Tetap Bertahan Meski Penglihatan dan Rahimnya Telah Digerogoti Lupus
Sekitar 9 tahun lamanya, Dian Syarief harus bergelut dengan penyakit langka dan ganas. Namun, penyakit lupus yang dideritanya tak membuat Dian putus asa. Sebaliknya, ia justru mampu berkarya dan membantu sesama penderita lupus lainnya dengan membentuk sebuah yayasan. Berbagai pengobatan telah ia jalani. Namun, Dian tetap berserah diri kepada Allah untuk kesembuhan penyakit yang sewaktu-waktu merenggut nyawanya. Lalu bagaimana kisah perjalanan hidup wanita lulusan ITB ini?
Love is beautiful. Love is blind.
Love is patient. Love is foolish.
Love is kind. Love is complicated.
Love is miracle…
(Diambil dari buku miracle of love karya Eko P. Pratomo)
Rangkaian kata yang menggambarkan keagungan cinta itu memiliki makna yang cukup dalam. Makna cinta itulah yang kemudian tergambar jelas dari pasangan Eko Priyo Pratomo dan Dian Wahdhini Syarief. Cinta keduanya mungkin bisa dijadikan sebagai pembelajaran bagi semua orang tentang besarnya kekuatan cinta di antara keduanya. Kendati, Dian Syarief selalu terpuruk ketika penyakit lupus menggerogoti tubuhnya, sang suami justru selalu berdiri tegak di belakang dan memberikan semangat hidup yang amat besar artinya. Tak pelak, Dian pun mampu membangun kembali puing-puing kehidupannya yang sempat hancur ketika penyakit lupus menghantam hidupnya.
Meski awan kelabu kerap menggantung di langit kota Bandung, tak menghalangi wanita yang masih terlihat bugar itu berdiam diri di rumah. Sebaliknya, ia justru banyak melakukan aktivitas yang biasa dilakukan di kantor Yayasan Syamsi Dhuha, sebuah yayasan yang membantu para odapus (sebutan penderita penyakit lupus, red). Meski menderita penyakit yang belum ditemukan obatnya, tubuh Dian sama sekali tidak ringkih. Dian tetap melangkahkan jejak kakinya dengan pasti melanjutkan kehidupan dengan menyandang status sebagai penderita penyakit lupus.
Raut wajah dan tubuhnya memang mengalami banyak perubahan. Bahkan bentuk wajah Dian seperti membengkak akibat penyakit yang dideritanya. Gejala moon face memang acapkali terjadi pada penderita lupus, terlebih lagi setelah mengkonsumsi obat-obatan. Tak hanya itu saja, pada kulit di beberapa bagian tubuhnya terdapat bercak-bercak berwarna merah yang juga menjadi gejala awal penyakit lupus yang bersarang dalam tubuhnya. Kendati begitu, semangat hidupnya masih tetap berkobar. Tatapan matanya masih memancarkan harapan untuk berjuang hidup dan membantu sesama penderita lupus lainnya. Kepada Realita pun, ia bersedia berbagi cerita mengenai perjalanan hidupnya yang cukup berat, karena harus berjuang melawan penyakit lupus yang dideritanya sejak 9 tahun yang lalu ini. “Penglihatan saya hanya lima persen saja,” ujar Dian memulai pembicaraan.
Dian Syarief lahir di kota kembang, Bandung pada 21 Desember 1965. Seperti halnya anak-anak sebayanya, ia tumbuh dan besar menjadi anak periang. Sang ayah, Prof. Dr. dr. Rudy Syarief merupakan seorang dokter. Ternyata tak hanya sang ayah saja yang berprofesi dokter. Ibunda tercintanya, dr. Oemmy R. Syarief MMBAT juga seorang dokter. Profesi dokter kemudian ditularkan kepada sebagian anak-anaknya yang tak lain adalah adik-adik Dian. Semasa kecil dan remaja, Dian dikenal sebagai anak yang cerdas. Tak heran selepas lulus dari SMA, anak kedua dari lima bersaudara ini diterima di jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun karirnya justru meraih kesuksesan tidak di bidang farmasi sebagaimana latarbelakang pendidikannya. Setahun setelah lulus dari ITB, tepatnya pada tahun 1990, Dian mulai merintis karir di Bank Bali (sekarang Bank Permata, red). Ia pun pindah ke Jakarta untuk meniti karir. Bahkan, ia sempat mengenyam kesuksesan dalam karirnya tatkala menjabat sebagai manajer humas Bank Bali. Tak heran, wajahnya sudah tak asing lagi karena kerap bertemu dengan para wartawan tiapkali mengadakan acara dari perusahaannya.
Pada tahun 1990 pula, ia memutuskan untuk menerima pinangan dari seorang pria, yang juga teman sekampusnya, Eko Priyo Pratomo. Setelah lulus dan menikah, Dian memang memulai kehidupan baru yang diharapkan akan menghadirkan kebahagiaan bagi dirinya. Apalagi, Dian juga mengalami kesuksesan dalam karirnya setelah menjabat sebagai manajer humas di Bank Bali. Sungguh merupakan kehidupan berbahagia bagi dirinya dan suami. Setelah hampir 9 tahun berkarir di Bank Bali dan menjalani mahligai rumahtangganya, cobaan pun datang tanpa memberi pertanda sebelumnya.
Bintik-bintik Merah. Suatu hari di bulan Ramadhan tahun 1999, bermula dari gejala-gejala yang dianggap Dian sebagai gejala penyakit biasa, barulah Dian tersadar akan hadirnya penyakit ganas yang bersarang dalam tubuhnya. Hadirnya bintik-bintik merah di kulit Dian, dianggap sebagai masalah kulit biasa. Ia pun memutuskan untuk memeriksakan ke dokter kulit. Namun, dokter menyatakan bintik-bintik merah itu bukanlah penyakit kulit biasa. Ia lantas disarankan untuk melakukan pengecekan darah di laboratorium. Tak hanya kulit yang berbintik merah saja, wajah Dian pun memucat. Kendati begitu, kala itu ia merasa fisiknya terasa sehat dan tidak merasakan sakit apa pun. Setibanya di rumah, Dian diberitahu oleh petugas laboratorium bahwa kadar trombositnya hanya tinggal 10 persen dibandingkan dengan trombosit normal. Bintik-bintik merah itu ternyata merupakan pertanda pendarahan di kulit.
Khawatir dengan kadar trombosit yang terus menurun, pada malam itu juga Dian dengan ditemani sang suami pun langsung memeriksakan ke salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. “Ternyata hasil ceknya semakin gawat,” ujar Dian singkat. Menjelang Shubuh, akhirnya ia memutuskan untuk dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah. “Kata dokterku, bila trombositnya turun sedikit lagi, pembuluh darah akan pecah kemana-mana,” kenang Dian yang memiliki hobi memasak ini. Barulah pada keesokan harinya, sum-sum tulang belakang Dian diambil untuk dilakukan pengecekan ulang. “Baru ketahuan saya bukan terkena demam berdarah, melainkan terserang lupus,” lanjutnya.
Untuk menaikkan kadar trombosit dalam darahnya, Dian mengkonsumsi sejenis tablet sebanyak 20 butir sehari. Namun, efek samping dari obat tersebut cukup membuat Dian merana. “Kulitku menjadi keriput, di bibir tumbuh sariawan parah, kaki mengecil dan mukaku membengkak,” aku Dian. Setelah sekitar sebulan mendapatkan perawatan dengan mengkonsumsi tablet prednisone, akhirnya Dian dinyatakan sembuh. Ia pun diperbolehkan untuk kembali bekerja. Perubahan dalam fisiknya setelah mengkonsumsi obat yang dijuluki ‘obat dewa’ itu cukup mengganggu aktivitasnya bekerja.
Penyakit yang bernama lengkap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) ini juga menyebabkan penglihatan matanya semakin berkurang. Awalnya, benda-benda yang dilihatnya hanya berupa siluet bayangan saja, yang tentunya tidak sejelas ketika masih sehat. “Jenis penyakit lupus yang saya alami menyerang darah, karena itu kemudian saya diberi obat-obatan yang bisa meningkatkan trombosit. Namun, efeknya wajahku menjadi membesar seperti moon face sehingga ketika itu banyak di antara teman-teman yang tidak mengenal wajahku. Akibat samping lainnya, saraf mataku kena sehingga sekarang sisa penglihatanku tinggal lima persen saja,” kata Dian Syarief. Kondisi kesehatan Dian pun semakin memburuk dari hari ke hari. Akibatnya, sejak Maret 1999, Dian tak lagi mampu bekerja seperti semula. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menjalani berbagai pengobatan.
Operasi 17 Kali. Berbagai pengobatan pun telah dilakukan Dian baik di dalam maupun di luar negeri. Di Singapura saja, ia sudah menjalani setidaknya enam kali operasi pada bagian kepalanya dalam kurun waktu hanya sebulan. Akibatnya, Dian harus merelakan penglihatan sempurnanya. Dokter menyatakan sangatlah mustahil untuk mengembalikan kondisi penglihatannya seperti semula. “Tuhan, benarkah ini? Benarkah aku harus buta selamanya? Apa dosaku hingga malapetaka ini menimpaku? Aku sudah menjalani kesakitan yang tak terhingga ketika lupus itu menyerang, aku juga sudah tabah ketika badanku hancur, mukaku rusak karena obat, aku juga sudah rela menjalani berbagai pengobatan dan operasi demi kepulihanku. Tapi, hanya sampai di sinikah hasil semua usaha itu?” berbagai pertanyaan dan penyesalan bercampur aduk dalam pikiran Dian.
Namun, di saat keterpurukan mendera Dian, berbagai pihak termasuk suami dan kedua orang tuanya tetap mendukung dan memberikan semangat tanpa henti. Dari situlah, ia mampu mengobarkan semangat untuk tetap bertahan hidup dan berjuang untuk melawan penyakit yang dideritanya. “Dukungan moril dari suami, orang tua, saudara-saudara, para sahabat, dan semua yang mengenalku benar-benar sangat berarti bagiku,” tutur wanita berkerudung ini.
Kini, setelah menjalani lebih dari 17 kali berbagai jenis operasi, Dian masih harus tergantung dengan obat-obatan. Kendati begitu, ia kini menjalani berbagai kegiatan, di antaranya adalah mengurusi yayasan Syamsi Dhuha yang didirikannya sejak tahun 2004. Tak hanya itu saja, ia juga aktif sebagai pembicara dalam berbagai acara diskusi mengenai penyakit lupus. Pengalaman hidupnya memang banyak memberikan inspirasi bagi odapus-odapus lainnya dan masyarakat awam. Dari penyakit yang berkepanjangan ini pula, Dian mampu mendapatkan hikmah untuk kehidupan dirinya sendiri. “Dengan kasih sayang-Nya, Allah mencoba mengingatkanku untuk kembali ke jalan-Nya dengan cara memberikan ujian berupa sakit berkepanjangan serta hilangnya salah satu indra penting. Dengan cobaan ini aku tersadarkan akan tujuan hidup sebenarnya dan mulai memikirkan apa yang tersirat di balik yang tersurat,” tutur Dian yang memiliki hobi menulis ini.
Masa-masa sulit dicoba untuk dilaluinya dengan cara bersyukur. Dian merasa yakin di balik semua ujian-Nya, Allah memberikan peluang kepada dirinya untuk ‘naik kelas’. Musibah yang terjadi dalam hidupnya justru membuat ia semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Beruntung, semasa sakit, Dian masih menyempatkan diri untuk pergi ke Tanah Suci. Dalam menjalani pengobatan pun, ia selalu berikhtiar kepada Allah. Dian selalu menyerahkan hasil pengobatannya kepada Sang Pencipta. Pada saat kondisinya kritis pun, ia percaya selalu ditemani Allah, dengan cara berdzikir. Karena dengan berdzikir dan menjalani perintah-Nya, Dian percaya akan membawa bekal saat nantinya ‘kembali’ kepada-Nya. “Kesadaran bahwa jasad dan jiwa adalah dua hal yang berbeda. Badan boleh sakit, tapi jiwa tetap sehat. Yang terpenting adalah dapat menemukan arti dan tujuan hidup,” tutur Dian sembari berfilosofi. Fajar
Harus Merelakan Rahimnya Demi Keselamatan Jiwa
Sungguh merupakan suatu cobaan yang teramat berat bagi Dian setelah mengidap penyakit lupus. Bagian demi bagian tubuhnya mengalami akibat buruk dari penyakit tersebut. Salah satunya adalah ketika rahimnya harus diangkat karena mengalami pendarahan terus menerus, efek buruk dari lupus. Kehilangan sesuatu yang membuatnya sebagai wanita sejati tentu menimbulkan kesedihan teramat dalam bagi Dian. Tak mampu menghadirkan buah hati dalam pernikahannya dengan Eko Pratomo memang menimbulkan kekhawatiran nantinya sang suami akan berpaling. Akan tetapi, beruntung bagi Dian telah mendapatkan suami yang selalu memberikan dukungan dan semangat bagi dirinya. “Kamu kan ladang amal saya. Itu yang dikemukakan Mas Eko saat saya kemukakan kekhawatiran saya kepadanya,” papar Dian.
“Aku harus merelakan rahimku demi keselamatan jiwaku,” ungkap Dian dengan penuh kesedihan. Malam setelah operasi pengangkatan rahim sekitar 3 tahun lalu, memang menjadi malah kesedihan bagi Dian. Tetesan air mata menghiasi wajahnya setelah siuman pasca operasi. “Mas, apakah kamu berniat menikah lagi?” tanya Dian kepada sang suami setelah operasi pengangkatan rahim. “Ah, kamu ada-ada saja,” pendek tapi pasti Eko menjawab.
Padahal, kala itu Dian telah merelakan bila sang suami memutuskan untuk menikah lagi agar memperoleh keturunan. Tapi, sebagai suami, Eko tetap setia mendampingi perjuangan Dian melawan penyakit lupus hingga saat ini. Kekuatan cinta antara keduanya mampu mempertahankan perjalanan pernikahan dari kehancuran yang diakibatkan penyakit lupus. Fajar
Side Bar 2…
Berbagi dengan Cara Meluncurkan Buku dan Mendirikan Yayasan
Menjadi orang yang terkurung dalam penyakit yang menyiksa dirinya, tak membuat Dian merasa tak berguna bagi lingkungan sekitar. Sebaliknya, ia justru mampu berkarya dan berbagi dengan sesama. Salah satunya adalah dengan menerbitkan buku bertajuk ‘Miracle of Love : Dengan Lupus Menuju Tuhan’. Buku yang ditulis oleh sang suami sendiri tersebut terinspirasi dari pengalaman hidup Dian yang sangat berliku menghadapi kejamnya penyakit lupus yang mengganas. Bagi Dian, dengan menerbitkan buku tersebut, ia berharap banyak odapus lainnya dan masyarakat awam mampu mengetahui seluk beluk penyakit lupus yang hingga kini masih belum ada obatnya.
Dengan begitu, odapus-odapus lainnya yang masih harus berjuang melawan lupus dapat memperoleh perhatian lebih. Terlebih lagi biaya yang harus ditanggung oleh para penderita untuk menjalani berbagai pengobatan diakui Dian, sangatlah mahal. “Biaya pengobatanku saja sekarang kira-kira Rp 600 ribu sebulan, bahkan sempat memerlukan dana Rp 1,3 juta per minggu hanya untuk pembelian obat. Bagaimana dengan odapus dari kalangan tak mampu harus menghadapinya? Padahal selama hidupnya odapus sangat tergantung kepada obat,” tandasnya.
Kepedulian Dian pulalah, yang mendorongnya untuk mendirikan yayasan Syamsi Dhuha pada tahun 2004 lampau. Akhir tahun 2003, Dian dan suami memang memutuskan untuk pindah ke kota Bandung, kota kelahiran mereka. Barulah, setelah Dian merasa sudah ‘normal’ meski harus selalu berobat, keputusan untuk mendirikan yayasan pun diambil. Tempat tinggal Dian pun secara sukarela dijadikan sebagai kantor yayasan Syamsi Dhuha, yakni di Jalan Sekeloa Selatan II Nomor 2B, Komplek Unpad, Bandung. Melalui salah satu programnya, care for lupus, Dian bertekad untuk membesarkan hati para odapus dan keluarga yang mendampingi mereka melalui berbagai aktivitas yang bermanfaat tak hanya bagi mereka sendiri, tapi bagi masyarakat luas.
Saat ini, program kegiatan Syamsi Dhuha terbagi menjadi beberapa, yakni, program kepedulian bagi penyandang penyakit lupus (odapus) dan penyandang low vision, pendidikan dan pelatihan, pengobatan dan edukasi kesehatan, serta pengumpulan dan penyaluran zakat, infak, sedekah, dan beasiswa pendidikan. Sudah puluhan orang menjalani program kegiatan yayasan yang didirikan Dian dan suami ini. Fajar
6 comments:
Saya terinspirasi dari kisah hebat melawan lupus dari Ibu Dian dan Ibu Tiara. Jadi saya membuat cerpen fiksi versi remaja tentang lupus. Terimakasih tulisannya keren :)
Boleh says minta contact mbak dian syarief kah? Thanks
Azel :
azelia.faramita@gmail.com
Saya sangat terinspirasi dengan kisah Ibu Dian Syarief dan ingin berkenalan dengan beliau. Saya menjalankan bisnis di PT. Melia Sehat Sejahtera yang hanya memiliki 2 produk yaitu Melia Propolis dan Melia Biyang, dan selama saya menjalankan bisnis di PT. MSS saya sudah menemukan 2 orang penderita Lupus dan alhamdulillah mereka bisa sembuh setelah mengkonsumsi kedua produk itu. Memang kesembuhan datangnya dari Allah tetapi syareatnya melalui Melia Propolis dan Melia Biyang. Dan di Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 69, disebutkan..."akan keluar dari perut lebah (minuman) beraneka macam warnanya, padanya ada obat bagi manusia...(bagi yang berpikir)
salam...
Ibu saya baru didiagnosis terkena SLE. Kalau mba dian bisa kuat, semoga ibu saya juga kuat. Sebenarnya bukan hanya odapusnya saja yang hatinya sedikit "terkejut", kami selaku anak dan keluarga juga sedih. Tentu saja saya juga bertanya-tanya mengapa harus ibu saya? . Tentu tidak tega melihat ibu yang sudah mulai tua harus hidup bersama lupus. Tapi yakin, semua yang datang dari Allah pasti ada hikmah. Kisahnya inspiratif, saya lihat bukunya di Gramedia...
Semoga ibu saya bisa tegar seperti mba dian, karena keluarga sangat menyayangi ibu. Dan kami anak ibu belum bisa membalas barang sedikit jasa ibu.
wah bu anda hebat dan kuat, saya terinspirasi utk anda, boleh saya minta no wa atau email anda sbg referensi utk menguatkan motivasi dan kesembuhan saudara saya
Sangat menginspirasi.bolehkah saya ikut bergabung d yayasan syamsi dhuha.sy jug Odapus dari kalimantan selatan Kab.banjar yg masih minim tuk penangann SLE dsn.trimakasih.
Post a Comment