seperti, Ayu Heni, karena isterinya tersebut sangat pengertian dengan kegiatan yang kini tengah dilakukannya, baik pekerjaan di kantor maupun kegiatan sosial di luar kantor.
Saat ini dalam keluarga Rosan masih tergolong keluarga yang kecil, karena Rosan baru memiliki satu anak perempuan yang masih berusia tiga tahun. Meskipun begitu, keluarga menjadi salah satu dorongan atau motivasi bagi Rosan untuk selalu semangat melakukan pekerjaan kantor ataupun sosial. “Anak saya tuh kalau saya mau berangkat kerja, pasti bilangnya ‘papa, see you tomorrow’,” tutur Rosan. Anaknya memang telah mengerti bahwa sang ayah sangat sibuk dengan pekerjaan di kantor, sehingga terpaksa selalu pulang di malam hari. Ketika Rosan pulang di malam hari, pastilah sang anak sudah tertidur pulas.
Untuk menghabiskan waktu dengan keluarga, biasanya Rosan bepergian ke Bali, yang juga merupakan daerah asal sang isteri. “Jadi kalau ke Bali, saya sekalian pulang kampung,” tuturnya sembari tertawa lebar. Selain itu, pergi umrah juga dijadikan Rosan sebagai salah satu alternatif berlibur sekaligus menunaikan perintah agama.
Kesibukan di kantor ternyata tidak membuat Rosan tidak memiliki waktu untuk keluarga. “Minimal saya sholat berjamaah dengan isteri saya sekali dalam satu hari, yakni subuh,” ujar Rosan. Kebiasaan itu telah dilakukannya setiap hari setelah menikah. Selain itu, menjelang bulan Ramadhan, biasanya Rosan beserta keluarga melakukan beberapa kegiatan sosial, di antaranya dengan mengundang anak-anak yatim piatu untuk berbuka puasa. Sedangkan di lingkungan kantor, Rosan juga sering mengadakan acara berbuka puasa bersama di Masjid yang terletak tidak jauh dari ruangan kantornya. “Biasanya buka puasa itu semua karyawan berkumpul di Masjid sini,” ujar Rosan sembari menunjuk ke arah masjid di dekat ruangan di kantornya. “Semua kantor di sini rata-rata sudah tahu, jadi biasanya mereka juga menyumbang makanan berbuka, jadi makanannya tambah banyak,” kenang Rosan. Untuk kegiatan keagamaan pribadi, Rosan selalu menjadwalkan untuk pergi umrah minimal sekali setiap tahun. “Tahun kemarin saja saya pergi umrah dua kali,” ujar Rosan. Fajar
Side Bar 2
Ajak Karyawan Kunjungi Pesantren Hasil Sumbangannya Tiap Bulan
Sebagai hasil sumbangan dari para karyawan, sudah sepantasnyalah para karyawan tersebut diperlihatkan hasil dari 2,5 persen yang telah mereka sisihkan tiap bulannya. Tak heran, Rosan selalu mengajak para karyawannya untuk mengunjungi pesantren di Pondok Gede dan Bandung. Hal ini dilakukan Rosan untuk menunjukkan bahwa 2,5 persen gaji yang telah disumbangkan, sudah menjadi bangunan yang mampu berguna bagi masyarakat luas. “Saya selalu mengajak karyawan-karyawan saya untuk mengunjungi pesantren setiap bulan,” tutur Rosan. “Jadi saya bisa menunjukkan kepada mereka, ini loh hasil sumbangan mereka,” lanjutnya penuh semangat.
Dengan begitu, semua dana yang telah disumbangkan oleh para karyawannya terbukti dengan jelas hasilnya. Selain itu, Rosan beserta manajemen yayasan juga selalu memberikan laporan keuangan yayasan sehingga karyawannya percaya bahwa dana yang telah mereka sumbangkan, digunakan dengan baik dan tepat. Sejauh ini, karyawan merasa bangga bahwa dana yang dapat terbilang cukup sedikit tersebut dapat menjadi bangunan yang berguna bagi masyarakat khususny bagi anak-anak kurang mampu untuk belajar. “Gaji yang kita potong itu, gaji gross-nya (kotor),” aku Rosan. Kini, bangunan pesantren di Pondok Gede telah berjalan dengan lancar. Sedangkan di Bandung, masih dalam proses pembangunan. “Kalau di Bandung, itu sudah selesai 50 persen,” ujar Rosan.
Selain sumbangan yang berasal dari gaji, Rosan juga menyarankan kepada karyawannya agar menyisihkan sebagian dana yang mereka miliki yang berasal dari bonus yang mereka dapat. “Saya bilang ke karyawan saya, ‘bedanya kalian bekerja di Recapital, di tempat lain kalian mendapatkan nafkah, tapi kalau di Recapital dapat nafkah plus pahala’,” tutur Rosan. Dengan begitu Rosan berharap dapat memotivasi karyawannya untuk semakin giat melakukan kegiatan sosial termasuk memberi sumbangan ke Yayasan Amanah Recapital dan membangun pesantren bagi anak-anak yang kurang mampu. Rosan pun berharap apa yang kini tengah dilakukannya mampu memberikan perubahan bagi masyrakat kurang mampu dan anak-anaknya sehingga anak-anak dapat bersekolah di pesantren dan mendapatkan ilmu sebagaimana anak-anak lainnya. Fajar
Direktur Utama PT Recapital Investment Bank
Sisihkan Minimal 10% dari Gaji untuk Bangun Masjid dan Pesantren
Sukses memimpin perusahaannya, ternyata tidak membuat Rosan melupakan nasib masyarakat yang kurang beruntung. Alasan itulah yang hingga kini membuat Rosan mendirikan Yayasan Amanah Recapital, sebuah yayasan yang menghimpun dana karyawan Recapital untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. Berkat Rosan pula, anak-anak kurang mampu dapat bersekolah kembali di pesantren yang telah dibangun.
Hati Rosan tersentuh ketika ia mampu makan segala macam makanan enak dan mahal sedangkan di sisi lain, ada lapisan masyarakat yang harus makan seadanya. “Saya nggak tega,” kenang Rosan. Selain itu, Rosan juga sedih ketika melihat keadaan dimana anak-anak tidak mampu untuk bersekolah karena ketiadaan biaya. Bahkan di salah satu tempat di Pondok Gede, anak-anak harus belajar dan tidur di satu tempat yang sama. Semenjak itulah, Rosan memutuskan untuk mendirikan Yayasan Amanah Recapital yang masih berada di bawah perusahaan miliknya. Sebagai pendiri sekaligus pelopor yayasan, Rosan memang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam mengembangkan yayasan untuk membantu antara sesama. Tetapi, ia akhirnya mampu mengembangkan yayasan dan menghimpun dana demi membangun kesadaran dari para karyawannya untuk menyisihkan sebagian dari pendapatannya di perusahaan dan mengamalkannya kepada target masyarakat yang tepat.
Melalui yayasan itulah, Rosan menyalurkan jiwa sosialnya. Dengan hadirnya Yayasan Amanah Recapital, segala macam bentuk bantuan sosial bagi masyarakat kurang mampu dapat dikoordinir dengan baik. Langkah awal sosial Rosan dimulai pada saat ia dengan yayasan yang dibentuknya tersebut mendirikan pesantren di daerah Pondok Gede, Jakarta. “Waktu itu, saya hampir nggak percaya di Jakarta ada tempat dimana banyak orang yang kurang mampu,” ujar Rosan. Setelah melihat kondisi tersebut, Rosan tidak hanya berdiam diri saja. Ia beserta rekan-rekannya di Yayasan Amanah Recapital langsung bergerak dan berusaha memikirkan langkah-langkah untuk membantu masyarakat di daerah Pondok Gede tersebut. Terlebih lagi, anak-anak yang tinggal di tempat itu banyak yang harus meninggalkan bangku sekolahnya dikarenakan ketiadaan biaya untuk membayar iuran sekolah.
Bangun Pesantren di Pondok Gede. Akhirnya, Rosan pun memutuskan untuk membangun pesantren di daerah Pondok Gede untuk membantu anak-anak yang ingin bersekolah kembali. Para siswa yang sebagian besar kurang mampu, dibebaskan dari biaya. Ratusan siswa ditampung di pesantren tersebut. Masyarakat sekitar pun merasa terbantu dengan keberadaan tempat menimba ilmu yang didirikan oleh pria yang sudah menunaikan haji ini. Tak sampai di situ, Rosan pun kembali mendirikan pesantren beserta asrama dan Masjid di Bandung, tepatnya di daerah Cijapati. Di daerah tersebut, ia membangun pesantren yang cukup besar dan mampu menampung 140 siswa. Di tempat itu pula, berdiri masjid yang megah dan berada di lingkungan pesantren. “Sekarang pembangunannya sudah berlangsung 1,5 tahun,” aku Rosan. “Mudah-mudahan cepat selelsai lah,” harap Rosan.
Kenapa di Bandung? Kota Bandung sendiri dipilih Rosan karena seringnya ia bepergian ke daerah Bandung. Saat itu, ia memiliki banyak kegiatan di Bandung. Dikarenakan yayasannya ingin mengembangkan kegiatan di daerah lain selain Pondok Gede, Jakarta, maka ia memutuskan untuk menerapkan jiwa sosialnya di daerah bandung. “Daerah Cijapati juga merupakan daerah yang cocok untuk dibangun pesantren,” ujar Rosan. Tak ayal, Rosan pun memutuskan untuk membangun pesantren yang hingga kini belum diputuskan nama yang akan dipasang pada pesantren tersebut. Pembangunan pesantrennya sendiri hingga kini masih belum selesai. Hanya masjid saja yang sudah selesai pembangunannya. Tanpa menyebutkan angka, pembangunan pesantren beserta Masjid dan asramanya cukup menyedot biaya yang sangat besar. Tak ayal, pembangunannya pun belum rampung. “Siswa-siwanya sudah belajar sih,” aku Rosan sembari memperlihatkan rancangan pesantren yang sedang dibangunnya. Jika dilihat dari rancangan miniatur, lingkungan pesantren memang terbilang cukup luas. Di sisi depan, terlihat Masjid yang berdiri tegap menyambut kedatangan para siswa atau masyarakat yang sekadar ingin melihat-lihat. Sedangkan di belakang bangunan Masjid, berdiri kokoh bangunan yang dijadikan sebagai tempat belajar para siswa. Bangunan itu cukup besar dan mampu menampung ratusan siswa. Di seberangnya ada dua bangunan yang hampir berdekatan yang ternyata merupakan bangunan asrama bagi laki-laki dan perempuan secara terpisah.
Di sekeliling bangunan pesantren tersebut, tidak lupa Rosan membangun taman yang terlihat mempermanis lingkungan pesantren. Rupanya Rosan telah membuat rencana pembangunan pesantren tersebut dengan sangat matang. Tak heran, di kantornya di bilangan Semanggi, terpampang gambar-gambar dan rancangan miniatur dari pesantren yang sedang dibangunnya itu. Pembanguan pesantren di Bandung memang merupakan salah satu target yang secepatnya ingin dicapai oleh Rosan. Pesantren di Pondok Gede dan Bandung merupakan bukti dari jiwa sosial yang berasal dari pribadi Rosan sendiri dan karyawan Recapital keseluruhan.
Potong 2,5% Gaji Karyawan. Jangan kaget jika seluruh pengeluaran untuk membangun pesantren baik di Pondok gede maupun di Cijapati berasal dari internal perusahaan. “Semua biaya itu berasal dari karyawan kita (Recapital-red),” aku Rosan. Semenjak Yayasan Amanah Recapital berdiri, seluruh gaji karyawan disisihkan sebagian untuk disumbangkan ke dalam yayasan. “Kita potong dari gaji karyawan sebesar 2,5 persen,” aku pria yang lahir di Jakarta ini. Akan tetapi, potongan itu bukanlah potongan wajib yang secara tiba-tiba diharuskan oleh pihak manajemen. Seperti yang diakui Rosan, potongan itu dibicarakan terlebih dahulu dengan seluruh karyawan. Pihak manajemen secara adil menanyakan kepada karyawannya apakah mereka setuju jika gajinya disisihkan 2,5 persen untuk kepentingan yayasan. “Mereka setuju gajinya disisihkan 2,5 persen untuk yayasan,” ujar Rosan. Dari potongan setiap karyawan itulah terkumpul dana yang cukup besar untuk membiayai kegiatan sosial yayasan yang berdiri sejak tahun 2000 ini. Tak hanya dari para karyawan, Rosan pun termasuk yang gajinya harus disisihkan sebesar 2,5 persen. “Tapi kalau saya pribadi, saya sisihkan minimal 10 persen untuk menyumbang,” aku Rosan.
Alhasil, pesantren telah berdiri tegak di daerah Pondok Gede. Sedangkan di Cijapati, Bandung, pembangunannya masih tetap berjalan. Itu semua berkat keikhlasan dan keinginan dari para karyawan Recapital yang dipimpin oleh Rosan.
Sebagai seorang pemimpin, Rosan memang terbilang sangat tegas dalam memimpin perusahaannya. Bersama dengan putra tokoh pendidikan Mien Uno, Sandiaga Uno dan salah satu temannya, Rosan mendirikan perusahaan yang diberi nama Recapital. Pria kelahiran 31 Desember 1968 ini memang sangat sukses memimpin perusahaan tersebut. Terbukti ketika beberapa waktu yang lalu, Recapital mampu memenangkan tender atas tambak uadang terbesar di dunia PT Dipasena di Lampung yang bernilai sangat besar (mencapai triliunan rupiah). Sejak kemenangan tender tersebut, Recapital mengalami perkembangan yang cukup berarti. Meskipun dilahirkan dari keluarga yang cukup berada, Rosan tidaklah melupakan lingkungan sekitarnya terutama masyarakat kurang mampu. Teman sebangku Sandiaga Uno ketika masih di SMU ini pada awalnya berkeinginan untuk menerapkan CSR (Corporate Social Responsibility) di perusahaannya. CSR tersebut diterapkannya melalui berbagai kegiatan sosial perusahaan. Meskipun begitu, kegiatan sosial Rosan berlanjut hingga sekarang dan menghasilkan dua pesantren di dua tempat yang berbeda.
Lahir dari Keluarga Berada. Rosan terlahir dari seorang ayah yang berprofesi sebagai dokter. dr Roeslani-nama ayahnya-adalah orang betawi asli. Sedangkan Siti Khasanah, ibunya berasal dari Ciamis. Keduanya mendidik Rosan dengan cukup tegas.
Dengan profesi sang ayah yang berprofesi sebagai dokter membuat kehidupan keluarganya cukup berada, sehingga Rosan bisa bersekolah ke luar negeri setelah lulus dari SMA Pangudi Luhur. Rosan yang meneruskan kuliah di Amerika dalam bidang ekonomi , kemudian melanjutkan masternya di Belgia. Setelah lulus kuliah di luar negeri, Rosan kembali ke Indonesia untuk berkarir. Selang beberapa lama kemudian, ia bertemu dengan teman sebangku ketika SMA, Sandiaga Uno. Bersama Sandi, Rosan mendirikan PT Recapital Investment Bank. Bersama Sandi pula, Rosan membuat Yayasan Amanah Recapital yang berada di bawah bendera Recapital.
Jiwa sosial yang dimilikinya juga akan ditularkan kepada sang anak yang kini baru berusia tiga tahun. Anak keduanya yang masih berada dalam kandungan isterinya, Ayu Heni, juga akan mendapatkan perlakuan yang serupa dengan kakaknya. Selain akan memberikan bimbingan kepada anak-anaknya kelak, Rosan berencana untuk mengembangkan perusahaan dan yayasan yang didirikannya agar mampu bermanfaat bagi banyak orang. Ia juga tengah memberesi beberapa proyek yang kini ditangani oleh Recapital. Khusus mengenai pesantren yang sedang dibangunnya di Bandung, Rosan berharap agar pembangunannya cepat tuntas dan dapat segera digunakan dengan baik oleh masyarakat sekitar. Fajar
Side Bar 1
Mencarikan Dua Guru Ngaji untuk Sang Istri yang Mualaf
Tak hanya aktif di yayasan dan perusahaan, Rosan juga aktif melakukan kegiatan keagamaan di rumah. Hal ini dilakukan karena istrinya seorang mualaf, sehingga masih membutuhkan perhatian dari Rosan. Tak heran, Rosan secara rutin mendatangkan guru ngaji untuk sang isteri. “Saya undang dua guru ngaji, buat mengajarkan isteri saya,” aku Rosan. Guru yang satu mengajarkan membaca Al-Quran, sedangkan yang satunya mengajarkan tentang ajaran-ajaran Islam secara keseluruhan. Sedangkan Rosan sendiri lebih banyak mengajar mengenai penerapan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Rosan merasa beruntung mendapatkan istri seperti, Ayu Heni, karena isterinya tersebut sangat pengertian dengan kegiatan yang kini tengah dilakukannya, baik pekerjaan di kantor maupun kegiatan sosial di luar kantor.
Saat ini dalam keluarga Rosan masih tergolong keluarga yang kecil, karena Rosan baru memiliki satu anak perempuan yang masih berusia tiga tahun. Meskipun begitu, keluarga menjadi salah satu dorongan atau motivasi bagi Rosan untuk selalu semangat melakukan pekerjaan kantor ataupun sosial. “Anak saya tuh kalau saya mau berangkat kerja, pasti bilangnya ‘papa, see you tomorrow’,” tutur Rosan. Anaknya memang telah mengerti bahwa sang ayah sangat sibuk dengan pekerjaan di kantor, sehingga terpaksa selalu pulang di malam hari. Ketika Rosan pulang di malam hari, pastilah sang anak sudah tertidur pulas.
Untuk menghabiskan waktu dengan keluarga, biasanya Rosan bepergian ke Bali, yang juga merupakan daerah asal sang isteri. “Jadi kalau ke Bali, saya sekalian pulang kampung,” tuturnya sembari tertawa lebar. Selain itu, pergi umrah juga dijadikan Rosan sebagai salah satu alternatif berlibur sekaligus menunaikan perintah agama.
Kesibukan di kantor ternyata tidak membuat Rosan tidak memiliki waktu untuk keluarga. “Minimal saya sholat berjamaah dengan isteri saya sekali dalam satu hari, yakni subuh,” ujar Rosan. Kebiasaan itu telah dilakukannya setiap hari setelah menikah. Selain itu, menjelang bulan Ramadhan, biasanya Rosan beserta keluarga melakukan beberapa kegiatan sosial, di antaranya dengan mengundang anak-anak yatim piatu untuk berbuka puasa. Sedangkan di lingkungan kantor, Rosan juga sering mengadakan acara berbuka puasa bersama di Masjid yang terletak tidak jauh dari ruangan kantornya. “Biasanya buka puasa itu semua karyawan berkumpul di Masjid sini,” ujar Rosan sembari menunjuk ke arah masjid di dekat ruangan di kantornya. “Semua kantor di sini rata-rata sudah tahu, jadi biasanya mereka juga menyumbang makanan berbuka, jadi makanannya tambah banyak,” kenang Rosan. Untuk kegiatan keagamaan pribadi, Rosan selalu menjadwalkan untuk pergi umrah minimal sekali setiap tahun. “Tahun kemarin saja saya pergi umrah dua kali,” ujar Rosan. Fajar
Side Bar 2
Ajak Karyawan Kunjungi Pesantren Hasil Sumbangannya Tiap Bulan
Sebagai hasil sumbangan dari para karyawan, sudah sepantasnyalah para karyawan tersebut diperlihatkan hasil dari 2,5 persen yang telah mereka sisihkan tiap bulannya. Tak heran, Rosan selalu mengajak para karyawannya untuk mengunjungi pesantren di Pondok Gede dan Bandung. Hal ini dilakukan Rosan untuk menunjukkan bahwa 2,5 persen gaji yang telah disumbangkan, sudah menjadi bangunan yang mampu berguna bagi masyarakat luas. “Saya selalu mengajak karyawan-karyawan saya untuk mengunjungi pesantren setiap bulan,” tutur Rosan. “Jadi saya bisa menunjukkan kepada mereka, ini loh hasil sumbangan mereka,” lanjutnya penuh semangat.
Dengan begitu, semua dana yang telah disumbangkan oleh para karyawannya terbukti dengan jelas hasilnya. Selain itu, Rosan beserta manajemen yayasan juga selalu memberikan laporan keuangan yayasan sehingga karyawannya percaya bahwa dana yang telah mereka sumbangkan, digunakan dengan baik dan tepat. Sejauh ini, karyawan merasa bangga bahwa dana yang dapat terbilang cukup sedikit tersebut dapat menjadi bangunan yang berguna bagi masyarakat khususny bagi anak-anak kurang mampu untuk belajar. “Gaji yang kita potong itu, gaji gross-nya (kotor),” aku Rosan. Kini, bangunan pesantren di Pondok Gede telah berjalan dengan lancar. Sedangkan di Bandung, masih dalam proses pembangunan. “Kalau di Bandung, itu sudah selesai 50 persen,” ujar Rosan.
Selain sumbangan yang berasal dari gaji, Rosan juga menyarankan kepada karyawannya agar menyisihkan sebagian dana yang mereka miliki yang berasal dari bonus yang mereka dapat. “Saya bilang ke karyawan saya, ‘bedanya kalian bekerja di Recapital, di tempat lain kalian mendapatkan nafkah, tapi kalau di Recapital dapat nafkah plus pahala’,” tutur Rosan. Dengan begitu Rosan berharap dapat memotivasi karyawannya untuk semakin giat melakukan kegiatan sosial termasuk memberi sumbangan ke Yayasan Amanah Recapital dan membangun pesantren bagi anak-anak yang kurang mampu. Rosan pun berharap apa yang kini tengah dilakukannya mampu memberikan perubahan bagi masyrakat kurang mampu dan anak-anaknya sehingga anak-anak dapat bersekolah di pesantren dan mendapatkan ilmu sebagaimana anak-anak lainnya. Fajar
Ibu Kembar, Sri Rossyati dan Sri Irianingsih
Rela Tinggalkan Kemewahan demi Sekolah Anak Jalanan
Dibesarkan dari keluarga yang berkecukupan tidak membuat Sri Rossyati dan Sri Irianingsih merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan. Mereka justru menghabiskan sisa usianya dengan mengajar di Sekolah Darurat Kartini, sekolah gratis bagi anak-anak jalanan dan anak dari keluarga tidak mampu. Kini, 16 tahun sudah Rossy dan Rian, panggilan akrabnya kedua ibu guru kembar ini mengelola Sekolah Darurat Kartini. Hingga saat ini, sudah banyak lulusan yang telah meraih sukses dan bekerja di berbagai bidang. Mengapa mereka begitu peduli dengan nasib anak jalanan? Apakah ada pengalaman istimewa yang mengilhami mereka untuk terjun langsung mendidik anak-anak jalanan dan anak dari keluarga kurang mampu?
Di bawah jembatan itu, terlihat kerumunan anak di depan salah sebuah bangunan darurat. Bangunan tersebut tampak kumuh di antara gubuk-gubuk yang memang banyak berdiri di sepanjang pinggir jalan Lodan Raya itu. Tepat di bawah jembatan layang Pluit, banyak bangunan darurat berdiri. Seakan-akan bangunan tersebut ingin berlindung di bawah jembatan beton itu. Gubuk-gubuk itu adalah tempat tinggal sejumlah warga Jakarta. Maklum, mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk mengontrak rumah. Apalagi untuk membeli rumah.
Dengan pendapatan yang tidak seberapa, sebagian besar warga di bawah jembatan layang tersebut harus mampu bertahan hidup di Kota Jakarta yang semakin hari semakin kejam ini. Tak pelak, Jakarta semakin menyingkirkan warga yang tidak mampu membeli ataupun menyewa rumah yang layak. Hal itu menyebabkan sebagian warga Kota Jakarta mendirikan rumah-rumah di sepanjang pinggir kali dan bahkan di bawah kolong jembatan. Salah satu daerah di Jakarta yang menjadi tempat pemukiman bagi warga kurang mampu tersebut adalah di Jakarta Utara, tepatnya di jalan Lodan Raya. Di kolong jembatan layang itulah, warga mendirikan rumah-rumah tak layak huni.
Hampir semua rumah yang berada di kolong jembatan layang itu hanya berdinding papan tripleks dan beratapkan seng. Sebagian besar warga berprofesi sebagai pemulung, tukang ojek, bahkan beberapa di antaranya berprofesim sebagai pekerja seks komersial. Dengan pendapatan yang termasuk di bawah garis kemiskinan, mereka memang harus memenuhi kebutuhan yang paling mendasar. Ironisnya kebutuhan mendasar itupun tidak dapat terpenuhi, termasuk di dalam kebutuhan untuk menyekolahkan anak.
Biaya sekolah yang melambung tinggi tak akan mungkin dapat dipenuhi oleh warga Lodan Raya tersebut. Akibatnya, anak-anak yang lahir dari keluarga itu tidak akan pernah merasakan bangku sekolah. Tapi, harapan anak-anak itu ternyata tidak sepenuhnya sirna. Setitik harapan untuk dapat bersekolah kembali muncul ketika dua ibu yang wajahnya mirip alias kembar, datang ke daerah tersebut.
Awalnya, hanya salah seoarang dari wanita kembar itu, yaitu Sri Rossyati yang mengelola Sekolah Darurat Kartini. Kala itu, ia memiliki tekad untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak kurang mampu. “Kita ingin anak-anak kurang mampu itu memiliki skill untuk bekerja. Makanya di sini kita ajarkan menanam, memasak, dengan harapan mereka dapat bekerja setelah lulus dari sini,” ujar puteri dari Hadi Suharno & RA Suminah ini. Tak heran jika banyak lulusan Sekolah Darurat Kartini yang menjadi karyawan di salah satu supermarket besar di Jakarta.
Hal senada juga diungkapkan oleh sang adik, Irianingsih, yang juga memiliki misi yang sama dalam mendirikan Sekolah Darurat Kartini. “Kita ingin sekali mencerdaskan anak bangsa. Bukan hanya sisi akademis, tetapi juga berbudi luhur,” ujar Irianingsih. Wanita yang lebih muda 5 menit dibandingkan Rossy-panggilan akrab Rossyati-ini. “Walaupun dia bersekolah di kolong jembatan, tapi dia berakhlak,” harap ibu dua anak kelahiran Yogyakarta, 4 Februari 1950 ini.
Irianingsih bergabung dengan Sekolah Darurat Kartini setelah diajak oleh sudara kembarnya, Rossy. Meskipun begitu, Irianingsih juga telah lama berkecimpung di dalam kegiatan-kegiatan sosial. Bahkan sejak tahun 1972, Irianingsih telah mengajar aksara di daerah pedalaman, tepatnya di daerah Lombok. Di tempat itulah, ia mengajarkan membaca dan menulis bagi warga desa yang belum mengenal huruf.
Sanggar Kartini. Ternyata tak hanya mirip pada wajah, kemiripan sifat juga terlihat dari tindakan yang mereka lakukan. Jika Rianingsih mengajar di daerah Lombok, maka Rossy mengaku pernah mengajar di daerah Kalimantan. Awal mula Rossy sering melakukan kegiatan sosial khususnya terhadap warga yang kurang mampu.
Kegiatan ini dimulai setelah Rossy menikah dengan seorang dokter. Sebagai seorang istri yang ‘manut’ terhadap suami, Rossy pun ikut bersama sang suami untuk dinas di daerah pedalaman. Kesempatan itu dipakai Rossy untuk melakukan kegiatan sosial dengan cara mengajar menulis dan membaca kepada warga yang masih buta huruf. Rossy mengaku sudah menemukan dunianya setelah terlibat langsung mengajari orang yang kurang mampu.
Hingga kini, Rossy tetap konsisten untuk selalu membantu warga yang kurang mampu. Pada tahun 1990, Rossy beserta rekan-rekan dan kenalannya memutuskan untuk mendirikan tempat belajar bagi anak-anak yang kurang mampu. Kala itu, mereka menyebut tempat belajar tersebut dengan sebutan Sanggar Kartini. Ada alasan tersendiri bagi mereka yang akrab dipanggil Ibu Kembar ini dalam memilih nama Kartini. “Kartini itu kan nama tokoh perempuan yang mampu mencerdaskan bangsa tanpa pamrih,” ujar Irianingsih.
Sanggar Kartini kemudian berganti nama menjadi Sekolah Darurat Kartini setelah beberapa perubahan yang dilakukan oleh kedua ibu kembar ini. Tempat belajar yang sebelumnya hanya sebagai sanggar, mulai tahun 1996 diubah menjadi sekolah seperti halnya sekolah-sekolah lainnya yang telah berdiri. Nama Kartini tetap dipertahankan, karena pada dasarnya mereka ingin menjadi seperti Kartini yang telah melakukan banyak hal positif di dunia pendidikan. Yang lebih mulia lagi, Rossyati dan Irianingsih tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun baik dari warga maupun dari pemerintah. Jika hingga kini mereka sering mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai pihak, hal tersebut bukan tujuan yang ingin mereka capai. Yang terpenting bagi Rossyati dan Irianingsih adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu atau anak jalanan dapat merasakan manisnya duduk di bangku sekolah dan mendapatkan ilmu-ilmu yang nantinya bermanfaat bagi masa depan mereka.
Guru Berkualitas. Sebagaimana halnya di sekolah-sekolah umum lainnya, siswa yang bersekolah di Sekolah Darurat Kartini mendapatkan pelajaran yang sama. Di akhir tahun, para siswanya pun harus mengikuti ujian yang soal-soalnya berasal dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sehingga para siswanya tidak perlu khawatir dengan kualitas pendidikan yang diberikan di Sekolah Darurat Kartini. “Para pengajarnya lulusan S1 dari masing-masing jurusan,” aku Rossyati.
Jumlah guru yang mengajar di Sekolah Darurat Kartini berjumlah 16 orang. Masing-masing guru mengajarkan satu mata pelajaran. Biasanya, mereka mengajar di tingkat SMP, dan SMU. Sedangkan sisanya, yakni TK, dan SD diajar oleh Rossyati dan Irianingsih. Tak pelak, Rossyati dan Iraningsih harus datang ke sekolah setiap hari. Hari-hari saat usia menjelang senja, mereka habiskan untuk mengabdi pada dunia pendidikan khususnya bagi anak jalanan dan anak dari keluarga kurang mampu.
Sekolah Gratis. Sekolah darurat Kartini sendiri membebaskan segala biaya bagi siwanya. Bahkan mereka mendapatkan segala fasilitas untuk belajar. Seperti tas, seragam sekolah, buku-buku baik buku tulis maupun buku pelajaran. Dan semua biaya itu ditanggung oleh “Ibu Kembar”, sehingga tak ada sepeser pun yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu. Kebutuhan lainnya seperti perlengkapan untuk kegiatan memasak, berkebun, dan perbengkelan, telah dipenuhi oleh Ibu Kembar. Sehingga sebagian besar warga kurang mampu yang tinggal di sekitar jalan Lodan Raya merasa terbantu dengan kehadiran Rossyati dan Rianingsih.
Secara rutin, Sekolah Darurat Kartini selalu memberikan sumbangan, berupa sembilan bahan pokok bagi seluruh keluarga kurang mampu. Tak heran, ketika Realita berkunjung ke sekolah Kartini, Rossyati dan Irianingsih tengah membagi-bagikan bungkusan yang berisikan beberapa macam bahan pokok. “Kalau itu sih sumbangan dari teman saya, lalu dibagi-bagikan,” aku Rossyati.
Meski begitu, sumbangan selalu akan diberikan kepada mereka secara rutin. Biasanya, seminggu sekali Ibu Kembar memberikan bingkisan berupa bahan-bahan pokok bagi orang tua siswa. Meskipun nilainya kecil, sumbangan tersebut sangat berarti bagi warga kurang mampu di bawah Jembatan Pluit. Karena dengan pendapatan rata-rata sekitar Rp. 10.000 sehari, mereka tentu hidup serba kekurangan.
Sedangkan untuk siswa, mereka biasanya mengadakan kegiatan masak-memasak seminggu sekali. Hari Sabtu dipilih oleh Ibu Kembar untuk dijadikan sebagai hari masak-memasak di samping kegiatan belajar mengajar. Realita pun sempat melihat sendiri bagaimana siswa-siswa tersebut antre ketika akan mengambil makanan yang telah mereka masak. Sebuah senyum mengembang dari setiap siswa yang hendak mengambil makanan.
Irianingsih pun dengan cekatan mengambil piring yang kemudian diisi dengan nasi beserta lauknya. Terlihat sederhana memang, tapi rona bahagia terpancarkan dari wajah siswa yang mendapatkan makanan. Dapat merasakan duduk di bangku sekolahan saja telah mampu mendorong semangat dari anak-anak yang kurang beruntung itu untuk menggapai masa depannya.
Sabtu (27/8) siang itu terasa tidak sepanas biasanya. Suara canda terdengar bergema di bawah Jembatan Layang Pluit. Meskipun berisik, dorongan mereka untuk belajar dan menimba ilmu tetap berkobar. Ternyata semangat Kartini tidak pernah mati, meskipun RA Kartini telah wafat berartus-ratus tahun lalu. Jiwa-jiwa Kartini telah hadir pada sosok Sri Rossyati dan Sri Irianingsih. Sekolah Darurat Kartini adalah wujudannya. Fajar
Sri Rossyati Si Noni yang Pernah Bercita-cita Menjadi Guru
Awalnya, kehidupan yang serba berkecukupan dicemaskan akan membuat Rossy akan tumbuh menjadi anak manja. Maklum, ayahnya yang jebolan ITB saat itu bekerja sebagai pejabat di PJKA. Meski ayahnya memiliki posisi penting di PJKA, tidak mendorong Rossy mengikuti jejak ayahnya untuk bekerja di tempat sama. Rupanya, ia lebih tertarik pada pekerjaan sampingan sang ayah yang senantiasa mengajar anak-anak kurang mampu dan anak-anak jalanan.
Karena sudah terbiasa mengajar anak kurang mampu dan anak jalanan bersama ayahnya, Rossy yang hidup berkecukupan tumbuh menjadi anak yang kuat dalam karakter dan tidak manja. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak mau mengandalakan kekayaan orang tua. Bahkan apa yang menjadi kekayaan keluarga sering digunakan untuk membantu sesama yang membutuhkan.
Sejak usianya masih muda, ia telah terbiasa melakukan kegiatan sosial. Kegiatannya pun bertambah setelah ia menikah. Ia sempat mengajar aksara di daerah pedalaman Kalimantan pada saat mengikuti perjalanan dinas sang suami yang berprofesi sebagai dokter. Wanita yang biasa dipanggil Noni ini memang memiliki cita-cita ingin menjadi guru sejak kecil. Itu sebabnya, Rossy memilih masuk IKIP Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Bahasa Indonesia. “Saya bercita-cita menjadi guru sejak kecil,” ujar Rossyati. “Guru itu hebat bisa mendidik semua orang, bisa ngomong di depan orang banyak,” tuturnya.
Tak heran bila Rossy sangat senang ketika mengajar di depan kelas. Di Sekolah Darurat Kartini, Rossy mengajar anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Bermodalkan kecintaannya terhadap dunia pendidikan, ia terlihat tegas dalam memberikan ilmu kepada para siswanya. Tak hanya itu, Rossy juga memiliki banyak pengetahuan mengenai dunia keterampilan. Diakuinya, pengetahuan tersebut didapatnya dari sang ibu yang pernah menjadi guru kepandaian pada zaman Belanda dulu. “Dari ibu, saya bisa mengerti dan menguasai berbagai jenis keterampilan,” kenang Rossy.
Keterlibatannya di sekolah ini memang murni dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak kurang mampu dalam menimba ilmu. “Saya nggak mengejar popularitas,” aku Rossy. Bahkan, ia rela merogoh koceknya setiap bulan untuk membiayai sekolah ini. Dana untuk membiayai Sekolah Darurat Kartini diambil dari bunga deposito yang telah mereka tanamkan di bank. Selain itu, Ibu Kembar juga menerima sumbangan dari para donatur luar. Yani Panigoro, adik kandung Hilmi Panigoro adalah salah satu donator yang sering menyumbang.
Yani sering menyumbang berbagai perlengkapan belajar. Mulai dari buku sampai alat tulis. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai Sekolah Darurat Kartini sekitar Rp 20-25 juta, per bulan. Semuanya berasal dari bunga deposito. Biaya yang dikleuarkan oleh Ibu Kembar memang tidaklah sia-sia. Karena lulusan Sekolah Darurat Kartini banyak mendapat pekerjaan yang cukup baik. Presentase kelulusan sekolah juga cukup baik. “Tahun kemarin persentase kelulusan 70 persen, padahal biasanya 100 persen,” aku ibu dari dr. Mira, Ir. Hendro, dr. Santi, Ir. Irvan ini.
Kini, kegiatan Ibu Kembar hanya tercurah pada Sekolah Darurat Kartini. Perusahaan-perusahaan yang dulu pernah mereka miliki, kini sudah tidak ada lagi. Rumah Sakit Astuti di Pemalang yang tadinya milik Rossy, kini sudah diserahkan kepada anaknya, dr Mira untuk mengelolahnya.
Meski tidak ingin mengejar popularitas, kegiatan positif yang dilakukannya sempat mengundang sejumlah tokoh Parpol untuk mengajaknya bergabung. “Saya sempat diajak menjadi anggota DPR, tapi saya nggak pengin menjadi anggota DPR.” Ia berencana mengembangkan sekoah ini. Ia juga berencana memperbaiki bangunan sekolah menjadi lebih permanen. Dengan begitu, siswa-siswa dapat belajar dengan lebih nyaman.
“Saya berharap pemerintah mencontoh sekolah kita dan membuat sekolah kayak ini, supaya anak-anak bangsa yang miskin bisa mengenyam pendidikan,” ujarnya istri dr. Admira Marzuki, Spog yang kini bekerja di RS Hermina, RSPAD Gatot Subroto, dan beberapa rumah sakit lainnya ini. Fajar
Sri Irianingsih Berharap Ada Orang yang Meneruskannya
Tidak jauh berbeda dengan Rossy, Rian (panggilan akrab Sri Irianingsih,red) juga memiliki motivasi positif dalam membangun Sekolah Darurat Kartini. Dalam mengajar, Rian lebih menitikberatkan pada aspek akhlak siswa. “Di sini menu pendidikannya, 60 persen pengetahuan akademis dan 40 persen berlajar keterampilan,” ujar Rian. Sehingga dalam pengajarannya, siswa tidak melulu dibekali dengan ilmu-ilmu eksakta, tetapi juga akhlak yang baik ditanamkan pada setiap pribadi siswa. Karena Rian percaya, seseorang yang memiliki akhlak baik sudah pasti akan diterima masyarakat.
Berbeda dengan Rossy yang memiliki suami dokter, Rian memiliki suami tentara (TNI AL). “Pangkat terakhirnya Laksamana Pertama,” aku Rian. Sayangnya, suaminya telah pergi untuk selamanya. Tapi, hal itu tidak membuat semangat Rian mati. Sebaliknya, ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada pendidikan anak-anak kurang mampu.
Rian lulus dari Universitas Airlangga jurusan Psikologi. Rian tadinya memiliki perusahaan property. Namun perusahaan yang diberi nama sama dengan namanya itu telah ditutup sejak tahun 1995 lalu. Awal mula Rian mendirikan perusahaan property terjadi ketika ia mengikuti program yang diadakan Universitas Brawijaya, Malang. Pada program tersebut, Rian sering berkunjung ke desa-desa untuk melakukan penyuluhan mengenai berbagai hal. Ia kemudian memutuskan untuk mendirikan perusahaan property yang biasa membangun ruko di daerah-daerah.
Untungnya, kegiatan sosial Ibu Kembar sangat didukung oleh keluarga. “Mereka bersyukur kita masih bisa melakukan pekerjaan yang penuh arti di usia senja seperti ini,” ujar Rian. Tak hanya sukses menyenangkan orang lain khususnya warga kurang mampu, Ibu Kembar juga sukses mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Rian memiliki dua anak. salah satu anaknya, Ir Yuli, bekerja di Departemen Pendidikan, sedangkan anak laki-lakinya Edwin, SE, bekerja di Surabaya. “Alhamdulillah mereka sudah bisa mandiri,” ujar ibu dari Ir. Yuli dan Edwin, SE.
Walaupun sudah memiliki keluarga sendiri, dua wanita kembar ini tetap tak bisa terpisahkan. Ada satu pengelaman menarik yang dialami Rossy dan Rian sebagai orang kembar. “Waktu saya sedang nonton film, ternyata Rossy juga nonton film yang sama di rumahnya,” aku Rian. Selain itu, jika salah satu dari mereka sakit, maka yang satunya pasti akan merasakannya juga. “Waktu itu saya nggak bisa tidur, setelah saya telepon, ternyata dia sakit dan nggak bisa tidur,” ujar istri Laksamana Pertama (alm) Faisal ini.
Untuk menjaga misi yang diemban oleh Sekolah Darurat kartini, Rian bersama Rossy sengaja tidak membentuk yayasan. Alasannya, jika sekolahnya itu memiliki yayasan, kemungkinan akan terjadi pergeseran visi dan misi. Sehingga kepentingan anak-anak kurang mampu terlupakan. Karena itu, Rian berharap jika ia dan Rossy sudah tiada, ada pihak yang meneruskan Sekolah Darurat Kartini. “Semoga ada yang bisa meneruskannya,” harap wanita yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai guru teladan ini.
Rian juga pernah mengajar di daerah pedalaman. Ia mengajarkan membaca dan menulis bagi warga di daerah Lombok. Kala itu, Rian mengikuti suami yang berdinas di Lombok. Kepeduliannya tumbuh ketika ia melihat banyak penduduk miskin yang minim pendidikan. Fajar
Side Bar 3
Aan (Mueid Sekolah Darurat Kartini)
“Ibu kembar orangnya baik sekali ”
Aan, salah seorang siswa Sekolah Darurat Kartini tak bisa menyembunyikan kebahagianya karena bisa sekolah. Aan tampak menikmati suasana belajar di Sekolah Darurat Kartini. Meskipun luasnya hanya sekitar 40 meter persegi, anak-anak yang sekolah di kolong jembatan tersebut terlihat tidak merasa terganggu jika harus berdesak-desakkan di dalam ruangan. Tak terkecuali Aan. Bahkan ia menikmati pelajaran yang sedang diajarkan oleh Rian.
Sabtu pagi itu memang waktunya Rian mengajar di kelas Aan. Di ruangan yang hanya berukuran 5 x 3 meter itu, Aan harus berbagi tempat bersama belasan siswa lainnya. Buku yang tengah dibacanya merupakan pemberian dari Ibu Kembar. Semua siswa juga mendapatkannya. Ketika jam istirahat tiba, Aan bersama teman-temannya keluar kelas dan bermain di luar ruangan kelas. Sebenarnya ruangan yang berada di luar kelas Aan merupakan ruang kelas bagi anak TK dan SD. Ruangan menjadi kosong karena anak SD dan TK sudah pulang. Mereka memang pulang lebih awal ketimbang siswa SMP dan SMU.
Sedari kecil, Aan sudah bersekolah di Sekolah Darurat Kartini. “Aaya senang bisa sekolah,” ujar Aan dengan polosnya. Ibunda Aan yang hanya berprofesi sebagai cleaning services di salah satu Ruko di daerah Ancol, memperoleh pendapatan sebesar Rp 250 ribu setiap bulan. Dengan gaji sebesar itu, tentu ibunda Aan tidak bisa membiayai sekolah Aan. Jangan tanya di mana ayah Aan. Karena ayahnya telah berpisah dengan ibunya. Kondisi ini memberatkan ibunya yang harus berjuang sendiri untuk menafkahi Aan. Mendengar ada sekolah gratis, ibunda Aan langsung memutuskan untuk memasukkan puteri tunggalnya tersebut ke Sekolah Darurat Kartini.
Alhasil, Aan dapat merasakan bangku sekolah sebagaimana anak-anak umumnya. “Ibu Kembar memang orangnya baik. Selain dermawan, mereka juga sangat baik dalam mengajar anak-anak didiknya,” aku Aan. Aan berharap dengan melanjutkan sekolahnya di Sekolah Darurat Kartini, ia dapat menggapai cita-citanya sebagai guru. Fajar
Dibesarkan dari keluarga yang berkecukupan tidak membuat Sri Rossyati dan Sri Irianingsih merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan. Mereka justru menghabiskan sisa usianya dengan mengajar di Sekolah Darurat Kartini, sekolah gratis bagi anak-anak jalanan dan anak dari keluarga tidak mampu. Kini, 16 tahun sudah Rossy dan Rian, panggilan akrabnya kedua ibu guru kembar ini mengelola Sekolah Darurat Kartini. Hingga saat ini, sudah banyak lulusan yang telah meraih sukses dan bekerja di berbagai bidang. Mengapa mereka begitu peduli dengan nasib anak jalanan? Apakah ada pengalaman istimewa yang mengilhami mereka untuk terjun langsung mendidik anak-anak jalanan dan anak dari keluarga kurang mampu?
Di bawah jembatan itu, terlihat kerumunan anak di depan salah sebuah bangunan darurat. Bangunan tersebut tampak kumuh di antara gubuk-gubuk yang memang banyak berdiri di sepanjang pinggir jalan Lodan Raya itu. Tepat di bawah jembatan layang Pluit, banyak bangunan darurat berdiri. Seakan-akan bangunan tersebut ingin berlindung di bawah jembatan beton itu. Gubuk-gubuk itu adalah tempat tinggal sejumlah warga Jakarta. Maklum, mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk mengontrak rumah. Apalagi untuk membeli rumah.
Dengan pendapatan yang tidak seberapa, sebagian besar warga di bawah jembatan layang tersebut harus mampu bertahan hidup di Kota Jakarta yang semakin hari semakin kejam ini. Tak pelak, Jakarta semakin menyingkirkan warga yang tidak mampu membeli ataupun menyewa rumah yang layak. Hal itu menyebabkan sebagian warga Kota Jakarta mendirikan rumah-rumah di sepanjang pinggir kali dan bahkan di bawah kolong jembatan. Salah satu daerah di Jakarta yang menjadi tempat pemukiman bagi warga kurang mampu tersebut adalah di Jakarta Utara, tepatnya di jalan Lodan Raya. Di kolong jembatan layang itulah, warga mendirikan rumah-rumah tak layak huni.
Hampir semua rumah yang berada di kolong jembatan layang itu hanya berdinding papan tripleks dan beratapkan seng. Sebagian besar warga berprofesi sebagai pemulung, tukang ojek, bahkan beberapa di antaranya berprofesim sebagai pekerja seks komersial. Dengan pendapatan yang termasuk di bawah garis kemiskinan, mereka memang harus memenuhi kebutuhan yang paling mendasar. Ironisnya kebutuhan mendasar itupun tidak dapat terpenuhi, termasuk di dalam kebutuhan untuk menyekolahkan anak.
Biaya sekolah yang melambung tinggi tak akan mungkin dapat dipenuhi oleh warga Lodan Raya tersebut. Akibatnya, anak-anak yang lahir dari keluarga itu tidak akan pernah merasakan bangku sekolah. Tapi, harapan anak-anak itu ternyata tidak sepenuhnya sirna. Setitik harapan untuk dapat bersekolah kembali muncul ketika dua ibu yang wajahnya mirip alias kembar, datang ke daerah tersebut.
Awalnya, hanya salah seoarang dari wanita kembar itu, yaitu Sri Rossyati yang mengelola Sekolah Darurat Kartini. Kala itu, ia memiliki tekad untuk memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak kurang mampu. “Kita ingin anak-anak kurang mampu itu memiliki skill untuk bekerja. Makanya di sini kita ajarkan menanam, memasak, dengan harapan mereka dapat bekerja setelah lulus dari sini,” ujar puteri dari Hadi Suharno & RA Suminah ini. Tak heran jika banyak lulusan Sekolah Darurat Kartini yang menjadi karyawan di salah satu supermarket besar di Jakarta.
Hal senada juga diungkapkan oleh sang adik, Irianingsih, yang juga memiliki misi yang sama dalam mendirikan Sekolah Darurat Kartini. “Kita ingin sekali mencerdaskan anak bangsa. Bukan hanya sisi akademis, tetapi juga berbudi luhur,” ujar Irianingsih. Wanita yang lebih muda 5 menit dibandingkan Rossy-panggilan akrab Rossyati-ini. “Walaupun dia bersekolah di kolong jembatan, tapi dia berakhlak,” harap ibu dua anak kelahiran Yogyakarta, 4 Februari 1950 ini.
Irianingsih bergabung dengan Sekolah Darurat Kartini setelah diajak oleh sudara kembarnya, Rossy. Meskipun begitu, Irianingsih juga telah lama berkecimpung di dalam kegiatan-kegiatan sosial. Bahkan sejak tahun 1972, Irianingsih telah mengajar aksara di daerah pedalaman, tepatnya di daerah Lombok. Di tempat itulah, ia mengajarkan membaca dan menulis bagi warga desa yang belum mengenal huruf.
Sanggar Kartini. Ternyata tak hanya mirip pada wajah, kemiripan sifat juga terlihat dari tindakan yang mereka lakukan. Jika Rianingsih mengajar di daerah Lombok, maka Rossy mengaku pernah mengajar di daerah Kalimantan. Awal mula Rossy sering melakukan kegiatan sosial khususnya terhadap warga yang kurang mampu.
Kegiatan ini dimulai setelah Rossy menikah dengan seorang dokter. Sebagai seorang istri yang ‘manut’ terhadap suami, Rossy pun ikut bersama sang suami untuk dinas di daerah pedalaman. Kesempatan itu dipakai Rossy untuk melakukan kegiatan sosial dengan cara mengajar menulis dan membaca kepada warga yang masih buta huruf. Rossy mengaku sudah menemukan dunianya setelah terlibat langsung mengajari orang yang kurang mampu.
Hingga kini, Rossy tetap konsisten untuk selalu membantu warga yang kurang mampu. Pada tahun 1990, Rossy beserta rekan-rekan dan kenalannya memutuskan untuk mendirikan tempat belajar bagi anak-anak yang kurang mampu. Kala itu, mereka menyebut tempat belajar tersebut dengan sebutan Sanggar Kartini. Ada alasan tersendiri bagi mereka yang akrab dipanggil Ibu Kembar ini dalam memilih nama Kartini. “Kartini itu kan nama tokoh perempuan yang mampu mencerdaskan bangsa tanpa pamrih,” ujar Irianingsih.
Sanggar Kartini kemudian berganti nama menjadi Sekolah Darurat Kartini setelah beberapa perubahan yang dilakukan oleh kedua ibu kembar ini. Tempat belajar yang sebelumnya hanya sebagai sanggar, mulai tahun 1996 diubah menjadi sekolah seperti halnya sekolah-sekolah lainnya yang telah berdiri. Nama Kartini tetap dipertahankan, karena pada dasarnya mereka ingin menjadi seperti Kartini yang telah melakukan banyak hal positif di dunia pendidikan. Yang lebih mulia lagi, Rossyati dan Irianingsih tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun baik dari warga maupun dari pemerintah. Jika hingga kini mereka sering mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai pihak, hal tersebut bukan tujuan yang ingin mereka capai. Yang terpenting bagi Rossyati dan Irianingsih adalah anak-anak dari keluarga kurang mampu atau anak jalanan dapat merasakan manisnya duduk di bangku sekolah dan mendapatkan ilmu-ilmu yang nantinya bermanfaat bagi masa depan mereka.
Guru Berkualitas. Sebagaimana halnya di sekolah-sekolah umum lainnya, siswa yang bersekolah di Sekolah Darurat Kartini mendapatkan pelajaran yang sama. Di akhir tahun, para siswanya pun harus mengikuti ujian yang soal-soalnya berasal dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sehingga para siswanya tidak perlu khawatir dengan kualitas pendidikan yang diberikan di Sekolah Darurat Kartini. “Para pengajarnya lulusan S1 dari masing-masing jurusan,” aku Rossyati.
Jumlah guru yang mengajar di Sekolah Darurat Kartini berjumlah 16 orang. Masing-masing guru mengajarkan satu mata pelajaran. Biasanya, mereka mengajar di tingkat SMP, dan SMU. Sedangkan sisanya, yakni TK, dan SD diajar oleh Rossyati dan Irianingsih. Tak pelak, Rossyati dan Iraningsih harus datang ke sekolah setiap hari. Hari-hari saat usia menjelang senja, mereka habiskan untuk mengabdi pada dunia pendidikan khususnya bagi anak jalanan dan anak dari keluarga kurang mampu.
Sekolah Gratis. Sekolah darurat Kartini sendiri membebaskan segala biaya bagi siwanya. Bahkan mereka mendapatkan segala fasilitas untuk belajar. Seperti tas, seragam sekolah, buku-buku baik buku tulis maupun buku pelajaran. Dan semua biaya itu ditanggung oleh “Ibu Kembar”, sehingga tak ada sepeser pun yang harus dikeluarkan oleh orang tua siswa yang kebanyakan berasal dari keluarga kurang mampu. Kebutuhan lainnya seperti perlengkapan untuk kegiatan memasak, berkebun, dan perbengkelan, telah dipenuhi oleh Ibu Kembar. Sehingga sebagian besar warga kurang mampu yang tinggal di sekitar jalan Lodan Raya merasa terbantu dengan kehadiran Rossyati dan Rianingsih.
Secara rutin, Sekolah Darurat Kartini selalu memberikan sumbangan, berupa sembilan bahan pokok bagi seluruh keluarga kurang mampu. Tak heran, ketika Realita berkunjung ke sekolah Kartini, Rossyati dan Irianingsih tengah membagi-bagikan bungkusan yang berisikan beberapa macam bahan pokok. “Kalau itu sih sumbangan dari teman saya, lalu dibagi-bagikan,” aku Rossyati.
Meski begitu, sumbangan selalu akan diberikan kepada mereka secara rutin. Biasanya, seminggu sekali Ibu Kembar memberikan bingkisan berupa bahan-bahan pokok bagi orang tua siswa. Meskipun nilainya kecil, sumbangan tersebut sangat berarti bagi warga kurang mampu di bawah Jembatan Pluit. Karena dengan pendapatan rata-rata sekitar Rp. 10.000 sehari, mereka tentu hidup serba kekurangan.
Sedangkan untuk siswa, mereka biasanya mengadakan kegiatan masak-memasak seminggu sekali. Hari Sabtu dipilih oleh Ibu Kembar untuk dijadikan sebagai hari masak-memasak di samping kegiatan belajar mengajar. Realita pun sempat melihat sendiri bagaimana siswa-siswa tersebut antre ketika akan mengambil makanan yang telah mereka masak. Sebuah senyum mengembang dari setiap siswa yang hendak mengambil makanan.
Irianingsih pun dengan cekatan mengambil piring yang kemudian diisi dengan nasi beserta lauknya. Terlihat sederhana memang, tapi rona bahagia terpancarkan dari wajah siswa yang mendapatkan makanan. Dapat merasakan duduk di bangku sekolahan saja telah mampu mendorong semangat dari anak-anak yang kurang beruntung itu untuk menggapai masa depannya.
Sabtu (27/8) siang itu terasa tidak sepanas biasanya. Suara canda terdengar bergema di bawah Jembatan Layang Pluit. Meskipun berisik, dorongan mereka untuk belajar dan menimba ilmu tetap berkobar. Ternyata semangat Kartini tidak pernah mati, meskipun RA Kartini telah wafat berartus-ratus tahun lalu. Jiwa-jiwa Kartini telah hadir pada sosok Sri Rossyati dan Sri Irianingsih. Sekolah Darurat Kartini adalah wujudannya. Fajar
Sri Rossyati Si Noni yang Pernah Bercita-cita Menjadi Guru
Awalnya, kehidupan yang serba berkecukupan dicemaskan akan membuat Rossy akan tumbuh menjadi anak manja. Maklum, ayahnya yang jebolan ITB saat itu bekerja sebagai pejabat di PJKA. Meski ayahnya memiliki posisi penting di PJKA, tidak mendorong Rossy mengikuti jejak ayahnya untuk bekerja di tempat sama. Rupanya, ia lebih tertarik pada pekerjaan sampingan sang ayah yang senantiasa mengajar anak-anak kurang mampu dan anak-anak jalanan.
Karena sudah terbiasa mengajar anak kurang mampu dan anak jalanan bersama ayahnya, Rossy yang hidup berkecukupan tumbuh menjadi anak yang kuat dalam karakter dan tidak manja. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan tidak mau mengandalakan kekayaan orang tua. Bahkan apa yang menjadi kekayaan keluarga sering digunakan untuk membantu sesama yang membutuhkan.
Sejak usianya masih muda, ia telah terbiasa melakukan kegiatan sosial. Kegiatannya pun bertambah setelah ia menikah. Ia sempat mengajar aksara di daerah pedalaman Kalimantan pada saat mengikuti perjalanan dinas sang suami yang berprofesi sebagai dokter. Wanita yang biasa dipanggil Noni ini memang memiliki cita-cita ingin menjadi guru sejak kecil. Itu sebabnya, Rossy memilih masuk IKIP Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Bahasa Indonesia. “Saya bercita-cita menjadi guru sejak kecil,” ujar Rossyati. “Guru itu hebat bisa mendidik semua orang, bisa ngomong di depan orang banyak,” tuturnya.
Tak heran bila Rossy sangat senang ketika mengajar di depan kelas. Di Sekolah Darurat Kartini, Rossy mengajar anak-anak Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Bermodalkan kecintaannya terhadap dunia pendidikan, ia terlihat tegas dalam memberikan ilmu kepada para siswanya. Tak hanya itu, Rossy juga memiliki banyak pengetahuan mengenai dunia keterampilan. Diakuinya, pengetahuan tersebut didapatnya dari sang ibu yang pernah menjadi guru kepandaian pada zaman Belanda dulu. “Dari ibu, saya bisa mengerti dan menguasai berbagai jenis keterampilan,” kenang Rossy.
Keterlibatannya di sekolah ini memang murni dilakukan untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak kurang mampu dalam menimba ilmu. “Saya nggak mengejar popularitas,” aku Rossy. Bahkan, ia rela merogoh koceknya setiap bulan untuk membiayai sekolah ini. Dana untuk membiayai Sekolah Darurat Kartini diambil dari bunga deposito yang telah mereka tanamkan di bank. Selain itu, Ibu Kembar juga menerima sumbangan dari para donatur luar. Yani Panigoro, adik kandung Hilmi Panigoro adalah salah satu donator yang sering menyumbang.
Yani sering menyumbang berbagai perlengkapan belajar. Mulai dari buku sampai alat tulis. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai Sekolah Darurat Kartini sekitar Rp 20-25 juta, per bulan. Semuanya berasal dari bunga deposito. Biaya yang dikleuarkan oleh Ibu Kembar memang tidaklah sia-sia. Karena lulusan Sekolah Darurat Kartini banyak mendapat pekerjaan yang cukup baik. Presentase kelulusan sekolah juga cukup baik. “Tahun kemarin persentase kelulusan 70 persen, padahal biasanya 100 persen,” aku ibu dari dr. Mira, Ir. Hendro, dr. Santi, Ir. Irvan ini.
Kini, kegiatan Ibu Kembar hanya tercurah pada Sekolah Darurat Kartini. Perusahaan-perusahaan yang dulu pernah mereka miliki, kini sudah tidak ada lagi. Rumah Sakit Astuti di Pemalang yang tadinya milik Rossy, kini sudah diserahkan kepada anaknya, dr Mira untuk mengelolahnya.
Meski tidak ingin mengejar popularitas, kegiatan positif yang dilakukannya sempat mengundang sejumlah tokoh Parpol untuk mengajaknya bergabung. “Saya sempat diajak menjadi anggota DPR, tapi saya nggak pengin menjadi anggota DPR.” Ia berencana mengembangkan sekoah ini. Ia juga berencana memperbaiki bangunan sekolah menjadi lebih permanen. Dengan begitu, siswa-siswa dapat belajar dengan lebih nyaman.
“Saya berharap pemerintah mencontoh sekolah kita dan membuat sekolah kayak ini, supaya anak-anak bangsa yang miskin bisa mengenyam pendidikan,” ujarnya istri dr. Admira Marzuki, Spog yang kini bekerja di RS Hermina, RSPAD Gatot Subroto, dan beberapa rumah sakit lainnya ini. Fajar
Sri Irianingsih Berharap Ada Orang yang Meneruskannya
Tidak jauh berbeda dengan Rossy, Rian (panggilan akrab Sri Irianingsih,red) juga memiliki motivasi positif dalam membangun Sekolah Darurat Kartini. Dalam mengajar, Rian lebih menitikberatkan pada aspek akhlak siswa. “Di sini menu pendidikannya, 60 persen pengetahuan akademis dan 40 persen berlajar keterampilan,” ujar Rian. Sehingga dalam pengajarannya, siswa tidak melulu dibekali dengan ilmu-ilmu eksakta, tetapi juga akhlak yang baik ditanamkan pada setiap pribadi siswa. Karena Rian percaya, seseorang yang memiliki akhlak baik sudah pasti akan diterima masyarakat.
Berbeda dengan Rossy yang memiliki suami dokter, Rian memiliki suami tentara (TNI AL). “Pangkat terakhirnya Laksamana Pertama,” aku Rian. Sayangnya, suaminya telah pergi untuk selamanya. Tapi, hal itu tidak membuat semangat Rian mati. Sebaliknya, ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada pendidikan anak-anak kurang mampu.
Rian lulus dari Universitas Airlangga jurusan Psikologi. Rian tadinya memiliki perusahaan property. Namun perusahaan yang diberi nama sama dengan namanya itu telah ditutup sejak tahun 1995 lalu. Awal mula Rian mendirikan perusahaan property terjadi ketika ia mengikuti program yang diadakan Universitas Brawijaya, Malang. Pada program tersebut, Rian sering berkunjung ke desa-desa untuk melakukan penyuluhan mengenai berbagai hal. Ia kemudian memutuskan untuk mendirikan perusahaan property yang biasa membangun ruko di daerah-daerah.
Untungnya, kegiatan sosial Ibu Kembar sangat didukung oleh keluarga. “Mereka bersyukur kita masih bisa melakukan pekerjaan yang penuh arti di usia senja seperti ini,” ujar Rian. Tak hanya sukses menyenangkan orang lain khususnya warga kurang mampu, Ibu Kembar juga sukses mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Rian memiliki dua anak. salah satu anaknya, Ir Yuli, bekerja di Departemen Pendidikan, sedangkan anak laki-lakinya Edwin, SE, bekerja di Surabaya. “Alhamdulillah mereka sudah bisa mandiri,” ujar ibu dari Ir. Yuli dan Edwin, SE.
Walaupun sudah memiliki keluarga sendiri, dua wanita kembar ini tetap tak bisa terpisahkan. Ada satu pengelaman menarik yang dialami Rossy dan Rian sebagai orang kembar. “Waktu saya sedang nonton film, ternyata Rossy juga nonton film yang sama di rumahnya,” aku Rian. Selain itu, jika salah satu dari mereka sakit, maka yang satunya pasti akan merasakannya juga. “Waktu itu saya nggak bisa tidur, setelah saya telepon, ternyata dia sakit dan nggak bisa tidur,” ujar istri Laksamana Pertama (alm) Faisal ini.
Untuk menjaga misi yang diemban oleh Sekolah Darurat kartini, Rian bersama Rossy sengaja tidak membentuk yayasan. Alasannya, jika sekolahnya itu memiliki yayasan, kemungkinan akan terjadi pergeseran visi dan misi. Sehingga kepentingan anak-anak kurang mampu terlupakan. Karena itu, Rian berharap jika ia dan Rossy sudah tiada, ada pihak yang meneruskan Sekolah Darurat Kartini. “Semoga ada yang bisa meneruskannya,” harap wanita yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai guru teladan ini.
Rian juga pernah mengajar di daerah pedalaman. Ia mengajarkan membaca dan menulis bagi warga di daerah Lombok. Kala itu, Rian mengikuti suami yang berdinas di Lombok. Kepeduliannya tumbuh ketika ia melihat banyak penduduk miskin yang minim pendidikan. Fajar
Side Bar 3
Aan (Mueid Sekolah Darurat Kartini)
“Ibu kembar orangnya baik sekali ”
Aan, salah seorang siswa Sekolah Darurat Kartini tak bisa menyembunyikan kebahagianya karena bisa sekolah. Aan tampak menikmati suasana belajar di Sekolah Darurat Kartini. Meskipun luasnya hanya sekitar 40 meter persegi, anak-anak yang sekolah di kolong jembatan tersebut terlihat tidak merasa terganggu jika harus berdesak-desakkan di dalam ruangan. Tak terkecuali Aan. Bahkan ia menikmati pelajaran yang sedang diajarkan oleh Rian.
Sabtu pagi itu memang waktunya Rian mengajar di kelas Aan. Di ruangan yang hanya berukuran 5 x 3 meter itu, Aan harus berbagi tempat bersama belasan siswa lainnya. Buku yang tengah dibacanya merupakan pemberian dari Ibu Kembar. Semua siswa juga mendapatkannya. Ketika jam istirahat tiba, Aan bersama teman-temannya keluar kelas dan bermain di luar ruangan kelas. Sebenarnya ruangan yang berada di luar kelas Aan merupakan ruang kelas bagi anak TK dan SD. Ruangan menjadi kosong karena anak SD dan TK sudah pulang. Mereka memang pulang lebih awal ketimbang siswa SMP dan SMU.
Sedari kecil, Aan sudah bersekolah di Sekolah Darurat Kartini. “Aaya senang bisa sekolah,” ujar Aan dengan polosnya. Ibunda Aan yang hanya berprofesi sebagai cleaning services di salah satu Ruko di daerah Ancol, memperoleh pendapatan sebesar Rp 250 ribu setiap bulan. Dengan gaji sebesar itu, tentu ibunda Aan tidak bisa membiayai sekolah Aan. Jangan tanya di mana ayah Aan. Karena ayahnya telah berpisah dengan ibunya. Kondisi ini memberatkan ibunya yang harus berjuang sendiri untuk menafkahi Aan. Mendengar ada sekolah gratis, ibunda Aan langsung memutuskan untuk memasukkan puteri tunggalnya tersebut ke Sekolah Darurat Kartini.
Alhasil, Aan dapat merasakan bangku sekolah sebagaimana anak-anak umumnya. “Ibu Kembar memang orangnya baik. Selain dermawan, mereka juga sangat baik dalam mengajar anak-anak didiknya,” aku Aan. Aan berharap dengan melanjutkan sekolahnya di Sekolah Darurat Kartini, ia dapat menggapai cita-citanya sebagai guru. Fajar
Sakit itu Mahal
M. Farhan
Habiskan Rp 10 Juta Lebih Tiap Bulan untuk Terapi Anaknya
· Pernah Anaknya Tidak Tidur Selama 24 Jam
Semula Farhan merasa bangga terhadap sikap anak sulungnya yang bernama Muhammad Ridzky Khalid. Sebagai anak lelaki, Ridzky begitu kerap disapa, termasuk anak yang sangat anteng dan tidak banyak tingkah seperti kebanyakan anak-anak lelaki lainnya. Namun lama kelamaan Farhan justru merasa curiga dengan tingkah anaknya itu. Pasalnya, Ridzky sering sekali terlihat asyik dengan dunianya sendiri dan tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Setelah berkonsultasi dengan beberapa pakar, ternyata Ridzky mengalami kelainan. “Autis” begitulah istilah kedokteran menyebutnya. Bagaimana Farhan menghadapi kenyataan tersebut? Apa hikmah yang bisa dipetiknya?
Bahagianya Farhan dan keluarga ketika akan melakukan perjalanan ke Yogyakarta untuk mengisi liburan. Tetapi pada saat pesawat lepas landas, anak sulungnya, Muhammad Ridzky Khalid justru mengamuk dan tidak mau naik ke pesawat. Ridzky memang sedang asyik bermain di tangga yang berada di salah satu sudut bandara Soekarno-Hatta. Farhan sendiri sepertinya sudah terbiasa menghadapi perilaku Ridzky. Pasalnya, kelainan autis yang diidap Ridzky memang mengakibatkan perilakunya berbeda dengan anak-anak biasa.
Semenjak awal, yaitu ketika mengetahui bahwa si sulung menderita autis, Farhan dan isteri memang sudah berkomitmen untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap Ridzky. Meski kesibukannya sebagai presenter di berbagai acara, membuat waktu yang disediakan untuk keluarga cukup terbatas. Tapi itu tidak membuat perhatiannya berkurang. “Yang namanya orangtua dari anak autis, salah satu dari kita harus nggak boleh kerja sama sekali, karena musti ada satu orang yang bisa mencurahkan 100% waktunya untuk anak ini,” tutur Farhan menjelaskan. Tak ayal, tugas ini diserahkan kepada Aya, isterinya tercinta. Sang isteri pun memang sejak awal telah memilih untuk mencurahkan waktunya untuk anak-anak.
Usia 18 Bulan. Farhan sendiri telah menemukan gejala-gejala autis pada anaknya ketika berumur 18 bulan. Pada saat itu, Farhan memperhatikan perilaku yang aneh dari Ridzky. “Anaknya jadi terlalu anteng, nggak merhatiin lingkungan sekitarnya,” aku pria kelahiran 25 Februari 1970 ini.
Perilaku aneh dari Ridzky menimbulkan kecurigaan Farhan terhadap anak sulungnya tersebut. “Ya kita khawatir, kita bawa ke psikolog, ternyata memang punya gejala autistik,” ujar Farhan. Meskipun begitu, Ridzky tidak langsung divonis memiliki kelainan autis. “Butuh pengamatan sekitar 1,5 tahun lagi,” lanjut Farhan. Setelah berbagai pengamatan dilakukan, Ridzky akhirnya divonis memiliki kelainan autis. Pada waktu divonis, putera sulungnya itu sudah berusia tiga tahun.
Hebatnya, Farhan beserta isteri tidak merasakan kelainan yang diidap oleh Ridzky tersebut sebagai beban. Mereka tidak merasa kaget dengan apa yang terjadi pada Ridzky. “Isteri saya malah lebih santai lagi pas tahu Ridzky autis,” aku Farhan. “Dia malah bilang, ok, gue ngelamun dulu sehari saja,” ujar Farhan sembari menirukan suara Aya.
Farhan dan sang isteri, Aya, memang cukup tabah ketika mendengar anak sulungnya memiliki kelainan autis. Mereka justru lebih mementingkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk merawat Ridzky. Tak heran, Farhan dan Aya langsung mencari tahu lebih banyak mengenai kelainan autis pada anak. Mereka juga mencari psikolog yang mampu menangani Ridzky. Selain konsultasi dengan psikolog, Farhan juga tak ketinggalan untuk memasukkan Ridzky dalam suatu program terapi khusus bagi penderita autis.
Ada dua macam program terapi yang dijalankan oleh Ridzky, yakni Applied Behavioural Analysis dan Sensory Integration. Kedua macam terapi tersebut tak ubahnya sebagai ajang pelatihan dan pengembangan kemampuan daya pikir penderita autis. “Terapinya macam-macam, mulai dari terapi perilaku, terapi keseimbangan otot dan saraf, pelatihan bicara, dan pelatihan-pelatihan kemampuan lainnya seperti membaca, menulis, dan berhitung,” tutur presenter Om Farhan di salah satu stasiun televisi swasta ini.
Mematok Target. Sejak mengikuti beberapa program terapi, Ridzky, seperti yang diakui Farhan memiliki berbagai kemajuan yang cukup berarti. “Alhamdulillah, paling nggak, kita tahu bahwa anak kita tuh sekarang berada di trek yang benar,” ujar Farhan sembari tersenyum. Untuk mengetahui perkembangan dari sang anak, Farhan selalu mematok target-target tertentu yang harus tercapai setiap tahun. Ridzky selalu dibimbing dan diarahkan agar dapat mencapai target-target yang telah ditentukan sebelumnya tersebut. Meskipun target telah ditentukan, pencapaiannya tidak selalu berhasil. “Selalu ada yang tercapai, ada juga yang tidak tercapai,” aku Farhan.
Salah satu contoh target yang telah tercapai adalah, berkurangnya amukan yang kerap Ridzky lakukan jika sedang menginginkan sesuatu. Bahkan, Ridzky telah mampu untuk mengungkapkan keinginannya secara verbal. Ia tidak lagi mendorong-dorong tubuh orang lain hanya untuk meminta diambilkan suatu barang. Farhan mengakui target yang telah tercapai tersebut memang merupakan target yang cukup berat. Tidak heran betapa bahagianya Farhan ketika mengetahui bahwa Ridzky telah mampu mencapai target tersebut.
Selain mengikuti beberapa terapi, Ridzky juga harus mematuhi beberapa pantangan yang diperintahkan dokter. “Dia nggak boleh makan daging sapi, susu sapi, dan turunannya seperti keju, es krim, margarine, gandum dan turunannya, serta sereal,” ujar Farhan. Farhan pun langsung membatasi makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh Ridzky. Ridzky yang biasanya sering makan es krim, kini, harus rela tidak dapat merasakan lezat dan dinginnya es krim berbagai rasa. Sarapan dengan sereal pun harus dihindari Ridzky. “Nyolong sih pernah tapi ketahuan,” kenang Farhan.
Gejala Awal Hiperaktif. Seperti yang diakui Farhan, Ridzky sejak umur 18 bulan sudah menunjukkan perilaku hiperaktif. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan dokter bahwa Ridzky menderita autis dengan spectrum ADHD, yakni ada kecenderungan hiperaktif. Bahkan, Ridzky pernah tidak tidur selama 24 jam penuh. “Dia lari keliling kamar selama 24 jam dan nggak tidur,” aku Farhan.
Begitu Ridzky menunjukkan perilaku hiperaktif, baik Farhan maupun sang isteri biasanya melakukan dua hal. “Pertama, saya menyuruhnya loncat-loncat sampai capai. Kedua, saya dan Aya langsung memeluknya. Meski begitu, kadang-kadang intensitas hiperaktifnya sangat tinggi. Jadi, butuh waktu yang agak lama untuk tenang kembali,” kata Farhan.
Secara fisik, Ridzky memang tumbuh besar dan sehat. Tetapi ada yang aneh pada tingkah lakunya. Baik Farhan, isteri, juga beberapa kerabat mereka seringkali terheran-heran melihat Ridzky begitu kalem dan tenang di usia yang seharusnya sangat aktif. "Sepertinya inderanya kurang berfungsi, misal, dia nggak merespon saat dipanggil atau dikasih bunyi-bunyian. Kemampuan bicaranya kurang. Pola bicaranya kacau dan kalau ditanya bukan menjawab tapi mengulang-ulang kata yang didengar. Jika melihat suatu obyek, dia bisa tahan berjam-jam tanpa bisa dialihkan ke obyek lain, dan kurang suka disentuh, '' papar Farhan.
Ridzky seakan berada di dunianya sendiri yang hening, sunyi, dan tidak bisa dimasuki orang lain. ''Kita selalu bilang Ridzky kok ngelamun sih, Nak. Atau Ridzky kamu lagi lihat apa, kok anteng sekali sampai berjam-jam. Dan yang paling bikin kami khawatir, sikap tubuhnya aneh nggak seperti anak lainnya,'' tambah Farhan.
Sang isteri sempat melontarkan kekhawatiran anaknya menderita kelainan, tetapi ibu mertuanya memintanya tabah dan jangan panik. Ridzky akhirnya menjalani serangkaian tes, fisik, psikososial, dan psikomotorik. Hasilnya, “Anak kami dinyatakan mengidap autisme,” tutur Farhan dengan nada sedih.
Meskipun begitu, Farhan mengaku bahwa mendidik anak autis termasuk pekerjaan yang cukup mudah. Biasanya anak autis memiliki pola tersendiri dalam bertindak. Sehingga, orangtua hanya cukup membuat pola hidup sang anak dengan teratur karena anak autis lebih suka dengan pola hidup yang teratur.
Farhan tidak pernah memandang Ridzky sebagai beban. Akan tetapi, Farhan justru melihat kedua anaknya, tak terkecuali Ridzky, sebagai suatu keajaiban. Bagi Farhan, Ridzky menjalani pertumbuhan sebagai anak autis, sedangkan adiknya, Bisma, tumbuh seperti halnya anak normal. “Perbedaan inilah yang membuat keindahan-keindahan tersendiri buat saya,” ujar Farhan. Selain sebagai keindahan, keluarga juga memiliki suatu makna yang sangat berarti bagi mantan penyiar radio ini. “Keluarga adalah motivasi saya untuk bangun tiap pagi dan alasan saya untuk pulang tiap malam,” tutur Farhan.
10 Juta per Bulan. “Untuk anak, saya akan memberikan banyak fasilitas pendidikan yang terbaik,” kata Farhan ketika ditanya tentang rencana ke depan bagi anak-anaknya. Tak terkecuali bagi Ridzky. Tak ayal, kini Ridzky tengah diikutsertakan dalam suatu program terapi khusus bagi penderita autis. Ridzky pun harus mengikuti setiap terapi yang diadakan untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
Dari hari Senin hingga Jumat, Ridzky bersekolah di sekolah khusus penderita autis dari jam 8 sampai jam 2 siang. Sore harinya, jam 4 sore sampai jam 7 malam, Ridzky harus ikut terapi. Sedangkan untuk hari Sabtu, terapi dilakukan pada pukul 10.00 WIB-12.00 WIB, pukul 14.00-16.00 dan 18.00-19.00. Hampir sebagian besar waktu Ridzky dihabiskan untuk mengikuti terapi. Akan tetapi, program terapi tersebut memang diakui Farhan sebagai jalur yang harus dilewati oleh Ridzky. Farhan juga mengaku bahwa biaya yang harus dikeluarkan tiap bulannya sekitar Rp 10 juta. Jumlah tersebut hanya untuk membayar ongkos terapinya saja. Artinya belum termasuk untuk obat-obatan atau suplemen yang harus dikonsumsi Ridzky . Tanpa menyebutkan angka, Farhan mengakui bahwa biaya untuk pengobatan anak autis cukuplah besar.
Dengan fasilitas pendidikan yang terbaik, Farhan berharap kedua anaknya tersebut dapat menjadi orang-orang yang berguna di masa mendatang. “Saya berharap anak saya dua-duanya jadi orang-orang yang independen, tidak nyusahin orang, nggak harus jadi orang kaya, pintar, atau terkenal, yang penting nggak jadi orang yang nyusahin orang lain,” harap Farhan. Fajar
Sidebar 1:
Sempat Tidak Terima Kenyataan Selama Enam Bulan
Ketika mengetahui anaknya menderita autis, Farhan mengaku bahwa dirinya sempat shock dan tidak menerima kenyataan tersebut. “Pertanyaan saya pada waktu itu adalah, kenapa anak saya yang kena? Padahal ada jutaan anak lainnya. Kenapa anak saya yang dipilih?” ucap Farhan.
Diakui Farhan, isterinya lebih tabah menerima kenyataan tersebut. “Saya sempat enam bulan tidak bisa menerima kenyataan tersebut,” ujarnya. Untungnya Farhan segera tersadar. Meski perasaannya sangat sedih ketika anaknya divonis autis namun Farhan berusaha untuk tidak panik. Ia berusaha sebisanya untuk tegar dan rasional. “Saya pikir kalau saya hancur, isteri pasti ikut hancur, kalau saya tegar, isteri bisa ikut terbawa tegar,” ucapnya.
Farhan sangat bersyukur karena keluarga besarnya ternyata juga sangat mendukung dan tidak membebaninya dengan pertanyaan-pertanyaan “mengapa ini bisa terjadi?” atau pun menyalahkan. Mereka justeru bertanya apa yang bisa dibantu?.
Antara Farhan dan isteri pun kini terjalin hubungan kebersamaan yang sangat kuat. “Selama ini kami sudah menjalani hidup bersama, dan sekarang dengan cobaan ini, kita makin merasa dekat lagi,” tandas Farhan. “Bagaimanapun kondisi Ridzky, kita percaya bahwa itu adalah amanah Allah SWT. Dia percaya bahwa kami bisa membesarkan Ridzky,” tambahnya. Ada hikmah yang bisa diambil Farhan dari apa yang dialami oleh anaknya. “Saya menjadi yakin bahwa Allah memiliki rencana yang terbaik bagi umat-NYA. Sejak kasus Ridzky, hubungan saya dengan isteri semakin baik. Kalau dahulu kami punya banyak sekali konflik, sekarang justru konflik itu musnah, dan kami semakin kompak, saling bantu, dan saling menguatkan,” ucapnya bijak.
Sidebar 2:
Penderita Kebanyakan Laki-Laki
Autisme adalah ketidakmampuan untuk mengembangkan relasi yang normal dengan sesama, bahkan dengan orangtuanya. Kelainan ini sering ditemukan pada bayi baru lahir hingga usia dua setengah tahun. Kelainan ini juga sering menimpa anak laki-laki dan diperkirakan terjadi karena faktor genetika.
Mengutip sebuah hasil penelitian, jumlah penderita autis di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 475 ribu anak. Artinya, dari 500 anak di Indonesia, satu di antaranya adalah penderita autis. Kebanyakan dari mereka adalah anak laki-laki dengan perbandingan 4:1. Ini berarti dari lima penderita autis, empat di antaranya anak-anak laki-laki. Adapun penyebab autis bisa karena faktor bawaan, makanan, atau akibat ibu mengonsumsi obat-obatan tertentu saat hamil.
Biasanya orangtua merasa malu kalau ada anaknya yang menderita autis. Padahal, sikap tersebut justru akan makin memperparah kondisi anak. Seharusnya orang tua bisa menerima keadaan anaknya sekaligus mencari cara untuk menyembuhkannya. Pasalnya, jika ditangani sejak dini, autis bisa disembuhkan.
Mengisolasi Diri. Anak yang menderita autis biasanya akan mengisolasi dirinya dengan lingkungan di mana mereka tinggal. Penderita autis juga memiliki kemampuan bahasa yang tidak normal. Misalnya, dia akan sulit untuk mengatakan sesuatu yang menjadi keinginannya. Untuk menangani dan melatihnya tentu dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Dan tentunya dukungan orangtua sangat dibutuhkan untuk menanganinya.
Penderita autis biasanya sangat membutuhkan identifikasi dan intervensi secara dini. Tujuannya adalah mereka memiliki kemampuan dasar yang amat penting dalam kehidupan mereka nantinya.
Oleh karena itu dukungan dan informasi sangat diperlukan oleh orangtua yang memiliki anak autis. Sehingga, orangtua bisa paham bagaimana cara mengatasi dan menyembuhkan anaknya. Tidak hanya orangtua, guru dan terapis juga perlu pengetahuan yang mendalam tentang hal tersebut. Fajar
Habiskan Rp 10 Juta Lebih Tiap Bulan untuk Terapi Anaknya
· Pernah Anaknya Tidak Tidur Selama 24 Jam
Semula Farhan merasa bangga terhadap sikap anak sulungnya yang bernama Muhammad Ridzky Khalid. Sebagai anak lelaki, Ridzky begitu kerap disapa, termasuk anak yang sangat anteng dan tidak banyak tingkah seperti kebanyakan anak-anak lelaki lainnya. Namun lama kelamaan Farhan justru merasa curiga dengan tingkah anaknya itu. Pasalnya, Ridzky sering sekali terlihat asyik dengan dunianya sendiri dan tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Setelah berkonsultasi dengan beberapa pakar, ternyata Ridzky mengalami kelainan. “Autis” begitulah istilah kedokteran menyebutnya. Bagaimana Farhan menghadapi kenyataan tersebut? Apa hikmah yang bisa dipetiknya?
Bahagianya Farhan dan keluarga ketika akan melakukan perjalanan ke Yogyakarta untuk mengisi liburan. Tetapi pada saat pesawat lepas landas, anak sulungnya, Muhammad Ridzky Khalid justru mengamuk dan tidak mau naik ke pesawat. Ridzky memang sedang asyik bermain di tangga yang berada di salah satu sudut bandara Soekarno-Hatta. Farhan sendiri sepertinya sudah terbiasa menghadapi perilaku Ridzky. Pasalnya, kelainan autis yang diidap Ridzky memang mengakibatkan perilakunya berbeda dengan anak-anak biasa.
Semenjak awal, yaitu ketika mengetahui bahwa si sulung menderita autis, Farhan dan isteri memang sudah berkomitmen untuk memberikan perhatian yang lebih terhadap Ridzky. Meski kesibukannya sebagai presenter di berbagai acara, membuat waktu yang disediakan untuk keluarga cukup terbatas. Tapi itu tidak membuat perhatiannya berkurang. “Yang namanya orangtua dari anak autis, salah satu dari kita harus nggak boleh kerja sama sekali, karena musti ada satu orang yang bisa mencurahkan 100% waktunya untuk anak ini,” tutur Farhan menjelaskan. Tak ayal, tugas ini diserahkan kepada Aya, isterinya tercinta. Sang isteri pun memang sejak awal telah memilih untuk mencurahkan waktunya untuk anak-anak.
Usia 18 Bulan. Farhan sendiri telah menemukan gejala-gejala autis pada anaknya ketika berumur 18 bulan. Pada saat itu, Farhan memperhatikan perilaku yang aneh dari Ridzky. “Anaknya jadi terlalu anteng, nggak merhatiin lingkungan sekitarnya,” aku pria kelahiran 25 Februari 1970 ini.
Perilaku aneh dari Ridzky menimbulkan kecurigaan Farhan terhadap anak sulungnya tersebut. “Ya kita khawatir, kita bawa ke psikolog, ternyata memang punya gejala autistik,” ujar Farhan. Meskipun begitu, Ridzky tidak langsung divonis memiliki kelainan autis. “Butuh pengamatan sekitar 1,5 tahun lagi,” lanjut Farhan. Setelah berbagai pengamatan dilakukan, Ridzky akhirnya divonis memiliki kelainan autis. Pada waktu divonis, putera sulungnya itu sudah berusia tiga tahun.
Hebatnya, Farhan beserta isteri tidak merasakan kelainan yang diidap oleh Ridzky tersebut sebagai beban. Mereka tidak merasa kaget dengan apa yang terjadi pada Ridzky. “Isteri saya malah lebih santai lagi pas tahu Ridzky autis,” aku Farhan. “Dia malah bilang, ok, gue ngelamun dulu sehari saja,” ujar Farhan sembari menirukan suara Aya.
Farhan dan sang isteri, Aya, memang cukup tabah ketika mendengar anak sulungnya memiliki kelainan autis. Mereka justru lebih mementingkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk merawat Ridzky. Tak heran, Farhan dan Aya langsung mencari tahu lebih banyak mengenai kelainan autis pada anak. Mereka juga mencari psikolog yang mampu menangani Ridzky. Selain konsultasi dengan psikolog, Farhan juga tak ketinggalan untuk memasukkan Ridzky dalam suatu program terapi khusus bagi penderita autis.
Ada dua macam program terapi yang dijalankan oleh Ridzky, yakni Applied Behavioural Analysis dan Sensory Integration. Kedua macam terapi tersebut tak ubahnya sebagai ajang pelatihan dan pengembangan kemampuan daya pikir penderita autis. “Terapinya macam-macam, mulai dari terapi perilaku, terapi keseimbangan otot dan saraf, pelatihan bicara, dan pelatihan-pelatihan kemampuan lainnya seperti membaca, menulis, dan berhitung,” tutur presenter Om Farhan di salah satu stasiun televisi swasta ini.
Mematok Target. Sejak mengikuti beberapa program terapi, Ridzky, seperti yang diakui Farhan memiliki berbagai kemajuan yang cukup berarti. “Alhamdulillah, paling nggak, kita tahu bahwa anak kita tuh sekarang berada di trek yang benar,” ujar Farhan sembari tersenyum. Untuk mengetahui perkembangan dari sang anak, Farhan selalu mematok target-target tertentu yang harus tercapai setiap tahun. Ridzky selalu dibimbing dan diarahkan agar dapat mencapai target-target yang telah ditentukan sebelumnya tersebut. Meskipun target telah ditentukan, pencapaiannya tidak selalu berhasil. “Selalu ada yang tercapai, ada juga yang tidak tercapai,” aku Farhan.
Salah satu contoh target yang telah tercapai adalah, berkurangnya amukan yang kerap Ridzky lakukan jika sedang menginginkan sesuatu. Bahkan, Ridzky telah mampu untuk mengungkapkan keinginannya secara verbal. Ia tidak lagi mendorong-dorong tubuh orang lain hanya untuk meminta diambilkan suatu barang. Farhan mengakui target yang telah tercapai tersebut memang merupakan target yang cukup berat. Tidak heran betapa bahagianya Farhan ketika mengetahui bahwa Ridzky telah mampu mencapai target tersebut.
Selain mengikuti beberapa terapi, Ridzky juga harus mematuhi beberapa pantangan yang diperintahkan dokter. “Dia nggak boleh makan daging sapi, susu sapi, dan turunannya seperti keju, es krim, margarine, gandum dan turunannya, serta sereal,” ujar Farhan. Farhan pun langsung membatasi makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh Ridzky. Ridzky yang biasanya sering makan es krim, kini, harus rela tidak dapat merasakan lezat dan dinginnya es krim berbagai rasa. Sarapan dengan sereal pun harus dihindari Ridzky. “Nyolong sih pernah tapi ketahuan,” kenang Farhan.
Gejala Awal Hiperaktif. Seperti yang diakui Farhan, Ridzky sejak umur 18 bulan sudah menunjukkan perilaku hiperaktif. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan dokter bahwa Ridzky menderita autis dengan spectrum ADHD, yakni ada kecenderungan hiperaktif. Bahkan, Ridzky pernah tidak tidur selama 24 jam penuh. “Dia lari keliling kamar selama 24 jam dan nggak tidur,” aku Farhan.
Begitu Ridzky menunjukkan perilaku hiperaktif, baik Farhan maupun sang isteri biasanya melakukan dua hal. “Pertama, saya menyuruhnya loncat-loncat sampai capai. Kedua, saya dan Aya langsung memeluknya. Meski begitu, kadang-kadang intensitas hiperaktifnya sangat tinggi. Jadi, butuh waktu yang agak lama untuk tenang kembali,” kata Farhan.
Secara fisik, Ridzky memang tumbuh besar dan sehat. Tetapi ada yang aneh pada tingkah lakunya. Baik Farhan, isteri, juga beberapa kerabat mereka seringkali terheran-heran melihat Ridzky begitu kalem dan tenang di usia yang seharusnya sangat aktif. "Sepertinya inderanya kurang berfungsi, misal, dia nggak merespon saat dipanggil atau dikasih bunyi-bunyian. Kemampuan bicaranya kurang. Pola bicaranya kacau dan kalau ditanya bukan menjawab tapi mengulang-ulang kata yang didengar. Jika melihat suatu obyek, dia bisa tahan berjam-jam tanpa bisa dialihkan ke obyek lain, dan kurang suka disentuh, '' papar Farhan.
Ridzky seakan berada di dunianya sendiri yang hening, sunyi, dan tidak bisa dimasuki orang lain. ''Kita selalu bilang Ridzky kok ngelamun sih, Nak. Atau Ridzky kamu lagi lihat apa, kok anteng sekali sampai berjam-jam. Dan yang paling bikin kami khawatir, sikap tubuhnya aneh nggak seperti anak lainnya,'' tambah Farhan.
Sang isteri sempat melontarkan kekhawatiran anaknya menderita kelainan, tetapi ibu mertuanya memintanya tabah dan jangan panik. Ridzky akhirnya menjalani serangkaian tes, fisik, psikososial, dan psikomotorik. Hasilnya, “Anak kami dinyatakan mengidap autisme,” tutur Farhan dengan nada sedih.
Meskipun begitu, Farhan mengaku bahwa mendidik anak autis termasuk pekerjaan yang cukup mudah. Biasanya anak autis memiliki pola tersendiri dalam bertindak. Sehingga, orangtua hanya cukup membuat pola hidup sang anak dengan teratur karena anak autis lebih suka dengan pola hidup yang teratur.
Farhan tidak pernah memandang Ridzky sebagai beban. Akan tetapi, Farhan justru melihat kedua anaknya, tak terkecuali Ridzky, sebagai suatu keajaiban. Bagi Farhan, Ridzky menjalani pertumbuhan sebagai anak autis, sedangkan adiknya, Bisma, tumbuh seperti halnya anak normal. “Perbedaan inilah yang membuat keindahan-keindahan tersendiri buat saya,” ujar Farhan. Selain sebagai keindahan, keluarga juga memiliki suatu makna yang sangat berarti bagi mantan penyiar radio ini. “Keluarga adalah motivasi saya untuk bangun tiap pagi dan alasan saya untuk pulang tiap malam,” tutur Farhan.
10 Juta per Bulan. “Untuk anak, saya akan memberikan banyak fasilitas pendidikan yang terbaik,” kata Farhan ketika ditanya tentang rencana ke depan bagi anak-anaknya. Tak terkecuali bagi Ridzky. Tak ayal, kini Ridzky tengah diikutsertakan dalam suatu program terapi khusus bagi penderita autis. Ridzky pun harus mengikuti setiap terapi yang diadakan untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
Dari hari Senin hingga Jumat, Ridzky bersekolah di sekolah khusus penderita autis dari jam 8 sampai jam 2 siang. Sore harinya, jam 4 sore sampai jam 7 malam, Ridzky harus ikut terapi. Sedangkan untuk hari Sabtu, terapi dilakukan pada pukul 10.00 WIB-12.00 WIB, pukul 14.00-16.00 dan 18.00-19.00. Hampir sebagian besar waktu Ridzky dihabiskan untuk mengikuti terapi. Akan tetapi, program terapi tersebut memang diakui Farhan sebagai jalur yang harus dilewati oleh Ridzky. Farhan juga mengaku bahwa biaya yang harus dikeluarkan tiap bulannya sekitar Rp 10 juta. Jumlah tersebut hanya untuk membayar ongkos terapinya saja. Artinya belum termasuk untuk obat-obatan atau suplemen yang harus dikonsumsi Ridzky . Tanpa menyebutkan angka, Farhan mengakui bahwa biaya untuk pengobatan anak autis cukuplah besar.
Dengan fasilitas pendidikan yang terbaik, Farhan berharap kedua anaknya tersebut dapat menjadi orang-orang yang berguna di masa mendatang. “Saya berharap anak saya dua-duanya jadi orang-orang yang independen, tidak nyusahin orang, nggak harus jadi orang kaya, pintar, atau terkenal, yang penting nggak jadi orang yang nyusahin orang lain,” harap Farhan. Fajar
Sidebar 1:
Sempat Tidak Terima Kenyataan Selama Enam Bulan
Ketika mengetahui anaknya menderita autis, Farhan mengaku bahwa dirinya sempat shock dan tidak menerima kenyataan tersebut. “Pertanyaan saya pada waktu itu adalah, kenapa anak saya yang kena? Padahal ada jutaan anak lainnya. Kenapa anak saya yang dipilih?” ucap Farhan.
Diakui Farhan, isterinya lebih tabah menerima kenyataan tersebut. “Saya sempat enam bulan tidak bisa menerima kenyataan tersebut,” ujarnya. Untungnya Farhan segera tersadar. Meski perasaannya sangat sedih ketika anaknya divonis autis namun Farhan berusaha untuk tidak panik. Ia berusaha sebisanya untuk tegar dan rasional. “Saya pikir kalau saya hancur, isteri pasti ikut hancur, kalau saya tegar, isteri bisa ikut terbawa tegar,” ucapnya.
Farhan sangat bersyukur karena keluarga besarnya ternyata juga sangat mendukung dan tidak membebaninya dengan pertanyaan-pertanyaan “mengapa ini bisa terjadi?” atau pun menyalahkan. Mereka justeru bertanya apa yang bisa dibantu?.
Antara Farhan dan isteri pun kini terjalin hubungan kebersamaan yang sangat kuat. “Selama ini kami sudah menjalani hidup bersama, dan sekarang dengan cobaan ini, kita makin merasa dekat lagi,” tandas Farhan. “Bagaimanapun kondisi Ridzky, kita percaya bahwa itu adalah amanah Allah SWT. Dia percaya bahwa kami bisa membesarkan Ridzky,” tambahnya. Ada hikmah yang bisa diambil Farhan dari apa yang dialami oleh anaknya. “Saya menjadi yakin bahwa Allah memiliki rencana yang terbaik bagi umat-NYA. Sejak kasus Ridzky, hubungan saya dengan isteri semakin baik. Kalau dahulu kami punya banyak sekali konflik, sekarang justru konflik itu musnah, dan kami semakin kompak, saling bantu, dan saling menguatkan,” ucapnya bijak.
Sidebar 2:
Penderita Kebanyakan Laki-Laki
Autisme adalah ketidakmampuan untuk mengembangkan relasi yang normal dengan sesama, bahkan dengan orangtuanya. Kelainan ini sering ditemukan pada bayi baru lahir hingga usia dua setengah tahun. Kelainan ini juga sering menimpa anak laki-laki dan diperkirakan terjadi karena faktor genetika.
Mengutip sebuah hasil penelitian, jumlah penderita autis di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 475 ribu anak. Artinya, dari 500 anak di Indonesia, satu di antaranya adalah penderita autis. Kebanyakan dari mereka adalah anak laki-laki dengan perbandingan 4:1. Ini berarti dari lima penderita autis, empat di antaranya anak-anak laki-laki. Adapun penyebab autis bisa karena faktor bawaan, makanan, atau akibat ibu mengonsumsi obat-obatan tertentu saat hamil.
Biasanya orangtua merasa malu kalau ada anaknya yang menderita autis. Padahal, sikap tersebut justru akan makin memperparah kondisi anak. Seharusnya orang tua bisa menerima keadaan anaknya sekaligus mencari cara untuk menyembuhkannya. Pasalnya, jika ditangani sejak dini, autis bisa disembuhkan.
Mengisolasi Diri. Anak yang menderita autis biasanya akan mengisolasi dirinya dengan lingkungan di mana mereka tinggal. Penderita autis juga memiliki kemampuan bahasa yang tidak normal. Misalnya, dia akan sulit untuk mengatakan sesuatu yang menjadi keinginannya. Untuk menangani dan melatihnya tentu dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Dan tentunya dukungan orangtua sangat dibutuhkan untuk menanganinya.
Penderita autis biasanya sangat membutuhkan identifikasi dan intervensi secara dini. Tujuannya adalah mereka memiliki kemampuan dasar yang amat penting dalam kehidupan mereka nantinya.
Oleh karena itu dukungan dan informasi sangat diperlukan oleh orangtua yang memiliki anak autis. Sehingga, orangtua bisa paham bagaimana cara mengatasi dan menyembuhkan anaknya. Tidak hanya orangtua, guru dan terapis juga perlu pengetahuan yang mendalam tentang hal tersebut. Fajar
Subscribe to:
Posts (Atom)